Dering ponsel mengalihkan perhatian Kanaya dari kenangan dan dendam yang ia simpan di hatinya. Ia menghapus kasar air mata yang masih mengalir di kedua pipinya kemudian beranjak menuju ruang tengah dimana ponselnya berada.
Ia menghela nafas demi untuk menetralkan perasaan yang bergejolak di hatinya sebelum menjawab panggilan."Halo!" jawabnya pada si penelpon."Kak Naya baik-baik saja?" tanya seorang lelaki di seberang sana."Ya, Kakak baik-baik saja! Tenanglah! Kerjakan tugasmu dengan baik, jangan sampai ketahuan!" pesannya sebelum mengakhiri panggilan."Baik, Kak! Pasti!" jawab orang itu yakin. Kemudian mematikan panggilan.Kanaya meremas kuat ponsel dalam genggamannya, kilatan kemarahan terpancar jelas di sorot matanya meski masih berkabut."Bersiaplah, Suci!" gumamnya dibarengi dengan seringaian dari bibirnya.Ia segera beranjak dari ruang tengah menuju kamarnya. Lantas bersiap pergi ke suatu tempat.Sementara itu di perjalanan pulang, berkali-kali Suci mengumpat sembari memukul setir mobil."Berengs*k! Si*lan kamu Naya!" jeritnya dengan emosi yang meledak-ledak.Baru kali ini dia kalah dari seorang wanita. Ya, kalah telak oleh seorang Kanaya yang baginya hanya seorang upik abu. Suci merasa Kanaya tak sebanding dengannya dari segi manapun. Baik dari fisik, maupun derajat hidupnya. Tapi, Bara begitu mencintai wanita itu. Bahkan, segala cara sudah ia lakukan untuk memisahkan Bara dan Kanaya. Ia hanya berhasil memiliki raga Bara tapi tidak dengan hati dan cintanya.Perjanjian palsu yang sengaja dilanggar olehnya hanya membuat Bara semakin dingin terhadapnya. Membuat Bara semakin tak menganggapnya ada. Bahkan, kini dia rasa Bara semakin jauh dari genggamannya."Bod*h!" kembali ia luapkan pada setir kemudi.Rasa takut akan kehilangan Bara semakin membuatnya emosi, terlebih seorang Kanaya yang ia anggap tak sederajat dengannya, sudah memegang kartu ASnya bahwa dirinya bukan putri kandung Aryo Wijaya. Ini sesuatu yang membuatnya semakin kehilangan akal."Gak! Gak ada yang boleh tahu kalau aku bukan anak Papa! Bisa hilang semua aset yang selama ini akan diberikan padaku! Aku harus secepatnya meminta Papa memberikan seluruh hartanya padaku. Tapi, gimana caranya?" monolognya sembari melajukan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Tiba-tiba ia teringat akan Mamanya, senyum samar terbit dari bibir bergincu merah menyala itu."Mama! Iya, Mama! Aku harus kesana!"Ia lantas menginjak pedal gas, menambah kecepatan laju mobilnya. Tak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Aryo Wijaya yang berada di kawasan elit ibu kota."Ma! Mama!" teriaknya begitu pembantu rumah megah itu membukakan pintu untuknya. Ia segera masuk ke dalam rumah sembari terus berteriak memanggil Mamanya."Apa sih, Ci! Teriak-teriak kayak di hutan kamu ini!" kesal sang Mama dari ujung tangga lantai dua rumah mewah itu. Dengan kesal ia menuruni anak tangga dan menghampiri putrinya yang duduk dengan angkuh di salah satu sofa besar ruang keluarganya."Ma, gawat!" paniknya begitu sang Mama mendekat."Apa sih kamu! Kayak gak sekolah saja, masuk rumah pakai teriak-teriak segala! Kalau Papa tahu bisa habis kamu dimarahi!" sungut sang Mama lagi sembari menjatuhkan bobot di samping putrinya."Lagian Papa juga lagi gak ada, kan? Jadi ngapain Mama sewot!" ucapnya enteng sembari melipat tangannya di dada."Ini gawat, Ma! Kanaya sudah tahu kalau aku bukan anak kandung Papa!" desisnya pelan namun tajam. Mendengar aduan putrinya sontak Ratna menoleh dengan mata melebar sempurna."Jangan ngaco kamu!" paniknya sembari menoleh ke sekeliling ruangan takut ada yang mendengarkan. Tanpa mereka sadari, ada seseorang di balik tembok menyeringai mendengar pengakuan Suci."Bener, Ma! Barusan aku dari sana, niat mau cari Bara! Tapi, justru dia mengancamku, Ma!" lanjut Suci dengan suara panik."Ngancam gimana maksudnya?" "Kanaya tahu jika ada perjanjian antara aku dan Bara diawal pernikahan kami. Bahkan dia mengatakan jika dia tahu kalau aku bukan anak kandung Papa! Dia gak akan tinggal diam dengan apa yang sudah kita lakukan padanya, Ma!" jelasnya lagi."Sebenarnya siapa si Kanaya itu? Selama ini hanya ada beberapa orang yang tahu kalau kamu bukan anak Aryo. Kita, Dewa, Bik Rum, Arkan dan Rinjani!" Ucapnya setengah berbisik sembari mengingat-ingat nama-nama yang mengetahui rahasia mereka."Apa ini ulah salah satu dari mereka, Ma? Tapi, siapa?" Suci ikut berpikir dengan keras siapakah dalang dari bocornya rahasia mereka."Bik Rum sudah kembali ke kampungnya jauh sebelum kamu lahir, jadi Mama rasa tidak mungkin tiba-tiba Bik Rum bisa mengenal Kanaya. Arkan? Rasanya tak mungkin, karena setiap hari dia bersama Mama di rumah. Mama sangat mengenal Arkan, bahkan dia tahunya Mama adalah ibu kandungnya. Tak mungkin rasanya dia berbuat sejauh itu." gumam Ratna."Apa, ini ulah Rinjani, Ma?" tebak Suci lagi membuat Ratna menoleh."Rinjani? Rasanya tak mungkin Rinjani mengenal Kanaya, sampai hari ini Rinjani masih berada di dalam pengawasan kita dan orang-orang kepercayaan Mama! Bagaimana bisa?" "Lalu siapa, Ma? Gak mungkin Papa Dewa yang mengatakan pada Kanaya, kan?" lirih Suci semakin gusar.Di tengah kepanikan ibu anak itu ada seseorang dengan senyum mengembang melihatnya. "Selamat datang kehancuran kalian!" gumamnya tersenyum licik. Ia segera mengatur ekspresi wajahnya sebelum keluar dari persembunyian."Ma! Mama!" teriaknya dari arah belakang hanya demi untuk mengalihkan perhatian ibu dan anak itu."Ya, Kan! Mama di ruang tengah! Ada Suci, nih!" jawab Ratna berteriak juga. Tak lama Arkan datang menghampiri mereka dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya."Hai, Ci! Kapan datang?" sapanya pada adik perempuannya itu."Belum lama, sih. Dari mana kamu?" tanyanya setelah Arkan menjatuhkan bobot di salah satu sofa single."Dari main game sama Ujang di belakang! Sofia gak ikut?" jawabnya santai."Enggaklah! Kamu tuh udah tua, Kan! jangan main game terus kerjaannya. Cari cewek kek, apa gimana kek!" cerocos Suci."Cewek tu ribet banyak maunya. Mending main game, kalau Sofia ikut bisa main sama Sofia, kenapa gk diajak sih?" jawabnya santai sembari menatap layar ponselnya."Benar kata adik kamu, Kan! Kamu udah 25 tahun loh! Masa gak kepikiran mau cari pendamping sih? Ponakan kamu aja udah 2 tahun lebih loh!" lanjut Ratna mendukung putrinya."Kan, Aku udah bilang sama Mama. Urusan pendamping, aku serahkan sama Mama aja! Yang penting Mama suka, cocok ya aku gak masalah. Lagian ya, 25 itu kalau cowok belum waktunya nikah, Suci aja yang kebelet nikah muda, baru 24 tahun anaknya udah 2 tahun." sahut Arkan membela diri."Susah ngomong sama kamu, Kan! Kerja sana gih, bantu Papa!" lanjut Suci."Males, Ci! Lagian ini juga kerja Ci, bisa dapat banyak uang walau cuma main game. Lagian aku gak suka kerja kantoran, ribet! Ntar perusahaan buat kamu aja, aku gak mau!" jawabnya cepat sembari kembali fokus pada layar ponsel, melanjutkan bermain game. Pura-pura lebih tepatnya.Seulas senyum terbit dari bibir Ratna dan Suci, lantas keduanya saling melemparkan pandangan dengan senyum terkembang. Arkan melirik sekilas namun dengan segera kembali menatap layar ponsel supaya Ratna juga Suci tak mengetahuinya."Betewe, jam segini kenapa kemari? Bukannya di kantor?" tanya Arkan mengalihkan pandangan sesaat."Ada urusan sama Mama!" jawab Suci pelan."Tumben? Ada masalah apa? Bara lagi?" Arkan menatap dalam manik mata Suci. Lantas meletakkan ponselnya di meja."Bukan, tapi-" "Kanaya sudah tahu kalau Suci bukan anak kandung Papa!" sahut Ratna memotong ucapan Suci."HAH! Kok bisa?" kaget Arkan dengan ekspresi semeyakinkan mungkin agar Ratna tak curiga."Entahlah! Yang pasti kita harus secepatnya mengambil alih semua harta Papa!" ujar Suci."Ini bukan kerjaan kamu, kan, Arkan?" tuduh Ratna memicingkan mata."Aku? Buat apa? Kenal juga enggak sama si Kanaya! Lagian kalau aku niat bocorin udah dari dulu kali, biar hanya aku yang jadi ahli waris perusahaan Papa, kan?" sanggah Arkan dengan santai."Iya juga, sih! Lalu siapa?" gumam Suci."Bara mungkin?" celetuk Arkan asal."Bara bahkan tak tahu hal ini." dengus Suci."Wah, kalau gitu kita harus cari tahu! Tenang! Biar aku yang cari tahu!" ucap Arkan membuat ibu anak itu manggut-manggut tanda setuju."Kita harus secepatnya bujuk Papa untuk segera mengalihkan semua asetnya menjadi atas nama Suci, sebelum semua terlanjur." usul Arkan meyakinkan."Tapi jangan lupa bagianku, Ci!" kelakarnya lagi sembari tertawa."Ya pastilah kalau soal itu, sesuai kesepakatan diawal, semuanya akan kita bagi 3 secara adil." jawab Suci merasa diatas angin."Tapi, gimana caranya Arkan? Papa bahkan masih mengharapkan kamu menjadi pewarisnya!" sela Ratna."Tenang, Ma! Itu biar jadi bagian Arkan. Arkan akan minta keluar negeri saja biar Papa gak lagi mendesak Arkan melanjutkan bisnisnya, gimana?" usul Arkan lagi."Tapi, apa Papa setuju?" Ratna terlihat ragu akan ide Arkan."Ya, Mama yakinkanlah! Bilang sama Papa kalau Arkan harus mengejar mimpi Arkan menjadi gamers dunia gitu. Yakinkan Papa, kalau Arkan benar-benar gak mau kerja kantoran!" sahut Arkan lagi."Baiklah kalau gitu, kita akan coba bicara sama Papa, secepatnya!" putus Ratna dan diangguki kepala oleh kedua anaknya itu.Arkan menyandarkan punggungnya sembari tersenyim licik, senyum yang hanya dia yang tahu artinya.☘☘☘"Hay, Sayang!" sapa Bara kala melihat Kanaya berjalan mendekat ke arahnya. Saat ini mereka bertemu di salah satu restoran milik Bara yang tak diketahui Suci."Kita bicara di dalam, ya?" ajak Bara setelah Kanaya sampai."Oke, Mas masuk dulu karena ada yang aku dan Riko kerjakan." sahut Kanaya dan diangguki kepala oleh Bara. Setelahnya Bara masuk ke dalam ruanganya.Kanya segera memposisikan diri untuk dipotret oleh Riko, yang merupakan orang suruhan Suci untuk mengawasi pergerakan Kanaya. Namun, Riko lebih memilih berkhianat terhadap Suci yang dia rasa terlampau arogan dan memilih bekerja sama dengan Bara dan juga Kanaya, yang sudah menyelamatkan hidup istri dan anaknya.Sebelum Riko mengambil gambar, tak lupa Kanaya meminta bantuan salah satu pengunjung untuk bersedia difoto bersamanya. Kemudian foto-foto itu akan Riko kirimkan pada Suci."Sudah, Bu!" ucap Riko pada Kanaya."Baiklah! Kalau begitu kamu tunggu di sini saja. Saya mau bicara sama Mas Bara." titahnya kemudian ia berlalu masuk ke dalam ruangan Bara."Jadi, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Bara saat Kanaya sudah duduk di sampingnya."Entahlah, kita tunggu kabar dari Arkan saja dulu. Aku rasa sekarang ini Suci dan Ibunya sedang kelabakan menyusun rencana mengambil alih aset harta Aryo Wijaya!" jawab Kanaya pelan namun penuh kebencian saat menyebut nama Aryo.Bara mengusap lembut bahu Kanaya memberinya ketenangan dan kekuatan."Nay, Mas yakin kamu kuat! Ada kami di pihakmu! Ada Mama juga Bunda!" ucap Bara menguatkan Kanaya."Pasti, Mas! 30 tahun bukan waktu sebentar aku merasakan kerasnya hidup. Dan kini, tinggal sedikit lagi aku akan mendapatkan apa yang seharusnya Mama dapatkan." ucapnya berapi-api."Pasti, Sayang! Kami akan selalu ada saat kamu butuhkan." "Makasih, Mas! Sudah sejauh ini membantuku! Lalu apa rencanamu mengenai Sofia? Jujur aku tak tega jika anak yang tak berdosa itu ikut terlibat dalam masalah kita." ungkap Kanaya jujur."Kamu tenang saja! Begitu hasil tes DNA keluar, aku baru bisa mengambil sikap terhadapnya." jawabnya sembari mengusap kepala Kanaya."Tadi, Suci kembali ngamuk ke rumah. Memangnya sudah berapa hari kamu tak pulang?" tanya Kanaya menatap Bara."Hampir satu minggu! Biarlah, semakin dia emosi semakin mudah menghancurkannya." jawabnya santai."Pulanglah! Aku tak mau terus diteror oleh wanita si*lan itu!" bujuk Kanaya sedikit jutek. Bara justru terkekeh melihat ekspresi wajah Kanaya."Bukankah kamu sudah biasa berhadapan dengan wanita ular itu?" kekehnya lagi membuat Kanaya mencebik."Kadang lelah juga, Mas ngadepin dia!" ungkap Kanaya jujur."Sabar sebentar lagi, Sayang! Aku yakin kamu bisa!" ucapnya sembari mencubit hidung bangir Kanaya."Apaan sih, Mas!" cebiknya."Mas ada ide untuk membuat wanita ular itu semakin kelabakan." ujarnya dengan seringaian kecil."Ide apa?" tanya Kanaya bingung.Bara membisikkan idenya pada Kanaya, lantas Kanaya tersenyum licik dengan menaikkan satu alisnya."Aku setuju!" ucap Kanaya tersenyum miring."Bersiaplah mendapat kejutan lain, Suci!"🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀Hari menjelang malam kala Suci melangkahkan kakinya keluar dari salah satu cabang resroran milik Bara. Dengan raut kesal ia kembali ke dalam mobil dan mentutup pintunya keras."Aarrrrgggghhhttttt!!" teriaknya frustasi sembari memukul setir kemudi."Bara, kamu di mana?" lirihnya berbarengan dengan air mata yang mengalir dari kedua netranya.Ia menghela nafas besar berkali-kali demi untuk menghalau sesak mengingat sang suami yang sudah hampir satu minggu ini menghilang bak ditelan bumi.Satu persatu cabang restoran milik suaminya ia datangi, namun hasilnya nihil. Semua karyawan kepercayaan tak ada satupun mengetahui keberadaan sang bos. Teman dekat dan sanak saudara yang ia kenal pun tak luput dari penelusurannya. Dan hasilnya masih sama, tak ada satupun mengetahui keberadaan Bara.Lama ia larut dalam pikirannya tentang keberadaan sang suami, dering ponsel dalam tasnya mengalihkan perhatian. Ia menyeka kasar air mata yang masih membasahi pipinya, lantas merogoh ponsel dari dalam tas. Te
[Kak, rencana kita berjalan lancar][3 hari lagi jalankan rencana berikutnya] Kanaya tersenyum simpul membaca pesan yang dikirimkan Arkan padanya. [Baik, jangan lupa tanda tangan Aryo harus kamu dapatkan]Pesan balasan ia kirimkan secepatnya. Dan segera centang biru oleh Arkan.[Tenanglah, aku bahkan sudah nendapatkan tanda tangan berikut uang 1 M] [Nanti siang kita ketemu di tempat biasa]Kanaya menggeleng tak percaya sejauh itu Arkan melangkah. Tapi, ada bagusnya juga Arkan mendapat uang itu, setidaknya dia tak harus bergantung pada uang Bara dan Bundanya.Kanaya segera menghubungi Bara dan mengabarkan perihal ini. Mereka sepakat utuk menyusun rencana berikutnya.Usai bertukar kabar, Kanya bersiap untuk pergi ke suatu tempat yang selalu ia kunjungi setiap 3hari sekali.Sembari bersiap ia memesan taksi online dan juga mengirim pesan pada Riko memberitahukan agenda kepergiannya hari ini. Agar Riko bisa membuat sandiwara pada Suci, sehingga Suci tak berulah yang akan menggagalkan re
Di sebuah restoran mewah bernuansa hijau dengan konsep outdoor itu, terlihat Suci tengah berbincang serius dengan dua orang paruh baya, Ratna dan Dewa."Ma, aku harus gimana sekarang?" lirihnya sembari meremas rambutnya frustasi. Ratna mengusap pelan punggung putri kesayangannya itu.Baru saja Suci menceritakan perihal gugatan cerai yang Bara berikan untuknya kepada Ratna dan Dewa, ayah kandungnya."Satu masalah belum selesai, justru tambah lagi dengan masalah lain. Gimana ini?" ungkap Ratna ikut terlihat panik."Aku curiga, salah satu orang kepercayaan kita berkhianat!" ujar Dewa mencoba tenang."Tapi siapa kira-kira, Pa!" gumam Suci."Entahlah, bahkan orang-orang kantor sudah mulai berkasak-kusuk mengenai legalitas nama pemilik perusahaan. Ruang gerak kita semakin sempit dengan kembali masuknya Wartini sebagai pemegang saham mayoritas dari ANGKASAJAYA grub. Itu semakin menekan posisi kita. Bisa-bisa perusahaan akan bangkrut dan jatuh ke tangan PT. ANGKASA." tambah Dewa meraup wajahn
"Arrrgghtt!!!" Jerit Suci untuk yang kesekian kalinya, ia melampiaskan seluruh amarahnya pada apa saja yang ia temui di kamarnya. Bantal, guling, tas, vas bunga sampai meja riasnya tak luput dari amukan wanita berambut panjang itu. Kondisi kamar yang sudah layaknya kapal pecah dengan semua barang berhamburan di lantai. Tubuhnya merosot ke lantai, ia tergugu dalam penyesalan dan amarah yang tak bisa lagi ia kendalikan. Jika saja ia tak mempermainkan janjinya pada Bara, mungkin sekarang dia masih bisa mendekap Bara dalam pelukannya. Meski, ia hanya mendapatkan raganya saja, tidak dengan hati dan cintanya. Tapi, setidaknya dia masih bisa bersama sebagai pasangan suami istri dan keluarga utuh.Cinta yang begitu membara, membutakan akal sehatnya hingga ia turut berambisi memiliki Bara seutuhnya. Namun, semakin ia genggam, Bara semakin jauh. Perlahan demi perlahan, Bara tak lagi mampu ia jangkau akibat dari ulahnya sendiri yang terlalu kemaruk dan ambisius.Air mata kian deras mengalir s
Bara dan sang Bunda kini tengah berada di perjalanan menuju vila dimana akan diadakan perayaan ulang tahun Rinjani."Jadi apa, ANGKASAJAYA sudah berantakan, Bund?" tanya Bara memecah keheningan."Tentu! Bunda rasa, dalam waktu dekat ini Dewa dan antek-anteknya kalang kabut mencari investor yang mau membeli saham ANGKASAJAYA secara ilegal dan tanpa sepengetahuan Aryo." jawab Wartini sembari menatap lurus pada jalanan."Sudah ada tebakan calon kandidatnya, kah?""Bunda rasa, jika tidak pada INDOKARYA ya pasti Bank Central. Tapi, kemungkinan lebih besarnya ke INDOKARYA. Kau tentu paham akan alasannya, bukan?" ucap Wartini menoleh sekilas pada putra tunggalnya itu."Ya dan Bara punya ide untuk hal itu." jawab Bara menampilkan senyum liciknya."Bunda selalu percaya pada rencana yang kalian buat! Itu sangat menganggumkan!" dukung Wartini sembari turut tersenyum simpul.Keduanya lantas terlibat obrolan layaknya teman, tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan vila milik keluarga Rinjani."B
Brak!"Apa ini?!" Dewa menggebrak meja dan membanting map berwarna kuning itu kasar ke atas meja kerjanya. Dengan amarah yang meluap ia bangkit berdiri dan berkacak pinggang di hadapan Sekar, sekretarisnya dan Marsya, manager keuangan kepercayaannya.Sekar menunduk untuk menutupi senyum tipis yang terulas di bibirnya."Bajing*n! Berengs*k! Bukankah mereka memberi waktu sampai akhir minggu ini?" desisnya emosi."Benar, Pak! Tapi, sudah ada beberapa perusahaan yang mengajukan value untuk melepas saham mereka pada PT. ANGKASA. Hingga hari ini, saham yang dimiliki PT. ANGKASA meningkat menjadi 30, 19% dan kemungkinan akan meningkat lebih banyak lagi jika kita tidak segera mengambil tindakan." jelas Marsya menekankan.Dewa frustasi, jika sampai kabar ini sampai ke telinga Aryo, maka sudah dapat dipastikan ia akan membusuk di penjara."Sial*n! Sekar, buatkan janji dengan Mukti Prakoso INDOKARYA siang ini juga, karena cuma dia yang mau membeli saham kita." titah Dewa.Sekar segera berlalu d
"Bik, apa Bara pulang ke sini kemarin?" tanya Suci lemah begitu ia menginjakkan kakinya kembali di rumah yang selama 3 tahun ini ia tempati dengan Bara."Iya, Non. Den Bara pulang dan tidak kemana-mana selama 2 hari ini. Tapi, tadi pagi pergi ada meeting gitu." jelas Bik Isah.Suci menghela nafas besar, kemudian ia melangkah menuju kamarnya di lantai 2. Kini kondisi kamar sudah pulih kembali, meski beberapa barang hancur akibat ulahnya. Termasuk beberapa parfum mahal dan kaca meja riasnya pun terbelah jadi 2 bagian.Kembali ia tersenyum getir mengingat kebodohannya sendiri.Ia melangkah keluar menuju kamar Bara yang terletak di seberang kamarnya. Namun, terkunci. Ia mendesah kesal, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.Kembali ia memutar otaknya untuk bisa keluar dari masalah pelik yang menjeratnya ini. Cinta dan obsesinya memiliki Bara nyatanya menghancurkan segalanya. Segala rencana yang telah lama disusun oleh orang tuanya terancam berantakan dan kehancuran kian dekat d
"Surat balik nama seluruh aset PT. PURAJAYA menjadi nama Aryo Wijaya. Tapi anehnya, disana tertulis nama Arkan sebagai pemberi kuasa." jelas Kanaya membuat Rinjani menggelengkan kepala pelan."Jadi, Aryo berhasil menguasai PURAJAYA?" gumam Rinjani lirih."Naya rasa belum, Ma. Karena Arkan tidak pernah menandatangani surat kuasa itu. Bahkan, kini justru Arkan yang telah mendapat tanda tangan Aryo untuk balik nama aset PT. ANGKASAJAYA. Memang belum diproses karena Arkan harus kucing-kucingan dulu dengan Aryo. Malam ini, Arkan sampai ke Indonesia lagi dan kemungkinan besok atau lusa baru surat itu akan kita bawa ke Pak Wahono.""Wahono?" tanya Rinjani meminta penjelasan karena nama itu asing baginya."Pak Wahono pengacara keluarga kita, Ma. Anak sulung dari Pak Marko, beliau yang menggantikan Pak Marko mengangani seluruh urusan keluarga Sutedja." jelas Naya lagi."Memang ke mana Pak Marko?" "Pak Marko sudah meninggal hampir 10 tahun yang lalu, Ma. Menurut Arkan, Pak Marko meninggal lant
Dua bulan kemudian. . ."Selamat ya, Nay! Akhirnya, sah!" ungkap Kema sembari memeluk sahabat baiknya itu.Pernikahan impian itu akhirnya digelar dengan sangat mewah. Ribuan tamu undangan hadir untuk menjadi saksi atas pernikahan kedua pasang pengusaha ternama itu. Ratusan wartawan saling berdesakan untuk meliput momen sakral itu.Kanaya tampil luar biasa cantik dan anggun dengan balutan gaun mewah rancangan designer ternama tanah air. Bersanding dengan sang suami yang nampak begitu bahagia dengan senyum merekah sepanjang acara berlangsung.Rinjani, Wartini dan orang-orang yang mengasihi mereka tampak begitu bahagia. Bik Rum terlihat meneteskan air mata sepanjang acara berlangsung. Ia terharu dan bahagia melihat Kanaya yang ia rawat sedari bayi merah kini berbahagia bak putri raja di singgasananya.Berbagai media menayangkan perhelatan mewah ini secara live. Membuat jutaan orang berdecak kagum dengan kemewahan pernikahan sepasang pengusaha itu.Begitu pun dengan Suci yang hanya mampu
"Astaghfirullahalazim. ." lirih Bara dan Kanaya bersamaan setelah mendengar cerita tentang Suci dari mulut Ujang."Kondisinya kian hari kian memprihatinkan, tapi Neng Suci benar-benar tidak mau kami menghubungi keluargnya. Sedangkan untuk membawanya kembali ke rumah sakit, kami tidak lagi memiliki uang, Pak." lanjut Ujang jujur."Semua tabungan Emak telah habis untuk biaya rumah sakit kala Neng Suci koma hampir 2 minggu lamanya." lanjutnya dengan mata menerawang jauh ke depan. Lantas Ujang menghela nafas besar."Kami menghubungi Bapak bukan bermaksud untuk mengusir Neng Suci dari rumah ataupun keberatan mengurusnya yang dalam kondisi demikian, Pak. Tapi jujur, saya dan Emak sangat berharap Neng Suci bisa mendapatkan perawatan yang layak di rumah sakit supaya bisa kembali sembuh seperti semula." ucapnya sangat tulus dari hati.Bara dan Kanaya saling beradu pandang, terlihat jelas sorot iba dari mata Kanaya sedangkan Bara biasa saja."Apa kami boleh melihatnya, Kang?" mohon Kanaya."Ten
Sore ini, Bara dan Kanaya menghabiskan waktu bersama dengan Sofia di sebuah taman dekat tempat tinggalnya. Mereka bercanda dan tertawa, bermain kejar-kejaran dan gelembung membuat Sofia tertawa lepas. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira mereka adalah keluarga yang harmonis dan bahagia.Setelah lelah bermain, Kanaya mengajak Sofia membeli aneka jajanan yang dijajakan di pinggir taman. "Yank, gimana kalau pernikahan kita di percepat?" ujar Bara saat Kanaya kembali menghenyakkan tubuhnya di samping Bara."Sayang, kan kita udah bahas ini waktu itu!" jawab Kanaya sembari menoleh ke arahnya."2 bulan itu bukan waktu yang lama, Yank. Kita juga perlu mempersiapkan banyak hal, kan? Belum inilah, itulah dan perintilan-perintilan lainnya." jelas Kanaya lagi.Setelah semua keadaan yang menguras pikiran dan emosi selesai, mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan impian mereka 2 bulan lagi. Bahkan, lamaran sekaligus pertunangan mereka berlangsung 2 minggu yang lalu di sebuah hotel mew
Peliknya persidangan yang digelar di pengadilan negeri membuat Kanaya meradang. Emosinya meluap mendengar segala kebenaran yang akhirnya terungkap satu persatu. Tak kalah meradang dengan sang putri, Rinjani pun demikian emosi dibuatnya. Kebenaran akan kematian Ayahnyalah yang paling menguras emosinya. Ratna, Aryo dan Dewa mendapat tuntutan pasal berlapis dan sudah dapat dipastikan hukuman yang akan mereka terima tak sebentar. Ratna menangis meraung akan tuntutan hukum yang menjeratnya. Sedangkan Aryo dan Dewa hanya mampu menunduk dalam.Beberapa orang lagi yang terlibat dalam kasus Ratna dan Dewa telah dijatuhi hukuman 2 tahun penjara karena sudah menikmati hasil kecurangan Dewa dari purusahaan ANGKASAJAYA. Wartini dengan cepat meminta pengacaranya untuk menuntut hukuman mati untuk ketiga tersangka utama itu. Namun, Rinjani justru meminta hukuman seumur hidup.Alasannya terlalu enak jika mereka langsung mati tanpa merasakan penderitaan lebih dulu. Jika hukuman seumur hidup, itu art
Hening menyelimuti perjalanan kami menuju rumahku. Ya, untuk sementara waktu kami akan tinggal sementara di rumah yang selama ini aku tempati sampai rumah Mama selesai direnovasi. Bukan renovasi total, hanya renovasi di beberapa bagian dan sedikit merubah desain interiornya saja. Juga mengganti warna cat dan mengganti perabotan di dalamnya, untuk menghilangkan jejak Ratna dan Aryo di sana.Tak sampai 30 menit kami sudah sampai di rumah sederhana ini. Rumah ini 10x lebih kecil di banding rumah Mama, tapi sangat nyaman buatku. Karena rumah ini adalah hasil jerih payahku sendiri, murni tanpa bantuan dari siapapun termasuk Bik Rum."Yuk, Ma!" Ajakku lantas bergegas membuka pintu mobil dan segera turun. Tak lama terdengar dentuman pintu mobil dari arah belakang dan kemudi.Segera aku melangkah membuka pintu rumah yang sudah 3 hari ini aku tinggalkan. "Maaf, ya, Ma, rumahnya kecil," ungkapku setelah kami masuk ke dalam. Mama menatapku dengan pandangan yang, entahlah."Mama bangga padamu, N
"Mau apa lagi?" hardik Kanaya dengan bersedekap dada menatap Suci yang membelakanginya.Suci berbalik dan mendapati Kanaya dengan raut wajah tak bersahabat."Nay, aku mohon kembalikan Sofia!" pintanya memelas. Kanaya sedikit tertegun dengan perubahan Suci padanya. Biasanya dia akan datang dengan marah-marah ataupun mengamuk kesetanan, kini ia datang dengan tatapan permohonan bahkan matanya berkaca-kaca."Sofia ada sama Bara, bukan padaku. Kenapa kau minta padaku?" ucap Kanaya membuang pandangannya ke arah lain, ia tak mau luluh dengan wajah memelas yang Suci tunjukkan."Nay, aku mohon! Bujuk Bara supaya mengembalikan Sofia padaku! Hanya dia yang aku punya sekarang, Nay," pintanya lagi bahkan kini air mata telah luruh di kedua pipinya. Kanaya bergeming, satu sisi hatinya iba melihat Suci yang demikian. Ia merasa bersalah telah memisahkan Sofia darinya, biar bagaimanapun Sofia memanglah hak Suci. Tapi ia ragu bahwa dia akan memperlakukan Sofia dengan baik, karena selama ini ia bahkan
Hari ini kantor pusat PURAJAYA mengadakan acara penyambutan untuk pemimpin baru mereka yaitu Kanaya. Semua sudah dipersiapkan oleh Satria Abimanyu, atau yang lebih akrab dipanggil Bima yang merupakan CEO dari PURAJAYA selama ini.Kanaya tiba di kantor dengan didampingi Arkan juga Rinjani. Kedatangan mereka disambut hangat oleh seluruh staf dan jajaran yang dengan setia bekerja untuk kemajuan perusahaan.Beberapa di antara ratusan orang di perusahaan itu, terlihat salah tingkah kala bertemu Kanaya. Pasalnya merekalah yang sempat meragukan jati diri Kanaya dan memihak pada Aryo Wijaya."Selamat datang kembali, Bu Rinjani!" Sambut Bima begitu Rinjani dan kedua anaknya melewati karpet merah penyambutannya dan berjalan menuju podium yang sudah disiapkan."Terimakasih, Pak Bima! Terimakasih sudah setia dengan kami selama ini," ucap Rinjani tulus dan dibalas senyum hangat CEO kepercayaan Aryo Wijaya itu. Namun nyatanya, dedikasi dan loyalitasnya untuk perusahaan tidak bisa diragukan lagi.Ri
"Kau, sudah tahu dari lama?" Gumam Ratna tak percaya."Benar! Sejak di bangku SMA aku sudah tahu jika kau bukan Ibuku!" Jawabnya mantap dengan mata memerah menatap tajam Ratna yang kian ciut nyali."Kalian manusia serakah tapi bodoh! Dan saatnya kalian menerima balasan dari apa yang sudah kalian lakukan terhadap Kakakku dan Mamaku. Juga terhadap Kakek dan Om Satya serta Pak Marko." Desisnya masih menatap tajam ketiga orang paruh baya yang menyedihkan kondisinya."Kalian belum melupakan pengakuan yang keluar dari mulut kalian sendiri tentang ketiga orang itu, bukan?" Ejek Arkan dengan senyum kemenangan di bibirnya.Aryo, Ratna dan juga Dewa semakin tak berkutik. Pasalnya, setiap kejadian apapun mereka membicarakannya di hadapan Arkan. Tanpa mereka sadari hal itulah yang kini jadi boomerang bagi mereka sendiri.Tak lama masuklah segerombol polisi yang sudah Arkan siapkan dan segera meringkus mereka. Ratna menjerit dan meraung hingga suaranya memenuhi ruangan."Arkan, jangan perlakukan M
"Rin-jani!" Aryo diam mematung di tempatnya dengan wajah pucat pasi. Pandangan matanya tak beralih sedikitpun dari wanita yang ia nikahi 35 tahun yang lalu. Wanita yang sampai hari ini masih sah sebagai istrinya secara hukum negara. Rinjani menatap nyalang Aryo Wijaya. Ia bangkit berdiri dan melangkah pelan mendekati Aryo Wijaya."Bagaimana kabarmu, suamiku?" Tanyannya dengan senyum mengejek."Ka-kamu-" gagapnya dengan memindai Rinjani dari atas hingga bawah."Kau tentu tak menyangka, bukan? Aku bisa menginjakkan kaki lagi di rumah ini? Rumah peninggalan orang tuaku, rumah sedari aku kecil." Ucapnya menatap tajam Aryo. Aryo meneguk ludah susah payah. Gemetar tubuhnya kian jelas terlihat."Selamat datang, kalian para pengkhianat!" Ujarnya dengan suara lantang. Lantas ia kembali berdiri di samping Kanaya juga Bara. Aryo mematung di tempat, seolah tak mampu menggerakkan kakinya sedikitpun. Detik berikutnya ia tersadar, ia menghampiri Rinjani dan berlutut di kakinya."Jani, maafkan ak