Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.
Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.
Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.
Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.
Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh yang menyelusup masuk dengan penuh kelegaan. Akhirnya ia bisa bernapas dan paru-parunya mendapat kesegaran.
Mala menoleh ke kamar Ratna. Pelan-pelan ia mendekat. Ada rasa penasaran akan keadaan si tante yang aneh. Mala ingin tahu apakah tantenya itu tidur dengan sangat nyenyak setelah memberikan teror ataukah justru baru saja tidur.
Di depan kamar Ratna, Mala merasakan tubuhnya menggigil. Ia mengabaikan dengan menganggap bahwa udara yang terlalu dinginlah yang membuatnya menggigil. Apalagi kota kecilnya berada di kaki gunung, yang pastinya saat begini subuh, udaranya seperti di kulkas.
Namun, lama-lama terasa sangat berbeda. Udara yang dingin itu seolah menekan dadanya dan itu membuat Mala merasa kesulitan bernapas. Dari pada pusing sendiri setelah semalaman susah tidur, Mala memutuskan untuk ke kamar kecil, berganti pakaian dan olahraga.
"Mbak Mala sudah bangun?" tegur Bu Lis yang muncul dari belakang dan hendak masuk ke dalam rumah.
Mala yang baru keluar dari kamar mandi, sempat menjingkat dan mendelik pada Bu Lis yang justru terkekeh kecil. "Bikin kaget aja."
"Saya juga kaget, hehehe.... Kok, sudah bangun?" tanya Bu Lis.
"Mau lari pagi, Bu Lis."
"Mau dibuatkan teh hangat dulu?"
"Bolehlah. Langsung antar ke kamar ya."
Bu Lis seketika terdiam bingung. Ia lupa di mana kamar nona mudanya. Mala yang merasa kalau Bu Lis bingung, menghentikan langkah dan menoleh dengan senyum geli.
"Kamar Kakek."
"Oh iya. Aduh!" Bu Lis menepuk keningnya sendiri dengan gemsa dan berlalu ke belakang untuk membuatkan teh manis hangat. Sedangkan Mala melanjutkan langkah menuju kekamar kakeknya.
***
Seperti layaknya seorang yang jarang pulang, setiap berpapasan dengan orang, Mala disapa dan diajak biacara ini dan itu. Di setiap momen begini, Mala menjadi kucing lucu yang ramah. Ia banyak tersenyum, menjawab dengan baik, dan menunjukkan kepedulian dengan menanyakan keadaan si penanya. Setelah berhasil melepaskan diri dari dialog, Mala akan bernapas lega dan berharap tak dihentikan untuk diajak bicara. Baginya yang canggung, disapa senyum saja sudah cukup.
Sampai kemudian ia sampai di suatu tempat yang beberapa orangnya mulai tak peduli padanya. Beberapa bahkan melewati dirinya dengan tergesa. Mala merasa ada yang aneh dan mulai penasaran. Orang-orang berjalan seolah punya tujuan yang sama dan Mala mengikuti.
Sampai Mala pada keramaian. Bukan pasar. Ada beberapa mobil polisi dan ada salah satu rumah yang menjadi pusat ramai.
"Katanya ada yang ketok-ketok pintu. Tapi satu rumah gak ada yang dengar." Seorang wanita berumur di dekat Mala bicara pada seorang di sebelahnya.
"Kok, tau mereka kalau ada yang ketok pintu? Kan gak ada yang dengar." Tanya seorang ibu-ibu lainnya. Pertanyaan yang mewakili keingintahuan Mala juga.
"Katanya sudah bangunin cucunya, disuruh dengerin juga. Tapi, cucunya gak dengar apa-apa," jelas perempuan pertama.
"Trus, Alhmarhum buka sendiri?"
"Iya. Tapi katanya gak ada siapa-siapa. Itu Almarhum kata cucunya sampai ngedumel kesel."
"Hiii..., bener-bener pagebluk ini namanya."
Yang lain mulai mengangguk-angguk dengan mimik wajah ngeri. Mulai lebih berbisik-bisik. Mala diam saja dengan tetap mencoba menangkap setiap percakapan. Matanya terus melihat ke arah rumah, sampai kemudian ia bisa melihat sosok yang ia pikirkan semalam; Arman.
Wajah lelaki itu terlihat serius saat bicara dengan dua orang lainnya. Sesekali tangannya menggaruk-garuk pangkal hidungnya dan memencet bagian cupangnya dengan kening yang berkerut dalam. Sesekali juga ia mengedarkan pandangan dengan tatapan serius saat seorang rekannya bicara.
Jantung Mala berdegup terus-menerus. Ia tak peduli lagi dengan kasus yang berada di sekitar rumah itu. Ia lebih peduli akan sosok Arman yang terlihat sangat tampan dan seksi meski wajahnya begitu kusut.
Akhirnya sebuah tandu dengan jenazah yang sudah dibungkus kantong bertuliskan 'POLISI' keluar dari rumah. Suara histeris dan jeritan dari keluarga dan kerabat, menambah pilu suasana sekitar. Setelah ambulan pembawa jenazah pergi, beberapa polisi langsung membubarkan kerumunan.
Mala memilih tetap di tempat menunggu Arman. Mala sedikit bingung pada diri sendiri kenapa juga harus diam di tempat. Namun, ada sebagian dari dirinya yang tak melulu tentang Arman, melainkan rasa penasaran akan apa yang terjadi. Mendengar langsung dari yang berkompeten tentu lebih baik ketimbang desas-desus sekitar.
Arman mengangguk-angguk dan kembali melihat sekitar. Ia tertegun saat pandangannya beradu dengan Mala yang menatapnya diam. Arman meyakinkan diri jikalau tatapan Mala memang tertuju padanya. Setelah yakin, Arman menyudahi percakapannya dengan sang rekan sembari mengingatkan sang rekan membuat laporan dan diskusi akan dilanjutkan di rumah sakit dengan tim ahli forensik.
Mala terpaku dengan deru di dada saat Arman menatapnya. Ia tak berkutik begitu juga kepalanya. Itu membuat tatapannya tak beralih dari Arman. Ia terus menatap Arman dengan pikiran yang tidak jelas. Semakin blingsatan saat Arman mendekat sembari tersenyum. Mala merasa ini tidak benar. Ia justru terlihat begitu menunggu Arman. Ini memalukan dan Mala merasa merendahkan diri sendiri menunggui seorang pria.
"Hai. Dari tadi?" tanya Arman dengan senyum khasnya yang selalu menampilkan gigi yang rapi.
"Gak juga," jawab dingin Mala. Sekuatnya ia menguasai diri agar tak terlihat kikuk.
"Habis olahraga?"
"Begitulah."
"Jalan atau lari?"
Mala mengernyit sedangkan Arman makin tersenyum lebar.
"Olahragamu, jalan pagi atau lari pagi?" tanya Arman kalem.
"Jalan dan lari. Dua-duanya."
"Wah, enak, ya. Pagi-pagi bisa olahraga. Sedangkan saya...." Arman mengarahkan pandangannya pada rumah yang di dalamnya baru saja terjadi kematian yang aneh. "Kasus."
"Resikomu." Mala dalam hati terkejut akan sikap ketusnya. Ia kesal pada diri sendiri yang menjawab sengit padahal Arman sudah berlaku baik. Sepertinya rasa malu dan pemikiran kalau dirinya menunggui Arman, membuat dirinya salah tingkah sendiri.
Arman sendiri lama-lama juga heran dengan sikap Mala. Meskipun sebenarnya gaya Mala yang ketus sudah dikenalnya sejak jaman sekolah, namun tetap saja Arman heran.
"Oke. Kamu mau melanjutkan olahragamu?" tanya Arman.
Pertanyaan sederhana yang disalahartikan Mala. Ia merasa Arman sedang mengusirnya dengan halus. Lagi pula orang-orang mulai membubarkan diri. Beberapa orang menyapa Arman dan berpamitan.
"Entah. Saya mau pulang saja. Silahkan dilanjut." Mala tak ingin menunggu respon Arman. Ia bergegas berbalik.
Saat itulah ia melihat bayangan Ratna berdiri anteng di bawah pohon pinggir jalan. Senyumnya tipis dan samar, tetapi masih bisa dilihat Mala. Mala benar-benar terkejut dengan adanya Ratna. Ia bertanya-tanya apakah Ratna mengikutinya. Jika iya, buat apa. Jika tidak, sejak kapan Ratna berada di situ dan sedang apa pagi-pagi begini dengan pakaian terusannya. Bukan pakaian olahraga.
"Kenapa?"
Pertanyaan lembut Arman membuat Mala menjingkat dan menoleh. A terkesiap dan mundur selangkah karena ternyata dirinya dan Arman begitu dekat.
"Eh, sorry, kaget, ya? Padahal saya sudah berusaha pelan nanyanya."
Mala memilih diam saja dan kembali mengarahkan pandangannya ke pohon tempat Ratna berdiri. Betapa terkejutnya Mala karena sosok Ratna sudah menghilang. Mala celingak-celinguk mencari bekas sosok Ratna. Ia bingung akan cepatnya sosok Ratna menghilang.
"Kok, gak ada?" Suara Arman terdengar keheranan dan ia juga celingukan membuat Mala makin heran.
"Siapa?" tanya Mala hati-hati.
"Anak perempuan tadi."
"Kamu lihat?" tanya Mala terkejut.
Sebagai polisi, tentu Arman peka akan sekitar. Ia melihat Mala yang bengong menatap ke arah pohon pinggir jalan. Di sana ia melihat sosok gadis kecil yang sepertinya akan remaja, berkepang dua, berdiri diam dengan senyum terarah pada Mala. Atman awalnya biasa saja, tetapi melihat ekspresi Mala dan kemudian kini cepatnya gadis itu menghilang, Arman jadi bertanya-tanya akan sosok si gadis kecil itu.
"Dia siapa? Kamu kenal?"
Kembali Mala diam tak menjawab. Ia dilema akan perlunya menjawab dan tidak.
"Ya." Mala menjawab sembari melanjutkan langkahnya. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Toh, ia sudah cukup jauh olahraga.
"Siapa?"
"Seseorang." Mala mempercepat langkahnya, bahkan ia seperti berlari kecil. Mala mengingatkan dirinya kalau Arman bertanya bukan sebagai seseorang melainkan sebagai polisi.
"Ya seseorang itu siapa?" desak Arman.
Mala menghentikan langkahnya dan berbalik. Kedua tangannya sengaja dilipat di dada sebagai bentuk superior untuk dirinya sendiri.
"Saya perlu ya, menjawab?" tanya Mala tanpe menyembunyikan kekesalannya.
"Perlu," jawab mantap Arman. "Orang bertanya itu ya harus dijawab."
"Tapi saya tak mau menjawab."
"Itu namanya tidak baik."
"Kok, tidak baik. Kan itu hak."
"Memang. Tapi, membuat orang penasaran itu tidak baik."
"Jadi guru sana." Mala melengos dan berlalu dengan berlari.
"Guru apa yang cocok buat saya?"
Mala mendelik tak percaya jika Arman ikut lari di sisinya.
"Kamu ngapain ikutan lari?" tanya Mala kesal dan ia menghentikan larinya.
"Kan olahraga."
"Kamu kan ada kasus."
"Biar aja menunggu. Lagi pula jenazahnya masih di otopsi."
"Kamu gak bawa kendaraan?"
"Bawa. Tapi tadi saya minta teman bawakan. Saya bilang kalau sama mau nostalgia."
Seketika wajah Mala terasa panas. Kata nostalgia terasa memalukan untuk didengar tetapi manis juga.
"Nostalgia gundulmu. Jauh-jauh. Saya mau pulang."
Mala kembali berlari dan Arman mengikuti di sisinya. Arman memutuskan tak mendesak Mala perihal si gadis kecil itu dan Arman cukup beruntung Mala tak banyak tanya perihal kasus yang tadi dilihat Mala.
***
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge