Dan tanpa disangka, ia justru mendapat tepuk tangan dari semua yang hadir. Merasa didukung, seulas senyum juga tergambar dari bingkai wajah tampan seorang Robertio.Sementara Zaki dengan wajah merah padam menahan emosi serta geram yang sudah memuncak.Ia kalah. "Tih, anak membuat kekacauan dengan pemilik perusahaan besar itu. Jangan makan saja kerjaanmu. Datang kesini cuma gara-gara isi perut. Tidak peka dengan keadaan sekitar,"omel Tante Mela kepada Bu Ratih dengan tiba-tiba. Padahal baru satu suap saja masuk kedalam mulutnya. Bu Ratih mendesah pelan. Beginikah rasanya menjadi miskin. Tidak dibela walaupun kerabat sendiri. Sedikit panik ia mencari keberadaan Zaki. Menyeruak kerumunan orang-orang yang berkumpulDi depan sana tampak Zaki tengah berhadapan dengan seorang pria blasteran yang gagah, berwajah penuh wibawa dan tegas. Dan di samping sang pria telah berdiri seorang Hasna demgan mimik wajah resah yang tidak bisa disembunyikan. "Zaki, "seru Bu Ratih.Zaki hanya menole
Zaki celingukan saat kembali memasuki gedung tempat acara pesta pernikahan Sean dan Tari digelar. Sepertinya ia tengah mencaribsesuatu. Namun yang terlihat hanya wara-wiri petugas kebersihan. "Cari apa mas? "sapa seorang pria paruh baya dengan vacum cleaner di tanganya"Ehm. Saya cari pelayan bernama Fatihah. Dia tadi ada disini saat acara berlangsung,""Oh. Neng Fatihah? Dia sedang ganti pakaian mau pulang. Mungkin sebentar lagi juga keluar. Mas ini siapanya Neng Fatihah ya? Teman dekatnya kah?"Zaki enggeleng dengan cepat. "Oh bukan pak. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Fatihah yang sempat menolong sya, "Pria paruh baya itu mengangguk. "Tidak apa-apa atuh jadi teman dekatnya. Pantas. Memang lebih baik Neng Fatihah bersama pria yang lebih dewasa. Daripada pria muda yang ujung-ujungnya tidak bertanggung jawab, "Zaki membulatkan netra. Mengeryitkan dahi. Seolah sebagai isyarat ingin tau kiranya apa yang terjadi dengan masa lalu Fatihah."Jadi ceritanya Neng
Atau mungkin ia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Hasna? Di atas montor milik Fatihah, Zaki ingin sekali menanyakan itu. Namun kekuatan ragu berkali-kali menepisnya.Untuk apa menanyakan hal yang tidak penting itu. Namun seandainya memang Hasna bersaudara dengan Fatihah. Justru ia akan merasa malu."Apa kamu kenal dengan istri Pak Robert, Fat? "tanya Zaki akhirnya. Di jok belakang Fatihah memicingkan mata, lalu tertawa kecil. "Bu Hasna?"tanyanya lagi memastikan.Zaki mengangguk kecil."Ya kali mas. Rakyat jelata seperti ku bersaudara dengan serang istri konglomerat,"Zaki merasakan apa yang mengganjal di hati dan fikiranya sedikit lega."Tapi wajah kamu.., ""Mirip dengan Bu Hasna? Mas Zaki bukan orang yang pertama kali mengatakan itu. Tetapi ya lebih bening Bu Hasna lah. Suaminya bermodal. Ya begitu kalau wanita di ratukan oleh sang suami. Aura kebahagiaanya terpancar. Menambah wajah cantiknya semakin berseri. Apa nasibku kelak bisa sama dengan Bu Hasna ya?"celetuk
Zaki terlonjak kaget bukan main. Ia turun dari montor dengan buru-buru. Bahkan ia lupa sekedar mengucapkan kalimat terimakasih untuk Fatihah.Fatihah yang melihatpun turut merasa iba. Ia memilih untuk menunggui. Ibunya terduduk lemas dengan pandangan kosong. Bahkan kehadiran Fatihah pun tak ia gubris. Biasanya ia akan cerewet dengan wanita pilihan Zaki."Ibu kenapa?"tanya Zaki dengan panik."Kita diusir dari kontrakan, Ki,"jawab Bu Ratih dengan lemas dan lirih."Memangnya salah kita apa bu? Kita bayar uang kontrakan tepat waktu."keluh Zaki. Bu Ratih justru menangis. Namun tangisanya tidak meronta. Sepertinya ia sudah lelah menangis. "Tadi ada tiga orang laki-laki berpenampilan seperti preman kesini. Dia mengusir ibu dengan paksa sembari mengeluarkan barang-barang kita di kontrakan dengan kasar juga. Semua dilempar keluar. Bahkan ibu tidak sempat menatanya dengan rapi. Ibu malu menjadi bahan tontonan Ki. Seperti kita ini buruan dept collector saja."Zaki merasa geram. Pasti saat i
"Semua beres bos. Sesuai perintah,"ujar salah seorang bodyguard yang ditugaskan mengusir Zaki dan ibunya dari kontrakanya. Lelaki sepuh dengan tongkat di tanganya itu tersenyum puas di tengah wajah keriputnya yang terlihat jelas. 'Kamu kira bisa menyakiti mereka sesuka hatimu begitu. Robert dan istrinya boleh masih berbesar hati. Tetapi tidak untuk ku. Tidak ada seorang pun yang dapat menyakiti keuargaku. Atau dia akan lenyap, 'gumam lelaki tersebut. Wajahnya boleh tua dan keriput. Tetapi sorot matanya tajam menghujam seperti mata elang. Alexander Sanjaya. Ayah kandung dari Robertio Hadi Sanjaya.Ia melakukan itu tanpa sepengetahuan sang anak. Baginya tidak sulit mengetahui bagaimana keadaan rumah tangga sang anak. Tinggal perintah semua akan berjalan dengan sendirinya. "Papa tidak perlu sampai seperti itu. Percayalah Robert pasti bisa menyelesaikan masalahnya sendiri,". Seorang wanita yang berkisar seumuran Pak Alex menghampirimya. Wajahnya masih terlihat cantik. Berkulit bersih
Zaki mengusap wajahnya dengan kasar. Mampukah ia mengemis pekerjaan kepada ayahnya Hasna kembali? Walau ia tau Pak Rohim adalah seorang yang lembut, baik lagi santun. Tetapi bagaimanapun beliau masih berhubungan dengan Hasna. Dimana keluarga anaknya yang mengusir Zaki dan ibunya secara tidak hormat dari kontrakan itu. Ah jika mengingatnya hati Zaki kembali perih. Ia menelan saliva kala mengingat dendamnya yang membara kepada Robertio. Mampukah ia menuntaskan rasa sakitnya itu? Harga dirinya serasa di injak-injak. Namun saat mengingat siapa Robertio, nyalinya ciut. Ia punya segalanya. Harta, jabatan dan kekuasaan. Saat Zaki masih kaya pun nyatanya kekayaanya tidak ada secuil dari materi yang dimiliki Robertio. Di zaman sekarang dengan uang, semua bisa dikendalikan.*"Tidak usah balas dendam secara berlebihan. Balas dendam terbaik adalah saat kamu berusaha lebih baik dari sebelumnya,"ucap Hasna sembari melipat pakaian yang kering. Sementara Zaki duduk di tepi ranjang dengan na
Mereka belum tau Hasna yang sekarang. Ada yang saling berbisik. Lalu tertawa kecil. Kemudian kembali ke aktifitasnya semula. Tidak etis memang. Mereka laki-laki. Membicarakan orang lain. Bahkan di depan istri pucuk pimpinan tempat mereka bekerja. Bahkan bisa saja Hasna menggenggam nasib mereka. Dengan satu kedipan mata, ia bisa membuat hidup mereka korat karit berantakan karena kehilangan pekerjaan yang menghidupinya bahkan membuat hidupnya menjdi mewah. Bukan rahasia umum lagi jika perusahaan mikik Robertio adalah perusahaan raksasa yang jarang bisa dengan mudah dimasuki pelamar keja baru. Gaji yang ditawarkan juga bukan main jumlahnya. Gaji staff biasa saja mencapai dua kali lipat UMR kota. Mungkin gaji jabatan diatasnya bisa mencapai dua digit angka di depanHasna tersenyum kecil. Bermaksud menetralkan perasaan dan emosinya. Baper? Siapa yang tidak akan sakit hati ketika seolah dipandang rendah tanpa rasa hornat. Walau Hasna bukan tipikal wanita yang gila hormat. Akan teym
Tidak munafik. Lelaki mana yang tidak bahagia diperlakuan sedemikian baik oleh seorang perempuan. Di era gempuran para wanita yang matrealistis seperti saat ini, tetapi nyatanya Fatihah berbeda. Zaki merasa ini juga tidak telepas dari pola asuh orang tuanya yang juga terlihat baik dan santun. Namun Zaki sadar diri. Dia adalah laki-laki yang seharusnya juga memperlakukan demikian kepada wanita nya. Namun dia punya apa? "Mas Zaki,"panggil Fatihah lagi mengagetkan. Zaki sedikit terlonjak. "Jangan kebanyakan melamun,"lanjut wanita itu lagi sembari menyerahkan kunci montor. Tangan Zaki gemetar menerimanya. Dia gagal menutupi salah tingkahnya di depan Fatihah. Membuat wanita itu tersenyum kecil. 'Jangan tersenyum, Fat,'teriak Zaki dalam hati yang tak mungkin Fatihah mendengarnya. Bagi laki-laki itu, senyum wanita sebaik Fatihah adalah candu yang manis. Namun entah sampai kapan ia terjebak pada perasaan yang tidak tau tujuanya dan tidak tau jawabanya.Motor Fatihah bukan tergolong m
Fatihah berdiri di depan pintu rumah dengan semangat yang menggebu-gebu. Setelah beberapa hari perencanaan dan persiapan, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu. Ia akan pindah ke rumah kontrakan yang baru, jauh dari tekanan dan masalah yang selama ini mengganggu hidupnya bersama Bu Ratih. Dengan langkah mantap, ia memasuki rumah dan mencari Bu Ratih untuk berpamitan.Di dalam rumah, Bu Ratih sedang duduk di ruang tamu, membaca koran pagi. Ketika melihat Fatihah masuk dengan wajah ceria, ia mengangkat alisnya dan tersenyum tipis.“Fatihah, ada apa? Kamu tampak sangat bersemangat hari ini?” tanya Bu Ratih yang seolah melupakan perdebatannya dengan Fatihah tempo hari.Fatihah mendekati Bu Ratih dengan penuh keyakinan. “Bu, aku ingin memberitahukan bahwa Zaki dan aku memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri. Kami sudah menemukan tempat yang cocok dan akan segera pindah.”Bu Ratih terkejut mendengar berita itu. “Mengontrak rumah? Ibu minta maaf jika kamu tidak nyaman disini.”Fatihah
Fatihah melangkah dengan cepat, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Langkahnya membawa dia ke rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari sana. Setibanya di rumah, Fatihah langsung disambut oleh ibunya, Bu Siti, yang terkejut melihat putrinya datang dengan wajah yang penuh air mata.“Fatihah, ada apa ini? Kenapa kamu menangis?” tanya sang ibu dengan cemas, memeluk putrinya erat-erat.Fatihah hanya bisa menangis tanpa bisa menjelaskan apa yang terjadi. Ia merasa kelelahan secara emosional setelah pertengkaran hebat dengan Bu Ratih. Ibunya mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.“Sudah, nak, ceritakan pada Ibu apa yang terjadi. Kenapa kamu tiba-tiba datang seperti ini?” tanya ibu Fatihah dengan lembut.Fatihah menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata.Ibu, aku tidak kuat lagi tinggal di rumah Bu Ratih. Aku selalu dibandingkan dengan Hasna, dan itu membuatku merasa tidak berharga. Aku merasa tidak dihargai sebagai istri Zaki.”Bu Siti menger
Fatihah berjalan pulang dari pasar dengan langkah berat, pikirannya dipenuhi oleh pertemuan tak terduga dengan Hasna. Ia merasa perasaannya campur aduk, antara marah, cemburu, dan kesal. Selalu saja Hasna muncul di saat-saat yang tidak tepat, seolah-olah mengingatkan Fatihah tentang semua kekurangannya. Meskipun Hasna terlihat tulus dan ramah, Fatihah tidak bisa menahan perasaan sinis yang membuncah di dalam hatinya.Di sisi lain, Hasna merasa bingung dengan sikap dingin dan sinis Fatihah. Sebelum ini, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan sempat akrab walau Fatihah tau bahwa HAsna adalah mantan istri Zaki. Hasna merenung sambil duduk di kursi favoritnya di rumah. Ia mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang pernah ia lakukan hingga membuat Fatihah berubah seperti itu. Hasna merasa ada yang tidak beres, dan ia berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Setelah beberapa hari berlalu, Hasna memutuskan untuk mengunjungi rumah Fatihah. Ia berharap kunjungannya bisa membantu
Zaki hanya terdiam mendengarkan permintaan sang istri. Ia tidak bisa memberikan keputusan secara langsung. Hatinya seolah tengah ada di persimpangan dilemma. Sementara Fatihah, meskipun hari sudah larut malam, matanya masih saja terjaga hingga dini hari. Semua masalah seolah olah tengah berputar putar dalam otaknya. Ia terbangun pagi itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Hari-hari yang dihabiskannya bersama Bu Ratih di rumah terasa semakin berat. Ia menghargai kebaikan Bu Ratih, tetapi kata-kata yang sering keluar dari mulut ibu mertuanya itu kadang sangat menyakitkan. Setelah mandi dan bersiap, Fatihah turun ke dapur dengan tekad yang sudah bulat di hatinya.“Pagi, Bu,” sapa Fatihah dengan suara ceria yang dipaksakan.“Pagi, Fatihah,” jawab Bu Ratih sambil menyeruput teh hangatnya. Ada keheningan sejenak sebelum Bu Ratih akhirnya membuka percakapan yang membuat suasana menjadi tegang. “Ibu tadi bertemu Hasna. Auranya benar benar keluar terpancar. Apalagi saat hamil ini.”Fatihah m
Pagi berikutnya, Fatihah memutuskan untuk mengunjungi orang tuanya. Ia merasa perlu berbicara dengan mereka tentang perasaannya dan mendapatkan dukungan dari mereka. Ketika ia tiba di rumah orang tuanya, ia disambut dengan senyum hangat dari ayah dan ibunya. Namun, setelah berbicara sebentar, air mata Fatihah mulai mengalir saat ia menceritakan semua yang sedang terjadi."Kami sudah mencoba berbagai cara, Bu. Tapi sepertinya selalu gagal. Program bayi tabung ini adalah harapan terakhir kami," ucap Fatihah dengan suara terisak.Ibu Fatihah, Bu Aisyah, merangkulnya dengan lembut. "Nak, kami mengerti perasaanmu. Kami juga ingin melihatmu bahagia dengan keluarga yang lengkap. Tapi menggadaikan rumah untuk program itu... apakah tidak ada cara lain?"Fatihah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu lagi, Bu. Aku hanya merasa gagal sebagai seorang istri. Aku tidak bisa memberikan Zaki seorang anak."Ayah Fatihah, Pak Rahmat, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Fatihah, kita harus berpik
Pada keesokan harinya, Fatihah tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran tentang program bayi tabung terus menghantui benaknya. Ia tahu biaya yang dibutuhkan sangat besar, dan semakin ia berpikir, semakin besar rasa cemas itu tumbuh. Namun, dalam hatinya, ia merasa ini adalah satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian mereka.Setelah sarapan, Fatihah duduk dengan Zaki di ruang tamu, terlihat lebih serius daripada biasanya. Zaki yang sedang menatap televisi menoleh, merasakan perubahan di wajah Fatihah. "Ada apa, Fatihah?" tanya Zaki, dengan nada penuh perhatian.Fatihah menghela napas panjang. "Zaki, aku ingin kita serius memikirkan program bayi tabung itu. Aku tahu biayanya tidak sedikit, tapi aku siap berusaha. Aku tahu kita tidak kaya, tapi aku ingin memberikan yang terbaik untuk kita."Zaki mengerutkan kening, perasaan berat melingkupi hatinya. "Fatihah, aku tidak ingin kamu merasa terbebani. Biaya itu... tidak mudah untuk kita. Kita sudah berusaha, tapi apakah itu benar-benar jalan yang
Pagi yang cerah itu, Fatihah duduk termenung di teras rumahnya. Burung-burung berkicau riang di kejauhan, namun hatinya tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama. Pikirannya terhuyung-huyung antara kegelisahan dan keputusasaan. Dalam hatinya, ia selalu merasa bersalah karena belum bisa memberikan keturunan untuk Zaki. Setiap hari ia merasakan beban itu semakin berat, terutama saat ia melihat Zaki yang berusaha menyembunyikan kekecewaannya. Di dalam rumah, Bu Ratih sedang berbincang dengan Zaki. Suaranya terdengar lembut, namun nadanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Zaki, kamu tahu, aku selalu mendukungmu. Tapi tidak bisakah kau melihat bahwa Fatihah belum bisa memberikanmu keturunan? Padahal kita sudah sangat menantikannya." Zaki terdiam sejenak, mencoba menenangkan ibunya. "Bu, Fatihah sudah berusaha. Mungkin belum saatnya kita diberi keturunan. Kita harus bersabar." Namun Bu Ratih tidak puas dengan jawaban itu. "Sabar, sabar. Sampai kapan, Zaki? Lihatlah Hasna, dia s
"Tidak. Itu tidak akan terjadi. Hubunganku dengan Zaki hanya sebatas Rania. Tidak lebih. Dan aku harap kamu percaya hal itu, mas," ujar Hasna Robertio tersenyum. "Siapa pula yang tidak percaya dengan wanita sebaik kamu. Mungkin aku juga harus berterimakasih kepada Zaki," ujar Robertio Hasna menyipitkan mata. "Berterima kasih? Untuk apa?" "Untuk sifatnya. Karena kalau tidak dia bersikap seperti itu, kamu tidak akan menjadi milikku. Terkadang orang yang tulus itu didapat dari seseorang yang tidak menghargai pasangannya. Bukan begitu?" goda Robertio. Hasna hanya tersenyum dan mencubit pelan pinggang suaminya. Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang dari biasanya, seolah mengawasi langkah-langkah kecil Zaki yang penuh beban. Setelah kejadian yang mengguncang, Zaki merasakan kedamaian yang aneh, tetapi di balik kedamaian itu, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Perasaan Fatihah yang terluka menjadi bayangan yang terus mengganggunya. Di rumah, Fatihah duduk termenung, me
Malam itu, meski ketegangan sedikit mereda, Robertio dan Hasna masih merasakan beratnya beban di pundak mereka. Ardan sudah ditangkap, tetapi permintaan orang tuanya untuk membebaskannya menambah tekanan yang baru. Sementara itu, di tempat lain, Zaki dan ibunya berusaha memulai hidup baru setelah berbagai cobaan yang mereka lalui. Pagi itu, Zaki dan ibunya, Bu Ratih, datang ke rumah Hasna dan Robertio. Dengan wajah yang penuh rasa syukur, mereka disambut oleh Hasna yang masih terkejut melihat mereka. "Bu Ratih, Zaki, ada apa kalian ke sini pagi-pagi?" tanya Hasna dengan ramah. Bu Ratih menatap Hasna dengan mata berkaca-kaca. "Hasna, kami datang untuk mengucapkan terima kasih. Kami tidak tahu bagaimana harus membalas semua kebaikanmu dan Robertio. Tanpa bantuan kalian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Zaki." Hasna tersenyum lembut. "Kami hanya melakukan apa yang kami bisa, Bu Ratih. Yang penting sekarang kalian aman." Zaki maju, menatap Hasna dengan penuh hormat. "Hasna,