Azan Maghrib berkumandang bersamaan dengan tangisan Tante Anin. Ya Allah itu istri dari mana kenapa bisa tidak tahu kalau suaminya meninggal dunia. Padahal dari pihak kepolisian sudah berkali menghubungkan nomornya.Lucunya aku pun baru ingat kalau Tante Anin itu istri ayah. Seolah terhipnotis aku benar-benar lupa tentang Tante Anin.Plak!Tante Anin memegangi pipinya. Tamparan kuat dari oma mendarat cantik di pipi mulus Tante Anin. Oma kasar sekali. Siapa pun kena marah tidak pandang bulu ataupun malu. Berbuat sesuka hati.“Istri tidak tahu diri! Dari mana saja kamu! Apa kamu baru selesai ngelont* hah!” bentak oma.“A—ku ....” Tante Anin menjatuhkan dirinya ke lantai. Menangis histeris. Tangisannya seolah bersahutan dengan azan dan iqomah di Masjid.Di luar sana orang sibuk beribadah, di rumahku orang sibuk bertengkar.“Lihat saja penampilanmu itu Anin. Orang juga sudah bisa menilai kamu dari mana. Menyesal aku menikahkan Hendra denganmu!” kata oma lagi.Benar yang dikatakan oma. Pe
Assalamualaikum ... Bantu follow akunku, yuk! bagi yang sudah follow aku ucapkan terima kasih banyak 😘🙏🌸🌸🌸“Nah, benar ‘tuh yang dibilang Paman. Aku Juga yakin sekali kalau Mas Hendra semasa hidupnya sudah banayk mengumpulkan harta untuk diwariskan pada orang tua dan anaknya,” sahut keponakan opa yang baru kutahu namanya adalah om Yuda.“Benar. Aku juga yakin begitu. Apa lagi kakakku itu adalah seorang yang pekerja keras untuk keluarganya.” Tante Devi pun tidak tinggal diam. Dia memang selalu semangat kalau membahas masalah harta.“Pak Ustaz dengar sendiri ‘kan, pengakuan dari mereka bagimana anakku selama hidupnya. Itulah kenapa saya sebagai bapaknya ingin segera terselesaikan masalah ini. Saya yakin ada bagian kami di sana karena anak kami itu sangat sayang keluarga,” ucap opa lagi.“Jangankan sama orang tua sama kami para sepupunya juga sayang,” timpal om Yuda.Ck, jelaslah ayah dipuji-puji mereka selama ini ikut menikmati jerih payah ayah dan juga—ibuku tentunya.Pas Ustaz s
“Barang kali aja, ya, kan, Oma? Apa Oma lihat ayah?” tanyaku konyol. Aku juga tahu kalau orang yang sudah meninggalkan mana bisa datang lagi.Oma menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menangis.“Ada apa, Bu? Cepat katakan,” bujuk opa.“Uangku ... uangku hilang, Pak!” teriak oma histeris.“Uang? Uang apa dan di mana?” tanya opa lagi.“Di sana, Pak. Di atas pintu. Ibu simpan di wadah bekas HP ini,” jawab oma. Tangisnya pecah.“Kok, bisa? Kenapa Ibu taruh di sana. Berapa Bu, biar kita bantu cari,” sela Tante Devi.“Du—a, Dev. Du—a puluh juta!” Oma makin histeris.“Apa!” sahut mereka bersamaan.Ha-ha sudah kuduga, pasti mereka terkejut. Duh, Oma, maafkan aku, ya? Aku jadi jahat sama oma.“Kok, Ibu ini aneh! Kenapa uang sebanyak itu Ibu taruh di sana. Aku yakin Ibu pasti lupa narok.” Tante Devi mulai beraksi dia mulai menggeledah lemari baju oma.“Enggak, Dev! Ibu enggak lupa narok, kemarin masih ada,” jawab oma.“Bapak-bapak, Ibu, kami permisi undur diri. Insya Allah besok malam kami ke s
~k~u🌸🌸🌸Hari ini tepat hari ke empat kepergian ayah. Sidang yang seharusnya dijalani ayah juga kemarin telah digelar. Benar kata Om Ardi, Om Jeep mengajukan banding. Harusnya dia menjalani hukuman selama 20 tahun. Aku tidak rela jika akhirnya nanti dia bisa bebas ataupun masa tahanannya berkurang.“Al, boleh pinjam uang enggak mau beli perlengkapannya sekolah,” ujar Nindi. Dia membuyarkan lamunanku.“Enggak ada uang aku, Nin. Minta sama mamahmu saja.”“Mamahku juga enggak ada. Barusan aku minta. Tolonglah, Al. 300 ratus ribu rupiah saja, nanti kalau Om Opik sudah transfer langsung aku balikin.”“Siapa Om Opik?”“Ayolah! Jangan pura-pura enggak tahu, dia itu sugar Daddyku.”“Jadi, kamu sekarang terang-terangan begitu sama aku?”“Mau gimana lagi, Al. Aku terpaksa jika tidak begini aku tidak bisa sekolah. Papaku masuk penjara, mamahku mana bisa biayain aku.”“Gila, kamu Nin! Masih banyak jalan halal. Kamu enggak takut kejadian kemarin terulang lagi?”“Mau pinjemin apa enggak nih? Kal
“Alya, kamu sudah gila, ya! Kamu enggak tahu gimana sebenarnya Opa! Dia, di—a itu monster!” teriak Nindi.“Tenang, Nind. Opa memang monster. Kita harus pakai otak untuk melawan opa. Bukan dengan kekuatan,” kataku meyakinkan.“A—ku takut, Al. Aku ....” Kugenggam erat jemari Nindi aku tahu dia sangat takut dan juga trauma.“Everything is ok! Trust me!” kataku lagi.“Tapi, kalau ....” Nindi ragu melanjutkan kalimatnya.“Nindi, ada Allah yang akan menolong kita, jadi jangan takut. Ada Om Ardi yang memberi kita jaminan keselamatan. Selama kita yakin semua akan baik-baik saja. Kamu kira aku tidak takut pada opa. Sama aku pun takut, tapi kalau kita tunjukkan rasa takut kita opa akan semakin senang dan juga akan semakin menindas kita.”“Thanks, Al.”“You are welcome.”Kami tidak melanjutkan pembicaraan tentang opa lagi karena ada Angga. Ini rahasia keluarga siapa pun tidak boleh tahu. Bila akhirnya tahu biarlah dari orang lain ataupun dari media.Pedofil itu penyakit yang harus ditangani buka
Tidak tahu malu! Tidak punya iman. Otak mesum! Bisa-bisanya Vidio begitu dikirimkan pada cucunya sendiri tepat saat cucunya sedang sekolah.Awas kamu opa! Habis kuhajar burungmu sampai loyo bila perlu kubasmi pakai jurus tendangan mautku.Drrrrttttt!Lagi pesan dari Nindi.Pesan diteruskan.[Bagaimana, Sayangnya Opa? Kamu pasti menikmatinya juga ‘kan. Opa rindu padamu.]Brengs*k! Benar-benar aki-aki luknut! Pantas saja kelakuan ayah bejat ternyata menurun dari opa.Astaghfirullah jadi ngomongin ayah yang sudah meninggal gara-gara opa.[Blokir aja, Nind! Jangan kamu balas.] Kukirim balasan pada Nindi. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadi Nindi. Pasti dia pun sekarang syok. Mana dia baru sembuh sakit.[Berkali-kali aku blokir nomornya, tapi dia selalu kirim pakai nomor baru.][Matikan ponselmu, setelah ini kita ke kantor polisi!]Tak kudapati lagi balasan dari Nindi. Semoga saja ponselnya langsung dinonaktifkan.Pesan-pesan dari Nindi barusan langsung aku kirim ke nomor Om Ardi. C
🌸🌸🌸“Jangan mimpi, Tan. Ayahku itu tidak pernah memberiku apa-apa. Harta yang diberi ayah padaku itu harta ibuku. Kasihan deh, Tante sudah jadi selingkuhan orang kere ditinggal untuk selamanya pula tanpa dibekali harta sepeser pun!” sahutku.“Bukan kamu yang menentukan Al, tapi pengadilan,” jawab Tante Anin pede sekali.“Jadi, Tante mau bawa masalah ini ke hukum?” tanyaku meyakinkan.“Iya, dong! Kenapa, kamu takut, ya?” sahutnya lagi.“Enggak. Sama sekali enggak takut. Silakan saja, tapi memangnya Tante punya duit untuk ngurus ini dan itunya. Ingat Tante Anin itu masih dalam pengawasan ketat polisi. Tante enggak lupa kan, kalau terlibat dalam pembakaran kamar tidur Aldi yang menewaskan Aldi?” kataku telak. Tante Anin kaget.“Tidak! Aku tidak bersalah! Aku tidak mau dipenjara aku tidak mau melahirkan di penjara!” Histeris Tante Anin memegangi kepalanya lalu terduduk di lantai seraya menangis meraung-raung.“Ada apa ini, kenapa tangis-tangisan sudah seperti ada kematian saja!” tegur
POV NINDIKurasakan tubuhku ada yang menindih dan mulutku dibekap tangan. Hembusan nafas memburu sangat terasa menerpa wajahku. Aku berontak sekuat tenaga, kugapai lampu tidur lalu kupukulkan ke kepalanya. Berhasil! Orang itu terjatuh lalu secepat kilat menyelinap ke luar kamar.Sudah pukul 03.13 WIB. Mungkinkah itu maling? Aku sangat ketakutan.Gegas kukunci kembali pintu kamar. Perasaanku tadi pintu sudah terkunci kenapa orang itu dengan mudah bisa masuk kamar yang kutempati.“Ada apa sih, Nin. Malam-malam begini teleponin Mamah? Tinggal ketuk pintu kamar, kok!” gerutu mamah saat menghampiriku.“Mah, tadi ada yang menyelinap masuk kamarku dan berusaha melecehkanku,” jawabku gemetar.“Ya ampun, Nindi! Kamu mimpi kali! Mana ada maling masuk rumah ini. Kamu kan, tahu sendiri rumah ini dipagar tinggi ada satpam juga.” Mamah tetap tidak percaya pada ceritaku.“Mah, aku enggak bohong ....”“Sudah kamu tidur lagi sana! Masih malam ini. Lagi pula kenapa kamu tidur sendiri ke mana Anin?” tan