Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih.
***
Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu.
Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik.
Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau.
Para wanita sebagian menyapu halaman dan sebagian lagi berkumpul untuk berbagi cerita yang isinya keluhan-keluhan yang kemudian satu sama lain menyama-nyamakan atau bahkan melebih-lebihkan deritanya menjadi yang paling menderita.
Prianya? Sebagian masih di sawah, santai sejenak dan bersama yang lain menikmati rokok klobot—rokok kretek yang dibungkus kulit jagung. Sebagian lagi, merapikan rumput yang sudah dibabat, untuk dibawa pulang sebagai pakan ternak.
Kota yang benar-benar kecil, tak ada garis pantai dan hanya dilindungi pegunungan. Semua rahasia, tidak akan bisa keluar, yang pergi pasti kembali. Mungkin pun, yang dikata mati sebenarnya tak pernah benar-benar mati. Hanya tidur panjang untuk bangkit kemudian.
Selambat apa pun Mala mengendarai mobilnya, ia tak akan bisa mengulur waktu lebih lama. Akhirnya, Mala harus berhenti juga di depan pagar rumahnya. Ia masih butuh waktu. Ia belum siap, tetapi ia harus.
Setelah membulatkan tekad, Mala turun dari mobilnya dan perlahan menggeser gerbang besi yang sudah berkarat di beberapa bagian. Rumahnya terlihat kuno dan mungil dari depan. Ini karena halaman yang luas juga dilindungi dua pohon mangga di sisi kanan dan satu pohon trembesi yang sudah sangat tua usianya. Selebihnya hanya tanaman-tanaman kecil.
"Mbak Mala! Gusti! Akhirnya datang juga." Seorang wanita paruh baya, muncul di hadapan Mala dari arah belakang Mala. Tanpa sungkan ia memeluk Mala, kerinduannya diluapkan dengan air mata.
Mala tersenyum lebar. Hanya kepada wanita tersebut, Mala merasa pulang. "Bu Lis." Mala merangkul wanita yang sudah menjadi emban-nya sejak ia masih merah.
"Bu Lis abis dari mana?" Mala menoleh ke arah gerbang yang sudah ditutup; terlalu melamun hingga Mala tak mendengar bergesernya gerbang.
"Ini." Bu Lis menunjukkan kantong plastik hitam. Aroma bunga sedap malam menyergap indra penciuman Mala.
Mala mengernyit dalam. Ibunya tak suka aroma bunga menyengat seperti melati dan ini malah sedap malam. "Ini permintaan Mama?" tanya Mala heran
"Bukan. Ini Mbak Ratna yang minta."
"Mbak?" tanya Mala heran. Harusnya Bu Lis memanggil Ratna dengan sapaan Bu atau Ibu.
"Beliau yang minta dipanggil 'Mbak'," jawab Bu Lis dengan nada suara mengambang. Seolah dirinya pun juga merasa aneh, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena diminta seperti itu.
"Ayo, masuk. Tak siapkan telur dadar pedas sama sambal terasi. Piye?" Senyum menggoda menghias wajah bundar Bu Lis dan seketika Mala ingat, perutnya belum diisi nasi sejak kemarin malam.
Tawaran Bu Lis sangat menggoda. Biar bagaimana, tubuhnya butuh asupan gizi agar tetap hidup. Keduanya kemudian masuk melalui pintu samping dan langsung menuju ke belakang rumah. Ada pakaian terjemur di dekat sumur cucian. Pakaian anak perempuan.
Apakah tante Ratna membawa anak perempuan? tanya Mala dalam hati.
Di dapur, Bu Lis segera mengisi vas kuningan dengan air dan memasukkan tiga tangkai bunga sedap malam.
"Kayak gak pernah lihat vas itu," gumam Mala.
"Ini dibawa Mbak Ratna."
"Tante Ratna ke mana-mana bawa vas? Aneh."
"Banyak yang aneh." Bu Lis tercenung dan menggumam, "Menakutkan."
"Apa?"
Tak ada jawaban. Bu Lis malah larut dalam lamunan sembari tetap menatap bunga sedap malam. Jemarinya terlihat memainkan kuncup-kuncup sedap malam. Sekilas biasa, tetapi kemudian Mala melihat ada getar halus di tiap jemari Bu Lis.
"Ada apa, Bu Lis?"
"Orang mati harus selau dikirim doa," jawab lirih Bu Lis.
"Ya. Memangnya Bu Lis lupa kirim doa?"
Bu Lis masuk ke keluarga Mala dalam keadaan berduka. Untuk ketiga kalinya, ia kehilangan janin dalam kandungan. Bukan karena Bu Lis lemah, juga bukan karena asupan gizi kurang walaupun Bu Lis dari keluarga petani. Melainkan karena siksaan fisik dan batin dari sang suami yang pemarah, tukang mabuk dan penjudi.
Bu Lis selalu memberi nama atas setiap janinnya yang gugur dan juga selalu mengirim mereka doa di setiap Kamis malam Jumat. Katanya, "Biar rohnya tenang. Kan meninggalnya tersiksa."
"Bu Lis...." Mala menyentuh pelan lengan Bu Lis. Namun, reaksinya mengejutkan Mala.
Tubuh Bu Lis sedikit melentik ke belakang, wajahnya pucat, mulutnya komat-kamit sembari salah satu tangannya mengelus dada. Sesuatu seperti baru saja terjadi dan ia merasa lega karena dikejutkan Mala.
"Duh, Mbak Mala. Untung...." Bu Lis mengelus-elus dadanya.
"Untung apa?" Melihat reaksi Bu Lis saja, Mala bingung, tak bisa memahami setiap kata Bu Lis yang seolah mengambang tidak jelas.
"Eh..., ndak apa-apa. Ndak ada apa-apa." Bu Lis mengangkat vas kuningan dengan tangan yang terlihat masih gemetar.
Mala mengernyit. Ada yang salah dengan Bu Lis-nya, tapi Mala tidak tahu apa itu.
"Ada apa sih, Bu Lis?" desak Mala.
"Ndak ada apa-apa, Mbak."
"Berarti ada apa-apa."
Bu Lis menghela napas. Percuma berkelit jika Mala sudah menuntut. Kemudian Bu Lis duduk di atas amben dan memangku vas kuningannya. "Ada yang salah."
"Apanya yang salah?"
"Semuanya...." Bu Lis menunduk, menatap lekat tiga tangkai bunga sedap malam yang masih kuncup. "Akhir-akhir ini, anak-anakku datang."
"Anak-anak...?" Perasaan Mala menjadi tidak nyaman.
"Mereka terus menangis. Suaranya melengking bersamaan. Kayaknya dekat. Tangisannya kayak menuntut. Meminta aku datang. Meminta aku ikut...." Hening. Sebulir air mata jatuh mengenai salah satu kuncup sedap malam.
Antara benar dan tidak benar, di bagian kuncup itu, perlahan sedap malam membuka kelopaknya. Hanya di bagian yang terkena air mata. Mala melotot. Kepalanya tak bisa mencerna apa yang sedang dilihatnya.
"Mati."
"Ha?" Mala menatap Bu Lis seperti orang linglung. Fokusnya terpecah. "Apa mati? Siapa mati?"
Bu Lis buru-buru memperbaiki tiga tangkai sedap malam yang sebenarnya tidak perlu; seperti pengalihan saja. "Kata orang..., sedap malam ini makanannya orang mati."
"Maksudnya?"
"Ya, wes gitu. Udah-udah, aku mau antar bunga ini dulu. Mbak Mala ndak mandi?"
Mala mengambil vas kuningan dari tangan Bu Lis. "Aku aja yang bawa masuk. Bu Lis, tolong ambilkan barang-barangku di mobil. Ini kuncinya." Mala merogoh saku celana dan menyerahkan kunci mobil.
Bu Lis diam, keningnya berkerut. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tetapi ia ragu. Sedikitnya ia bersyukur Mala mengambil alih meletakkan vas itu. Ada keengganan setiap kali ia harus masuk kamar Ratna.
Sontak Bu Lis teringat sesuatu. "Vasnya diantar ke kamar Mbak Ratna!" seru Bu Lis dan Mala hanya mengangguk saja.
Kembali mulut Bu Lis terbuka. Ada yang ingin diucapkannya lagi, tapi kata-kata itu tergulung masuk dan tak jadi tersampaikan.
***
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge