Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.
Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.
Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.
Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung menawarkan diri untuk menjadi teman seperjalanan. Benar-benar berjalan karena Arman tidak diijinkan membawa sepeda. Bukan orang tua Arman tak mampu membelikan, melainkan karena saat liburan, Arman diserempet mobil dengan sepedanya.
Dan sejak itulah, Arman menjadi teman seperjalanan pergi dan pulang sekolah bagi Mala. Hanya saja, di tahun-tahun terakhir sekolah SMA, Arman merasa jika Mala sepertinya menjaga jarak. Arman tidak tahu kenapanya, karena Arman juga malu bertanya.
"Saya sudah sampai."
Arman yang tadi melihat-lihat rumah Mala dengan kerinduan akan masa lalu, menoleh dan tersenyum kalem. Ia sadar kalau ini adalah pengusiran halus. "Rumahmu masih sama."
"Ya. Saya akan masuk."
"Saya haus." Arman langsung menerobos masuk. Ia membuka gerbang dan berjalan santai menuju teras.
Seumur hidupnya mengenal Mala, ini adalah pertama kalinya Arman masuk sampai ke halaman dan ke teras rumah. Sejak dulu ia ingin tahu rasanya duduk-duduk di teras rumah Mala yang terlihat asri. Teras rumah yang dikelilingi semacam pagar tembok lagi, tetapi dengan tinggi di bawah pinggang. Cocok untuk duduk-duduk santai.
Arman tapi memilih duduk di kursi rotan. Bersandar dengan damai sembari memandangi wajah Mala yang mengkerut dan berjalan perlahan. Dengan santainya Arman melambaikan tangan, meminta Mala lebih dekat lagi. Agak kurang ajar karena itu adalah rumah Mala.
"Capek, ya?" tanya Arman lembut.
Mala makin cemberut. Ia bahkan menghentakkan kakinya saat menaiki anak tangga teras yang hanya ada lima anak tangga. Mala juga dengan sengaja menghempaskan diri saat duduk agar Arman merasa kalau ia tidak suka sekaligus menjawab pertanyaan Arman.
"Gak haus?"
Sebuah sindiran untuk Mala. Biar bagaimanapun, Arman sudah menjadi tamu dan keduanya habis berlari pagi sama-sama. Lari pagi yang tak diharapkan Mala karena sebenarnya ia ingin berlari menjauhi Arman.
"Saya haus." Arman mengelus lehernya dan dengan sengaja menelan air liurnya di hadapan Mala.
Mala menyentak tubuhnya berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Tepat memasuki ruang tengah, Mala melihat Bu Lis keluar dari kamat ibunya.
"Mama 'dah bangun?" tanya Mala setengah berbisik.
"Belum. Tidurnya tumben nyenyang banget." Bu Lis tersenyum. Terlihat kelegaan di wajahnya. Mala menduga hari-hari Bu Lis pasti melelahkan dengan keadaan ibunya yang selalu ketakutan.
"Semalam kan saya nemani Mama tidur."
Bu Lis mendelik. "Mbak Mala tidur sama Ibu?" tanya Bu Lis percaya tak percaya. Ia sangat mengenali momongannya itu yang selalu bersihan dan pasti akan sulit tidur dengan keadaan kamar yang seperti kamar majikan perempuannya itu.
"Terpaksa." Mala mengedikkan kedua bahunya. "Mama semalam ketakutan."
"Pantas tidurnya nyenyak."
"Bu Lis ngecek Mama tiap pagi?"
"Iya, Mbak. Sekalian ngantar teh panas dan makanan apalah. Pagi ini saya goreng pisang kayu. Manis. Mau?"
"Bikinkan teh dua sama bawa gorengannya ke depan, ya." Suatu kebetulan.
"Ada tamu?" Entah kenapa Bu Lis musti berbisik saat bertanya, tetapi itu membuat Mala terkekeh kecil.
"Si Arman. Ingat?"
Bu Lis terdiam dengan kening berkerut makin dalam. Tak lama wajahnya seperti terkejut. "Ah, cowok yang selalu jemput Mbak Mala itu. Wah, bisa ketemu lagi, ya. Jodoh kayaknya."
Seketika wajah Mala terasa hangat. "Apa, sih, Bu. Udah sana cepetan bawin makanan minuman."
"Iya. Iya. Saya buatkan spesial pakai siraman susu cokelat manis." Bu Lis tertawa kecil sembari melangkah cepat menuju ke belakang rumah.
Mala tersenyum lebar. Setelah hari-hari kurang menyenangkan, pagi ini ada senyum buat semua. Tidak semua, cukup Mala dan Bu Lis.
Saat Mala akan berbalik, tatapannya terarah pada kamarnya yang kini ditempati Ratna. Mala bertanya-tanya apakah Mala sudah pulang atau belum. Tapi, kemudian ia memutuskan bertanya ke Bu Lis di belakang.
Terlihat Bu Lis menyiapkan dua cangkir untuk tehnya.
"Bu Lis, tadi liat Tante Ratna keluar?"
Bu Lis terlihat berpikir. "Memangnya Bu Ratna keluar?" tanya Bu Lis balik.
"Berarti Bu Lis gak liat Tante Ratna keluar, ya."
"Enggak, Mbak. Tadi setelah Mbak Mala keluar, saya belanja di depan. Tapi, kayaknya gak liat Bu Ratna keluar."
"Tadi saya liat Tante Ratna di luar."
"Di mana?" Kini Bu Lis menyiapkan piring dan menata beberapa pisang goreng yang terlihat masih hangat ke piring kuno berwarna putih.
"Di daerah dekat stadion."
"Jauh juga olahraganya, Mbak."
"Hmmm.... Iseng aja. Tapi, Tante Ratna kapan ya keluarnya. Apa setelah Bu Lis keluar belanja, ya."
"Bisa jadi, Mbak. Ini mau di bawa sendiri atau saya bawkan?" Bu Lis sudah memegang nampan besar berisi dua cangkir teh hangat. Sepoci kecil teh untuk tambah dan sepiring pisang kayu goreng.
"Saya bawa sendiri aja, deh." Mala mengambil nampan dari tangan Bu Lis. "Tapi, Tante Ratna sudah pulang atau belum, ya."
"Ndak tau juga, Mbak. Saya ndak liat."
"Okelah."
Mala masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke teras rumah. Sesampainya di teras rumah, Mala langsung berdiri kaku. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Perasaannya menjadi dingin. Di dalam diri Mala, ada ketidaksukaan juga ketakutan. Mala terdiam kaku.
***
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Aryani terus berlari. Ia hanya berlari meski dirinya bingung ia berlari dari apa. Yang jelas ia sangat ketakutan. Jantungnya berdebar sangat kuat hingga menyakitkan dadanya yang terasa mulai tipis oksigen. Aryani mulai putus asa.Tak ada yang bisa ia mintai tolong. Begitu gelap dan begitu sepi. Hanya pepohonan tinggi-tinggi. Sesuatu mengingatkan Aryani, sangat samar hingga Aryani perlu berpikir. Pohon-pohon itu seperti sebuah memoar."Mbak Yani...."Suara seorang gadis. Sangat lirih tetapi sangat jelas juga di telinga Aryani. Suara itu bagai menyatu dengan angin yang berdesir di dekat telinganya."Mbak Yani...."Aryani semakin frustasi. Ia menutup telinganya dengan erat. Ia menatap sekitar dengan tatapan nanar, mencari-cari sosok gadis yang memanggil-manggil namanya. Namun, ia tak melihat siapa-siapa. Aryani melanjutkan larinya.Dalam kekalutannya, Aryani tak bisa memerhatikan jalan y
Mala sudah tak selera lagi untuk menikmati pisang goreng kayu kesukaannya. Rasa haus pun sudah tak ada lagi hingga ia tak ingin meminum tehnya meski hanya seteguk. Hatinya terlalu suntuk karena Ratna. Ia benar-benar tak suka melihat Ratna mengenali Arman. Ia juga sangat tidak suka dengan pernyataan terakhir Ratna. Ini seolah-olah di rumahnya berisi kaum lemah dan tak berdaya.Mala mencium aroma manis di dekat hidungnya. Tak hanya itu, bibirnya merasakan sesuatu yang kasar dan berminyak. Mala mengernyit dan seketika mendengkus menyadari Arman menempelkan pisang kayu goreng ke bibirnya, dekat dengan hidungnya."Apaan, sih?" Mala menepis tangan Arman yang masih memegang pisang kayu goreng.Arman sendiri hanya tertawa geli dan melanjutkan memakan pisang kayu goreng yang kedua. "Melamun aja. Gak lapar? Gak haus?""Gak. Bukan urusanmu juga kalau saya melamun, saya lapar, atau saya haus," ketus Mala."Kalau saya gak ada di depanmu, kamu boleh omong gitu.
Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.Arman mengenali pria itu sebagai Ka
Arman tersenyum melihat rumah Mala yang semakin dekat. Rumah yang tak pernah berubah sejak ia masih kanak-kanak. Pagar tembok untuk sebagian besarnya dan di bagian utamanya adalah pagar besi dua pintu yang dicat warna putih. Melihat putihnya pagar besi dan pagar tembok, jelas menunjukkan kalau Mala dan keluarganya secara berkala memperbaiki catnya.Ya, Arman mengenal keluarga Mala sejak ia masih kecil. Ini karena ia berada di lingkungan yang sama, namun beda nama jalan. Keluarga Mala adalah keluarga terpandang. Apalagi keluarga Mala bisa disebut keluarga tuan tanah yang memiliki banyak perkebunan dan juga peternakan sapi perah. Sangat aneh jika tak ada yang mengenali keluarga tersebut.Hanya saja, Arman baru dekat dengan Mala saat sekolah SMP. Arah menuju sekolahnya membuat Arman harus melewati rumah Mala.Saat pertama kali bertemu Mala, ia akan diantar kakeknya ke sekolah. Tapi, rupanya mesin mobil tidak kunjung menyala. Mala terlihat bingung dan Arman langsung
Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh
Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.***Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.Jemari Mala lainnya di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang."Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani
Mata tak pernah benar-benar melihat apa yang terlihat. Ada ruang buta yang membuat cerita menjadi susah dimengerti. Sebuah kisah akan menjadi misteri di kemudian. *** Memasuki ruang tengah, Mala merasakan udara menjadi sangat dingin. Kotanya memang diapit gunung yang tentunya akan terasa dingin. Namun, dingin yang ini berbeda. Seperti udara yang mengikat di situ-situ saja. Ada dua kamar saling bersisian; kamarnya dan kamar ibunya. Ironi, ibunya dan Mala hanya terpisah tembok, tetapi jarak antara keduanya sangat jauh. Terbersit untuk menemui ibunya terlebih dahulu. Namun, diurungkannya. Masih ada waktu. Mala melanjutkan langkahnya ke ruang depan, ada kamar almarhum kakeknya. Sekarang, pasti ditempati Tante Ratna. Mala mengetuk pelan pintu kamar depan. Tidak ada sahutan. Dicobanya sekali lagi dan masih senyap dari dalam. "Tante Ratna. Ini aku, Mala. Boleh masuk?" Tetap tak ada sahutan. Perlahan Mala membuk
Menghirup kenangan yang sengaja ditinggal. Ada rindu manis walaupun luka belumlah pulih. *** Memasuki kota kecilnya, Mala memperlambat mobilnya pada kecepatan normal. Bukan untuk menikmati segarnya angin sore, bukan juga untuk merajut kenangan sepanjang jalan yang pernah menjadi kisah kepergiannya. Mala tak semelankolis itu. Mala justru sibuk menata sikap dan kata. Mulutnya komat-kamit, membuat kalimat sapaan yang tepat untuk tante yang lama hilang, kemudian kembali dalam keadaan hidup, bukan mati. Mala juga sibuk menerka-nerka apa yang membuat ibunya takut akan sosok sang adik. Dibukanya kaca jendela mobil, hanya agar angin masuk dan membawa penatnya pergi. Beberapa anak kecil berpeci dan berkerudung, berjalan bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Tertawa, marah, berlarian, tentu menyenangkan. Mala tidak pernah mengalami itu. Kakeknya memanggil guru mengaji ke rumah. Ia tak pernah ke surau. Para wanita
Apa yang paling menakutkan? Adalah ketika yang sudah terkubur, bangkit kembali. *** "Mala..., Mama takut." Itu kalimat terakhir ibunya sebelum telepon ditutup. Diucapkan dengan teramat lirih dan sedikit terbata-bata, hingga Mala harus menempelkan ponselnya rapat ke telinga. Membuat debar jantung Mala berdentum aneh. Ibunya tidak pernah meminta. Ibunya tidak pernah menangis. Ibunya tidak pernah ketakutan. Ini pertama kalinya dan Mala merasakan banyak emosi yang bergejolak menjadi satu. Tanpa pikir panjang, Mala memutuskan untuk pulang. Mala menelepon Sonya, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di butik. Ia meminta Sonya untuk mempir ke butik karena Mala ingin menitipkan butiknya. Sembari menanti Sonya, Mala memberikan arahan ke Nindi—asistennya. "I'm coming, Dear," sapa Sonya yang langsung duduk di salah satu sofa di ruang kerja Mala. Rambut keunguan panjang bergelombang dibiarkannya terge