KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #1
“Lepaskan!”
“Apa-apaan ini? Kami tidak melakukan apapun!” Suara seorang pria membela diri.
“Arak saja, bila perlu telanjangi!” Suara riuh saling bersahutan dan memblokade jalanan.
Aku beranjak bangkit ketika mendengar keributan di jalanan sana, aku mengira jika ada kecelakaan. Karena banyak orang-orang yang berkerumun juga di sana. Bahkan beberapa teman sesama pemilik lapak di pinggiran kaki lima ini ikut heboh dan berlari menuju keramaian di sana. Akan tetapi, aku kurang tertarik, aku memilih berkemas karena malam semakin larut, apalagi sekarang sudah mulai gerimis mengundang.
“Ada apa sih?” tanyaku pada teman yang baru saja kembali sambil mengepalkan kedua tangannya geram.
“Huh, perempuan zaman sekarang ya, kok murah banget. Pelakor di pergoki istri sah di penginapan, di grebek noh sama warga dan RT, terus di arak, mereka hanya memakai pakaian dalam. Amit-amit, cantik mending, lah ini, auranya aura tengah malam, serem banget,” omel Atikah begitu menggebu-gebu. Bagaimana dia tidak begitu geram dan marah, rumah tangganya hancur juga karena orang ketiga.
“Astaghfirullahaladzim.” Aku hanya beristighfar, enggan berkomentar apapun, takut bernasib sama seperti Atikah yang suka berkoar-koar membanggakan suaminya, nyatanya, suaminya justru membuangnya. Masih ada untungnya Atikah belum memiliki anak.
“Makanya Ris, tuh si Azzam kamu jaga baik-baik. Mana ganteng, kerja enak di kantor camat lagi, aku yakin pasti banyak pelak-or yang sudah mengincar Azzam.” Tukas Atikah lagi dengan bibir tipisnya yang kadang berjengit. Aku hanya mengangguk, tersenyum dan meneguk saliva dengan kasar. Tentu saja ada rasa khawatir jika mas Azzam akan berpaling, apalagi zaman sekarang gempuran tentang orang ketiga ini semakin marak sekali, dan sepertinya mereka yang menjadi orang ketiga tidak memiliki rasa malu sama sekali.
“Dengar gak sih, Ris? Jangan sampai menyesal di kemudian hari, apalagi anak-anakmu masih kecil begitu, kasihan. Kalau aku mah bebas, gak ada yang gandoli dan membebani,” sambungnya lagi dengan nada ketus.
“Iya, Tik. Aku denger kok, nanti motor mas Azzam aku pakein GPS atau kamera tersembunyi, jadi tahu kemana dia perginya,” jawabku sedikit bercanda, karena, jika melihat sikap mas Azzam selama ini sepertinya ia tidak akan berpaling. Mas Azzam sangat perhatian, sering membantuku untuk menyiapkan keperluan jualan, karena kami memiliki tujuan yang sama, menyelesaikan rumah kami.
“Bercandanya gak lucu, Ris. Jangan sampai nanti kalau Azzam main serong, kamu curhat sama aku sambil nangis-nangis ya,” timpal Atikah lagi mengancam sambil menatap sinis padaku, namun tangannya terus bekerja membereskan barang-barang dagangannya, sama sepertiku.
***
Mas Azzam langsung menyambut dan membantuku ketika aku baru saja sampai, aku berhenti di teras rumah kami yang belum ada atapnya, karena rumah kami juga baru 60 persen yang jadi, itu sebabnya aku dan mas Azzam bekerja keras. Mas Azzam bekerja di kantor camat dari pagi hingga pukul 3 sore, dan aku mempersiapkan dagangan sambil momong kedua anak kami yang masih berusia 7 tahun. Sekitar pukul 4 sore aku berangkat berjualan dan bergantian dengan mas Azzam untuk mengurus Melisa dan Azkira.
Aku melongok ke dalam sambil meletakkan barang-barang di ambang pintu, terdengar suara Melisa dan Azkira tertawa ketika sedang menonton, lalu terdengar suara orang sedang memasak, karena spatula yang menghantam kuali.
“Siapa yang sedang memasak, mas?” bertanya sambil terus menurunkan perkakas jualan burger miniku.
“Ibu, tadi mas ngerasa tidak enak badan, lapar, jadi minta tolong sama ibu untuk masakin mie,” jawab mas Azzam, memang terdengar suaranya agak sengau dan sesekali menyedot kembali cairan yang akan keluar dari hidungnya.
“Bukannya aku tadi sudah masak ayam kecap,” menjawab dengan agak kesal, karena aku sudah menyempatkan diri tetap masak di sela kesibukan mempersiapkan dagangan dan pada akhirnya tidak di makan juga.
“Lagi pengen makan mie saja, tadi Melisa dan Azkira makan kok,” jawabnya lagi, tetapi aku tidak menggubrisnya lagi, karena sudah terlanjur kesal. Aku langsung saja masuk menuju belakang, membawa semuanya ke dapur.
“Nah ini dia, istri tidak becus, suami sudah capek kerja, demam, malah di suruh ngurusin anak dan rumah lagi,” celetuk ibu mertua dengan nada ketus dan menjudge aku. Aku mengabaikan ucapan ibu, langsung saja menyalami lalu keluar menuju kamar mandi, karena gerah, namun aku masih bisa mendengar omelan ibu. Aku bersikap seperti itu karena ibu selalu saja menunjukkan sikap yang sama setiap kali bertemu, menuduhku ini dan itu.
“Istrimu itu, Zam, tidak punya sopan santun. Orang tua ngomong malah dicuekin,” ibu mengadu pada mas Azzam.
Setelah selesai mandi aku segera masuk ke kamar, ponsel mas Azzam berdering, namun aku abaikan hanya meliriknya sekilas saja.
‘Pak ketua’
Nomor itu terus saja memanggil berulang kali hingga aku selesai mengenakan baju. Aku langsung saja meraih ponsel mas Azzam, berniat akan memberikan padanya. Siapa tahu ada hal penting yang akan dibicarakan oleh atasannya saat ini.
Aku menghentikan langkahku ketika notif pesan masuk berdenting keras, bukan karena notifnya, tetapi sepenggal isi pesan yang terlihat.
[Mas cepat kesini, Alya sakit. Aku su…]
Aku segera membuka kunci sandi ponsel mas Azzam, tidak bisa. Aku mengulang kembali mengetikkan tanggal lahir pernikahan kami, nihil, salah. Lalu aku mengetikkan tanggal lahir Melisa dan Azkira, salah lagi. Astaghfirullahaladzim! Pesan dari siapa sih? Pak ketua siapa ya?
Aku mulai bingung dan panik, segala praduga dan kecurigaan pada mas Azzam.
Seketika aku teringat ucapan Atikah tadi, menggeleng, karena mas Azzam sepertinya tidak seperti itu. Aku yakin ini pesan nyasar. Aku mengunci pintu kamar, berpikir apa yang harus aku lakukan, ponsel mas Azzam masih di tangan.
“Kenapa mas Azzam mengganti sandi ponselnya, ada apa ya?” Bergumam, mencoba berpikir dengan jernih dan tenang tidak gegabah. Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan ponsel tersebut pada mas Azzam karena sudah berulang kali aku mencoba membuka sandi ponselnya tetap saja tidak bisa. Aku keluar dari kamar dengan tenang seperti tidak ada kejadian apapun meskipun rasa penasaran ini begitu bergejolak di dalam hati ini. Apalagi sepenggal pesan itu, kecurigaan ini semakin besar pada mas Azzam.
“Mas, ini pak ketua dari tadi nelpon terus. Pas diangkat langsung mati lagi, padahal sinyal bagus loh,” ucapku sedikit berbohong, padahal aku tidak sempat menjawab telepon tersebut, perubahan ekspresi wajah mas Azzam begitu kentara, panik. Ia segera bangkit menyambar ponsel yang kusodorkan padanya.
“Lain kali kalau ada yang nelpon di ponselku jangan diangkat. Biarkan saja.” Timpalnya terlihat agak kesal, aneh, ia langsung menuju keluar rumah. Aku masih menatapnya heran dengan degup jantung tidak karuan.
“Lagian, kau ini jadi perempuan terlalu lancang menyentuh barang-barang pribadi Azzam.” Tukas ibu sambil beranjak bangkit membawa mangkuk kosong bekas ia makan mie instan.
“Aku itu istri mas Azzam, bu. Wajarlah kalau hanya menjawab telepon, siapa tahu penting.” Menjawab, aku memang tidak pernah mau mengalah dengan ibu, meskipun melawanku masih di batas wajar saja untuk membela diri.
“Kau ini, kalau di bilangin ngeyel. Ibu sudah setua ini saja tidak pernah selancang itu menyentuh barang-barang pribadi bapaknya Azzam, jadi kau itu harus seperti itu. Suami dan istri bukan terus kau harus tau masalah kerjaan suamimu. Berikan mereka kepercayaan, biar rumah tangga itu langgeng,” jawab ibu panjang, yang menurutku aneh. Menurutku suami dan istri itu ya harus saling terbuka mau masalah apa saja, saling jujur dan percaya.
“Makanya ibu di bohongi terus sama bapak, jadi perempuan itu harus pintar, bu. Jangan mau dibod-ohi, lihat ibu sek…”
“Dek, aku keluar dulu sebentar ya. Pak Masrial minta tolong nih,” tiba-tiba saja mas Azzam masuk dan pamit akan pergi.
“Minta tolong apa, Zam? Malam-malam begini, Masrial siapa sih?” tanya ibu mewakili aku, mas Azzam terlihat bingung akan menjawab apa.
“Ehm. Itu bu, pak Masrial teman satu kerjaan sama aku. Dia minta tolong nyetirkan mobilnya untuk jemput saudaranya, iya saudaranya di terminal,” jawab mas Azzam agak mikir.
“Kenapa gak nyetir sendiri, kan sudah mobilnya sendiri?” tanyaku yang membuat mas Azzam agak terbengong sejenak, tampak agak bingung dan mikir.
“Dia belum lancar nyetir, sudahlah. Kau ini kayak wartawan saja, lagian kita ini manusia biasa dek, suatu saat akan membutuhkan bantuan orang lain juga.” Tukasnya dengan nada ketus sambil melangkah menuju kamar, ia keluar sudah mengenakan jaket, ekspresi wajahnya tampak panik dan ia melangkah tergesa-gesa, mencari helm dan yang ia perlukan, aku sengaja diam. Pikiranku masih tertuju pada pesan pak ketua tadi yang agak mencurigakan.
“Zam, sekalian antarkan ibu pulang,” seru ibu dari belakang.
“Ya sudah ayo, cepat bu, aku buru-buru nih,” jawab mas Azzam langsung keluar tanpa berpamitan denganku ataupun Melisa dan Azkira.
Seminggu sudah berlalu, seperti biasa aku menyiapkan semua daganganku. Kali ini aku akan mengajak Melisa dan Azkira, karena akhir-akhir ini mas Azzam selalu pulang terlambat.
***
Waktu terus berputar, tanpa terasa sudah hampir setahun. Aku melupakan tentang isi chat pak ketua tersebut dan menyibukkan diri dengan berdagang. Rumah impian kami kini sudah selesai 90 persen karena aku menjual bagian tanah yang dibagi oleh kedua orang tuaku.
Hari ini aku mengantarkan Melisa dan Azkira ke sekolah, dan mas Azzam berangkat kerja. Setelah mengantar anak sekolah, aku tidak langsung pulang, melainkan memilih berbelanja di toko grosiran di kampung sebelah yang terkenal murah. Namun ada yang menarik perhatianku ketika melewati salah satu rumah warga, di depan sana tampak motor yang sangat aku kenal, karena itu motor semasa aku gadis dulu terparkir dengan cantik di teras rumah tersebut.
“Bukannya itu motor mas Azzam?” Bergumam, lirih.
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #2Aku segera memarkirkan motorku dengan asal di badan jalan, dengan langkah mantap menuju rumah warga tersebut. Memperhatikan dengan seksama motor tersebut, dan benar saja itu motor yang sama yang dipakai mas Azzam ketika berangkat bekerja tadi.“Tidak salah lagi, ini benar motorku.” Lirih, lalu aku berniat akan mengetuk pintu, tetapi dari dalam terdengar suara derap kaki dan orang sedang mengobrol.“Dadah, ayah berangkat kerja dulu ya, nanti ayah datang lagi. Janji, besok ayah akan menginap di sini,” suara pria yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku berlari menuju motorku, menyembunyikan di balik rumah warga yang lain, lalu memperhatikan rumah tersebut. Jantung rasanya seperti akan melompat, ketika mendengar suara mas Azzam, apalagi dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah, itu berarti…, ahk, otakku rasanya agak ngeblank sedikit.Tidak lama pintu terbuka, hampir saja tubuhku limbung, tangan segera berpegangan pada motor dan tubuh bersandar
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhi
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang
Aku tersenyum tipis ke arah ibu yang terlihat sudah meradang. Lalu aku langsung melangkah mencari-cari ponselku yang tertindih bantal, karena semalam aku meletakkannya secara asal.“Ibu tidak apa-apa?” tanya Meli terlihat cemas, Azkira juga mendekat, menatap penuh kekhawatiran. Sesekali mereka menoleh ke arah sang nenek dengan tatapan tidak senang karena telah menyakiti ibunya.“Tidak apa-apa sayang, sebaiknya kamu dan Azki main di luar atau ke kamar saja ya. Ibu masih ada urusan dengan nenek.” Ucapku dengan lirih sambil mengelus kepala mereka lalu mengecup dengan lembut tepat di kening. Kedua putriku menurut, meskipun agak berat meninggalkan aku bersama dengan neneknya di sini yang masih terlihat begitu marah sekali.“Kenapa? Apa yang kau ucapkan pada Meli dan Azki, mau mendoktrin buruk tentang Azzam?!” Tuduh ibu lagi dengan dada yang kembang kempis dan tatapan kian bengis ke arahku. Aku tidak peduli, aku beranjak bangkit ketika sudah mendapatkan ponselku, lalu ingin mengecek sosial
Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari l
“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?][Astaga, gondal gandul kayak pepaya.][Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video terse
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen
Imas menggenggam ponselnya dengan kuat, menatap nyalang ke arah Risa yang terlibat obrolan dengan pak RT dan beberapa warga yang sibuk menyiapkan tenda dan membentangkan tikar agar para warga yang melayat ada tempat duduk ketika membacakan surat yasin nantinya. Risa terlihat anggun dengan gamis berwarna gelap dan wajah yang tanpa riasan, sesekali ia meringis karena menahan rasa sakit pada perutnya. Dan ada warga yang menyadari hal itu."Mbak Risa sedang sakit?" tanyanya, Risa hanya mengulas senyum terpaksa sambil menahan rasa sakit, perutnya terasa kaku karena terlalu lama berdiri. Sementara Melisa dan Azkira sudah ada di dalam rumah Hafsah, mereka sudah terlelap, karena hari memang sudah malam."Ya, Risa baru saja mendapatkan musibah. Perutnya di tusuk seseorang ketika dia pulang kerja. Dan harus mendapatkan beberapa jahitan." Sahut Atikah sambil merangkul tubuh Risa."Astaga!""Ya Allah, untung baik-baik saja, mbak.""Ya sudah, istirahat di dalam saja, mbak. Sampe pucet begitu." Usu
“Ada apa ini, kenapa ibu dan Imas terus saja berkelahi setiap hari, memangnya kalian berdua ini tidak bisa akur sehari saja?” tanya pak Harjo sambil memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan, lalu pak Harjo memegangi bagian dada kirinya yang terasa nyeri sekali.“Aku juga tidak habis pikir dengan ibu, apa bedanya Imas dengan Risa. Mereka sama-sama menantu ibu dan melahirkan cucu-cucu ibu. Seharusnya sikap ibu tidak bisa jomplang seperti ini dong, bahkan ibu dulu sangat peduli dengan Melisa dan Azkira, lalu kenapa ibu tidak bisa bersikap sama kepada Azka?” Azzam mulai terpancing emosi atas sikap Hafsah akhir-akhir ini.“Kau lupa, kalau Melisa dan Azkira bukan anak hasil curian. Lagian yakin sekali jika anak itu darah dagingmu, anaknya yang lain saja bapaknya gak jelas. Kau terlalu bodoh dan naif, Zam.” Sahut Hafsah sangat menohok sekali yang membuat amarah Imas semakin membludak.“Jangan fitnah, bu. Ita dan Lina ada bapaknya, mereka memiliki orang tua yang jelas. Bapaknya aja yang ga