KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #3
“Risa, ini tidak seperti yang kau lihat, aku di jebak dengan perempuan itu. Kau dengar sendiri, dia sudah membuat resah warga kampung ini karena kelakuannya.” Mas Azzam melangkah mendekat, ia masih saja mengucapkan kalimat untuk membela diri dan menutupi kesalahannya.
“Halah, gak ada zamannya di jebak. Gak usah percaya, mbak,” seru salah satu seorang warga dari belakang.
“Bener, perempuan sama jantannya sama aja. Menjijikkan sekali,” sahut yang lainnya.
Aku masih berusaha setenang mungkin, tidak ingin memperlihatkan rasa cemburu dan amarah yang sudah menggelegak dan siap tumpah seperti lahar panas dari dalam kepala ini.
“Risa, jangan dengarkan mereka. Kau lebih mengenal aku, jangan percaya apa kata-kata mereka.” Mas Azzam berusaha meraih tanganku, akan tetapi aku segera menghindarinya. Sudah jelas terlihat nyata apa yang mereka lakukan masih saja ia mencari alasan.
“Sudah cukup, mas. Jangan sentuh aku.” Tegas, aku beringsut mundur menjauhinya, mengabaikan apa yang diucapkan mas Azzam. Namun dari kejauhan aku melihat senyum puas dari wanita bernama Imas itu.
“Pak RT dan warga, saya serahkan mereka pada kalian semua, terserah mau di apain. Saya sudah tidak peduli lagi,” ucapku dengan lantang, dadaku terasa begitu sakit sekali, dan terasa semakin sempit dan sesak.
“Risa! Clarissa! Tunggu aku, dengarkan penjelasanku, Ris!” Masih terdengar suara pekikan mas Azzam, akan tetapi aku tetap melangkah gontai menuju keluar rumah.
“Arak saja keliling kampung!”
“Ya betul, telanjangi.”
Suara para warga dan mas Azzam masih saja terdengar, aku rasanya sudah tidak lagi sanggup untuk berada di sini. Aku sengaja langsung menuju ke rumah pak RT.
“Mbak jangan menangisi laki-laki seperti itu, Allah sudah membuka jalan agar mbak mengetahui sifat buruk suami mbak, jika tidak. Maka mereka akan seperti ini terus, mencurangi mbak sepanjang pernikahan kalian.” Bu RT mengelus punggungku dengan lembut, wajar aku menangis. Selama dalam pernikahan, aku tidak pernah menuntut apapun pada mas Azzam. Tetapi dia tega menusukku dari belakang seperti ini, dan itu rasanya sakit sekali.
“Padahal kami tidak pernah ribut, aku selalu mengalah dan mengikuti apa kemauannya. Aku tidak suka ribut-ribut, apalagi anak-anak sudah mulai mengerti.” Aku tergugu, tidak bisa lagi menahan airmata yang kini sudah membanjiri kedua netra.
“Sabar mbak, menangislah, jika itu bisa membuat mbak tenang.” Bu RT beranjak bangkit, meninggalkan aku sendiri, mungkin beliau ingin memberikan ruang agar aku lebih leluasa untuk meluahkan semuanya. Aku meremas ponselku, dimana di dalam ponsel itu terdapat beberapa bukti perselingkuhan mas Azzam.
Drrt!
Tiba-tiba saja ponselku bergetar, panggilan masuk dari bapak mertua.
“Halo as…”
“Risa, kau ini dimana? Pamitnya jualan, tapi tadi bapak kesana lapakmu tutup. Atikah bilang juga kau tidak ada datang hari ini, kemana saja kau, hah?!” Belum juga sempat aku menjawab, sudah terdengar teriakan ibu dari seberang sana.
“A-aku…”
“Cepat pulang, Azkira demam tinggi, dia juga tadi sempat kejang-kejang.” Teriak ibu lagi dari seberang sana lalu memutuskan sambungan telepon sepihak, hatiku semakin sakit ketika mendengar ucapan ibu tentang Azkira. Aku segera bangkit, menemui bu RT dan pamit padanya. Aku memacu kecepatan motor agar segera sampai di rumah. Perasaanku saat ini begitu kalut sekali, kenapa harus bersamaan ketika mas Azzam berulah, sakitnya Azkira kambuh.
Sesampai dirumah aku langsung disambut dengan tatapan bengis ibu, tampak Azkira terbaring lemah diatas kasur tahu di depan televisi.
“Kau memang kelewatan Risa, mau bohongi bapak sama ibu? Pamit jualan, orang tua suruh momong anak, nyatanya kau keluyuran tidak jelas.” Omel ibu sambil meletakkan mangkuk berisi air hangat dan handuk kecil dengan kasar di lantai, hingga airnya tumpah sebagian.
“Maafkan aku, bu. Aku tidak keluyuran, tapi sedang ada urusan penting,” menjawab, langsung mengambil alih mengompres Azkira. Suhu tubuhnya begitu tinggi, aku menarik nafas panjang ketika kulitku bersentuhan dengannya, panas sekali.
“Sebaiknya kita bawa Azkira ke rumah sakit saja, bapak takut kejangnya kambuh. Lihat, lidahnya tadi berdarah karena tergigit.” Bapak membuka mulut Azkira, masih tersisa noda darah yang mulai mengering dan lidah Azkira juga terluka.
“Ibu, sakit.” Rengek Azkira sambil mengulurkan tangannya, Melisa membantu kakaknya dengan deraian airmata.
“Kak Azki tidak apa-apa kan, bu? Kakak pasti baik-baik saja kan?” Cecarnya dengan tatapan sendu, terlihat jelas jika ia sangat menyayangi Azkira.
“Ya, Azki pasti baik-baik saja kok. Meli sama nenek di rumah ya, ibu dan mbah akung akan ke rumah sakit.” Aku mengelus sekilas kepalanya, lalu menggendong Azkira, sedangkan bapak sudah berjalan keluar menuju motor.
“Kalau ada apa-apa sama Azki, ibu tidak akan memaafkanmu, Risa.” Teriak ibu lagi sambil mengikuti langkahku dan bapak keluar.
“Ibu sudah. Azki sakit bukan kemauan Risa, ibu jaga saja Meli di rumah,” sahut bapak masih dengan nada rendah, karena bapak memang paling sabar menghadapi ibu yang sifatnya sangat brutal.
“Azki sakit itu karena Risa tidak becus jadi seorang ibu, dia sibuk mengejar dunia dan urusan tidak pentingnya itu.” Tukas ibu lagi bersedekap, menatap bengis ke arahku.
“Sudah Risa, jangan digubris ibu, buruan naik,” ucap bapak yang sudah menyalakan motornya. Aku segera naik, dan motor perlahan melaju dengan cepat menuju bidan terdekat. Azkira sedari kecil memang memiliki penyakit tipes dan jika badannya panas dikit saja, maka tubuhnya akan mengalami kejang. Tetapi, ibu selalu saja menyalahkan aku dalam hal ini. Setelah diperiksa dan diberi obat kami langsung saja pulang, sepanjang perjalanan aku dan bapak tidak terlibat obrolan apapun, apalagi saat ini pikiranku benar-benar kacau, bercabang ke kampung sebelah dimana mas Azzam saat ini.
“Apa kata dokternya?” tanya ibu ketus membantuku membentangkan kasur busa di depan televisi, karena Azkira tidak mau tidur di kamar, katanya pengap.
“Tipesnya kambuh, bu,” jawabku singkat.
“Seharusnya kau itu fokus mengurus Azkira dan Melisa saja di rumah, tidak perlu lagi berjualan sampai tengah malam. Lagian gaji Azzam kan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian.” Tukas ibu sambil membaringkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dariku dan Azkira.
“Gaji mas Azzam itu tidak cukup, bu. Hanya cukup untuk makan saja, sedangkan untuk bayar listrik dan lain-lain tidak cukup,” jawabku kesal, karena ibu selalu saja ikut campur masalah keuangan rumah tanggaku dan mas Azzam.
“Astaga Risa! Gaji Azzam itu besar, memangnya kalian makan apa sampai tidak cukup sebulan, jadi perempuan itu jangan boros,” sahut ibu menyalahkan aku lagi. Aku menoleh, menatap ibu dengan dada bergemuruh.
“Ibu mau tahu kenapa gaji mas Azzam tidak cukup, sebaiknya ibu tanyakan saja nanti sama dia sendiri. Berapa banyak yang telah ia berikan sama gundiknya.” Aku langsung berdiri, rasanya aku tidak perlu lagi menutupi apa yang telah dilakukan oleh mas Azzam.
“Jangan fitnah, Risa.” Bentak ibu juga kini sudah berdiri.
KAU HANCURKAN HATIKU, KUHANCURKAN ISTANAMU #6“Selain tidak becus mengurus suami dan anak, ternyata kau tukang fitnah. Ibu tahu dan paham seperti apa sifat Azzam atau pun Nuri, anak-anak ibu tidak ada yang memiliki pikiran kotor seperti apa yang kau tuduhkan.” Ibu mendelik sambil berkacak pinggang dan menyangkal apa yang telah aku ucapkan barusan.Aku menatap ibu dengan senyum getir, lalu mengalihkannya pada Azkira dan Melisa yang sudah terlelap. Aku khawatir jika kedua putriku mendengar semua yang kami bicarakan.“Risa, ucapan adalah doa. Jangan bicara yang tidak-tidak tentang suamimu, nak,” ucap bapak pelan, namun wajahnya sudah memerah. Karena bapak pernah melakukan kesalahan yang sama seperti yang mas Azzam lakukan sekarang.“Kenapa pak? Apakah ibu dulu juga pernah melontarkan kalimat yang sama sepertiku?” tanyaku, aku mengulas senyum miris.“Risa, jangan kurang ajar. Kau tahu apa tentang rumah tangga ibu dan bapak, jangan mengurusi rumah tangga kami. Lihat rumah tanggamu sekarang
Aku tersenyum tipis ke arah ibu yang terlihat sudah meradang. Lalu aku langsung melangkah mencari-cari ponselku yang tertindih bantal, karena semalam aku meletakkannya secara asal.“Ibu tidak apa-apa?” tanya Meli terlihat cemas, Azkira juga mendekat, menatap penuh kekhawatiran. Sesekali mereka menoleh ke arah sang nenek dengan tatapan tidak senang karena telah menyakiti ibunya.“Tidak apa-apa sayang, sebaiknya kamu dan Azki main di luar atau ke kamar saja ya. Ibu masih ada urusan dengan nenek.” Ucapku dengan lirih sambil mengelus kepala mereka lalu mengecup dengan lembut tepat di kening. Kedua putriku menurut, meskipun agak berat meninggalkan aku bersama dengan neneknya di sini yang masih terlihat begitu marah sekali.“Kenapa? Apa yang kau ucapkan pada Meli dan Azki, mau mendoktrin buruk tentang Azzam?!” Tuduh ibu lagi dengan dada yang kembang kempis dan tatapan kian bengis ke arahku. Aku tidak peduli, aku beranjak bangkit ketika sudah mendapatkan ponselku, lalu ingin mengecek sosial
Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari l
“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?][Astaga, gondal gandul kayak pepaya.][Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video terse
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Imas menatap sengit ke arah Azzam yang begitu mudah mengingkari janji-janjinya selama ini. Padahal selama ini Azzam telah berjanji akan menikahi dan menghidupi semua anak-anaknya termasuk kedua putrinya bersama suaminya yang dulu.“Kau memang terlalu egois, mas. Baru juga seminggu yang lalu kau mengatakan akan segera menikahiku dan menafkahi anak-anakku.” Tukas Imas dengan nada penuh dengan penekanan, ia kembali menyeka airmatanya, bibirnya bergetar. Ia mengira jika Azzam benar-benar mencintainya selama ini, ternyata ia salah.“Andai saja mas Andre tidak masuk penjara. Aku juga tidak akan mengemis padamu, Azzam.” Batin Imas dengan dada bergemuruh hebat menahan amarah yang sudah membludak.“Tapi kedua putrimu itu bukan urusanku, Imas. Jika kau bilang Azka putraku, oke. Aku akan menafkahinya. Dan yang perlu kau ingat, aku tidak akan pernah melepaskan Risa.” Sahut Azzam begitu menohok dan menyakitkan.“Hem, kau tidak mau melepaskan Risa. Tapi kau berulah, sekarang bukan waktunya berdebat
Risa segera membereskan semua barang dagangannya, mencoba menghindari tatapan penuh intimidasi dari Atikah.“Kau yakin tidak mau cerita sama aku?” tanya Atikah, pertanyaan ini sudah yang ke 20 kali Atikah lontarkan sejak kedatangan Risa kemari.“Tidak, Tik. Ada anak-anak, tidak enak. Aku tidak mau mereka ikut mikir masalah orang tuanya.” Jawab Risa menolak untuk curhat di tempat yang tidak tepat seperti ini.“Apa kau butuh bantuan untuk melabrak perempuan jal-ang itu?” tanya Atikah lagi. Risa tersenyum ketika melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.“Aku tidak ingin mengotori tanganku, biarkan saja hukuman berjalan seiring waktu. Allah gak tidur, Tik. Lagian hidupku tidak harus berhenti hanya karena mas Azzam berbagi hati.” Jawab Risa masih tenang, sambil terus mengemas barang-barangnya, taksi online sudah menunggu.“Lagian untuk apa juga mempermalukan diri sendiri, mbak. Tetaplah menjadi wanita elegan dan mahal meskipun tersakiti.” Timpal Nuri sambil mengangkat kompor dan tabung gas da
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen
Imas menggenggam ponselnya dengan kuat, menatap nyalang ke arah Risa yang terlibat obrolan dengan pak RT dan beberapa warga yang sibuk menyiapkan tenda dan membentangkan tikar agar para warga yang melayat ada tempat duduk ketika membacakan surat yasin nantinya. Risa terlihat anggun dengan gamis berwarna gelap dan wajah yang tanpa riasan, sesekali ia meringis karena menahan rasa sakit pada perutnya. Dan ada warga yang menyadari hal itu."Mbak Risa sedang sakit?" tanyanya, Risa hanya mengulas senyum terpaksa sambil menahan rasa sakit, perutnya terasa kaku karena terlalu lama berdiri. Sementara Melisa dan Azkira sudah ada di dalam rumah Hafsah, mereka sudah terlelap, karena hari memang sudah malam."Ya, Risa baru saja mendapatkan musibah. Perutnya di tusuk seseorang ketika dia pulang kerja. Dan harus mendapatkan beberapa jahitan." Sahut Atikah sambil merangkul tubuh Risa."Astaga!""Ya Allah, untung baik-baik saja, mbak.""Ya sudah, istirahat di dalam saja, mbak. Sampe pucet begitu." Usu
“Ada apa ini, kenapa ibu dan Imas terus saja berkelahi setiap hari, memangnya kalian berdua ini tidak bisa akur sehari saja?” tanya pak Harjo sambil memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan, lalu pak Harjo memegangi bagian dada kirinya yang terasa nyeri sekali.“Aku juga tidak habis pikir dengan ibu, apa bedanya Imas dengan Risa. Mereka sama-sama menantu ibu dan melahirkan cucu-cucu ibu. Seharusnya sikap ibu tidak bisa jomplang seperti ini dong, bahkan ibu dulu sangat peduli dengan Melisa dan Azkira, lalu kenapa ibu tidak bisa bersikap sama kepada Azka?” Azzam mulai terpancing emosi atas sikap Hafsah akhir-akhir ini.“Kau lupa, kalau Melisa dan Azkira bukan anak hasil curian. Lagian yakin sekali jika anak itu darah dagingmu, anaknya yang lain saja bapaknya gak jelas. Kau terlalu bodoh dan naif, Zam.” Sahut Hafsah sangat menohok sekali yang membuat amarah Imas semakin membludak.“Jangan fitnah, bu. Ita dan Lina ada bapaknya, mereka memiliki orang tua yang jelas. Bapaknya aja yang ga