“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Seorang gadis menyilangkan kaki sambil mengetuk-ngetuk angin. High heels merah yang digunakannya tampak berguncang kecil. Rambut panjang lurus gadis itu menyapu paha saat ia menopang dagu. Kedua bola matanya berputar pertanda ia mulai bosan menunggu. Terdapat sebuah map berisi beberapa lembar kertas putih di kursi sebelahnya. Meski dia cukup risih dengan benda itu, nyatanya manusia lebih membuatnya risih.Dia lantas memanfaatkan benda ringan itu untuk membuat jarak dengan manusia lain. Namun tetap saja, sekali lagi dia harus berhadapan dengan dunia yang menyebalkan.Seorang laki-laki berambut pirang dengan frekles menghampirinya."Halo, boleh saya duduk di sebelahmu?" tanyanya.Gadis itu mendengkus pelan, lalu memutuskan menatap laki-laki itu sambil menyeringai."Sebaiknya jangan, kursi ini terkutuk."Alis laki-laki itu berkerut. Sebelum akhirnya, seorang sekretaris wanita muncul dari balik pintu."Nona Merin?" panggil sekretaris.Tanpa melepaskan seringainya, Merin beringsut bangun s
Anak-anak jurusan Game Development terlihat memenuhi aula khusus untuk sidang pertama. Mereka akan mempresentasikan proposal gim buatan masing-masing di tahun terakhir pendidikan.Seorang gadis murah senyum masih menjadi pusat perhatian. Ia tampak sederhana dengan cardigan berwarna pastel dan jeans hitam. Rambut cokelat sebahu dengan poni tipis menambah kesan muda dan fresh. Anak-anak dari berbagai penjuru dunia silih bergantian ingin mengobrol dengannya. Selain karena aura lembutnya, kepintarannya membuat anak-anak universitas penasaran."Isabella, proposalmu pasti tidak akan mengecewakan! Para dewan tidak akan tahan dengan pesonamu, hahaha," goda salah satu laki-laki berkulit tan yang akrab disebut Jacky.Isabella hanya tersenyum tipis dengan pipi memerah.Perhatian gadis itu lalu teralihkan oleh anak-anak yang perlahan menepi. Membuka jalan dan terpana pada kecantikan si gadis bersepatu merah. Sambil berjalan layaknya model, Merin Noella datang dengan jaket rantai andalannya. Bibir
Suara sirine menggema di langit universitas. Terdengar jeritan paling keras yang berasal dari DenadaChloe. Beberapa orang menahan tubuh gadis itu yang hampir ambruk saat sahabatnya dibawa oleh petugas medis dengan tubuh tertutup kain putih. Situasi sidang menjadi kacau dan menegangkan. Para dewan akhirnya memutuskan untuk menunda sidang pertama."Denada Chloe," panggil salah seorang polisi membuat tangisnya berhenti.Dia mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegak."Apakah Anda adalah sahabat dari Isabella Liu?"Denada langsung mengangguk dengan cepat. "Benar.""Apa Anda bersedia memberikan kesaksian pada kepolisian?" tanya polisi itu memastikan.Tanpa ragu, Denada kembali mengangguk. Namun, kecurigaan sedikit menyeruak di batin Denada sebab tidak dibawa ke kantor polisi. Dia justru digiring memasuki tempat paling ujung di universitas."Apa saya tidak akan memberi kesaksian di kantor polisi?" tanyanya."Tidak. Kepala polisi menunggu kesaksian Anda di markas Profesor Eldric," jelas
Untuk pertama kalinya, Merin berjalan tidak sendirian di bawah langit kota. Tidak—sampai sebuah drone mini menjelma sebagai 'sipir penjara'. Meski anti bising, Merin bisa menebak keberadaan drone itu dengan lirikan matanya. Sekali pun alat itu menyelinap di balik bangunan.Di penjuru tempat lain, hanya ada Tim Fantasia di markas baru mereka."Bagaimana? Apa kita munculkan mereka sekarang?" tanya Loey dengan datar.Eldric menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari big screen."Tunggu sebentar lagi."Ia kembali mengawasi pergerakkan Merin, sekecil apa pun itu. Tiba-tiba, Merin menghentikan langkah di depan kantor stasiun televisi. Beberapa orang terlihat berkerumun sambil menatap lurus layar raksasa yang tengah memutar berita eksklusif. Kelopak mata Merin berkedut, situasi familier yang ditunjukkan media membuatnya muak.BERITA TERKINI: TRAGEDI PEMBUNUHAN MAHASISWI EAGLE TECH.ISABELLA LIU DITEMUKAN TEWAS DI TANGGA DARURAT ( .... )DIKETAHUI PELAKU YANG DIRAHASIAKAN IDENTITASNYA LAN
"Lapor komandan!" Eldric bercanda.Suara anggun wanita menyusul terdengar. "Makan?""Sudah," jawab Eldric manja, lalu disusul suara pria bersuara berat. [Peregangan?]Raut wajahnya mendadak kaget. "Benar, aku lupa."[Dasar bandel] omel sang ayah. "Sorry, Mr. James Peterson."[Kapan kamu pulang ke Beijing, Nak?] tanyanya.Belum sempat dijawab, Eldric terkekeh kecil sebab mendengar perdebatan kecil di telepon.[Kenapa menanyakan itu? Proyek besar anak kita baru saja dimulai.][Seorang ibu wajib menanyakan kapan pulang, Sayang.]Eldric menggaruk pelipisnya. "Eum ... Nyonya Bae Lui? Aku pasti akan menghubungimu seminggu sebelum pulang, jangan khawatir."[Anak baik, ibu akan menantikannya!][Kalau begitu, sudah dulu ya!] sela Mr. Peterson, [Sayang, ayo jangan mengganggu waktu istirahatnya lagi.]"Sampai jumpa! Aku sayang kalian, selalu."Meski suara kedua orangtuanya lenyap saat ia kembali meletakkan ponsel, kehangatannya masih berbekas. Senyumannya terus melekat, memikirkan bagaimana beru
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o