Mereka belum tau Hasna yang sekarang. Ada yang saling berbisik. Lalu tertawa kecil. Kemudian kembali ke aktifitasnya semula. Tidak etis memang. Mereka laki-laki. Membicarakan orang lain. Bahkan di depan istri pucuk pimpinan tempat mereka bekerja. Bahkan bisa saja Hasna menggenggam nasib mereka. Dengan satu kedipan mata, ia bisa membuat hidup mereka korat karit berantakan karena kehilangan pekerjaan yang menghidupinya bahkan membuat hidupnya menjdi mewah. Bukan rahasia umum lagi jika perusahaan mikik Robertio adalah perusahaan raksasa yang jarang bisa dengan mudah dimasuki pelamar keja baru. Gaji yang ditawarkan juga bukan main jumlahnya. Gaji staff biasa saja mencapai dua kali lipat UMR kota. Mungkin gaji jabatan diatasnya bisa mencapai dua digit angka di depanHasna tersenyum kecil. Bermaksud menetralkan perasaan dan emosinya. Baper? Siapa yang tidak akan sakit hati ketika seolah dipandang rendah tanpa rasa hornat. Walau Hasna bukan tipikal wanita yang gila hormat. Akan teym
Tidak munafik. Lelaki mana yang tidak bahagia diperlakuan sedemikian baik oleh seorang perempuan. Di era gempuran para wanita yang matrealistis seperti saat ini, tetapi nyatanya Fatihah berbeda. Zaki merasa ini juga tidak telepas dari pola asuh orang tuanya yang juga terlihat baik dan santun. Namun Zaki sadar diri. Dia adalah laki-laki yang seharusnya juga memperlakukan demikian kepada wanita nya. Namun dia punya apa? "Mas Zaki,"panggil Fatihah lagi mengagetkan. Zaki sedikit terlonjak. "Jangan kebanyakan melamun,"lanjut wanita itu lagi sembari menyerahkan kunci montor. Tangan Zaki gemetar menerimanya. Dia gagal menutupi salah tingkahnya di depan Fatihah. Membuat wanita itu tersenyum kecil. 'Jangan tersenyum, Fat,'teriak Zaki dalam hati yang tak mungkin Fatihah mendengarnya. Bagi laki-laki itu, senyum wanita sebaik Fatihah adalah candu yang manis. Namun entah sampai kapan ia terjebak pada perasaan yang tidak tau tujuanya dan tidak tau jawabanya.Motor Fatihah bukan tergolong m
Wajah pasangan suami istri tersebut benar-benar terlihat resah. Mereka memang memilih mandiri dari segi apapun, walaupun seorang Robertio adalah anak tunggal. Namun mereka memilih berpisah rumah, agar bisa berdiri diatas kaki sendiri.Tetapi sepertinya apa yang mereka harapkan tidak berjalan dengan sesempurna itu.Orang tua Robert sangat protektif menjaga mereka. Terutama sang papa. Apapun aktifitas keluarga itu mereka tau. Entah dimana dan siapa orang yang dibayar untuk mengawasi.Jika mungkin sebagian orang merasa senang karena diperhatikan, tetapi tidak dengan mereka. Kadang juga papa nya masuk ke dalam ranah yang tidak semestinya beliau perlu tau. Termasuk usaha kontrakan milik Robert. "Pap,"tegur Hasna yang menatap sang suami sejak tadi hanya tertunduk."Iya mam,"jawab Robert lirih seperti tak bertenaga. "Kamu kenapa? Sakit?"Robert menggeleng kecil."Aku minta ma'af mam. Tidak bisa memberikan kehidupan runah tangga yang sempurna. Bahkan membuatmu tidak nyaman seperti ini,"j
"Lalu kalian mau papa yang bagaimana? Yang cuek? Yang membiarkan anak serta menantu disakiti oleh orang lain yang tidak tau diri? Papa tidak bisa seperti itu,"jawab Pak Alex dengan wajah resah yang tidak bisa disembunyikan. Hasna menghela nafas pelan. Memang tidak mudah untuk merubah watak seseorang."Pa, Robert bukan anak kecil lagi. Robert bisa menjaga diri sendiri dan juga keluarga,"pinta lirih Robertio.Pak Alex mengalihkan pandangan."Aku tidak yakin membiarkanmu sendiri dengan sifatmu yang selalu merendah Robert. Aku akui kamu cerdas. Tapi kamu juga begitu murah hati. Dan papa takut dengan segala kebaikanmu itu justru dimanfaatkan oleh orang lain,"Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Merasa masing-masing berada pada garis kebenaran. Hati Zaki turut bergetar. Lebih tepatnya merasa bersalah. Kenapa ia semudah itu menuduh Hasna dan suami. Padahal mereka masih menaruh iba terhadap hidupnya. "Ki, bisa bantu saya mengambil titipan Pak Alex?"tanya Pak Ahmad yang membuat ia terbuy
Zaki sudah mengira bahwa reaksi sang ibu akan seperti biasa. Marah. Atau memaki mantan menantunya tersebut. Tetapi ternyata Zaki salah. Justru sang ibu tidak bereaksi. Masih asyik dengan masakan di penggorenganya. "Bu, ibu masak apa sih? Ibu dengar Zaki ngomong kan?"Ibunya menoleh pelan. "Untuk apa Zaki? Untuk menjadi bahan hinaan mereka? Sudahlah. Kita tinggal disini saja. Nanti kalau sudah" ada cukup uanh, kita beki rumah sederhana, "jawab Bu Ratih dengan lirih.Zaki benar benar tidak menyangka. Kata kata bijak itu keluar juga dari bibir sang ibu. "Oh iya. Ibu mau jualan di pasar,"Zaki semakin menganga mendengar penuturan sang ibu. Ia pastikan bahwa pendengaranya tidaklah salah."Jualan? Jualan apa bu? Ibu yakin?"tanya Zaki memastikan lagi. Bu Ratih kembali mengangguk penuh mantap. "Kentucky,"jawabnya. Ya Zaki akui, ibunya selalu tak pernah gagal membuat masakan itu terasa enak, krispi dan bumbunya begitu terasa dan meresap. Zaki mendudukan tubujhnya di kursi. "Kena
"Si Dito anaknya Pak Lurah mau melamar Neng Fatihah,"Degg. Kaki Zaki terasa lemas. Ia kalah cepat. Bahkan hanya dalam hitungan menit. Lagipula semestinya ia harus berkaca. Bagaimana dia. Dan seperti apa masa lalunya.Sementara Fatihah adalah wanita baik-baik. Secara logika, apa iya juga mau dengan Zaki yang berstatus duda? Ah dunia tidak akan sebercanda itu. Zaki berbalik badan. Kembali pulang. Dan kembali menelan kecewa. Rasanya baru kali ini ia benar benar kecewa dengan seorang wanita. Ibunya menatap heran, belum sampai hitungan menit sang anak keluar dengan membawa niat baiknya. Justru sekarang ia kembali dengan lemas. Ibunya menatap trenyuh."Ditolak kah ki?"tanya sang ibu yang harap harap cemas. Zaki menghela nafas pelan. Sementara sang ibu terus menatap lekat wajah Zaki. Menantikan jawabanya"Fatihah sudah dilamar anak Pak Lurah bu,"Bu Ratih kini terduduk lemas. Ia bahkan berfikir mungkin ini hukuman untuknya. Berharap mendapat menantu baik, namun semuanya tidak s
"Lamaran?"tanya Fatihah dengan tatapan bingung. Zaki merintih. Berharap Fatihah tidak membuat hati nya kembali berharap lagi."Aku tau Fat tanpa kamu beri tau,"ujar Zaki. Tapi nyatanya ia gagal menyembunyikan wajah kecewanya yang bercampur cemburu itu."Memangnya Mas Zaki sudah pernah bertemu kakak Fatihah?"tanya wanita itu. Kini Zaki yang semakin bingung dibuatnya. Melihat sutuasi ini, Bu Ratih mencoba angkat bicara."Begini nak Fatihah, jadi lamaran di rumah mu kemarin itu, lamaranya siapa?"tanya Bu Ratih dengan tidak sabar. "Oh. Itu lamaran Mas Dito kepada kakak Fatihah. Tapi ia kerja duar kita. Jadi jarang ketemu,"Zaki bernafas lega. Tanpa sadar ia melebarkan senyumnya tanda bahagia. "Jadi bukan untuk kamu?"tanya Bu Ratih lagi memastikan. Fatihah menggeleng pelan. "Nanti sore aku akan datang Fat,"ucap Zaki dengan spontan.Alis Fatihah bertaut. "Akan ku minta kamu kepada orang tuamu,"lanjut Zaki. Hati Fatihah berdebar. Pipinya menjadi bersemu merah. Ia menunduk. "B
Fatihah tampak diam mematung mengamati sosok laki laki yang datang dengan kemeja putih itu. Tak ada yang aneh. Pemuda tersebut tampak ramah. Sepertinya ia juga seumuran dengan Fatihah. Dia cukup tampan.Sepupu Fatihah yang juga turut membantu acara ini juga tampak berlarian kecil mendatangi Fatihah di pelaminan.“Dia datang, kak,” ujar Erlin dengan raut wajah yangkhawatir.“Sudah biarkan saja. Sebenarnya tak ada yang mengundangnya kemari. Hanya saja biarlah itu hak dia untuk datang,” jawab Fatihah.“Siapa sih Fat? Kenapa kalian begitu takut?” tanya Zai yang tentu menuai pemasaran.Fatihah mencoba tersenyum di depan laki laki yang baru saja mengucapkan akad untuknya itu.“Tidak apa apa. Tak penting, nanti akan aku ceritakan,” kata Hasna.Namun ibu Hasna-Bu Sundari yang juga ada di pelaminan juga tampak tak enak hati dengan kehadiran laki laki yang entah siapa itu. Dari gesture tubuhnya beliau juga terlihat begitu gelisah. Dan anehnya, laki laki itu juga menyalami semua orang, bahkan sa