Azzam keluar dari kamar, ia sudah berpakaian rapi dengan seragam dinas kerjanya. Rambutnya kelimis, aroma parfum menguar ketika ia melintasi Risa yang sedang menyapu lantai. Mereka tidak saling tegur sapa, tampak Azzam memakai masker dan helm.
“Heh! Ternyata masih punya rasa malu juga.” Batin Risa sambil terus menyapu, ia hanya menatap Azzam sekilas saja.
“Mana kunci motor?” tanyanya entah dengan siapa, Risa abai.
“Risa! Telingamu tuli? Mana kunci motormu, si-alan!” Teriak Azzam sambil berkacak pinggang menatap penuh amarah pada Risa.
“Kukira kau bertanya dengan tembok. Untuk apa kau minta kunci motorku, pakai saja motor king ku itu.” Jawab Risa melanjutkan pekerjaannya, tidak ingin menanggapi Azzam lebih lama lagi.
“Kau masih bertanya untuk apa? Aku harus seperti ini karena ulahmu. Berikan kunci motormu, cepat!” Azzam tiba-tiba saja sudah mencekal dengan keras lengan Risa.
“Ssh, ahh! Sakit. Lepaskan Zam, sepagi ini, kau sudah menyakitiku dua kali. Singkirkan tangan kotormu itu dari lenganku.” Tegas Risa sambil menepiskan dengan kasar tangan Azzam.
“Makanya cepat berikan kunci motornya, bren-gsek!” Umpat Azzam kini sikapnya agak kasar dan pemarah, jauh dari biasanya yang terlihat begitu perhatian pada Risa. Mau membantu pekerjaan rumah tanpa mengeluh. Itu sebabnya Risa tidak pernah bertanya tentang gaji yang hanya diberi seperempatnya saja dari jumlah gaji Azzam. Akan tetapi Azzam benar-benar tidak bersyukur telah memiliki Risa.
“Ayah! Kenapa sih, ayah sama nenek marah-marah melulu sama ibu. Kasihan ibu, ayah.” Teriak Azkira, wajahnya masih pucat, mungkin Azkira belum fit betul karena semalam demam. Azkira meraih tangan Risa lalu memeluknya.
“Jangan ikut campur urusan ayah dan ibu, kau masih kecil. Sebaiknya kau siap-siap berangkat ke sekolah.” Bentak Azzam sambil mencekal kembali lengan Risa dan menyeretnya menuju kamar mereka.
“Lepaskan, mas.” Sentak Risa berusaha melepaskan cekalan tangan Azzam yang kuat.
“Ayah, lepaskan ibu.” Teriak Azkira sambil mengejar kedua orang tuanya dengan perasaan berkecamuk. Melisa yang melihat itu segera berlari menuju depan, dimana pak Raharjo dan bu Hafsah berada.
“Akung, ayah menyakiti ibu lagi. Cepat kung, tolong ibu.” Seru Melisa diiringi dengan isakan tangis, ia menarik tangan pak Raharjo dengan keras. Sang kakek dengan cepat mengambil tindakan, beranjak bangkit mengikuti langkah Melisa.
“Azzam, apa yang akan kau lakukan? Lepaskan Risa!” Bentak pak Raharjo dan segera menarik putranya, apalagi ketika melihat Azkira yang menarik tangan Risa. Itu semakin membuatnya panik, pak Harjo mendorong tubuh Azzam agak menjauh dari Risa dan Azkira.
“Apaan sih, pak. Aku hanya minta kunci motor dengannya, tapi Risa ini batu.” Tukas Azzam sambil menunjuk Risa.
“Anak sama ibu sama aja, suka memfitnah.” Lirih bu Hafsah sepertinya di dalam otaknya kini sudah dipenuhi dengan sesuatu yang tidak benar dari ucapan Azzam. Sehingga bu Hafsah tidak dapat melihat kebenaran. Padahal selama ini bu Hafsah tidak seperti itu, walaupun sering mengomel, dia tetap saja membantu dan mengurus Risa ketika sakit. Tetapi, akhir-akhir ini entah setan mana yang merasuki bu Hafsah sehingga tampak membenci Risa.
Klunting!
Risa melemparkan kunci motor matic yang biasa ia pakai ke arah Azzam, dan terjatuh di lantai. Setelah itu ia segera menarik tangan kedua putrinya, ia begitu kalut ketika pertengkarannya dengan Azzam disaksikan kedua putrinya. Sementara Risa hingga setua ini tidak pernah melihat ayah dan ibunya bertengkar, itu sebabnya dia merasa begitu sedih.
Brak!
Risa menutup pintu dengan kasar, lalu terdengar dari dalam sana anak kunci yang diputar beberapa kali.
“Perempuan sinting, bau keringat. Seperti ini kelakuanmu, macam mana aku akan betah di rumah.” Ucap Azzam sambil menempelkan kepalanya ke daun pintu, kini sifat aslinya terlihat setelah 10 tahun pernikahan mereka.
“Azzam, kau tidak boleh bicara seperti itu. Lagian, semua ini juga salahmu, jangan memutar balikkan fakta,” tegur pak Harjo karena melihat Azzam bersikap agak kelewatan.
“Salah Azzam bagaimana sih, pak. Jelas-jelas ini semua ulah Risa yang sudah membuang kotoran ke wajah kita, sadar, pak.” Sangkal ibu Hafsah menunjuk wajahnya sendiri, ia tampak tidak terima dengan ucapan suaminya.
“Kamu yang seharusnya sadar, bu. Buka mata kamu, Azzam yang melakukan dosa, dan Risa hanya korban. Kenapa ibu malah menyalahkan Risa.” Sahut pak Harjo meninggalkan bu Hafsah.
“Heh! Apa yang sudah di ucapkan sama perempuan itu, kenapa bapak sampai berpihak padanya. Ya sudah bu, aku mau berangkat kerja dulu, nanti terlambat.” Timpal Azzam ngeloyor pergi begitu saja. Bu Hafsah juga mengikuti langkah Azzam hingga ke depan. Tampak Azzam dan pak Harjo sudah menyalakan motornya.
“Bapak mau kemana?” tanyanya.
“Ya kerja lah, mau kemana lagi.” Jawab pak Harjo ketus lalu melajukan motornya perlahan.
“Pak, libur saja. Nanti bapak bisa-bisa dihujat di tempat kerja, kau juga Zam, lebih baik libur saja daripada malu,” teriak bu Hafsah, akan tetapi pak Harjo abai, ia tetap melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Azzam sempat berpikir sejenak dengan ucapan bu Hafsah barusan tentang dihujat. Akan tetapi ia menepis semua bayangan buruk tersebut.
“Mereka semua mempercayaiku, mana mungkin langsung percaya dengan video berdurasi 20 detik itu.” Sangkalnya sambil melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
***
[Heh perempuan dekil penampilan kayak babu. Aku bisa saja menuntutmu karena sudah menyebarkan video itu tanpa seizinku. Aku akan melaporkan kamu dengan tuntutan pencemaran nama baik.]
[Pantas saja mas Azzam lebih memilihku, ternyata kau seperti itu. Kucel, dekil persis kayak babu. Dan satu lagi, ternyata kamu bod-oh.]
[Ingat ya babu, aku tidak akan tinggal diam jika kau berusaha memisahkan suamiku dari anak-anaknya. Kau akan tahu akibatnya, dan tentang rumah itu, anak laki-laki mas Azzam lebih berhak daripada kedua anakmu itu, paham?!]
[Aku tidak akan mundur. Mas Azzam milikku, paham?!]
Risa mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari nomor tidak dikenal. Dan Risa juga sangat yakin jika itu nomor Imas, gundiknya Azzam.
“Gundiknya Azzam urat malunya benar-benar sudah putus. Kau jual, aku akan beli, lihat saja nanti.” Gumam Risa sambil membuka lemarinya, ia mengeluarkan berkas-berkas penting yang dia butuhkan nanti saat menggugat cerai Azzam. Ya, Risa sepertinya akan menggugat cerai Azzam setelah melihat sikap Azzam pagi tadi, itu semakin membuat Risa menetapkan keputusannya.
“Risa! Ris!” Panggil bu Hafsah dari luar sana dengan suara lantang. Risa yang ada di dalam dengan malas beranjak bangkit, sebelum keluar, ia menyimpan terlebih dahulu berkas-berkas penting itu, terutama surat-surat motor dan perhiasan.
“Ada apa sih, bu?” tanyanya setelah membuka pintu agak kesal.
“Semua ini karena ulahmu, ini, belikan ibu ayam dan sayuran lainnya. Mau di letak mana muka ibu karena ulahmu itu, bikin malu saja.” Ucap bu Hafsah sembari meraih tangan Risa, ia meletakkan selembar uang berwarna merah di sana.
“Kenapa ibu masih terus menyalahkan aku, jelas-jelas yang membuat malu ibu itu mas Azzam, bukan aku.” Sangkal Risa tidak terima.
“Terserah, intinya, kalau semua ulahmu ini berdampak buruk pada Azzam. Saya tidak akan tinggal diam.” Ucap bu Hafsah melotot ke arah Risa.
“Terserah ibu, emang ibu pikir aku takut. Jika terjadi sesuatu pada mas Azzam, itu semua karena kelakuan dia yang mur-ahan. Bukan karena aku. Aku merekam semua kebusukan mas Azzam hanya untuk bukti saja agar bapak dan ibu percaya kalau mas Azzam itu tidak sebaik yang ibu duga selama ini.” Jawab Risa sambil berbalik dan meninggalkan bu Hafsah, sebelum ibu mertuanya tersebut menjawab. Risa memilih pergi belanja ke warung mpok Lela yang ada di ujung gang.Sedangkan Bu Hafsah memilih masuk ke dalam kamar Melisa dan Azkira, ia bermain ponsel disana, ingin mencari lebih lanjut berita tentang video Azzam yang tersebar. Namun ia merasa kesal karena grup RT kini sudah penuh dengan pesan, ia yakin jika semua penghuni grup saat ini[Bu Hafsah, apa benar itu video Azzam suaminya Risa?][Astaga, gondal gandul kayak pepaya.][Gondal gandul apanya sih, mpok. Wong tegak kayak tiang listrik begitu, gelap euy. Pantes saja Risa sampe kurus begitu,] ledek yang lainnya mengomentari Azzam dalam video terse
Hari ini Azzam benar-benar tidak bisa berkutik sama sekali di kantor karena merasa malu sekali, setelah kepergian Zaki, dia hanya meminta pada Putri agar membawakan berkas warga yang akan mengurus kartu keluarga ataupun kartu penduduk.“Untung saja pak Masrial hari ini tidak masuk, kalau tidak, bisa berabe urusannya.” Gerutu Azzam sambil mengenakan helmnya, ia juga sengaja keluar kantor ketika rekan-rekannya sudah keluar terlebih dahulu.[Mas, kamu dimana sih? Kenapa siang tadi gak datang, padahal aku sudah masak banyak loh.] Baru saja Azzam akan menyalakan motor matic milik Risa, tiba-tiba saja ponselnya berdenting tanda pesan masuk dari Imas.[Aku malu untuk keluar kantor,] balas Azzam cepat.[Loh kenapa? Istri dekil bin kumal itu menemuimu di kantor? Benar-benar tidak tahu diri sekali,] balas Imas dengan cepat dan mengejek Risa yang notabene mereka tidak saling mengenal.[Bukan. Kau belum melihat video kita saat digerebek tersebar?] tanya Azzam sambil menoleh ke kanan dan kiri, ia
Hafsah hanya menghela nafas panjang. Sekilas bayangan masa lalu antara dirinya dan Raharjo kembali berputar dalam memorinya yang masih ia simpan hingga tujuh turunan dan tanjakan. Hafsah tidak akan pernah lupa itu. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh hebat, kepalanya terasa berdenyut.“Tapi ini memang kesalahan Risa, karena dia tidak bisa menjaga badan untuk menyenangkan Azzam. Berbeda denganku dulu, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik pada mas Harjo, tapi dia masih saja kecantol si Tuti jal-ang itu.” Gumamnya mensugesti diri sendiri dan tetap saja menyalahkan Clarissa dalam kasus rumah tangga putranya tersebut.Nuri kini sudah berada di rumah Risa. Ia menatap iba pada sang kakak ipar yang tampak menatap kosong pada benda pipih di depannya sana yang menayangkan siaran kartun kesukaan Melisa dan Azkira.“Coba hibur mbakmu, kasihan dia. Melamun gitu, bahkan dia tidak lagi bersemangat untuk jualan.” Bisik pak Harjo pada Nuri, ia merasa iba pada menantunya
Imas menatap sengit ke arah Azzam yang begitu mudah mengingkari janji-janjinya selama ini. Padahal selama ini Azzam telah berjanji akan menikahi dan menghidupi semua anak-anaknya termasuk kedua putrinya bersama suaminya yang dulu.“Kau memang terlalu egois, mas. Baru juga seminggu yang lalu kau mengatakan akan segera menikahiku dan menafkahi anak-anakku.” Tukas Imas dengan nada penuh dengan penekanan, ia kembali menyeka airmatanya, bibirnya bergetar. Ia mengira jika Azzam benar-benar mencintainya selama ini, ternyata ia salah.“Andai saja mas Andre tidak masuk penjara. Aku juga tidak akan mengemis padamu, Azzam.” Batin Imas dengan dada bergemuruh hebat menahan amarah yang sudah membludak.“Tapi kedua putrimu itu bukan urusanku, Imas. Jika kau bilang Azka putraku, oke. Aku akan menafkahinya. Dan yang perlu kau ingat, aku tidak akan pernah melepaskan Risa.” Sahut Azzam begitu menohok dan menyakitkan.“Hem, kau tidak mau melepaskan Risa. Tapi kau berulah, sekarang bukan waktunya berdebat
Risa segera membereskan semua barang dagangannya, mencoba menghindari tatapan penuh intimidasi dari Atikah.“Kau yakin tidak mau cerita sama aku?” tanya Atikah, pertanyaan ini sudah yang ke 20 kali Atikah lontarkan sejak kedatangan Risa kemari.“Tidak, Tik. Ada anak-anak, tidak enak. Aku tidak mau mereka ikut mikir masalah orang tuanya.” Jawab Risa menolak untuk curhat di tempat yang tidak tepat seperti ini.“Apa kau butuh bantuan untuk melabrak perempuan jal-ang itu?” tanya Atikah lagi. Risa tersenyum ketika melihat ekspresi wajah sahabatnya itu.“Aku tidak ingin mengotori tanganku, biarkan saja hukuman berjalan seiring waktu. Allah gak tidur, Tik. Lagian hidupku tidak harus berhenti hanya karena mas Azzam berbagi hati.” Jawab Risa masih tenang, sambil terus mengemas barang-barangnya, taksi online sudah menunggu.“Lagian untuk apa juga mempermalukan diri sendiri, mbak. Tetaplah menjadi wanita elegan dan mahal meskipun tersakiti.” Timpal Nuri sambil mengangkat kompor dan tabung gas da
Pak Masrial mendelik ketika mendengar ucapan Azzam barusan, ia beranjak bangkit dari duduk.Braakk!Pak Masrial menggebrak mejanya, tatapan bengis ia tujukan pada Azzam saat ini yang sangat lancang sekali. Tentu saja Azzam terkejut akan reaksi atasannya tersebut. Pak Masrial lalu melangkah mendekati bawahannya itu dengan rahang yang mengeras, gigi bergemeletuk, amarah yang sudah menggelegak di ubun-ubun.“Kau mengancam saya? Kau pikir saya takut, silahkan saja kau katakan kebohongan apapun pada istri saya. Saya tidak akan pernah takut.” Tegas pak Masri dengan lantang, untung saja ruangannya kedap suara. Jika tidak, mungkin pertengkaran mereka akan didengar rekan-rekannya yang lain. Pak Masri mencengkram dengan kuat rahang Azzam.“Ini kesalahan kamu sendiri, jangan mencari kesalahan orang lain. Pemecatan ini juga dari pusat dan telah diambil dari voting rekan-rekan yang lain. Lagian siapa yang mau mempekerjakan pria samp-ah sepertimu.” Sambungnya melontarkan kalimat yang sangat menohok
Azzam menjambak rambutnya dengan kasar. Ia bingung, ia mengira memiliki istri dua itu akan mudah, nyatanya hidupnya justru semakin rumit.“Arghk! Kau ini kenapa susah banget di atur sih? Jika kau berada di posisi Risa, apa mau tinggal satu rumah dengan madumu?” tanya Azzam geram, ia menatap sengit ke arah Imas yang terlalu banyak minta.“Ya, kalau penghasilan kamu tetap 60 persen sama aku, ya gak masalah sih. Aku biasa saja,” jawab Imas dengan ekspresi kurang ikhlas.“Lagian, pertanyaan kamu itu aneh, mas. Mbak Risa kan sudah tahu tentang aku, mungkin dia akan terima lah.” Sambung Imas sambil terus duduk di dalam mobil yang siap akan berangkat dengan tatapan sinis ke arah Azzam. Namun sang supir belum tahu kemana arah tujuan mereka.“Kalau begitu aku akan mencari perempuan lagi, dan akan tinggal bersama dengan kalian, bagaimana?” Ancam Azzam.“Sudah deh mas, jangan terlalu banyak bicara, sekarang kita berangkat yuk.” Ajak Imas mulai kesal dengan Azzam, karena Azka juga sudah mulai rew
“Apa maksud ibu? Sudah jelas-jelas semua ini kesalahan Azzam dan Imas. Kenapa Risa yang harus mempertanggungjawabkan semua ini? Jangan tutup mata, bu.” Pak Harjo menatap lekat ke arah sang istri yang sepertinya sudah gelap mata.“Bapak yang seharusnya buka mata, lihat, karir Azzam hancur karena ulah siapa? Ulah Risa, pak. Ibu juga pernah berada di posisi Risa, tapi ibu gak pernah mempermalukan bapak, cukup kita saja yang tahu. Tapi Risa, apa yang dia lakukan, bukan hanya Azzam yang malu, tapi ibu, bapak dan semua keluarga kita.” Seru Hafsah dengan lantang, ia sampai berdiri menatap nyalang ke arah Harjo.“Jangan kait-kaitkan masalah Azzam dengan masalah kita, bu. Beda.” Jawab pak Harjo masih dengan nada rendah.“Sudah deh, pak. Apa sih untungnya bela Risa mulu, atau jangan-jangan bapak dengan Risa ada…” Ucap Azzam menatap penuh selidik dan curiga, karena pak Harjo selalu saja membela Risa selama ini.“Apa?! Jangan kau pikir bapak segila itu. Bapak dan Tuti dulu tidak memiliki hubungan
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen
Imas menggenggam ponselnya dengan kuat, menatap nyalang ke arah Risa yang terlibat obrolan dengan pak RT dan beberapa warga yang sibuk menyiapkan tenda dan membentangkan tikar agar para warga yang melayat ada tempat duduk ketika membacakan surat yasin nantinya. Risa terlihat anggun dengan gamis berwarna gelap dan wajah yang tanpa riasan, sesekali ia meringis karena menahan rasa sakit pada perutnya. Dan ada warga yang menyadari hal itu."Mbak Risa sedang sakit?" tanyanya, Risa hanya mengulas senyum terpaksa sambil menahan rasa sakit, perutnya terasa kaku karena terlalu lama berdiri. Sementara Melisa dan Azkira sudah ada di dalam rumah Hafsah, mereka sudah terlelap, karena hari memang sudah malam."Ya, Risa baru saja mendapatkan musibah. Perutnya di tusuk seseorang ketika dia pulang kerja. Dan harus mendapatkan beberapa jahitan." Sahut Atikah sambil merangkul tubuh Risa."Astaga!""Ya Allah, untung baik-baik saja, mbak.""Ya sudah, istirahat di dalam saja, mbak. Sampe pucet begitu." Usu
“Ada apa ini, kenapa ibu dan Imas terus saja berkelahi setiap hari, memangnya kalian berdua ini tidak bisa akur sehari saja?” tanya pak Harjo sambil memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan, lalu pak Harjo memegangi bagian dada kirinya yang terasa nyeri sekali.“Aku juga tidak habis pikir dengan ibu, apa bedanya Imas dengan Risa. Mereka sama-sama menantu ibu dan melahirkan cucu-cucu ibu. Seharusnya sikap ibu tidak bisa jomplang seperti ini dong, bahkan ibu dulu sangat peduli dengan Melisa dan Azkira, lalu kenapa ibu tidak bisa bersikap sama kepada Azka?” Azzam mulai terpancing emosi atas sikap Hafsah akhir-akhir ini.“Kau lupa, kalau Melisa dan Azkira bukan anak hasil curian. Lagian yakin sekali jika anak itu darah dagingmu, anaknya yang lain saja bapaknya gak jelas. Kau terlalu bodoh dan naif, Zam.” Sahut Hafsah sangat menohok sekali yang membuat amarah Imas semakin membludak.“Jangan fitnah, bu. Ita dan Lina ada bapaknya, mereka memiliki orang tua yang jelas. Bapaknya aja yang ga