"Semua beres bos. Sesuai perintah,"ujar salah seorang bodyguard yang ditugaskan mengusir Zaki dan ibunya dari kontrakanya. Lelaki sepuh dengan tongkat di tanganya itu tersenyum puas di tengah wajah keriputnya yang terlihat jelas. 'Kamu kira bisa menyakiti mereka sesuka hatimu begitu. Robert dan istrinya boleh masih berbesar hati. Tetapi tidak untuk ku. Tidak ada seorang pun yang dapat menyakiti keuargaku. Atau dia akan lenyap, 'gumam lelaki tersebut. Wajahnya boleh tua dan keriput. Tetapi sorot matanya tajam menghujam seperti mata elang. Alexander Sanjaya. Ayah kandung dari Robertio Hadi Sanjaya.Ia melakukan itu tanpa sepengetahuan sang anak. Baginya tidak sulit mengetahui bagaimana keadaan rumah tangga sang anak. Tinggal perintah semua akan berjalan dengan sendirinya. "Papa tidak perlu sampai seperti itu. Percayalah Robert pasti bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,". Seorang wanita yang berkisar seumuran Pak Alex menghampirimya. Wajahnya masih terlihat cantik. Berkulit bersih
Zaki mengusap wajahnya dengan kasar. Mampukah ia mengemis pekerjaan kepada ayahnya Hasna kembali? Walau ia tau Pak Rohim adalah seorang yang lembut, baik lagi santun. Tetapi bagaimanapun beliau masih berhubungan dengan Hasna. Dimana keluarga anaknya yang mengusir Zaki dan ibunya secara tidak hormat dari kontrakan itu. Ah jika mengingatnya hati Zaki kembali perih. Ia menelan saliva kala mengingat dendamnya yang membara kepada Robertio. Mampukah ia menuntaskan rasa sakitnya itu? Harga dirinya serasa di injak-injak. Namun saat mengingat siapa Robertio, nyalinya ciut. Ia punya segalanya. Harta, jabatan dan kekuasaan. Saat Zaki masih kaya pun nyatanya kekayaanya tidak ada secuil dari materi yang dimiliki Robertio. Di zaman sekarang dengan uang, semua bisa dikendalikan.*"Tidak usah balas dendam secara berlebihan. Balas dendam terbaik adalah saat kamu berusaha lebih baik dari sebelumnya,"ucap Hasna sembari melipat pakaian yang kering. Sementara Zaki duduk di tepi ranjang dengan na
Mereka belum tau Hasna yang sekarang. Ada yang saling berbisik. Lalu tertawa kecil. Kemudian kembali ke aktifitasnya semula. Tidak etis memang. Mereka laki-laki. Membicarakan orang lain. Bahkan di depan istri pucuk pimpinan tempat mereka bekerja. Bahkan bisa saja Hasna menggenggam nasib mereka. Dengan satu kedipan mata, ia bisa membuat hidup mereka korat karit berantakan karena kehilangan pekerjaan yang menghidupinya bahkan membuat hidupnya menjdi mewah. Bukan rahasia umum lagi jika perusahaan mikik Robertio adalah perusahaan raksasa yang jarang bisa dengan mudah dimasuki pelamar keja baru. Gaji yang ditawarkan juga bukan main jumlahnya. Gaji staff biasa saja mencapai dua kali lipat UMR kota. Mungkin gaji jabatan diatasnya bisa mencapai dua digit angka di depanHasna tersenyum kecil. Bermaksud menetralkan perasaan dan emosinya. Baper? Siapa yang tidak akan sakit hati ketika seolah dipandang rendah tanpa rasa hornat. Walau Hasna bukan tipikal wanita yang gila hormat. Akan teym
Tidak munafik. Lelaki mana yang tidak bahagia diperlakuan sedemikian baik oleh seorang perempuan. Di era gempuran para wanita yang matrealistis seperti saat ini, tetapi nyatanya Fatihah berbeda. Zaki merasa ini juga tidak telepas dari pola asuh orang tuanya yang juga terlihat baik dan santun. Namun Zaki sadar diri. Dia adalah laki-laki yang seharusnya juga memperlakukan demikian kepada wanita nya. Namun dia punya apa? "Mas Zaki,"panggil Fatihah lagi mengagetkan. Zaki sedikit terlonjak. "Jangan kebanyakan melamun,"lanjut wanita itu lagi sembari menyerahkan kunci montor. Tangan Zaki gemetar menerimanya. Dia gagal menutupi salah tingkahnya di depan Fatihah. Membuat wanita itu tersenyum kecil. 'Jangan tersenyum, Fat,'teriak Zaki dalam hati yang tak mungkin Fatihah mendengarnya. Bagi laki-laki itu, senyum wanita sebaik Fatihah adalah candu yang manis. Namun entah sampai kapan ia terjebak pada perasaan yang tidak tau tujuanya dan tidak tau jawabanya.Motor Fatihah bukan tergolong m
Wajah pasangan suami istri tersebut benar-benar terlihat resah. Mereka memang memilih mandiri dari segi apapun, walaupun seorang Robertio adalah anak tunggal. Namun mereka memilih berpisah rumah, agar bisa berdiri diatas kaki sendiri.Tetapi sepertinya apa yang mereka harapkan tidak berjalan dengan sesempurna itu.Orang tua Robert sangat protektif menjaga mereka. Terutama sang papa. Apapun aktifitas keluarga itu mereka tau. Entah dimana dan siapa orang yang dibayar untuk mengawasi.Jika mungkin sebagian orang merasa senang karena diperhatikan, tetapi tidak dengan mereka. Kadang juga papa nya masuk ke dalam ranah yang tidak semestinya beliau perlu tau. Termasuk usaha kontrakan milik Robert. "Pap,"tegur Hasna yang menatap sang suami sejak tadi hanya tertunduk."Iya mam,"jawab Robert lirih seperti tak bertenaga. "Kamu kenapa? Sakit?"Robert menggeleng kecil."Aku minta ma'af mam. Tidak bisa memberikan kehidupan runah tangga yang sempurna. Bahkan membuatmu tidak nyaman seperti ini,"j
"Lalu kalian mau papa yang bagaimana? Yang cuek? Yang membiarkan anak serta menantu disakiti oleh orang lain yang tidak tau diri? Papa tidak bisa seperti itu,"jawab Pak Alex dengan wajah resah yang tidak bisa disembunyikan. Hasna menghela nafas pelan. Memang tidak mudah untuk merubah watak seseorang."Pa, Robert bukan anak kecil lagi. Robert bisa menjaga diri sendiri dan juga keluarga,"pinta lirih Robertio.Pak Alex mengalihkan pandangan."Aku tidak yakin membiarkanmu sendiri dengan sifatmu yang selalu merendah Robert. Aku akui kamu cerdas. Tapi kamu juga begitu murah hati. Dan papa takut dengan segala kebaikanmu itu justru dimanfaatkan oleh orang lain,"Tidak ada yang menyahut. Semua diam. Merasa masing-masing berada pada garis kebenaran. Hati Zaki turut bergetar. Lebih tepatnya merasa bersalah. Kenapa ia semudah itu menuduh Hasna dan suami. Padahal mereka masih menaruh iba terhadap hidupnya. "Ki, bisa bantu saya mengambil titipan Pak Alex?"tanya Pak Ahmad yang membuat ia terbuy
Zaki sudah mengira bahwa reaksi sang ibu akan seperti biasa. Marah. Atau memaki mantan menantunya tersebut. Tetapi ternyata Zaki salah. Justru sang ibu tidak bereaksi. Masih asyik dengan masakan di penggorenganya. "Bu, ibu masak apa sih? Ibu dengar Zaki ngomong kan?"Ibunya menoleh pelan. "Untuk apa Zaki? Untuk menjadi bahan hinaan mereka? Sudahlah. Kita tinggal disini saja. Nanti kalau sudah" ada cukup uanh, kita beki rumah sederhana, "jawab Bu Ratih dengan lirih.Zaki benar benar tidak menyangka. Kata kata bijak itu keluar juga dari bibir sang ibu. "Oh iya. Ibu mau jualan di pasar,"Zaki semakin menganga mendengar penuturan sang ibu. Ia pastikan bahwa pendengaranya tidaklah salah."Jualan? Jualan apa bu? Ibu yakin?"tanya Zaki memastikan lagi. Bu Ratih kembali mengangguk penuh mantap. "Kentucky,"jawabnya. Ya Zaki akui, ibunya selalu tak pernah gagal membuat masakan itu terasa enak, krispi dan bumbunya begitu terasa dan meresap. Zaki mendudukan tubujhnya di kursi. "Kena
"Si Dito anaknya Pak Lurah mau melamar Neng Fatihah,"Degg. Kaki Zaki terasa lemas. Ia kalah cepat. Bahkan hanya dalam hitungan menit. Lagipula semestinya ia harus berkaca. Bagaimana dia. Dan seperti apa masa lalunya.Sementara Fatihah adalah wanita baik-baik. Secara logika, apa iya juga mau dengan Zaki yang berstatus duda? Ah dunia tidak akan sebercanda itu. Zaki berbalik badan. Kembali pulang. Dan kembali menelan kecewa. Rasanya baru kali ini ia benar benar kecewa dengan seorang wanita. Ibunya menatap heran, belum sampai hitungan menit sang anak keluar dengan membawa niat baiknya. Justru sekarang ia kembali dengan lemas. Ibunya menatap trenyuh."Ditolak kah ki?"tanya sang ibu yang harap harap cemas. Zaki menghela nafas pelan. Sementara sang ibu terus menatap lekat wajah Zaki. Menantikan jawabanya"Fatihah sudah dilamar anak Pak Lurah bu,"Bu Ratih kini terduduk lemas. Ia bahkan berfikir mungkin ini hukuman untuknya. Berharap mendapat menantu baik, namun semuanya tidak s
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,