KAPAN AYAH PULANG
BAB KE : 2
DIPUKUL IBU
POV : FAIZ18+
"Tina! Urus anak kamu itu! Sudah sore belum juga mandi. Ngapain tiap hari duduk di depan pintu. Sudah gila anak kamu itu, ya?!" Suara Om Darto melengking dari dalam rumah, diiringi dengan kasak-kusuk Ibu yang keluar dari kamar. Pertanda sebentar lagi aku akan digiring Ibu untuk mandi.Walau suara itu mengagetkan, tapi aku tidak beranjak dari duduk. Mataku hanya melirik sebentar ke dalam. Ke arahnya. Setelah itu beralih lagi menatap gang jalan yang cukup jauh dari rumahku.
Gang yang selama ini selalu menghadirkan harapan di hati. Harapan kemunculan seseorang dari sana. Sosok yang sangat aku rindu....
Ayah!
Tapi, sejauh ini. Harapan itu masih sia-sia, yang membuat hatiku selalu kecewa. Karena Ayah tidak pernah muncul dari sana. Entah kemana Ayah pergi! Begitu lama beliau tak pulang‐pulang. Ingin rasanya menyusul, tapi tak tahu, ke mana harus mencari.
"Bilang aja baik-baik! Tak usah pakai, gila!"
Itu bentakan Ibu menjawab ucapan Om Darto.
"Kalau bukan gila apa namanya?! Tiap hari duduk di depan pintu. Planga-plongo, senyam‐senyum seperti orang tak waras!" balas Om Darto sengit.
Hening....
Tak ada lagi suara dari mereka. Aku sedikit lega, karena keributan itu tidak berlanjut.
Entah mengapa, mereka terlalu sering ribut. Terkadang aku bingung, karena hampir tiap hari mereka bertengkar. Ada saja persoalan yang membuat mereka saling berteriak. Kalau telah begitu, tidak jarang aku melihat Ibu menangis ... kasihan!
Rasa kasihan pada Ibu membuat rinduku pada Ayah semakin menggebu.
Ayah, Pulang lah!
Dulu saat kita bersama, Ibu tidak pernah mengeluarkan air mata ... Ayah juga tidak pernah membentak Ibu. Walau Ibu sering ngomel dan suka memarahi Ayah, tapi Ayah hanya diam, atau pergi mengajak aku bermain. Kemudian kita akan bercanda dan tertawa bersama ... aku rindu semua itu.
Kapan Ayah pulang?
Ataukah benar Ayah tidak akan pulang lagi? Kata orang Ayah dan Ibu telah bercerai dan Ibu telah menikah dengan Om Darto. Tapi aku tidak tau, apa itu bercerai dan apa pula itu menikah.
Apakah kalau Ayah pergi begitu lama, itu namanya bercerai? Kalau benar begitu, tentu aku tidak akan membiarkan Ayah pergi waktu itu. Karena aku tidak mau Ayah dan Ibu bercerai. Sebab perceraian itu telah membuat kami selalu bersedih dan Ibu sering menangis.
Sekarang di rumah kita ada Om Darto. Dulu dia baik, bahkan pernah membelikan aku baju. Tapi, itu dulu! Sudah lama sekali, saat mau lebaran.
Tapi sekarang dia pemarah dan suka membentak Ibu. Kalau mereka telah bertengkar, Ibu selalu menangis....Pulang lah, Yah!
Kasihan Ibu....Rasanya ingin aku mengusir Om Darto dari rumah ini. Tapi, aku tidak berani. Karena dia suka melotot dan pemarah.
Aku heran, kenapa Ibu membiarkan Om Darto menumpang di sini, tinggal bersama kami.
Mungkinkah karena menikah itu? Menikah dengan Ibu? Kalau benar demikian, aku ingin hanya Ayah yang menikah dengan Ibu, agar hanya Ayah yang tinggal bersama kami. Biar kita bisa bersama seperti dulu lagi.
"Ayo Faiz! Mandi!"
Aku menoleh, terlihat Ibu telah berada di belakang. Tangannya menggapai lenganku dan menyentak dengan kasar, sehingga aku seperti diseret untuk bangkit.
Setelah aku berdiri, Ibu menarik lenganku dan menyeret menuju kamar mandi.
Tubuhku sedikit miring terseok mengikuti langkah Ibu. Sebelum memasuki rumah, mataku kembali menatap ke arah gang, berharap Ayah ada di sana.
Untuk pulang!
Tapi, gang itu tetap sepi, disapu cahaya mentari yang mulai meredup di ujung sore.
"Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan duduk lagi di depan pintu itu! Ayah Darto tidak suka melihat kamu seperti itu," ucap Ibu, ketika beliau mulai melepaskan pakaianku di kamar mandi.
"Aku menunggu Ayah," jawabku pelan.
"Ayahmu tak akan kembali lagi. Sekarang Om Darto itu yang menjadi Ayahmu," tukas Ibu sambil mengguyur tubuhku dengan segayung air.
Guyuran air membuat tubuhku terasa segar, namun kesegaran itu tidak mengalir ke hati. Karena aku merasa di sana masih kering.
Kering dari kasih sayang orang tua.
"Mulai besok, jangan duduk lagi di sana, ya?" bujuk Ibu, beliau mulai menyabuni tubuhku.
Aku menggeleng, "Aku akan tetap di sana sampai Ayah pulang," ucapku.
"Hihhhh... kenapa kamu keras kepala sekali!" teriak Ibu geregetan, tangannya mencubit lenganku. Terasa perih! Aku sedikit meringis.
"Ayahmu tidak akan pulang lagi! Sekarang Om Darto lah yang menjadi Ayahmu!?"
"Aku tidak mau punya Ayah seperti Om Darto yang galak! Aku ingin Ayahku," tolakku.
"Kamu harus mengikuti apa yang Ibu katakan, kalau kamu masih ingin tinggal di sini bersama Ibu!" suara Ibu mengeras seperti bentakkan.
"Kalau begitu antarkan aku ke Ayah!" suaraku juga ikut mengeras.
Plakkk...
Aku terkejut dan terpana, ketika gayung yang berada di tangan Ibu mendarat di kepalaku.
Ada perih yang kurasakan dibekas hantaman gayung itu. Namun jauh lebih perih rasa yang muncul dalam hati ini.
Tak kusangka, Ibu yang telah melahirkanku begitu tega memukul kepalaku pakai gayung. Dadaku terasa sesak, ingin rasanya menangis.
"Ya, Allah Faiz! Kepalamu berdarah! Makanya, jangan suka bikin kesal Ibu," teriak Ibu sambil memelukku. Bersamaan dengan itu ada cairan hangat yang terasa membasahi kepalaku ... darah.
Dengan panik Ibu mengusap kepalaku yang mengeluarkan darah. Beberapa kali beliau menciumku, mungkin karena menyesal.
Aku hanya diam mematung, sesak di dada semakin menjadi ketika melihat air mata yang membasahi pipi Ibu. Ternyata beliau menangis ... kasihan.
"Apa yang kamu lakukan dengan anak mu itu?!" Om Darto berdiri di pintu kamar mandi, dengan mata merah menatap kami. Mungkin suara Ibu yang membuat dia datang ke sini.
"Kepala Faiz berdarah, aku tidak sengaja memukulnya," jawab Ibu terisak, yang membuat hatiku semakin sedih.
"Memukul anak sampai kayak begitu! Tak ada otakmu sedikit pun, ya?!" bentaknya. Ibu tidak menjawab, telapak tangannya masih menempel di kepalaku.
Walau Om Darto membelaku, namun aku benci sama dia, karena sikap kasarnya pada Ibu selama ini. Aku tak ingin melihatnya lama‐lama, aku melangkah, ingin keluar dari kamar mandi ini secepat mungkin. Ibu berusaha meraih tanganku, tapi aku tepiskan.
Om Darto menyisih ketika aku melewatinya. Aku mempercepat langkah, ingin segera sampai ke depan pintu, siapa tau Ayahku telah muncul di ujung gang.
"Kenapa kamu sekasar itu terhadap anakmu? Sampai rambutnya basah sama darah! Dasar perempuan tolol!" Bentakkan Om Darto terdengar jelas dikupingku, walau aku telah berada di ruang depan.
Terdengar Ibu membela diri, suaranya juga keras. Keributan terjadi lagi antara mereka.
****
"Ya, Allah ... Faiz! Kenapa kepalamu, Nak?"
Aku disambut pertanyaan Pak De Kemal ketika kaki baru menginjak ambang pintu. Beliau adalah Ayah dari temanku ~Dudun.
Ternyata Ayah Dudun baru pulang dari kerja. Dia lewat di depan rumah bersamaan dengan aku baru muncul di depan pintu.
Dengan gegas dia menghampiri, kemudian jongkok di depanku yang membuat tinggi kami sejajar.
"Ya, Allah ... kenapa kepalamu sampai berdarah begini, Nak?" tanyanya sambil mengusap rambutku.
Terlihat kecemasan di wajah Pak De Kemal ketika memperhatikan noda darah yang menempel di telapak tangannya. Mungkin itu darah yang membasahi rambutku tadi.
"Kamu di pukul Ibumu lagi?" tanyanya sambil menatap wajahku lekat‐lekat. Kedua tangannya memegang lenganku.
"Pak De, kepalaku berdarah," ucapku pelan, tanpa mau menjawab pertanyaan Ayah Dudun.
Kalau aku katakan yang sebenarnya, pasti Pak De akan memarahi Ibu.
Dulu, Pak De pernah melihat aku dipukul Ibu. Pak De Kemal marah sama Ibu, bahkan Ibu dan Om Darto di usir dari rumah ini oleh Ayah Dudun itu. Tapi Ibu dan Om Darto tidak mau pergi sampai sekarang.
Ayah Dudun adalah teman kecil Ayahku. Ayah mengajarkan supaya aku memanggil Ayah Dudun dengan sebutan Pak De. Beliau sangat baik, terkadang suka ngasih uang jajan. Tapi herannya, Ayah Dudun juga tidak tau ke mana Ayahku pergi.
"Iya, nggak pa-pa! Ikut ke rumah Pak De, ya? Biar Pak De obati lukamu," ucap Ayah Dudun sambil meraih tubuhku dan beliau menggendongku.
"Apa yang kalian lakukan terhadap Faiz?!" Suara Pak De Kemal menggelegar dengan mata melotot ke ruang depan.
Ternyata di sana ada Ibu dan Om Darto. Mereka berdiri dengan menunduk dekat meja. Jelas kelihatan rona ketakutan di muka mereka.
"Tadi saya tidak sengaja memukul Faiz," jawab Ibu, suaranya bergetar. Entah karena takut atau menahan tangis.
Ibu dan Om Darto memang tak berani sama Pak De Kemal. Mungkin karena perawakkan Ayah Dudun yang tinggi besar dan hitam, atau bisa juga karena Ayah Dudun itu teman kecil Ayahku.
Entahlah...
"Sekarang Faiz saya bawa ke rumah saya. Jangan kalian jemput! Dan jangan pernah bertemu saya sebelum kemarahan saya reda. Khilaf saya nanti, habis kalian saya gor*k!"
Ibu dan Om Darto masih menunduk, tak satupun dari mereka yang membuka mulut mendengar kata-kata Pak De. Mungkin karena suara Pak De Kemal yang begitu lantang.
Setelah menatap Ibu dan Om Darto berapa saat, Pak De Kemal berbalik, kemudian melangkah dengan aku dalam gendongannya.
"Mas Kemal ... bawa pakaian Faiz!" teriak Ibu setelah Pak De berjalan berapa langkah.
Memang, tidak ada selembar benang pun yang melekat di badan, bahkan sisa sabun masih ada yang menempel di bagian tubuhku. Karena mandiku tadi belum tuntas.
Walaupun telanjang, aku tidak merasakan dingin dari tadi, padahal magrib sudah hampir menjelang. Mungkin kesedihan di hati dapat mematikan sebuah rasa.
Rasa dingin!
"Tidak usah!" jawab Pak De ketus tanpa menghentikan langkahnya. Dia berjalan dengan tegap tanpa menoleh lagi ke belakang.
Mataku tidak lepas dari rumah, yang di depan pintunya berdiri Ibu dan Om Darto.
Kesedihan masih terlihat di wajah Ibu, yang semakin lama semakin menjauh dari pandanganku, dan akhirnya menghilang setelah Pak De Kemal berbelok di sebuah tikungan.
Ketika Ibu tidak terlihat lagi, kerinduan pada Ayah kembali mengusik hati. Andai Ayah ada, mungkin semua ini tak akan terjadi.
"Pak De, aku ingin ke tempat Ayah," bisikku di kuping Ayah Dudun.
"Ya, Nak. Nanti Pak De akan mencari Ayahmu," jawab Pak De sambil menepuk‐nepuk pantatku.
Aku tersenyum mendengar janji Pak De. Aku yakin, Ayah Dudun akan memenuhi janjinya. Karena Ayah Dudun adalah orang yang baik.
Orang baik tentu tidak akan mengingkari janjinya, bukan?
Membayangkan akan bertemu Ayah, senyum semakin melebar di bibirku dan mataku terasa berat, lalu semuanya menjadi gelap.
Aku tak ingat apa-apa lagi.BERSAMBUNG
****
Keterangan:
Dudun adalah teman dekat Faiz ~ tokoh utama dalam cerita ini (aku).
Ayah Dudun bernama Kemal, teman kecil dari Thoriq ~ayah kandung Faiz ~ Faiz memanggil Kemal dengan sebutan Pak De.
Darto adalah bapak sambung dari Faiz.
KAPAN AYAH PULANGBAB : 3FAIZ PINGSAN18+POV : DUDUN"Ya Allah ... kenapa si Faiz, Mas?!"Aku dikejutkan oleh teriakan Ibu. Sarung kembali ku lemparkan ke atas ranjang. Gegas aku keluar kamar. Mengabaikan niatku untuk pergi salat berjama'ah ke langgar."Faiz kenapa, Yah?!" tanyaku penuh cemas, ketika melihat Ayah memasuki rumah dengan menggendong Faiz."Di pukul Tina," jawab Ayah. Mungkin jawaban itu untuk Ibu, tapi aku jadi tau apa sebenarnya yang terjadi dengan Faiz, sahabatku itu.Kasihan Si Faiz! Sejak Ayahnya pergi, dia semakin sering dimarahi. Bahkan tidak jarang dipukul. Dulu Faiz juga sering diomelin Ibunya, tapi tidak sampai dipukul, karena selalu ada Ayahnya yang melindungi.Kini yang melindungi itu telah pergi. Kata orang, aAyah Faiz pergi merantau dan tak pulang-pulang. Kata orang juga ... Ta
KAPAN AYAH PULANGBAB KE : 4ULTIMATUM MAS DARTO18+POV : TINA"Tidak bisa lagi, Tina! Aku tidak bisa lagi bertahan di sini. Aku sudah tidak memiliki pekerjaan, aku tidak bisa hidup tanpa uang, sementara semua simpananmu telah habis. Mencari pekerjaan di sini, jelas aku tidak mampu ... mau cari kerja di mana? Apa lagi sikap masyarakat sini yang selalu sinis terhadap kita, membuat aku semakin tidak betah. Setelah kamu memukul Faiz sampai berdarah, pasti mereka semakin tidak senang terhadap kita. Lihatlah, betapa bencinya tatapan Mas Kemal waktu itu. Bisa saja orang tidak waras seperti dia menggor*k kita suatu saat. Kalau kamu masih kekeh tetap ingin tinggal di sini, terserah! Aku akan kembali ke kampungku sendiri. Itu artinya rumah tangga kita bubar!"Ultimatum Mas Darto siang tadi membuat aku gelisah. Walau kantuk telah menyerang namun mata tidak mau terpejam.Mungkin hal
MENYESALBAB KE 5POV : TINA"Belum tidur?"Lamunanku dibuyarkan oleh suara Mas Darto. Aku menggeleng setelah menoleh ke arahnya."Kenapa?" tanyanya, lalu menggeliat. Terdengar suara gemeretuk dari tubuhnya, mungkin dari tulang persendian yang beradu.Dia bangun dan duduk bersandar di sisi ranjang. Akupun ikut bangun dan melakukan hal yang sama. Kini kami duduk sejajar sambil bersilonjor."Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan," jawabku sambil merapikan rambut."Soal rencana mau pergi ke kampung aku itu?" tanyanya menebak."Iya, aku seperti menghadapi buah simalakama.""Kenapa harus begitu? Itu kan cuma pilihan! Kamu boleh memilih apa yang kamu inginkan. Kalau mau ikut bersamaku, ayo! Kalau tidak, aku tidak memaksa!"Aku me
BAB KE 6MENJEMPUT FAIZPOV : NITA"Faiz ... jangan menangis! Ibu mu kan telah datang!"Suara Dudun beriring isak membuat aku mengangkat wajah. Dari sela bahu dan leher Faiz aku mengarahkan pandangan pada bocah itu.Dudun perlahan menghampiri kami, terlihat dari matanya menggulir tetesan bening yang jatuh di pipi.
BAB KE : 7KEINDAHAN BERSAMA IBUMalam itu Faiz di lepas dengan lambaian tangan oleh keluarga Mas Kemal."Hati-hati di sana ya, Faiz! Kalau Om Darto melotot, kabur aja ke sini!" teriak Dudun dalam isak, ketika Tina dan Faiz baru berjalan berapa langkah.Jelas teriakan Dudun itu membuat keki hati Tina. Bocah ini benar-benar tukang hasut kelas berat, batin Ibu Faiz tersebut."Iya, Dun!?" balas Faiz dengan teriakan juga.Dia menoleh ke belakang sambil melambaikan tangan.Dengan cepat Tina meraih tangan Faiz, meraih dengan lembut dan tak melepaskannya. Sehingga mereka berjalan sambil bergandeng tangan.Peringatan Dudun mungkin karena rasa persahabatan yang kental antara mereka. Rasa takut akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap Faiz.Apa lagi hati Dudun sedang dipenuhi oleh rasa khawatir. Khawatir tidak akan bertemu lagi dengan Faiz ... khawatir Faiz akan di pelototin Om Darto dan khawa
TIDUR BERSAMA IBUBAB KE : 8Di ambang pintu, Tina tidak mengetuk seperti perkiraan Faiz. Cukup sekali dorong, pintu itu telah terbuka. Mereka masuk tanpa salam.Faiz merapat mengikuti langkah Ibunya dari belakang, dengan kedua tangan berpegangan pada baju Tina. Sekali-kali mata Faiz mengintip lewat punggung Ibunya. Menyapu ruang depan mencari sosok Darto. Entah kenapa ada rasa malas di hati Faiz untuk bertemu dengan Darto. Untunglah di dekat meja ruang depan, sosok itu tak terlihat.Walau menurut Tina, Om Darto sudah jadi baik. Tapi Faiz tetap tidak berani bertemu dengannya. Faiz takut di pelototin.Tina terus melangkah menuju ruang tengah yang berbatas dengan dapur dan kamar mandi. Sebelum memasuki ruang tengah, Faiz menghentikan langkahnya. Sehingga bagian baju Tina yang dipegang Faiz seperti ditarik dari belakang.Tina pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang menatap Faiz."Aku tidak mau ke san
KAPAN AYAH PULANGBAB KE : 9CELEENGAN FAIZSetelah Faiz tidur, perlahan Tina turun dari ranjang. Dia turun dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara atau gerakkan yang bisa mengganggu kenyenyakkan Faiz.Bahkan ketika menuju pintu kamar, Tina berjalan dengan mengendap-endap. Menjaga langkahnya agar tidak menimbulkan suara sedikit pun.
KESEDIHAN THORIQBAB KE : 10Bus berjalan pelan di sela perbukitan membelah jalan utama antar provinsi.Medan yang sulit, dengan belokan dan tanjakkan di sisi lereng membuat awak armada harus ekstra hati-hati.Berapa kali penumpang seperti di ayun saat bus merambah area yang tak rata dan menurun.Perjalanan ini sangat berat dan melelahkan bagi sebagian besar penumpang. Wajah mereka begitu kuyu dan terlihat letih.Wajah kuyu dan letih itu juga tersirat dari muka Thoriq. Lelaki yang hanya duduk diam dekat jendela.Bangku di sebelahnya kosong, sehingga sepanjang perjalanan tidak ada orang yang bisa diajak untuk mengobrol.Tapi, andaipun ada.Mungkin dia akan tetap memilih diam, karena Thoriq bukanlah tipe lelaki yang suka banyak bicara. Apa lagi seperti saat ini, dimana dia lebih sibuk dengan pikirannya sendiri.Pikiran yang berkecamuk dengan segala kesedihan. Kes
BAB KE : 19716+Setelah pertemuan itu, hubungan mereka pun semakin membaik, malah Dudun dan Faiz hampir tiap minggu bertandang ke rumah Sisilia. Setiap hari libur, mereka berkumpul di rumah Sisilia, ada-ada saja yang mereka lakukan untuk menuai kebahagiaan. Tidak hanya Dudun dan Faiz. Naufal dan istrinya juga suka ikut berkumpul bersama mereka. Satu hal yang paling membuat Sisilia terharu. Perhatian Naufal, Dudun dan Faiz sangat luar biasa kepada papanya. Padahal Sisilia telah mengetahui bahwa orang tua Naufal dan Dudun juga termasuk korban kejahatan papanya di masa lalu, walau hal ini masih mereka rahasiakan pada Karta Setiawan. Anak-anak dari korban pembunuhan Karta Setiawan itu malah paling senang mendorong kursi roda Karta Setiawan, bahkan mereka tidak pernah bosan melatih Karta Setiawan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kesehatan papa Sisilia tersebut. Pertemuan demi pertemuan, telah membuat cinta mereka semakin mekar, bahkan Faiz tidak sungkan lagi menyusul S
BAB KE : 19616+Faiz merasa heran dengan perubahan sikap Dudun dan Naufal itu, padahal jelas sekali betapa besar keinginan Dudun untuk balas dendam beberapa hari yang lalu. "Kita tidak perlu lagi menuntutnya, karena Tuhan telah memberi teguran pada beliau, dan beliau telah menyesali perbuatannya," jawab Naufal. "Lalu, bagaimana dengan kamu, Dun?" Faiz mengalihkan pertanyaan pada Dudun yang sedang mengemudi. "Sebelum ke sini, kami telah membicarakan tindakan apa yang akan kami lakukan, dan inilah yang terjadi. Kalau mau detilnya, tanya saja pada Mas Naufal, apa yang dilakukan Mas Naufal tadi adalah keputusan Mas Naufal sendiri. Tapi saya mendukung, karena memang itu yang terbaik," jawab Dudun sambil melirik kaca spion dalam. Dia menatap wajah Faiz sekilas dari sana. Saat ini Faiz dan Naufal duduk berdua di bangku tengah, sedangkan Dudun sendirian di depan memegang kemudi. Rupanya sebelum menemui Sisilia, Naufal dan Dudun sempat berdiskusi. Naufal meminta Dudun untuk menjaga per
BAB KE : 195 16+Seketika dada Faiz bergemuruh, gemuruh itu bertalu dengan rasa cemas yang kembali hadir. Faiz dapat menebak apa maksud ucapan Dudun itu. Naufal pun tertegun ketika mendengar apa yang disampaikan Dudun, dia menatap Dudun sesaat, seakan sedang memikirkan sesuatu. "Oh, iya. Hampir lupa," jawab Naufal kemudian, lalu ujung matanya melirik pada Faiz.Naufal tercenung dengan raut serius, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya, kemudian dia bangkit, membuat semua yang ada di ruangan itu mengarahkan mata pada Naufal. "Kamu berdiri, Dun!" perintah Naufal pada Dudun. Dudun pun mengikuti titah kakaknya. "Dorang kursimu ke belakang!" Naufal kembali memerintah yang segera dilaksanakan Dudun. Hati Faiz semakin cemas melihat tingkah kedua kakak-beradik itu. Raut heran juga tergambar di wajah Vira, Sisilia dan Karta Setiawan. Naufal berjalan di antara celah meja dan kursi yang didorong Dudun tadi.Setelah posisinya berada antara Faiz dan adiknya, Naufal mendorong meja
BAB KE : 19416+Kemudian kalimat itu juga dapat dijadikan bamper oleh Faiz. Seandainya Naufal mengatakan akan menuntut Karta Setiawan, atas apa yang telah dia lakukan pada orang tua mereka. Faiz punya kesempatan untuk membela Karta Setiawan, tentu perasaan Sisilia akan terobati dengan pembelaan Faiz nantinya, karena Sisilia telah mengetahui isi hati Faiz berdasarkan ucapan Naufal tadi."Berarti mereka memang sehati. Sisilia juga seperti itu, dia tidak akan menikah kalau tidak dengan Faiz." Tawa Vira kembali meledak di ujung kalimatnya. "Saya tidak ada berkata seperti itu!" Cubitan Sisilia langsung mendarat di lengan Vira, yang membuat Vira meringis.Ruangan itu kembali penuh oleh suara tawa Naufal, Dudun dan Vira. Karta Setiawan juga ikut tertawa walau tawanya belum begitu jelas."Yang sehati, sebenarnya saya dengan kamu! Saya tidak nikah-nikah, kamu juga ikutan menjomblo sampai sekarang," balas Sisilia dengan mulut geregetan. Tangan Sisilia kembali bergerak untuk mencubit Vira,
BAB KE : 19316+Karta Setiawan duduk berhadapan dengan Dudun. Mereka juga dipisahkan oleh meja yang sama, dari ujung ke ujung, mungkin jaraknya sekitar satu meter.Setelah beberapa saat, Naufal mulai berbicara untuk menyampaikan apa sebenarnya tujuan dan maksud mereka datang. "Nama saya Naufal dan ini adik saya Dudun Suparman. Kami adalah keluarga Faiz." Naufal mengawali dengan memperkenalkan diri pada Sisilia dan Karta Setiawan, setelah melirik ke arah Faiz, dan memastikan bahwa Faiz telah siap mendengar apa yang akan dia sampaikan. Perkenalan Naufal hanya dijawab dengan anggukan oleh Sisilia dan Karta Setiawan. "Sebenarnya tujuan kami ke sini, memang membawa maksud tertentu yang ingin kami sampaikan, tapi ijinkan kami terlebih dulu mengucapkan terima kasih pada Sisilia yang telah bersedia merawat Faiz, walaupun pada saat itu keadaan rumah sakit sangat sibuk, tapi Sisilia bersedia menangani Faiz dengan cepat."Naufal menatap Sisilia sesaat, lalu beralih pada Vira yang ada di s
BAB KE : 19216+Meskipun Dudun seorang police yang bermental baja, tapi rasa haru juga menyeruak ke dalam hatinya menyaksikan adegan yang terjadi di depan matanya. Begitu pula dengan Naufal.Bola mata kakak-beradik itu memerah dengan kilauan seperti kaca. Mereka berusaha keras agar air yang ada di bola mata mereka tidak merembes keluar. Begitu pula dengan perawat Karta Setiawan, walau tidak mengetahui peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, tapi melihat adegan tersebut, dia pun tidak mampu menahan tangis.Faiz masih terpaku di samping Sisilia, dia hanya menunduk tanpa berani menatap siapa pun. Sementara air matanya ikut berlinang di pipi. Entah sudah berapa kali Faiz mengusap wajah, demi mengapus air yang ada di sana. "Su-su-ruh-lah me-me-reka ma-masuk!" ucapan Karta Setiawan menyadarkan mereka semua, sehingga apa yang sedang menumpuk di pikiran mereka langsung buyar. "Eh, iya! Ayo masuk, Mas!" Vira menghadap Naufal dan Dudun. Terdengar suara Vira agak serak dalam isak, mungkin
BAB KE : 19116+Sebelumnya, jangankan untuk mengangkat tangan, untuk menggerakannya saja Karta Setiawan sudah kesulitan. Tidak hanya itu, pertemuannya dengan Faiz, juga telah membuat Karta Setiawan mampu berbicara, walaupun dengan susah payah dan terbata-bata, serta perlu waktu yang cukup lama untuk menyampaikan sepotong kalimat, tapi apa yang disampaikannya dapat dimengerti. Wajar, jika hal itu merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan bagi Vira, bahkan dia menganggap kejadian ini adalah sebuah keajaiban. "Papa ...! Heiiiyyy, apa yang kalian lakukan pada papa saya?!"Sebuah bentakan mengejutkan mereka yang ada di halaman. Perawat, Vira, Dudun dan Naufal serentak menoleh ke sumber suara tersebut. Faiz melepaskan pelukannya dari Karta Setiawan, kemudian ikut menoleh ke arah Sisilia yang telah berada di depan pintu. Dengan susah payah Karta Setiawan juga memalingkan mukanya ke arah Sisilia. "Naak-nak!" cukup keras suara yang keluar dari mulut Karta Setiawan memanggil anaknya
BAB KE : 19016+"Saya baik-baik aja Faiz .... " Vira menjawab pertanyaan Faiz setelah mereka berhadapan. "Eh, ya. Sampai lupa! Ayo masuk!" lanjut Vira ketika matanya menoleh pada Naufal dan Dudun. Vira sedikit kikuk menatap ke dua lelaki yang ada di depannya. Dia merasa malu karena belum sempat menyapa atau sekedar mengangguk pada dua lelaki yang posisinya jauh lebih dekat dengannya.Karena keterkejutannya ketika melihat Faiz, membuat Vira mengabaikan kedua lelaki tersebut. "Kenalkan. Saya Naufal dan ini Dudun, adik saya. Kami masih saudaranya Faiz." Sebelum melangkahkan kaki, Naufal memperkenalkan dirinya dan Dudun. "Saya Vira," jawab Vira sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada dengan sedikit menundukan kepala tanda hormat, kemudian matanya kembali melirik pada Faiz. "Kalau Faiz, tidak perlu saya perkenalkan lagi, kan?" Senyum lepas dari bibir Naufal sambil ikut melirik ke arah Faiz. Dudun juga ikut tersenyum, hanya wajah Faiz saja yang masih terlihat agak tegang, b
BAB KE : 18916+Sejak kedatangan Vira, hampir setiap hari terdengar gelak tawa dari dalam rumah tersebut. Bahkan hampir saban hari mereka pergi jalan-jalan untuk menikmati indahnya Ibu Kota. Setiap pergi jalan-jalan, Sisilia selalu membawa semua orang yang bekerja di rumahnya, Disamping untuk berbagi kebahagiaan, tenaga mereka juga bermanfaat untuk memindahkan Karta Setiawan dari kursi roda ke dalam mobil, begitu pula sebaliknya. Ketika Sisilia menceritakan pertemuannya dengan Faiz pada Vira, tentu saja hal tersebut membuat Vira sangat terkejut, yang bahkan membuat dia sulit mempercayainya. Vira tidak pernah menyangka, Sisilia akan bertemu lagi dengan Faiz yang telah sekian lama menghilang, tapi itulah kekuasaan Tuhan, apa-apa yang tidak kita sangka, bisa saja menjadi kenyataan. Akhirnya Sisilia berkonsultasi dengan Vira tentang banyak hal, terutama tentang Faiz dan rasa yang ada di hatinya. Sisilia dan Vira adalah dua orang sahabat yang sama-sama berhasil menggapai impianny