Bara dan sang Bunda kini tengah berada di perjalanan menuju vila dimana akan diadakan perayaan ulang tahun Rinjani.
"Jadi apa, ANGKASAJAYA sudah berantakan, Bund?" tanya Bara memecah keheningan."Tentu! Bunda rasa, dalam waktu dekat ini Dewa dan antek-anteknya kalang kabut mencari investor yang mau membeli saham ANGKASAJAYA secara ilegal dan tanpa sepengetahuan Aryo." jawab Wartini sembari menatap lurus pada jalanan."Sudah ada tebakan calon kandidatnya, kah?""Bunda rasa, jika tidak pada INDOKARYA ya pasti Bank Central. Tapi, kemungkinan lebih besarnya ke INDOKARYA. Kau tentu paham akan alasannya, bukan?" ucap Wartini menoleh sekilas pada putra tunggalnya itu."Ya dan Bara punya ide untuk hal itu." jawab Bara menampilkan senyum liciknya."Bunda selalu percaya pada rencana yang kalian buat! Itu sangat menganggumkan!" dukung Wartini sembari turut tersenyum simpul.Keduanya lantas terlibat obrolan layaknya teman, tanpa terasa mereka sudah memasuki kawasan vila milik keluarga Rinjani."Bunda! Makasih ya udah luangin waktu untuk datang kesini!" sambut Kanaya sembari memeluk Wartini."Tentu, Sayang! Mama kamu sahabat baik Bunda. Jika bukan karena Mama sama Opa kamu, Bunda sama Bara gak akan seperti ini sekarang." jawab Wartini lembut menenangkan."Gimana sama Arkan?" tanya Bara."Arkan gak bisa datang hari ini, karena rupanya Aryo mengantarnya sampai ke Jerman. Aku rasa, hanya untuk memastikan bahwa Arkan tak membohonginya." jawab Kanaya sedikit kecewa. Bara mengusap lengannya lembut."Rencananya, lusa baru dia akan kembali pulang karena Aryo juga akan kembali lusa. Arkan akan mengambil penerbangan yang berbeda dengan Aryo." lanjut Kanaya lagi."Sudah gak papa! Yang penting Arkan baik-baik saja dan bisa memainkan perannya dengan baik. Anak itu pandai, Bunda yakin semua bisa dia atasi!" hibur Wartini yang melihat raut khawatir dari wajah Kanaya."Sekarang kita ke Mama kamu! Kita hibur dia, supaya cepat kembali seperti semasa muda dulu!" Kanaya mengangguk dan melangkah menuju kamar sang Ibu yang sudah nampak rapi dengan dress sederhana tapi elegan yang di belikan Kanaya."Rin, kamu cantik sekali!" puji Wartini kagum, seakan kecantikan sahabatnya itu tak lekang dimakan usia.Rinjani menoleh, ia menatap Wartini dalam-dalam. Satu bulir bening menerobos melalui sudut netranya."Tini. .!" lirihnya membuat Wartini terkesiap. "Kamu ingat aku, Rin? Kamu masih mengenaliku?" cecar Wartini terharu. Rinjani mengangguk lantas kedua sahabat yang tak muda lagi itu saling berpelukan erat."Rin! Ayo bangkit! Kami semua ada di sini untukmu!" semangat Wartini sembari memeluk erat sahabatnya itu. "Terimakasih, Tin!" lirihnya lagi dalam dekapan Wartini.Wartini mengurai pelukannya, ia menatap dalam manik mata kecoklatan yang selama ini kosong tanpa ada bias kehidupan. Kini, sorot mata itu perlahan pulih kembali."Rin! Bangkit! Lawan mereka dan ambil kembali apa yang menjadi milikmu!" ucap Wartini sembari memegang erat pundak sahabatnya itu."Jangan takut! Ada kami di sini! Ada anak-anak kamu yang hebat! Mereka berjuang untukmu, Rin!" Rinjani balas menatap mata Wartini, kini Wartini nampak dengan jelas pupil mata itu benar-benar telah bidup kembali. "Tapi, aku hanya wanita gila!""Tidak, Rin! Bukan kamu yang gila, tapi mereka yang gila! Dan mereka pantas mendapat hukuman karena telah membuat kamu seperti ini!" "Apa aku bisa?" "Pasti bisa! Ayok RINJANI KUMALASARI SUTEDJA, kamu pasti bisa!" teriak Wartini lantang seperti kala mereka asih SMA dulu. Tiap kali mereka merasa tertekan dengan pelajaran ataupun soal-soal ujian, mereka akan ke taman dan akan meneriakkan jargon penyemangat satu sama lain. Rinjani akan meneriakkan nama lengkap Wartini, pun sebaliknya Wartini akan melakukan hal yang sama seperti sekarang ini. Lantas keduanya akan berpelukan sembari tertawa lepas.Rinjani tersenyum lebar menanggapi teriakan Wartini, berbeda dengan Kanaya dan Bara yang berada di ruang tengah tepatnya di depan kamar sang Ibu. Begitu mendengar teriakan Wartini mereka semua tergopoh masuk ke dalam kamar termasuk Wak Sanih dan Mbak Asih.Begitu pintu kamar terbuka, Kanaya diam mematung di tempat melihat Runjani dan Wartini tengah tertawa lepas. Tawa yang hampir 30 tahun tak pernah Kanaya lihat sama sekali."WARTINI SUBAGYO KITA PASTI BISA!" balas Rinjani dengan berteriak tak kalah kencang membuat semua yang menyaksikan itu merinding sempurna, air mata mengalir tanpa dikomando dari netra meraka."Ma-ma!" isak Kanaya dengan air mata mengalir tetapi bibirnya tersenyum merekah. Bara dengan segap meraih Kanaya dalam pelukannya, turut merasakan kebahagiaan yang luar biasa melihat ibu dari wanita yang ia cintai kini kembali seperti sediakala.Wajah Wartini telah basah oleh air mata, tapi senyum bahagia merekah dari bibirnya.Keduanya larut dalam kebahagiaan yang tak terkira. Pelukan hangat sedari mereka duduk di bangku SMA, kuliah, kemudian mereka memilih jodohnya masing-masing hingga kini, masih sama terasa nyaman dan menenangkan."Mama!" tak tahan Kanaya akan kebahagiaannya hingga tanpa sadar ia berlari menghampiri kedua wanita berusia kepala 5 yang masih berpelukan itu. Lantas ikut menghambur dalam pelukan penuh haru itu.Obat dari sakit mental dan kejiwaan adalah dukungan dan pelukan orang-orang terkasih. Bukan malah mengasingkannya jauh dari keluarga.☘☘☘"Yeeeeeyyy!" Sorak semua orang yang berada di salah satu vila mewah milik keluarga Rinjani. Semua tertawa penuh haru menyambut kembali sang pewaris tunggal seluruh harta kekayaan Sutedja. Tepat diusia yang ke 55 tahun, kesehatan mental Rinjani kembali pulih. Kanaya memastikan bahwa sang Mama benar-benar telah pulih seperti sediakala. Telah hampir 25 tahun, Rinjani kehilangan kesehatan akal dan jiwanya, membuatnya harus kembali beradaptasi dengan dunia baru yang baru saja ia buka kembali. Rasa sakit akibat pengkhianatan dan keserakahan suaminya membuat air matanya kering sudah. Kini, ia bangkit dari keterpurukannya bersiap menantang dunia kelam yang diberikan oleh suami dan gundiknya. Rinjani menatap haru orang-orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya. Wartini, sang sahabat masih terus menitikkan air mata bahagia dengan kembalinya Rinjani. Kanaya, Bara, Mbak Asih, Wak Sanih dan beberapa penjaga turut terharu dengan kembalinya sang majikan itu."Jadi, apa rencana kita selanjutnya?" tanya Rinjani saat usai makan bersama, merayakan pertambahan usianya sekaligus syukuran akan pulihnya kesehatan mental dan jiwanya."Menurutku sih, lebih baik kamu tetap di sini dulu dan tetap berpura-pura masih seperti sebelumnya sampai saat yang tepat. Dan aku pastikan saat itu tidak akan lama lagi!" jawab Wartini yakin dan didukung anggukan oleh Kanaya dan yang lainnya."Baik, aku setuju! Katakan apa yang perlu aku lakukan untuk menghukum wanita serakah itu. Aku harus balaskan dendamku padanya!" tegasnya bersemangat."Pasti, Ma! Dan akan Naya pastikan Aryo pun akan menanggung akibatnya!" lanjut Kanaya penuh kebencian.Jadilah malam itu mereka menyusun kembali rencana untuk menghancurkan Ratna dan Aryo beserta antek-anteknya."Kemungkinan, untuk beberapa saat wanita iblis itu takkan datang kemari karena anak kesayangannya baru saja melakukan percobaan bunuh diri, pastilah sibuk mengurus robot mereka itu." jelas Bara membuat Rinjani sedikit terkejut begitupun Kanaya."Bunuh diri?" ulang Kanaya memastikan."Iya! Setelah aku beri pilihan sulit untuknya!" Lantas Bara menceritakan tentang eksekusi dari rencana yang beberapa waktu lalu mereka susun itu."Tepat sekali! Setelah ini, giliran Ratna yang akan mendapat syock terapi, anak buahku bergerak cukup cepat hingga tak butuh waktu lama aku sudah mengantongi bukti kecurangan Dewa dan pernikahan mereka!" lanjut Wartini disambut senyum mengembang dari bibir Rinjani."Terimakasih! Kalian luar biasa!" kagum Rinjani."Aku saja yang bodoh, tak mampu bangkit dari keterpurukan hingga menyia-nyiakan hidupku selama 25 tahun lamanya." lanjutnya sendu."Tak perlu disesali! Sekarang waktunya kamu bangkit, ambil kembali semua milikmu dan beri mereka pelajaran berharga yang akan mereka ingat seumur hidup. Kita akan buat mereka menderita, hingga malaikat maut pun enggan mendekat pada mereka!" Semangat Wartini lagi mengusap bahu Rinjani menguatkan."Benar! Saatnya kita bangkit dan lawan mereka! Tanpa hartaku mereka bukan siapa-siapa!" "Kau tak perlu risau! Hampir 40% harta milikmu sudah aman bersama kami. Meski, sudah terlampau banyak juga yang mereka habiskan untuk perut mereka sendiri!" "Terimakasih, Tin! Aku tak tahu harus berkata apalagi padamu!" ucap Rinjani setulus hati."Sudahlah, kau adalah saudaraku! Tak akan aku biarkan orang lain menyakitimu. Itu adalah janji kita dulu, kan? Apa kau masih ingat?" "Tentu! Aku hanya punya dua saudara yaitu kamu juga Wulan. Tapi, bagaimana sekarang kabar Wulan?""Wulan sudah meninggal 10 tahun lalu, kecelakaan bersama suami dan dua anaknya. Meninggalkan satu orang anak perempuan yang masih kuliah di Aussie. Tahun depan baru selesai kuliahnya." jawab Wartini sedikit sendu mengingat nasib adik satu-satunya itu."Semoga dia tenang di sana! Kau jangan sedih, masih ada aku!" hibur Rinjani."Makanya, ayok bangkit! Jangan biarkan aku berjuang sendiri untuk anak-anak kita!" Mereka kembali larut dalam pelukan hangat yang penuh keharuan.☘☘☘"Dasar anak bodoh! Apa dengan kamu mati, semua masalah akan selesai begitu saja, HAH?!" bentak Ratna pada anak kesayangan yang baru saja sadarkan diri dari masa kritis akibat ulah bodohnya sendiri itu.Suci menangis tergugu, kembali ia menyalahkan takdir yang masih saja memberinya kesempatan hidup dalam kesengsaraan yang entah kapan akan berlalu dari hidupnya.Ia abaikan ocehan sang Ibu yang terus saja menyalahkannya. Ia semakin merasa muak dengan tingkah ibu kandungnya yang gila harta itu.Dengan ia kembali hidup, itu artinya ia akan kembali dihadapkan dengan masalah yang sama kedepannya. Mau tak mau ia harus menghadapinya.Rasa nyeri pasca operasi tak sesakit saat mendengar segala cacian dan makian yang keluar dari mulut sang Ibu yang telah melahirkannya 24 tahun lalu.Ia memilih memejamkan mata dan enggan menanggapi kemarah Ratna. Ia harus mencari cara supaya tetap mendapatkan harta dari Aryo sekalipun Bara telah menceraikannya. Suara sang Ibu kian samar dengan kembali masuknya ia ke alam mimpi. Pagi harinya ia disambut dengan celoteh riang sang putri yang dibawa pengasuhnya untuk menemuinya. Dia tersenyum melihat wajah bulat dan bermata sipit dengan poni sebatas alis hampir menutup sebagian matanya.Hatinya kembali getir mengingat bahwa Sofia bukanlah darah daging Bara, lantas Sofia anak siapa? Suci pun tak dapat menjawabnya, satu tekadnya lepas dari siapa ayah kandung Sofia. Yang jelas Sofia adalah anak yang ia lahirkan sendiri, ia berjanji akan menjadi Ibu yang baik untuknya. Senyumnya terukir seiring dengan tingkah manja nan menggemaskan gadis cantik berusia 2 tahun itu. Tapi, tetiba pintu ruangannya terbuka dan masuklah dua orang yang sangat ingin ia hindari, Ratna dan Dewa."Bagaimana kondisimu?" tanya Ratna sedikit ketus. Suci tak menanggapi pertanyaan Ibunya. Ia justru menatap Dewa yang tengah mencuri pandang terhadap pengasuh Sofia yang memang masih muda dan terbilang cantik."Sus, tolong bawa Sofia pulang saja! Tak baik dia di rumah sakit terlalu lama!" titahnya pada pengasuh Sofia karena dia menangkap gelagat tak menyenangkan dari tatapan Dewa."Baik, Bu!" jawab wanita muda itu kemudian meraih Sofia dalam gendongannya dan hendak berlalu."Biar, Saya yang antar saja!" tawar Dewa agresif."Tak perlu! Ada mang Samih bersama mereka!" sambar Suci tak mengijinkan, ia tahu betul tabiat Dewa yang akan memanfaatkan keadaan untuk merayu gadis-gadis muda untuk dijadikan simpanannya.Dewa mendengus tak suka dengan sahutan Suci, dia menatap tak suka ke arah anak kandungnya itu. Pengasuh Sofia segera berlalu setelah mendapat anggukan kepala dari majikannya."Kau harus segera keluar dari rumah sakit dan lakukan segera tugasmu!" titah Ratna tanpa perasaan. Suci masih enggan menanggapi."Apa yang membuatmu nekat melakukan ini? Dasar bodoh!" umpat Dewa tak suka."Jika aku bodoh, kenapa kalian sangat bergantung padaku?" sinis Suci membuat Ratna dan Dewa menegang."Itu wujud baktimu pada kami sebagai orang tua yang sudah melahirkan dan merawatmu dari bayi!" jawab Ratna cepat mencari pembenaran dirinya."Kau memang melahirkanku, tapi kau tak merawatku seperti apa yang kau katakan tadi Ibu Ratna!" jawab Suci dengan senyum licik di bibirnya."Kau? Mau kau jadi anak durhaka?" bentak Ratna tak terima di panggil kau oleh Suci."Aku durhaka? Aku rasa sekalian saja, bukan? Tak ada ruginya aku durhaka pada kalian!" jawab Suci menantang.Ratna naik pitam tapi tak dapat berbuat apa-apa. Sebab jika Suci membangkang dan tak lagi tunduk dalam kendalinya, maka dia sendiri yang akan rugi besar.Ratna menatap Dewa dengan kesal, seakan tahu Ratna butuh pembelaan, Dewa akhirnya membuka suaranya lagi."Jangan begini, Sayang! Biar bagaimanapun kamu tetaplah anak kami. Mama sama Papa sejujurnya terlalu khawatir karena kamu nekat sekali melakukan ini." ucap Dewa mencari simpati Suci tapi Suci tak lagi luluh dengan sikap manis yang hanya ada maunya itu.Suci enggan menanggapi dua manusia serakah dan ambisius itu. Ia abaikan mereka hingga mereka merasa jengah dengan sendirinya."Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu nekat melakukan ini, Sayang?" tanya Ratna mulai merendahkan suaranya."Bara menggugat cerai! Itu artinya aku tak akan dapat apapun dari harta Aryo." jawab Suci tegas membuat Dewa dan Ratna terperangah. Mereka pikir yang Suci katakan kemarin hanya gertakan saja rupanya benar terjadi."Kan, masih bisa dibicarakan baik-baik, Nak?" "Gak bisa lagi! Dengan atau tanpa persetujuanku, gugatan itu tetap akan naik ke pengadilan. Bahkan-" suara Suci tercekat di tenggorokan mengingat kenyataan pahit yang harus ia telan."Bahkan, apa?" "Bara memiliki bukti jika Sofia bukan darah dagingnya." lanjut Suci dengan menahan air mata yang siap mengalir."APA?" pekik Ratna terkejut. Dewa pun meraup wajahnya frustasi."Jadi, Sofia anak siapa?" tanya Ratna kalut. Suci menggeleng pelan tanda tak tahu. Ratna menjatuhkan bobotnya pada kursi yang tersedia. Untuk sesaat hening menyelimuti."Dan lagi, Bara memiliki banyak bukti video skandalku dengan banyak laki-laki termasuk dengan Mukti!" ucap Suci tanpa ada lagi yang ia tutupi.Dewa dan Ratna terperangah tak percaya dengan apa yang baru saja Suci katakan. Hening, mereka larut dengan pikiran masing-masing. Ini bagai buah simalakama untuk mereka, bahkan kini mereka terkepung oleh kehancuran yang akan segera menghampiri mereka.🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀Brak!"Apa ini?!" Dewa menggebrak meja dan membanting map berwarna kuning itu kasar ke atas meja kerjanya. Dengan amarah yang meluap ia bangkit berdiri dan berkacak pinggang di hadapan Sekar, sekretarisnya dan Marsya, manager keuangan kepercayaannya.Sekar menunduk untuk menutupi senyum tipis yang terulas di bibirnya."Bajing*n! Berengs*k! Bukankah mereka memberi waktu sampai akhir minggu ini?" desisnya emosi."Benar, Pak! Tapi, sudah ada beberapa perusahaan yang mengajukan value untuk melepas saham mereka pada PT. ANGKASA. Hingga hari ini, saham yang dimiliki PT. ANGKASA meningkat menjadi 30, 19% dan kemungkinan akan meningkat lebih banyak lagi jika kita tidak segera mengambil tindakan." jelas Marsya menekankan.Dewa frustasi, jika sampai kabar ini sampai ke telinga Aryo, maka sudah dapat dipastikan ia akan membusuk di penjara."Sial*n! Sekar, buatkan janji dengan Mukti Prakoso INDOKARYA siang ini juga, karena cuma dia yang mau membeli saham kita." titah Dewa.Sekar segera berlalu d
"Bik, apa Bara pulang ke sini kemarin?" tanya Suci lemah begitu ia menginjakkan kakinya kembali di rumah yang selama 3 tahun ini ia tempati dengan Bara."Iya, Non. Den Bara pulang dan tidak kemana-mana selama 2 hari ini. Tapi, tadi pagi pergi ada meeting gitu." jelas Bik Isah.Suci menghela nafas besar, kemudian ia melangkah menuju kamarnya di lantai 2. Kini kondisi kamar sudah pulih kembali, meski beberapa barang hancur akibat ulahnya. Termasuk beberapa parfum mahal dan kaca meja riasnya pun terbelah jadi 2 bagian.Kembali ia tersenyum getir mengingat kebodohannya sendiri.Ia melangkah keluar menuju kamar Bara yang terletak di seberang kamarnya. Namun, terkunci. Ia mendesah kesal, kemudian ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.Kembali ia memutar otaknya untuk bisa keluar dari masalah pelik yang menjeratnya ini. Cinta dan obsesinya memiliki Bara nyatanya menghancurkan segalanya. Segala rencana yang telah lama disusun oleh orang tuanya terancam berantakan dan kehancuran kian dekat d
"Surat balik nama seluruh aset PT. PURAJAYA menjadi nama Aryo Wijaya. Tapi anehnya, disana tertulis nama Arkan sebagai pemberi kuasa." jelas Kanaya membuat Rinjani menggelengkan kepala pelan."Jadi, Aryo berhasil menguasai PURAJAYA?" gumam Rinjani lirih."Naya rasa belum, Ma. Karena Arkan tidak pernah menandatangani surat kuasa itu. Bahkan, kini justru Arkan yang telah mendapat tanda tangan Aryo untuk balik nama aset PT. ANGKASAJAYA. Memang belum diproses karena Arkan harus kucing-kucingan dulu dengan Aryo. Malam ini, Arkan sampai ke Indonesia lagi dan kemungkinan besok atau lusa baru surat itu akan kita bawa ke Pak Wahono.""Wahono?" tanya Rinjani meminta penjelasan karena nama itu asing baginya."Pak Wahono pengacara keluarga kita, Ma. Anak sulung dari Pak Marko, beliau yang menggantikan Pak Marko mengangani seluruh urusan keluarga Sutedja." jelas Naya lagi."Memang ke mana Pak Marko?" "Pak Marko sudah meninggal hampir 10 tahun yang lalu, Ma. Menurut Arkan, Pak Marko meninggal lant
PlakplakplakTamparan demi tamparan penuh emosi mendarat tepat di pipi Suci oleh Aryo Wijaya. Suci tersungkur, darah segar mengalir di sudut bibir dan hidungnya. Aryo gelap mata, kembali ia menjambak rambut panjang Suci yang sudah acak-acakan hingga Suci mendongak."Kau! Anak tak tahu diuntung! Setelah apa yang kau inginkan kami penuhi, kini kau lempar kotoran ke wajah kami, HAH!" lagi, tamparan keras dari Aryo mendarat di wajahnya. Suci menangis tergugu, gemetar tubuhnya melihat kemarahan Aryo. Ia sempat menghindar dan berniat melarikan diri. Namun, anak buah Aryo lebih cepat bertindak, hingga ia dibawa dengan paksa ke hadapan Aryo.Ratna hanya menangis tergugu melihat putrinya diperlakukan demikian oleh Aryo. Ia tak dapat berbuat apa-apa lagi, karena ia pun takut jika Aryo sudah diliputi emosi demikian."Apa maumu sekarang?" tanya Aryo yang masih terengah-engah menetralkan gejolak emosi di dadanya."Pa ... ampuni Suci, Pa!" lirihnya masih tersungkur tanpa ada satupun yang bernia
"Apa-apaan ini?" berang Aryo dengan membanting map biru yang baru saja ia baca. Panji menunduk tanpa sepatah katapun. "Sejak kapan perusahaan kacau seperti ini?" tanya Aryo kian meradang."Sejak awal bulan lalu, Pak." jawab Panji takut-takut.Brak!"Apa? Awal bulan lalu? Dan kamu baru kasih tahu saya sekarang?" Aryo menggebrak meja membuat Panji berjingkat."Maaf, Pak. Tapi, Pak Dewa mengancam kami jika kami melaporkan ini pada Bapak!" "Direktur utama perusahaan ini saya, bukan Dewa! Sekarang kemana bajing*n itu?" bentak Aryo lagi."Sudah tiga hari ini Pak Dewa dan Bu Marsya tidak masuk ke kantor Pak. Tepatnya setelah melepas 3% saham kita untuk PT. JASAKO." jelas Panji lagi.Aryo meraup wajahnya frustasi, masalah demi masalah harus ia hadapi sendiri. Ia menjatuhkan bobot di kursi kebesarannya, memijit pelipisnya yang kian berdenyut nyeri."Hari ini, hampir seluruh perusahaan yang berada di bawah naungan ANGKASAJAYA melepaskan diri dan bergabung dengan PT. ANGKASA, Pak! Karena tengg
"Apa Anda sedang bercanda, Pak Aryo?" kekeh Wahono mendengar permintaan Aryo untuk melelang seluruh aset milik keluarga Sutedja, mertuanya."Apa aku terlihat tengah bercanda, Pak Wahono?" geramnya dengan menatap tajam mata Wahono. Wahono menyandarkan punggung pada sandaran kursi dan menaikkan satu kaki ke atas satu kaki lainnya. Ia menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan."Apa alasan yang tepat untuk saya melelang aset milik Ibu Rinjani?" tanyanya datar.Aryo mencebik mendengar pertanyaan Wahono, pengacara keluarga Sutedja."Wanita itu sampai sekarang tidak waras. Bagaimana dia menghandle seluruh kekayaan keluarganya?" geram Aryo. Wahono kembali terkekeh dengan jawaban Aryo."Iya, kita semua tahu bahwa sudah lebih dari 25 tahun Ibu Rinjani mengalami gangguan kejiwaannya. Akan tetapi, hampir 60% staf dan karyawan PT. PURAJAYA mengetahui jika Ibu Rinjani memiliki seorang putra yang akan menjadi ahli waris yang sah dari seluruh aset Sutedja." Aryo gelagapan mendengar
Pagi ini Suci keluar dari kamarnya setelah 3 hari ia sama sekali tak keluar dari kamar. Dengan tubuh gemetar karena kelaparan ia menuruni anak tangga perlahan-lahan menuju ruang makan.Begitu sampai ia segera menjatuhkan tubuhnya di salah satu dari 4 kursi yang mengitari meja makan berbentuk persegi empat itu. Ia meraih susu dan menuangnya dalam gelas, ia menghabiskan satu gelas susu hanya dalam beberapa kali tenggak saja.Ia menghela nafas besar, berkali-kali ia menetralkan perasaannya yang masih kacau. Sembari meraih roti dan mengoles selai kacang kesukaannya, ia celingukan mencari Bik Isah dan Wulan, pengasuh Sofia yang tak terlihat keberadaannya.Ia menghabiskan rotinya dalam keadaan hening. Ia cukup merasa heran sebab tak biasanya rumah dalam keadaan sepi begini. Lantas ia memutuskan untuk mencari kedua pembantunya itu.Ia berjalan menuju kamar Sofia, tapi kosong tak sesiapapun ia dapati berada di sana. Ia kemudian melangkahkan kaki menuju halaman belakang, kosong juga tak ada or
Ada yang berbeda pagi ini kala aku terbangun dari tidurku. Mengerjapkan mata sesaat mengumpulkan sisa kesadaran yang masih tertinggal di alam mimpi. Hari ini, hari ke 2 setelah surat kepemilikan semua aset Mama beralih menjadi namaku. Masih seperti mimpi akhirnya aku berada di titik sekarang ini. Segala lara yang aku rasakan sedari aku bayi merah kembali menari-nari di pelupuk mata. Dering ponsel di sela bantal mengalihkan perhatianku. Bik Rum, wanita hebatku."Ya, Bik!" jawabku setelah menyandarkan punggung pada sandaran ranjang."Neng, Naya! Bibik sudah sampai. Sekarang teh lagi jalan ketemu Mamah," suara cempreng nan khas itu berhasil membuat senyumku kian lebar. "Siapa yang jemput, Bik?" "Den Arkan, Neng!" girangnya. Tak terasa, mata ini berkabut mendengar suara riangnya. Ya, telah hampir 30 tahun beliau meninggalkan kota ini. Untuk merawat bayi merah yang ia pungut dari tong sampah, yang bahkan tali pusarnyapun masih menempel di perutnya. Dan bayi merah itu adalah aku. Deng
Dua bulan kemudian. . ."Selamat ya, Nay! Akhirnya, sah!" ungkap Kema sembari memeluk sahabat baiknya itu.Pernikahan impian itu akhirnya digelar dengan sangat mewah. Ribuan tamu undangan hadir untuk menjadi saksi atas pernikahan kedua pasang pengusaha ternama itu. Ratusan wartawan saling berdesakan untuk meliput momen sakral itu.Kanaya tampil luar biasa cantik dan anggun dengan balutan gaun mewah rancangan designer ternama tanah air. Bersanding dengan sang suami yang nampak begitu bahagia dengan senyum merekah sepanjang acara berlangsung.Rinjani, Wartini dan orang-orang yang mengasihi mereka tampak begitu bahagia. Bik Rum terlihat meneteskan air mata sepanjang acara berlangsung. Ia terharu dan bahagia melihat Kanaya yang ia rawat sedari bayi merah kini berbahagia bak putri raja di singgasananya.Berbagai media menayangkan perhelatan mewah ini secara live. Membuat jutaan orang berdecak kagum dengan kemewahan pernikahan sepasang pengusaha itu.Begitu pun dengan Suci yang hanya mampu
"Astaghfirullahalazim. ." lirih Bara dan Kanaya bersamaan setelah mendengar cerita tentang Suci dari mulut Ujang."Kondisinya kian hari kian memprihatinkan, tapi Neng Suci benar-benar tidak mau kami menghubungi keluargnya. Sedangkan untuk membawanya kembali ke rumah sakit, kami tidak lagi memiliki uang, Pak." lanjut Ujang jujur."Semua tabungan Emak telah habis untuk biaya rumah sakit kala Neng Suci koma hampir 2 minggu lamanya." lanjutnya dengan mata menerawang jauh ke depan. Lantas Ujang menghela nafas besar."Kami menghubungi Bapak bukan bermaksud untuk mengusir Neng Suci dari rumah ataupun keberatan mengurusnya yang dalam kondisi demikian, Pak. Tapi jujur, saya dan Emak sangat berharap Neng Suci bisa mendapatkan perawatan yang layak di rumah sakit supaya bisa kembali sembuh seperti semula." ucapnya sangat tulus dari hati.Bara dan Kanaya saling beradu pandang, terlihat jelas sorot iba dari mata Kanaya sedangkan Bara biasa saja."Apa kami boleh melihatnya, Kang?" mohon Kanaya."Ten
Sore ini, Bara dan Kanaya menghabiskan waktu bersama dengan Sofia di sebuah taman dekat tempat tinggalnya. Mereka bercanda dan tertawa, bermain kejar-kejaran dan gelembung membuat Sofia tertawa lepas. Siapapun yang melihatnya pasti akan mengira mereka adalah keluarga yang harmonis dan bahagia.Setelah lelah bermain, Kanaya mengajak Sofia membeli aneka jajanan yang dijajakan di pinggir taman. "Yank, gimana kalau pernikahan kita di percepat?" ujar Bara saat Kanaya kembali menghenyakkan tubuhnya di samping Bara."Sayang, kan kita udah bahas ini waktu itu!" jawab Kanaya sembari menoleh ke arahnya."2 bulan itu bukan waktu yang lama, Yank. Kita juga perlu mempersiapkan banyak hal, kan? Belum inilah, itulah dan perintilan-perintilan lainnya." jelas Kanaya lagi.Setelah semua keadaan yang menguras pikiran dan emosi selesai, mereka sepakat untuk melangsungkan pernikahan impian mereka 2 bulan lagi. Bahkan, lamaran sekaligus pertunangan mereka berlangsung 2 minggu yang lalu di sebuah hotel mew
Peliknya persidangan yang digelar di pengadilan negeri membuat Kanaya meradang. Emosinya meluap mendengar segala kebenaran yang akhirnya terungkap satu persatu. Tak kalah meradang dengan sang putri, Rinjani pun demikian emosi dibuatnya. Kebenaran akan kematian Ayahnyalah yang paling menguras emosinya. Ratna, Aryo dan Dewa mendapat tuntutan pasal berlapis dan sudah dapat dipastikan hukuman yang akan mereka terima tak sebentar. Ratna menangis meraung akan tuntutan hukum yang menjeratnya. Sedangkan Aryo dan Dewa hanya mampu menunduk dalam.Beberapa orang lagi yang terlibat dalam kasus Ratna dan Dewa telah dijatuhi hukuman 2 tahun penjara karena sudah menikmati hasil kecurangan Dewa dari purusahaan ANGKASAJAYA. Wartini dengan cepat meminta pengacaranya untuk menuntut hukuman mati untuk ketiga tersangka utama itu. Namun, Rinjani justru meminta hukuman seumur hidup.Alasannya terlalu enak jika mereka langsung mati tanpa merasakan penderitaan lebih dulu. Jika hukuman seumur hidup, itu art
Hening menyelimuti perjalanan kami menuju rumahku. Ya, untuk sementara waktu kami akan tinggal sementara di rumah yang selama ini aku tempati sampai rumah Mama selesai direnovasi. Bukan renovasi total, hanya renovasi di beberapa bagian dan sedikit merubah desain interiornya saja. Juga mengganti warna cat dan mengganti perabotan di dalamnya, untuk menghilangkan jejak Ratna dan Aryo di sana.Tak sampai 30 menit kami sudah sampai di rumah sederhana ini. Rumah ini 10x lebih kecil di banding rumah Mama, tapi sangat nyaman buatku. Karena rumah ini adalah hasil jerih payahku sendiri, murni tanpa bantuan dari siapapun termasuk Bik Rum."Yuk, Ma!" Ajakku lantas bergegas membuka pintu mobil dan segera turun. Tak lama terdengar dentuman pintu mobil dari arah belakang dan kemudi.Segera aku melangkah membuka pintu rumah yang sudah 3 hari ini aku tinggalkan. "Maaf, ya, Ma, rumahnya kecil," ungkapku setelah kami masuk ke dalam. Mama menatapku dengan pandangan yang, entahlah."Mama bangga padamu, N
"Mau apa lagi?" hardik Kanaya dengan bersedekap dada menatap Suci yang membelakanginya.Suci berbalik dan mendapati Kanaya dengan raut wajah tak bersahabat."Nay, aku mohon kembalikan Sofia!" pintanya memelas. Kanaya sedikit tertegun dengan perubahan Suci padanya. Biasanya dia akan datang dengan marah-marah ataupun mengamuk kesetanan, kini ia datang dengan tatapan permohonan bahkan matanya berkaca-kaca."Sofia ada sama Bara, bukan padaku. Kenapa kau minta padaku?" ucap Kanaya membuang pandangannya ke arah lain, ia tak mau luluh dengan wajah memelas yang Suci tunjukkan."Nay, aku mohon! Bujuk Bara supaya mengembalikan Sofia padaku! Hanya dia yang aku punya sekarang, Nay," pintanya lagi bahkan kini air mata telah luruh di kedua pipinya. Kanaya bergeming, satu sisi hatinya iba melihat Suci yang demikian. Ia merasa bersalah telah memisahkan Sofia darinya, biar bagaimanapun Sofia memanglah hak Suci. Tapi ia ragu bahwa dia akan memperlakukan Sofia dengan baik, karena selama ini ia bahkan
Hari ini kantor pusat PURAJAYA mengadakan acara penyambutan untuk pemimpin baru mereka yaitu Kanaya. Semua sudah dipersiapkan oleh Satria Abimanyu, atau yang lebih akrab dipanggil Bima yang merupakan CEO dari PURAJAYA selama ini.Kanaya tiba di kantor dengan didampingi Arkan juga Rinjani. Kedatangan mereka disambut hangat oleh seluruh staf dan jajaran yang dengan setia bekerja untuk kemajuan perusahaan.Beberapa di antara ratusan orang di perusahaan itu, terlihat salah tingkah kala bertemu Kanaya. Pasalnya merekalah yang sempat meragukan jati diri Kanaya dan memihak pada Aryo Wijaya."Selamat datang kembali, Bu Rinjani!" Sambut Bima begitu Rinjani dan kedua anaknya melewati karpet merah penyambutannya dan berjalan menuju podium yang sudah disiapkan."Terimakasih, Pak Bima! Terimakasih sudah setia dengan kami selama ini," ucap Rinjani tulus dan dibalas senyum hangat CEO kepercayaan Aryo Wijaya itu. Namun nyatanya, dedikasi dan loyalitasnya untuk perusahaan tidak bisa diragukan lagi.Ri
"Kau, sudah tahu dari lama?" Gumam Ratna tak percaya."Benar! Sejak di bangku SMA aku sudah tahu jika kau bukan Ibuku!" Jawabnya mantap dengan mata memerah menatap tajam Ratna yang kian ciut nyali."Kalian manusia serakah tapi bodoh! Dan saatnya kalian menerima balasan dari apa yang sudah kalian lakukan terhadap Kakakku dan Mamaku. Juga terhadap Kakek dan Om Satya serta Pak Marko." Desisnya masih menatap tajam ketiga orang paruh baya yang menyedihkan kondisinya."Kalian belum melupakan pengakuan yang keluar dari mulut kalian sendiri tentang ketiga orang itu, bukan?" Ejek Arkan dengan senyum kemenangan di bibirnya.Aryo, Ratna dan juga Dewa semakin tak berkutik. Pasalnya, setiap kejadian apapun mereka membicarakannya di hadapan Arkan. Tanpa mereka sadari hal itulah yang kini jadi boomerang bagi mereka sendiri.Tak lama masuklah segerombol polisi yang sudah Arkan siapkan dan segera meringkus mereka. Ratna menjerit dan meraung hingga suaranya memenuhi ruangan."Arkan, jangan perlakukan M
"Rin-jani!" Aryo diam mematung di tempatnya dengan wajah pucat pasi. Pandangan matanya tak beralih sedikitpun dari wanita yang ia nikahi 35 tahun yang lalu. Wanita yang sampai hari ini masih sah sebagai istrinya secara hukum negara. Rinjani menatap nyalang Aryo Wijaya. Ia bangkit berdiri dan melangkah pelan mendekati Aryo Wijaya."Bagaimana kabarmu, suamiku?" Tanyannya dengan senyum mengejek."Ka-kamu-" gagapnya dengan memindai Rinjani dari atas hingga bawah."Kau tentu tak menyangka, bukan? Aku bisa menginjakkan kaki lagi di rumah ini? Rumah peninggalan orang tuaku, rumah sedari aku kecil." Ucapnya menatap tajam Aryo. Aryo meneguk ludah susah payah. Gemetar tubuhnya kian jelas terlihat."Selamat datang, kalian para pengkhianat!" Ujarnya dengan suara lantang. Lantas ia kembali berdiri di samping Kanaya juga Bara. Aryo mematung di tempat, seolah tak mampu menggerakkan kakinya sedikitpun. Detik berikutnya ia tersadar, ia menghampiri Rinjani dan berlutut di kakinya."Jani, maafkan ak