Seorang gadis menyilangkan kaki sambil mengetuk-ngetuk angin. High heels merah yang digunakannya tampak berguncang kecil. Rambut panjang lurus gadis itu menyapu paha saat ia menopang dagu. Kedua bola matanya berputar pertanda ia mulai bosan menunggu. Terdapat sebuah map berisi beberapa lembar kertas putih di kursi sebelahnya. Meski dia cukup risih dengan benda itu, nyatanya manusia lebih membuatnya risih.
Dia lantas memanfaatkan benda ringan itu untuk membuat jarak dengan manusia lain. Namun tetap saja, sekali lagi dia harus berhadapan dengan dunia yang menyebalkan.
Seorang laki-laki berambut pirang dengan frekles menghampirinya.
"Halo, boleh saya duduk di sebelahmu?" tanyanya.
Gadis itu mendengkus pelan, lalu memutuskan menatap laki-laki itu sambil menyeringai.
"Sebaiknya jangan, kursi ini terkutuk."
Alis laki-laki itu berkerut. Sebelum akhirnya, seorang sekretaris wanita muncul dari balik pintu.
"Nona Merin?" panggil sekretaris.
Tanpa melepaskan seringainya, Merin beringsut bangun sambil menyambar map miliknya. Dia melewati laki-laki itu begitu saja, lalu masuk ke dalam ruang HRD.
"Merin Noella Amyra, nice to meet you!" sapa sang kepala HRD.
Seorang wanita tua dengan kulit yang masih kencang. Dia mempersilakan Merin untuk duduk di sofa empuk.
Mata bulat besar gadis itu memindai seluruh isi ruangan yang menurutnya sudah seperti ruang direktur. Luasnya hampir sama seperti ruang kelasnya. Wajar saja sih, dia sedang berada di perusahaan besar. Ada dua big screen menampilkan karakter-karakter game yang sudah mendunia.
Wanita itu duduk menutupi papan bernamakan Sofia Francheska. Matanya membesar karena menyadari sesuatu yang dipakai gadis itu.
"Oh, mata birumu sangat cantik!" ucapnya basa-basi, "kami senang lulusan terbaik dari Universitas Eagle Technology mau bekerja bersama Opera Games Corporation."
"Memang sudah tujuan awalku untuk bergabung," jelas Merin sambil mengeluarkan berkas lamaran.
"Kenapa kamu ingin bergabung dengan tim digital art kami?"
Sementara tangan Sofia lihai memeriksa satu per satu berkasnya dengan antusias, Merin tersenyum tipis. Entah apa yang dipikirkan gadis itu sehingga membuat senyumannya terpancing.
"Karena ada sebuah karakter yang sangat ingin aku ciptakan."
"Well, seperti yang kuharapkan. Nilaimu sempurna untuk membuat karakter itu menjadi nyata," puji Sofia.
Tak lama setelah Sofia mengukuhkan harapan pada Merin, guratan senyum di wajah wanita itu memudar saat memeriksa berkas terakhir.
"Lisensi Fantasia?" tanyanya, "kau—"
Merin mengembuskan napas lembut. "Benar, Mrs. Saya seorang kriminal istimewa."
"Kalau begitu, mata birumu bukanlah softlens," gumam Sofia. Ia lalu menatap Merin. "Kejahatan apa yang sudah kamu lakukan?"
Merin tidak langsung menjawab. Untuk beberapa detik, dia memainkan bibir bawah dengan giginya. Memilah-milah kata yang tepat untuk disampaikan, tapi dia rasa hal itu menjadi tidak perlu. Merin membalas tatapan Sofia dengan senyuman, meskipun tersirat kesedihan di dalamnya.
"Aku membunuh seseorang."
***
Keheningan melanda ruang kelas satu di SD Pertiwi Jakarta. Semula, bocah-bocah cilik itu tak berhenti bersorak gembira karena mendapat rapor pertama mereka. Namun berkat tepukkan hangat dari orangtua, mereka menurut untuk diam sejenak.
Lesung pipi dari seorang wanita muda berbaju formal merekah. Sambil berdiri di samping meja, ia mengambil buku rapor yang tersisa dan sebuah piala.
"Baik, sekarang yang paling kita tunggu-tunggu. Anak-anakku sekalian, beri tepukkan yang meriah untuk juara kelas kita, Merin Noella Amyra!" seru bu guru.
Begitu sebuah nama mengudara, sosok gadis kecil bersepatu merah muncul dari sudut ruangan. Melewati anak-anak yang tepuk tangan dipangkuan orangtuanya. Ia berjalan sendiri tanpa seutas senyum. Pandangannya seolah sengaja dikosongkan. Kedua tangannya mengepal. Sebelum akhirnya, ia terpaksa merengkuh buku rapor dan piala yang hampir menutupi badannya.
"Selamat ya, Merin cantik. Apa ada yang mau disampaikan kepada teman-temanmu?" tanya bu guru lembut.
Merin merapatkan kakinya. Dia menatap semua orang yang hadir tanpa ekspresi.
"Kenapa membawa ayah dan ibu kalian? Dasar kalian semua iblis! Beraninya pamer orangtua!" geram gadis itu membuat semuanya tercengang.
"Bu guru," panggilnya, "meski mereka pamer, aku tetap jadi pemenang. Piala ini buktinya."
Merin tertawa dengan ceria. Menciptakan kengerian di mimik wajah gurunya. Sementara itu, semua yang ada di ruangan menganga dengan tingkah gadis cilik itu.
Merin mengatupkan bibirnya. "Sudah ya, Bu. Merin ngantuk. Merin pulang dulu, dadaaah."
Sambil merengkuh rapor dan piala, dia berjalan begitu saja keluar ruangan. Seolah telah memahami tingkahnya, guru muda itu hanya melihat punggung anak didiknya perlahan menghilang di balik pintu.
***
Titik tulis dari si gadis bersepatu merah adalah selalu berjalan sendirian. Setiap langkahnya berburu dengan waktu, menjadikan Merin Noella Amyra telah beranjak dewasa.
Sebuah apartemen mewah berdiri di Sydney, Australia diperuntukkan khusus untuk Merin begitu dia meminta dikuliahkan di luar negeri sejak 4 tahun lalu. Menurutnya, berada jauh dari orangtuanya lebih baik daripada merasa dekat, tapi diasingkan. Ayah yang seorang pilot dan ibu yang seorang aktris terkenal membuat Merin tidak bisa menuntut banyak waktu.
Gemericik shower akhirnya berhenti. Tubuh mungil Merin dibalut oleh handuk muncul dari balik kamar mandi. Sambil meremas-remas rambut yang basah, ia menghampiri pelayan wanitanya.
"Gimana? Apa Bi Olaf membawa pesananku?" tanya Merin dengan mata berbinar.
Bi Olaf sedikit menggeser badannya. Menampilkan satu setel pakaian yang tergantung di besi. Merin menyambar jaket kulit merah sepinggang dengan deretan rantai di kedua sisi depan. Mirip seperti personel band rock.
"Bagus! Persis seperti yang aku mau," puji Merin.
Bi Olaf sedikit mendongak. "Apa tidak terlalu mencolok untuk dipakai kuliah, Nona?"
"Masa bodoh! Aku harus terlihat istimewa di hari penting ini."
***
Di tengah sebuah ruangan besar dan padat, jari-jemari seorang pemuda menari di atas papan kibord. Matanya sedikit berkedut dan jarang berkedip di depan layar tipis komputer. Cahaya terpantul ke wajahnya, menampilkan rahang yang tegas. Sesekali, telunjuknya mengusap permukaan bibir keritingnya.
Tidak ada siapa pun di sana. Setidaknya, sampai beberapa orang mulai berdatangan.
"Selamat pagi, Profesor!" seru anak laki-laki berambut cepak. Ia memimpin barisan 2 remaja lain di belakangnya.
"Sudah kubilang, Jasper. Panggil nama saja kalau di markas," keluh sang profesor.
"Maklum, Eldric. Bocah ini memang susah peka. Ketua kan masih seumuran kita," sambar Olivia Barlie, si gadis pirang berponi.
Sesaat Jasper memajukan bibirnya sambil melirik sinis gadis itu.
"Aku kan cuma waspada. Takut dianggap tidak hormat," katanya sambil beralih lagi pada Eldric, "oh iya, apa kamu sedang tidak ada kelas?"
Olivia menyela kembali dengan kekehan. "Jasper, apa sih yang kamu tahu? Hari ini kan sidang pertama seluruh jurusan. Eldric tidak mengajukan diri sebagai dewan penilai."
"Mana aku tahu! Lagi pula, kita bukan mahasiswa di sini. Benar kan, Loey?" tanya Jasper memastikan.
Loey Alexander, anak laki-laki berambut ikal itu tanpa menjawab langsung menekan saklar lampu. Markas yang dibuat Eldric Lee Peterson di sudut gedung Eagle Tech. University pun terpampang. Dosen muda itu membuat khusus markas ini untuk proyek Fantasia.
Sebuah proyek hologram untuk menghukum orang-orang jahat.
Markas Fantasia didominasi oleh lampu-lampu berwarna biru, tapi lampu yang paling terang tetap berwarna putih. Sudah pasti ratusan lilit kabel menghuni tempat itu.
Empat meja komputer membusur ke big screen yang menempel di dinding. Layaknya bunga mawar dalam film Beauty and The Beast, di tengah mereka berdiri sebuah tabung yang mengapungkan benda mirip lensa mata. Memang lensa mata, tapi mereka menyebutnya smartlens. Lensa cerdas yang bisa menyatukan dunia manusia dengan dunia hologram.
Sementara teman-temannya bersiap memulai kembali tugas di meja masing-masing, Eldric masih terfokus pada layar. Ia menopang dagu, memantau angka yang terus bergulir.
CONNECTED 3D POSITION TO SMARTLENS ... 100%
CONNECTED 2D ANGLE POINT TO SMARTLENS ... 100%
CONNECTED TIME POINT TO SMARTLENS ... 100%
CONNECTED LIGHT TOOLS TO SMARTLENS ... 100%
... 7D PLENOPTIC FUNCTION COMPLETE ...
Eldric langsung loncat dari kursinya. "Teman-teman, kita sudah sampai di tahap akhir!" seru dosen itu.
Semangat Eldric sontak menular pada ketiga temannya. Mereka berhamburan menghampiri meja kerja si ketua dengan senyum merekah.
"Bagus! Semua karakter dan situasi yang kuciptakan sudah masuk ke smartlens," kekeh Olivia.
"Jasper, periksa secara menyeluruh keamanan cyber!" instruksi Eldric. Dia beralih pada Loey.
"Loey, siapkan pengoperasian!"
Kedua anak laki-laki itu langsung mengangguk dan bergegas menjalankan intruksi.
"Kapan kita akan melakukan pengujian?" tanya Olivia.
Alis Eldric berkerut. Kedua tangannya mengepal, penuh dengan tekad dan semangat.
"Besok. Kita akan melakukannya besok."
Mendengar ketuanya bertekad kuat, kelopak mata gadis itu melebar. Tidak bisa dipungkiri bahwa terselip ketakutan di benaknya. Proyek yang sudah dikerjakan mereka selama 5 tahun akhirnya menemukan titik temu. Tidak, ini bukan akhir. Ini permulaan yang nyata. Namun, helaan napas Olivia menjadi isyarat bahwa dia akan mencoba percaya kepada teman-temannya.
Dia yakin, ini akan berhasil.
Olivia mengangguk. "Kalau begitu, aku akan menghubungi model kita, Isabella Liu."
Eldric menahan tangan Olivia saat ia hendak berbalik. Gelengan kepala Eldric membuat gadis bermata elang itu menyipit.
"Biar aku saja. Lagi pula, aku merindukan gadis itu."
Anak-anak jurusan Game Development terlihat memenuhi aula khusus untuk sidang pertama. Mereka akan mempresentasikan proposal gim buatan masing-masing di tahun terakhir pendidikan.Seorang gadis murah senyum masih menjadi pusat perhatian. Ia tampak sederhana dengan cardigan berwarna pastel dan jeans hitam. Rambut cokelat sebahu dengan poni tipis menambah kesan muda dan fresh. Anak-anak dari berbagai penjuru dunia silih bergantian ingin mengobrol dengannya. Selain karena aura lembutnya, kepintarannya membuat anak-anak universitas penasaran."Isabella, proposalmu pasti tidak akan mengecewakan! Para dewan tidak akan tahan dengan pesonamu, hahaha," goda salah satu laki-laki berkulit tan yang akrab disebut Jacky.Isabella hanya tersenyum tipis dengan pipi memerah.Perhatian gadis itu lalu teralihkan oleh anak-anak yang perlahan menepi. Membuka jalan dan terpana pada kecantikan si gadis bersepatu merah. Sambil berjalan layaknya model, Merin Noella datang dengan jaket rantai andalannya. Bibir
Suara sirine menggema di langit universitas. Terdengar jeritan paling keras yang berasal dari DenadaChloe. Beberapa orang menahan tubuh gadis itu yang hampir ambruk saat sahabatnya dibawa oleh petugas medis dengan tubuh tertutup kain putih. Situasi sidang menjadi kacau dan menegangkan. Para dewan akhirnya memutuskan untuk menunda sidang pertama."Denada Chloe," panggil salah seorang polisi membuat tangisnya berhenti.Dia mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegak."Apakah Anda adalah sahabat dari Isabella Liu?"Denada langsung mengangguk dengan cepat. "Benar.""Apa Anda bersedia memberikan kesaksian pada kepolisian?" tanya polisi itu memastikan.Tanpa ragu, Denada kembali mengangguk. Namun, kecurigaan sedikit menyeruak di batin Denada sebab tidak dibawa ke kantor polisi. Dia justru digiring memasuki tempat paling ujung di universitas."Apa saya tidak akan memberi kesaksian di kantor polisi?" tanyanya."Tidak. Kepala polisi menunggu kesaksian Anda di markas Profesor Eldric," jelas
Untuk pertama kalinya, Merin berjalan tidak sendirian di bawah langit kota. Tidak—sampai sebuah drone mini menjelma sebagai 'sipir penjara'. Meski anti bising, Merin bisa menebak keberadaan drone itu dengan lirikan matanya. Sekali pun alat itu menyelinap di balik bangunan.Di penjuru tempat lain, hanya ada Tim Fantasia di markas baru mereka."Bagaimana? Apa kita munculkan mereka sekarang?" tanya Loey dengan datar.Eldric menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari big screen."Tunggu sebentar lagi."Ia kembali mengawasi pergerakkan Merin, sekecil apa pun itu. Tiba-tiba, Merin menghentikan langkah di depan kantor stasiun televisi. Beberapa orang terlihat berkerumun sambil menatap lurus layar raksasa yang tengah memutar berita eksklusif. Kelopak mata Merin berkedut, situasi familier yang ditunjukkan media membuatnya muak.BERITA TERKINI: TRAGEDI PEMBUNUHAN MAHASISWI EAGLE TECH.ISABELLA LIU DITEMUKAN TEWAS DI TANGGA DARURAT ( .... )DIKETAHUI PELAKU YANG DIRAHASIAKAN IDENTITASNYA LAN
"Lapor komandan!" Eldric bercanda.Suara anggun wanita menyusul terdengar. "Makan?""Sudah," jawab Eldric manja, lalu disusul suara pria bersuara berat. [Peregangan?]Raut wajahnya mendadak kaget. "Benar, aku lupa."[Dasar bandel] omel sang ayah. "Sorry, Mr. James Peterson."[Kapan kamu pulang ke Beijing, Nak?] tanyanya.Belum sempat dijawab, Eldric terkekeh kecil sebab mendengar perdebatan kecil di telepon.[Kenapa menanyakan itu? Proyek besar anak kita baru saja dimulai.][Seorang ibu wajib menanyakan kapan pulang, Sayang.]Eldric menggaruk pelipisnya. "Eum ... Nyonya Bae Lui? Aku pasti akan menghubungimu seminggu sebelum pulang, jangan khawatir."[Anak baik, ibu akan menantikannya!][Kalau begitu, sudah dulu ya!] sela Mr. Peterson, [Sayang, ayo jangan mengganggu waktu istirahatnya lagi.]"Sampai jumpa! Aku sayang kalian, selalu."Meski suara kedua orangtuanya lenyap saat ia kembali meletakkan ponsel, kehangatannya masih berbekas. Senyumannya terus melekat, memikirkan bagaimana beru
Ketika arunika mulai menampakkan wujudnya, Eldric masih terjaga. Memang, dia sudah terbiasa. Namun kali ini, pikirannya diganggu oleh bayang-bayang Merin dan keluarganya. Dia merasa tidak boleh membiarkan hal semalam terulang lagi. Dia harus menjamin keselamatan gadis itu. Semalaman penuh, dia bergumul dengan kegelisahan hanya karenanya.Dia segera menyambar jasnya untuk mengakhiri kegelisahan. Membuka pintu markas berlapis alumunium. Kali ini, markasnya terletak di tengah gedung penelitian PYRAMID—organisasi para ilmuwan pengembang teknologi milik Prof. Takeda. Banyak orang berjas putih terlihat berlalu lalang. Rata-rata, mereka menuju unit markas masing-masing. Membuat Eldric terlihat melawan arus.Eldric merogoh ponselnya dan menghubungi Olivia dengan bahu terus naik-turun.“Kamu mungkin akan kaget dengan rekam jejak semalam, nanti akan kujelaskan. Beritahu anak-anak aku ada urusan di luar,”“Kamu tidak akan menemuinya kan, El?” balas Olivia cemas.Eldric berhenti di depan mobilnya
Di tempat lain, Loey menegakkan tubuhnya setelah mendapat sinyal dari Scarlett.“Iron terpancing, tapi bukan saatnya dia meledak,” ujarnya dengan santai. Olivia mencondongkan wajahnya ke layar Loey, membuat anak itu merasa tak nyaman.“Merin ingin bertemu Eldric? Kenapa dia melakukan itu?” tanya Olivia terheran-heran.Loey mengangkat bahu dengan bibir ditarik ke bawah.“Sepertinya dia punya motif lain,” tebaknya, “tapi ... bisakah kamu sedikit menggeser wajahmu?”Olivia terdiam, melirik anak itu sambil berkedip cepat. Gadis itu masih di posisinya, membuat Loey memutuskan untuk menggeser kursinya sendiri. Kecanggungan pun tercipta di antara keduanya, tidak—hanya pada Loey. Karena Olivia sama sekali tidak paham maksud anak itu. Memang menurutnya, hal itulah yang tersulit selama bergabung dengan Tim Fantasia.Sementara itu, Jasper masih melaksanakan bagiannya.IRON’S SECURITY GUARDLevel up/entering-to-level-7/add... SUCCEED ...“Aku sudah menaikkan keamanannya supaya tidak meledak,” ce
Scarlett tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Cermin full body hancur berkeping-keping menghujani lantai. Sepertinya, sistem Scarlett benar-benar akan mengecap Merin sebagai manusia berbahaya. Sementara itu, Iron masih bersandar di pintu. Karena sistemnya telah diperbaharui, ia tidak terpancing dengan perilaku gila tahanannya.Dada Merin naik-turun. Napasnya tak beraturan. Dia tertawa, sangat keras. Otot-otot wajahnya kembali menegang. “Kenapa? Kalian pikir aku gadis lemah? Kenapa kalian begitu merepotkan!”Scarlett tersenyum. “Dengar Merin, tugas kami adalah memastikanmu tidak bertemu dengan atasan kami.”“Kalau begitu, beri aku kesempatan untuk berbincang saja. Tidak perlu bertemu, aku hanya perlu berbicara padanya sebentar, sama seperti semalam.”Iron terkekeh, terdengar seperti meremehkan permintaan gadis itu.“Kamu pikir semalam kalian berbincang?” Pertanyaan Iron membuat Merin menyipit. Semakin dia mencoba menerka, keraguan perlahan menjalar di benaknya.“Maksudmu?” Daun pi
“Dia masuk, dia masuk!” seru Jasper sedikit menganga, tak percaya akan pemandangan yang ditampilkan layar. Mereka baru mengaktifkan kembali mode kamera di drone, sehingga yang tertangkap adalah langkah Merin dengan sepatu kets merahnya.Dress hitam bermotif kupu-kupu mengombak di tengah aula. Menepikan hilir mudik muda-mudi berpakaian casual. Hanya Merin Noella yang bergaya nyentrik. Benar, sesuai ciri khasnya. Sesuai yang dia inginkan. Membawa konsep presentasi yang menonjol.Bagai menghadiri acara pesta dansa kerajaan, setengah wajah gadis itu tertutup oleh topi bundar dengan sehelai bulu hitam di tepinya. Olivia menggaruk pelipisnya, berusaha mencerna apa yang di otak Merin. Bahkan orang awam pun akan tahu dia salah kostum.“Apa aliran listrik membuat otaknya geser?” celetuk Jasper, masih tak percaya.“Bukannya dia memang seperti itu?” timpal Loey santai.Eldric menunduk. Bibirnya berkedut menahan senyum. Di benaknya, gadis itu memang tidak pernah bisa digoyahkan. Dia tak gentar. T
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o