Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.
***
Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.
Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.
Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang.
"Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani bertanya dengan suara lirih. Kepalanya masih menunduk menatap jari-jemarinya yang saling beradu.
Mala mengangguk. Ia paham maksud pertanyaan ibunya. "Bagaimana bisa Tante Ratna masih seperti itu, Ma?"
Mala sudah menanyakan hal serupa pada Bu Lis, tetapi pemabntunya itu tidak menjawab. Bahkan diamnya seperti sedang melamun ketimbang memikirkan jawabannya. Ternyata, meski menanyakan hal yang sama pada orang berbeda, Mala mendapatkan reaksi yang sama saja, yaitu diam.
Gerakan gelisah jemari ibunya berhenti. Tubuh Aryani menegang dan Mala bisa merasakan jika ibunya akan memberikan suatu reaksi yang entah apa. Dalam sekejap ibunya sudah berbalik sedikit menghadap Mala.
Jika Aryani bukan ibunya, Mala yakin saat ini ia sudah menjerit. Penampilan ibunya yang kusut saja sudah cukup memberikan gambaran mengerikan, kini ibunya melotot dengan wajah yang sangat dekat dengan dirinya, tentunya gambaran sosok Aryani semakin bertambah mengerikannya.
"Ma...?" Mala bersuara dengan gugup. Ia tidak yakin ibunya meolotot karena terkejut ataukah karena ketakutan lagi.
"Kamu tidak boleh pergi lagi! Kamu harus ada di sini! Di rumah ini!" desis Aryani. Kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Mala dengan kuat hingga kuku-kukunya menancap pada kulit Mala, membuat gadis itu mengaduh lirih.
"I...iya, Ma. Saya..., tidak pergi." Mala meringis menahan sakitnya.
"Tidak boleh! Tidak boleh pergi barang sehari saja. Kamu janji! Janji!"
"Iya, Ma. Ma..., sakit...," keluh Mala yang merasakan jemari ibunya semakin kuat. Entah dari mana ibunya yang tadi terlihat lemah, kini justru seperti memiliki kekuatan lebih.
"Kamu adalah penjaga saya. Kamu harus jagain saya. Kamu gak boleh pergi! Gak boleh!" Aryani memekik dengan suara meninggi.
Tubuh Aryani maju semakin dekat, membuat wajahnya dengan wajah Mala hampir seperti tak berjarak. Aroma napas Aryani yang menyengat, menderu di depan wajah Mala, membuat perut gadis itu teraduk-aduk ingin muntah. Mata Aryani membulat lebar dengan warna serat-serat merah pada bagian putih mata Aryani.
"Kamu harus berjanji. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan saya dan rumah ini. Janji!" bentak Aryani yang diakhiri dengan teriakan keras.
Mala sempat tergagap, tetapi ia memilih cepat-cepat memberikan jawaban. "Iya, Ma. Iya. Saya janji tidak akan pergi dari rumah ini."
Seketika angin dingin melintas di antara keduanya. Menghentikan emosi Aryani yang memuncak dan kebingungan Mala. Keduanya bergidik. Mala dan Aryani saling tatap dan kemudian saling melihat ke sekeliling. Keduanya tidak hanya sekedar merasakan udara dingin, melainkan merasa seolah ada seseorang yang tiba-tiba ada.
Tak lama, terdengar tawa kecil. Hanya sekilas. Hanya seperti mengambang di udara. Justru itu yang menakutkan. Tawa itu terdengar seperti sedang mengejek ibu dan anak yang terlihat takut sekaligus bingung.
Seiring hilangnya suara tawa, udara dingin pun menguap. Tak ada lagi perasaan adanya seseorang di kamar itu. Mala sudah bisa mengatasi rasa takutnya. Iba melihat wajah ibunya, Mala mencoba melepaskan tangan ibunya yang mencengkeram lengannya kuat.
"Ma.... Tidak ada apa-apa, Ma." Mala dengan sayangnya membelai kedua pipi ibunya.
Tapi mata Aryani masih nyalang berputar-putar. Seolah masih mencari-cari sesuatu. "Kamu dengar?"
Mala diam, dilema untuk menjawab jujur atau tidak. "Sttt.... Sudah, Ma. Gak ada apa-apa."
Aryani menatap putrinya dengan kernyitan dalam. "Kamu gak dengar?"
"Enggak," dusta Mala. Ia tak ingin ibunya membahas hal aneh malam ini. Dirinya melakukan perjalanan delapan jam lebih, ia kurang tidur karena hal-hal aneh yang terjadi seharian, tubuh dan pikirannya sudah tak mau dibebani lagi. "Gak ada apa-apa, Ma."
"Tadi ... tadi ...."
"Sudah, Ma. Tidak ada apa-apa. Mama perlu istirahat."
Mala terus mencoba merayu ibunya untuk melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Mala. Dengan suara lembut, Mala juga terus-menerus mengucapkan janjinya untuk tidak pergi meninggalkan ibunya dan rumah ini. Meskipun itu bertentangan dengan hatinya.
Butuh waktu lama, tetapi berhasil juga. Aryani merebahkan tubuhnya. Dalam keadaan yang sudah tak takut lagi, gurat kelelahan tergaris di wajah Aryani yang mulai tirus. Mala meminta ibunya untuk memejamkan mata dan istirahat. Aryani mau, asalkan Mala tidur di sisinya.
Dengan sangat terpaksa Mala memenuhi keinginan ibunya. Meski hubungannya dengan Aryani tak pernah baik juga tak pernah dekat, tetapi keterpaksaan Mala bukan karena itu, melainkan aroma kamar yang tak sedap ditambah kebersihannya.
Mala bertekad untuk membersihkan kamar Aryani esok hari. Tak peduli jika ibunya menolak, berontak, dan kemudian marah besar. Bahkan kalau perlu, Mala akan memaksa Aryani mandi.
Tatapan Mala terarah pada langit-langit kamar Aryani. Ada banyak kejadian mengejutkan sejak kedatangannya dan sejak sebelum keputusannya pulang, Mala sudah memiliki pertanyaan yang kemudian bertambah sejak ia sampai di rumahnya. Semuanya sulit dinalar dan ia tak menemukan jawaban. Terutama perihal Ratna.
Mala adalah seorang yang tertutup di kota kelahirannya ini, ia tak memiliki kerabat dan juga tak memiliki teman apalagi sahabat. Mala seolah menjauhi semua. Mala tak punya alasan untuk itu, ia hanya tak ingin terlalu dekat dengan siapa pun, kecuali dengan Arman.
Teringat Arman, Mala menghela napas.
"Gagah juga ia jadi polisi. Siapa kekasihnya sekarang?" gumam lirih Mala.
"Kamulah."
Mala tersentak dan menoleh ke arah Aryani yang tidur dengan posisi miring menghadap dirinya. Mata Aryani tampak terpejam rapat. Salah satu tangannya ada di bawah pipi dan tangan satunya masih memegangi pergelangan tangan Mala.
"Ma? Mama belum tidur?"
"Dia menyukaimu."
Mala melihat bibir ibunya yang bicara dengan mata yang terpejam rapat. Mala tidak yakin jika ibunya maish tersadar tetapi juga tidak percaya ibunya bisa bicara dalam tidurnya. Apalagi yang ibunya ucapkan adalah apa yang ia pikirkan.
"Mama belum tidur?" tanya ulang Mala, berharap kali ini ada jawaban.
"Tapi...."
"Tapi apa, Ma?"
Hening. Ibunya tak bicara. Bahkan bibirnya terkatup rapat.
"Ma...?" Mala mengusap tangan ibunya yang masih memegang pergelangan tangan kanannya. Berharap dengan belaiannya, Aryani akan bicara lagi atau bahkan membuka matanya. "Mama tidur?"
Tak ada reaksi. Mala justru mendengar sesuatu. Suara dengkuran halus Aryani. Lagi-lagi, Mala tak mendapatkan jawaban apa-apa.
***
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge