KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #2
Aku segera memarkirkan motorku dengan asal di badan jalan, dengan langkah mantap menuju rumah warga tersebut. Memperhatikan dengan seksama motor tersebut, dan benar saja itu motor yang sama yang dipakai mas Azzam ketika berangkat bekerja tadi.
“Tidak salah lagi, ini benar motorku.” Lirih, lalu aku berniat akan mengetuk pintu, tetapi dari dalam terdengar suara derap kaki dan orang sedang mengobrol.
“Dadah, ayah berangkat kerja dulu ya, nanti ayah datang lagi. Janji, besok ayah akan menginap di sini,” suara pria yang sangat aku kenal. Dengan cepat aku berlari menuju motorku, menyembunyikan di balik rumah warga yang lain, lalu memperhatikan rumah tersebut. Jantung rasanya seperti akan melompat, ketika mendengar suara mas Azzam, apalagi dia menyebut dirinya dengan sebutan ayah, itu berarti…, ahk, otakku rasanya agak ngeblank sedikit.
Tidak lama pintu terbuka, hampir saja tubuhku limbung, tangan segera berpegangan pada motor dan tubuh bersandar ke dinding rumah warga.
“Mas Azzam,”
“Ya sudah, aku berangkat kerja dulu. Nanti aku akan datang lagi pas makan siang, masak yang enak,” masih terdengar obrolan mereka di telingaku, dada bergemuruh hebat.
“Iya, tapi janji loh. Besok nginap di sini, Alya juga kan mau tidur sama ayahnya. Bukan hanya Melisa dan Azkira saja, lagian, istrimu itukan sibuk ngurusin dagangannya,” ucap perempuan berdaster merah muda itu sambil mencium dengan takzim tangan mas Azzam.
“Iya, nanti aku akan cari alasannya agar bisa nginap di sini.” Jawab mas Azzam mengecup kening wanita tersebut lalu mencium wajah bocah imut itu, mungkin usianya sekitar satu tahun lebih. Aku mengeluarkan ponsel, merekam dengan kondisi tangan gemetaran.
“Terus saja seperti itu, lalu kapan kita bisa seperti orang-orang. Aku juga mau jalan-jalan bareng kamu, mas. Tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Lagian kamu itu punya hak untuk memiliki istri lebih dari satu. Kamu juga kapan akan menikahiku secara sah,” omel wanita tersebut sambil bersungut.
“Sstt, jangan keras-keras. Nanti bisa didengar orang lain, kamu tahu sendirikan, saat ini semua yang aku punya milik Clarisa, jadi jangan bawel. Yang penting 60 persen gajiku sudah untukmu,” sahut mas Azzam dengan nada penuh dengan penekanan.
“Iya sih, tapi kan…”
“Sudahlah jangan cerewet. Kau paham kalau aku itu tidak suka dibantah. Aku berangkat kerja dulu, tenang-tenang saja dirumah, paham?!” Sentak mas Azzam lalu ia menyalakan motornya dan pergi dari rumah itu. Aku masih sempat melihatnya semakin menjauh dan wanita itu dengan mimik wajah kesal masuk kembali ke rumahnya.
Tubuhku merosot ketika melihat pemandangan tersebut, membekap mulut agar tangisku tidak terdengar oleh siapapun.
“Mas Azzam memiliki anak dan istri lagi? Dia bermain serong di belakangku, setelah apa yang telah aku berikan padanya.” Membatin, aku menangis tanpa nada. Entah sampai berapa lama aku menangis, setelah puas aku belanja dan bertanya tentang wanita itu, setelah mendapatkan info aku langsung pulang.
“Aku akan mengumpulkan bukti perselingkuhan mas Azzam. Setelah itu aku akan mengurus perceraian kami,” aku sudah mempersiapkan segalanya untuk menggerebek mas Azzam nanti malam. Aku sudah mencari informasi dari tetangga wanita tadi, bahwa di kampung itu ia terkenal sebagai wanita penggoda suami orang. Memiliki 3 orang anak dengan bapak yang tidak jelas.
***
Mas Azzam pulang agak cepat, mungkin dia akan mempersiapkan segalanya untuk menginap di rumah gundiknya. Aku membuatkan teh hangat untuknya, berusaha bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apapun.
“Tumben pulang cepat, mas?” tanyaku sambil meletakkan gelas berisi teh di dekatnya.
“Iya, ini pak Masrial ngajak keluar kota. Ada kerjaan, mau survei masalah lahan sengketa. Ada warga yang minta tolong uruskan. Mungkin mas akan menginap nanti, dek.” Jawabnya jelas berbohong, karena aku sudah tahu apa rencananya, itu hanya alasan saja.
“Oo, cuma berdua aja?” tanyaku, berusaha tidak memperlihatkan gelagat mencurigakan.
“Iya, cuma berdua. Kalau kau gak berani dirumah sama anak-anak, aku bisa minta tolong ibu tidur di sini,” ucap mas Azzam lagi.
Wah, ide bagus. Karena nanti malam aku juga akan beraksi, kalau membawa Melisa dan Azkira itu pasti akan payah.
“Boleh. Apa yang harus aku persiapkan, baju atau apa?” tanyaku lagi berusaha menahan amarah yang sudah menggelegak ini, padahal rasanya sudah ingin mencabik-cabik daging Mas Azzam, tetapi harus ditahan.
“Tidak usah, semalam doang juga.” Mas Azzam beranjak bangkit, ia menuju kamar mandi.
“Lihat saja nanti, mas. Aku akan buat kau juga hancur, sama seperti perasaanku saat ini.” Bergumam dalam hati, mengepalkan kedua tinju geram.
***
“Loh, Ayah mau kemana? Bukannya sudah janji sama aku dan Meli kalau mau jalan ke taman malam kota malam ini?” tegur Azkira ketika melihat Mas Azzam sudah bersiap.
“Ayah harus kerja malam ini, tidak bisa menemani kalian. Lagian, kalian itu bukan anak kecil lagi, sebentar lagi juga akan ujian, lebih baik kalian berdua belajar,” pungkas mas Azzam terlihat tidak senang. Aku masih bisa menahan tidak mengucapkan apapun dengan apa yang telah aku lihat siang tadi.
“Ayah benar, nanti kalau sudah selesai ujian baru kita akan jalan-jalan,” ucapku berusaha menengahi agar anak-anak tidak menggagalkan rencanaku malam ini.
“Lagian ayah itu kerja bukan rekreasi, jangan manja.” Sambung mas Azzam lagi sambil bersiap. Aku mencoba menenangkan kedua putriku agar mereka tidak lagi bawel untuk menagih janji mas Azzam.
“Ibu janji, nanti kalau sudah selesai ujian, terserah kalian mau pilih kemana jalan-jalannya. Oke, sekarang kalian masuk ke kamar belajar,” ucapku lirih pada Melisa dan Azkira. Mereka menurut, aku mengikuti mas Azzam hingga ke teras depan.
“Kamu jualan?” tanyanya.
“Rencana iya,” menjawab sambil memperhatikan dia yang menyemprotkan parfum ke jaketnya.
“Tunggu ibu datang dulu, kata ibu nanti abis magrib baru bisa kesini, biar ada yang menemani Melisa dan Azkira.” Pesannya lalu menyalakan motornya, ralat, motorku yang suka rela dipakai oleh mas Azzam semenjak kami menikah. Motor dua tak dengan suara knalpot yang bising menjadi pilihanku ketika masih melajang.
“Ya,” aku mengangguk mengiyakan agar ia segera pergi dan aku segera beraksi.
Mas Azzam semakin menjauh dan menghilang di ujung gang. Tidak lama ibu mertua datang diantar dengan bapak, sedangkan aku bersiap akan berangkat jualan, tentu saja itu hanya alasan. Aku hanya ingin memberi pelajaran pada mas Azzam dan wanita simpanannya. Karena menurut info, wanita itu tidak pernah menikah dengan pria manapun.
“Sudah malam begini masih mau jualan, Ris?” tanya bapak ikut membantuku menaikkan beberapa kursi plastik ke atas gerobak.
“Iya, pak. Sayang, ini malam Minggu, pasti rame, pak. Paling nanti jam 10 aku sudah pulang,” alibiku, meskipun memang faktanya seperti itu.
“Ya sudah, hati-hati,” pesan bapak, aku segera berpamitan dengan Melisa dan Azkira, dan bertanya mereka ingin jajan apa nanti kalau aku pulang.
Aku segera memacu kecepatan motorku, menuju kampung sebelah. Sengaja aku langsung menuju rumah RT, dan dengan uang, aku bisa meminta mereka untuk menggerebek rumah itu. Mereka tidak terlalu banyak tanya, karena wanita itu memang sudah meresahkan warga, terutama para ibu-ibu yang sering kali suaminya digoda sama gundiknya mas Azzam.
Setibanya di sana rumah tersebut segera dibongkar paksa pintunya. Apalagi warga semakin bersemangat karena terdengar suara-suara menjijikkan dari dalam sana. Dadaku terasa sesak dan sempit sekali, aku berdiri bersandarkan tiang di teras, kaki terasa tidak sanggup untuk digerakkan.
“Mbak yang sabar ya. Mereka akan mendapatkan balasannya nanti.” Ucap salah satu warga mencoba menenangkanku.
“Mbak yang kuat, jangan seperti ini. Yang ada mereka akan merasa bangga jika mbaknya lemah,” sahut yang lainnya.
“Iya bener banget itu, jangan terlihat lemah didepan manusia-manusia tidak tahu seperti mereka. Lawan dan terlihat tegar agar mental mereka juga kenak,” ucap seseibu yang terlihat begitu antusias sekali, ia membawa sebuah spatula, katanya untuk mengorek memew si gundik agar tidak gatel lagi. Lucu, namun rasa sakit itu lebih besar, aku meraup oksigen sebanyak mungkin, dada naik turun mengikuti ritme nafas yang tidak beraturan.
Brak!
Setelah kunci dicongkel, lalu pintu ditendang dengan paksa oleh pak RT. Warga berduyun-duyun masuk ke dalam, dan terdengar suara pekikan seorang wanita dari dalam sana, lalu tangisan anaknya.
“Kalian benar-benar sudah mengotori kampung ini, bermaksiat!” Seru pak RT dengan lantang. Tampak mas Azzam memunguti pakaiannya di lantai dan mengenakannya. Begitu juga dengan wanita tersebut yang hanya menarik selimut dan menutupi tubuhnya sebatas dada.
“Heh Imas, kau ini memang tidak jera juga. Tidak dapat laki-laki di kampung ini, tapi laki-laki dari kampung sebelah. Dasar jal-ang!” Cerca seorang warga dengan penuh amarah, tangannya berkacak pinggang.
“Bener jal-ang, kok senengnya kumpul keb-o. Bisa-bisa nanti kampung ini kenak azab hanya karena ulahmu yang mur-ahan itu!” Teriak yang lainnya.
“Maaf bapak-bapak, ibu-ibu, ini ada apa ya?” Terdengar suara mas Azzam yang membuatku semakin sakit, aku sengaja melangkah lebih kedepan meskipun lutut terasa lemas.
“Masih bertanya ada apa?” Bentak pak RT geram sambil melotot ke arah Imas yang masih dalam keadaan polos, ketika begitu banyaknya pasang mata yang memperhatikannya, justru wanita bernama Imas itu terlihat santai, tidak berniat ingin menutupi tubuhnya dengan rapat.
Menurutku, dia sengaja.
Mas Azzam menatap Imas, lalu ia memungut pakaian wanita itu dan menyerahkannya.
“Apa salahnya? Kami sepasang suami istri, kenapa anda dan yang lainnya begitu lancang masuk ke dalam rumah saya. Mengganggu ketenangan orang saja,” suara mas Azzam meninggi, aku yang sedari tadi diam dan menunduk, kini semakin berani maju dan menunjukkan wajahku.
“Sudah sampai tujuan ke luar kotanya dengan pak Masrial, mas? Apakah pekerjaan ini yang kamu maksud?” tanyaku berusaha setenang mungkin setelah memergoki suamiku sendiri sedang berbagi peluh dengan wanita lain di ranjang. Wajah mas Azzam berubah pias ketika melihatku, seketika pucat. Aku tersenyum miris ketika melihat ada gurat senyum puas dari bibir Imas.
Kurang ajar!
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhi
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang
Aku tersenyum tipis ke arah ibu yang terlihat sudah meradang. Lalu aku langsung melangkah mencari-cari ponselku yang tertindih bantal, karena semalam aku meletakkannya secara asal.“Ibu tidak apa-apa?” tanya Meli terlihat cemas, Azkira juga mendekat, menatap penuh kekhawatiran. Sesekali mereka menoleh ke arah sang nenek dengan tatapan tidak senang karena telah menyakiti ibunya.“Tidak apa-apa sayang, sebaiknya kamu dan Azki main di luar atau ke kamar saja ya. Ibu masih ada urusan dengan nenek.” Ucapku dengan lirih sambil mengelus kepala mereka lalu mengecup dengan lembut tepat di kening. Kedua putriku menurut, meskipun agak berat meninggalkan aku bersama dengan neneknya di sini yang masih terlihat begitu marah sekali.“Kenapa? Apa yang kau ucapkan pada Meli dan Azki, mau mendoktrin buruk tentang Azzam?!” Tuduh ibu lagi dengan dada yang kembang kempis dan tatapan kian bengis ke arahku. Aku tidak peduli, aku beranjak bangkit ketika sudah mendapatkan ponselku, lalu ingin mengecek sosial
Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari l
“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?][Astaga, gondal gandul kayak pepaya.][Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video terse
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Imas menatap sengit ke arah Azzam yang begitu mudah mengingkari janji-janjinya selama ini. Padahal selama ini Azzam telah berjanji akan menikahi dan menghidupi semua anak-anaknya termasuk kedua putrinya bersama suaminya yang dulu.“Kau memang terlalu egois, mas. Baru juga seminggu yang lalu kau mengatakan akan segera menikahiku dan menafkahi anak-anakku.” Tukas Imas dengan nada penuh dengan penekanan, ia kembali menyeka airmatanya, bibirnya bergetar. Ia mengira jika Azzam benar-benar mencintainya selama ini, ternyata ia salah.“Andai saja mas Andre tidak masuk penjara. Aku juga tidak akan mengemis padamu, Azzam.” Batin Imas dengan dada bergemuruh hebat menahan amarah yang sudah membludak.“Tapi kedua putrimu itu bukan urusanku, Imas. Jika kau bilang Azka putraku, oke. Aku akan menafkahinya. Dan yang perlu kau ingat, aku tidak akan pernah melepaskan Risa.” Sahut Azzam begitu menohok dan menyakitkan.“Hem, kau tidak mau melepaskan Risa. Tapi kau berulah, sekarang bukan waktunya berdebat
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen
Imas menggenggam ponselnya dengan kuat, menatap nyalang ke arah Risa yang terlibat obrolan dengan pak RT dan beberapa warga yang sibuk menyiapkan tenda dan membentangkan tikar agar para warga yang melayat ada tempat duduk ketika membacakan surat yasin nantinya. Risa terlihat anggun dengan gamis berwarna gelap dan wajah yang tanpa riasan, sesekali ia meringis karena menahan rasa sakit pada perutnya. Dan ada warga yang menyadari hal itu."Mbak Risa sedang sakit?" tanyanya, Risa hanya mengulas senyum terpaksa sambil menahan rasa sakit, perutnya terasa kaku karena terlalu lama berdiri. Sementara Melisa dan Azkira sudah ada di dalam rumah Hafsah, mereka sudah terlelap, karena hari memang sudah malam."Ya, Risa baru saja mendapatkan musibah. Perutnya di tusuk seseorang ketika dia pulang kerja. Dan harus mendapatkan beberapa jahitan." Sahut Atikah sambil merangkul tubuh Risa."Astaga!""Ya Allah, untung baik-baik saja, mbak.""Ya sudah, istirahat di dalam saja, mbak. Sampe pucet begitu." Usu
“Ada apa ini, kenapa ibu dan Imas terus saja berkelahi setiap hari, memangnya kalian berdua ini tidak bisa akur sehari saja?” tanya pak Harjo sambil memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan, lalu pak Harjo memegangi bagian dada kirinya yang terasa nyeri sekali.“Aku juga tidak habis pikir dengan ibu, apa bedanya Imas dengan Risa. Mereka sama-sama menantu ibu dan melahirkan cucu-cucu ibu. Seharusnya sikap ibu tidak bisa jomplang seperti ini dong, bahkan ibu dulu sangat peduli dengan Melisa dan Azkira, lalu kenapa ibu tidak bisa bersikap sama kepada Azka?” Azzam mulai terpancing emosi atas sikap Hafsah akhir-akhir ini.“Kau lupa, kalau Melisa dan Azkira bukan anak hasil curian. Lagian yakin sekali jika anak itu darah dagingmu, anaknya yang lain saja bapaknya gak jelas. Kau terlalu bodoh dan naif, Zam.” Sahut Hafsah sangat menohok sekali yang membuat amarah Imas semakin membludak.“Jangan fitnah, bu. Ita dan Lina ada bapaknya, mereka memiliki orang tua yang jelas. Bapaknya aja yang ga