Anak-anak jurusan Game Development terlihat memenuhi aula khusus untuk sidang pertama. Mereka akan mempresentasikan proposal gim buatan masing-masing di tahun terakhir pendidikan.
Seorang gadis murah senyum masih menjadi pusat perhatian. Ia tampak sederhana dengan cardigan berwarna pastel dan jeans hitam. Rambut cokelat sebahu dengan poni tipis menambah kesan muda dan fresh. Anak-anak dari berbagai penjuru dunia silih bergantian ingin mengobrol dengannya. Selain karena aura lembutnya, kepintarannya membuat anak-anak universitas penasaran.
"Isabella, proposalmu pasti tidak akan mengecewakan! Para dewan tidak akan tahan dengan pesonamu, hahaha," goda salah satu laki-laki berkulit tan yang akrab disebut Jacky.
Isabella hanya tersenyum tipis dengan pipi memerah.
Perhatian gadis itu lalu teralihkan oleh anak-anak yang perlahan menepi. Membuka jalan dan terpana pada kecantikan si gadis bersepatu merah. Sambil berjalan layaknya model, Merin Noella datang dengan jaket rantai andalannya. Bibir yang semerah delima, menyempurnakan riasan smooky eyes-nya.
Denada Chloe, sahabat Isabella menyipit. "Dia memang cantik dan pintar, tapi kelakuannya seperti siluman."
"Jangan bicara seperti gitu," tegur Isabella.
"Aku nggak akan lupa gimana dia merobek gaunku di tahun pertama!" dengkus Denada.
Namun, gadis itu langsung terdiam begitu menyadari Merin sudah berdiri di hadapannya.
"Masih dendam soal gaunmu?" kekeh Merin, "padahal kamu yang pertama kali menyerangku hanya karena gaun kita sama. Bocah sekali."
Denada menggeram. "KAMU—"
Tamparan keras hampir dilayangkan oleh Denada, tapi Isabella menahan tangannya.
"Merin, sudahlah. Jangan ganggu kami. Kita di sini untuk sidang," lerainya.
"Benar! Kamu selalu berlagak paling pintar, tapi tunggu dulu. Isabella bakal memenangkan proposal terbaik!" sela Jacky.
Merin menggigit bibir bawah. Dadanya dibuat naik-turun. Dengan tatapan liar, dia menarik kerah baju Jacky. Membuat pemuda itu membelalak seketika dan hampir tercekik.
"Dengar, aku akan menjadi lulusan terbaik. Jadi, sidang proposal ini harus kumenangkan!" tangkas Merin sambil mendorong Jacky dengan keras.
Isabella tersenyum tipis. "Jacky benar, Merin. Sebaiknya jangan terlalu berharap. Para dewan akan tahu dengan jelas siapa pemenangnya."
Di tengah ketegangan itu, speaker besar memberikan pengumuman yang membuat semua orang mengeluh.
Perhatian! Dikarenakan ada perbaikan teknis, sidang ditunda selama dua jam. Semua mahasiswa/i diharapkan bersabar.
Penundaan sidang membuat beberapa mahasiswa memilih menunggu di luar. Merin mengamati halaman aula, ekor matanya memeriksa segala sudut. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya kerumunan anak yang tengah bergosip.
"Ke mana perginya Isabella?" gumam Merin.
Bukan tanpa alasan Merin mencari gadis itu. Merin sengaja membuat perdebatan kecil Jacky sambil melihat reaksi Isabella. Mendapati Isabella yang tampak sepenuhnya yakin akan menang, Merin tidak membiarkan hal itu mengusiknya.
"Argh, aku tidak suka tatapan remeh gadis itu," gumam Merin.
Beruntung. Siluet Isabella tertangkap tengah berjalan ke belakang aula sambil menggenggam tangan seorang pria. Merin langsung mengikuti keduanya. Setelah menyusuri lorong-lorong gedung kampus, Merin dibawa keduanya masuk ke dalam area tangga darurat. Ia amat menjaga langkahnya agar tak menimbulkan suara.
Isabella dan pria yang itu akhirnya berhenti di tengah-tengah. Membuat Merin bisa melihat secara jelas identitas si pria. Alisnya berkerut, pertanda ia mencoba berpikir keras.
Bukannya itu salah satu dosen di kampus ini? Siapa ya namanya? Ah, Prof. Eldric Lee Peterson! Batin Merin dengan pupil mata melebar. Dengan sigap, Merin mengeluarkan ponsel dan langsung merekam keduanya.
"Kamu benar-benar bisa melakukannya dengan baik, kan?" tanya Eldric serius. Merin menyelipkan rambutnya ke telinga agar bisa menguping dengan jelas.
"Tentu, Prof. Tidak, maksudku El—"
Tiba-tiba, Isabella melingkarkan lengannya ke tubuh Eldric. Mimik wajah Merin berubah menjadi seperti melihat orang muntah.
"Aku tidak akan pernah mengecewakan sahabat kecilku."
Merin memutarbalikkan bola matanya. Tukang drama, Cemoohnya dalam hati.
Tangan Eldric mendorong lembut bahu Isabella, lalu merogoh sebuah flashdisk berwarna emas. Tangan Merin terkepal. Dalam hati, dia merasa kecurigaannya terbukti. Isabella menggunakan cara curang untuk menang.
Merin tersentak ketika Eldric hendak bergegas keluar. Sontak, Merin berbalik dan berlari kecil mendahului dosen muda itu. Pintu tangga darurat terbuka. Mengembuskan angin sunyi di lorong yang panjang. Merin mengintip dari ruangan yang kebetulan terbuka. Menunggu punggung laki-laki itu lenyap dari pandangannya.
"File itu pasti berisi bocoran pertanyaan dari dewan. Aku gak akan membiarkanmu memilikinya!"
Dengan mata membara, Merin kembali memasuki tangga darurat. Tekadnya untuk melabrak Isabella sudah bulat. Namun, semua makian tertahan di tenggorokannya begitu mendengar percakapan Isabella dengan seseorang di telepon.
"File-nya sudah ada di tanganku. Aku ada di tangga darurat gedung utama. Cepat ke sini, Sayang!"
"Dasar wanita ular!" celetuk Merin sambil melipat tangan di dada.
Isabella terperajat. Dia buru-buru mematikan ponsel dengan tubuh bergetar. Kedua lengannya bersembunyi di punggung. Merin menuruni anak tangga dengan santai, sementara Isabella memepetkan tubuhnya ke dinding.
Merin menengadahkan satu tangannya. "Selagi aku meminta baik-baik, serahkan file itu."
"Untuk apa? Apa hubungannya denganmu?" tanya Isabella keheranan.
Rasa kesal mulai mendera Merin. Dia mendekatkan tubuhnya pada Isabella dan bersiap menarik tangan gadis itu. Namun dengan refleks, Isabella menghindar dan mencoba melarikan diri. Sayangnya, cengkeraman Merin mendarat lebih cepat dari dugaan.
BUKKK! Merin menarik gadis itu dan membenturkan punggungnya ke tepian tangga.
"Kita harus melakukan semuanya dengan adil, kan? Beraninya kamu—"
Merin menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataaannya. "Sudahlah, cepat berikan file-nya!" tuntut Merin.
Isabella mengeraskan kepalannya dan mendorong Merin. Percuma saja, nyatanya Merin tidak goyah. Jari-jemarinya dengan kuat membobol kepalan gadis itu.
"Lepaskan!" pekik Isabella.
Keduanya saling mendorong satu sama lain. Hingga akhirnya, Merin mengerahkan kekuatan penuh. Satu tangannya berhasil merebut flashdisk, tapi tangan lainnya malah kelepasan mendorong Isabella sehingga tubuhnya terpental melewati tepian tangga.
Untungnya, kedua tangan Isabella masih mencengkeram tepian. Merin membelalak sambil mundur beberapa langkah. Dia hanya menatap nanar Isabella yang menangis panik.
"Merin, tolong aku. Bantu angkat aku," lirih Isabella dengan keringat membasahi keningnya.
Merin bergeming. Dia melirik flashdisk emas di telapak tangannya, lalu meremasnya keras.
"Aku tidak mau ikut campur dengan masalah hidup dan matimu," ketus Merin, "cobalah bertahan, lagi pula pacarmu itu akan datang."
"Tidak, kumohon ... jangan pergi!" isak Isabella melihat Merin kembali menaiki tangga untuk keluar.
Meski pita suara Isabella terputus, Merin tidak akan pernah berbalik. Dalam pengembaraannya selama 20 tahun di dunia, gadis itu tumbuh begitu dingin. Tanpa belas kasih, tanpa kepedulian, dan hanya akan memikirkan dirinya sendiri. Prinsipnya adalah jangan berutang dan mengutangkan apa pun pada manusia.
Di tengah lorong, mata Merin sedikit berair. Barangkali karena dia lupa berkedip atau karena suatu hal terbesit di otaknya. Suara percikkan air, teriakan minta tolong, dan perasaan sesak yang menyeruak.
Merin berhenti sejenak. Dia sedikit membungkuk, bertumpu pada kedua lututnya.
"Benar, seperti itulah rasanya," gumam Merin sambil menelan ludah.
Baru saja Merin hendak mengangkat tubuhnya kembali, seseorang menabraknya dengan cukup keras.
Flashdisk yang berada dalam genggamannya terjatuh. Kedua tangan Merin terpaksa bertaut pada jas si penabrak.
Merin mendongakkan kepala. "Profesor?" tanyanya sambil langsung melepaskan diri.
Dahi Eldric berkerut masih dengan pandangan ke bawah. Dia berjongkok, meraih flashdisk itu lalu menatap Merin curiga.
Eldric mengernyit. "Siapa kamu? Kenapa benda ini ada di tanganmu?"
"Saya Merin Noella Amyra. Anda telah melakukan kecurangan, Prof! Sebagai dewan, bisa-bisanya
Anda membocorkan pertanyaan sidang kepada Isabella Liu!" geram Merin.
Sontak Eldric mencengkeram bahu Merin. "Apa maksudmu? Flashdisk ini berisi panduan proyek Fantasia! Isabella Liu akan menjadi model saya besok!"
Kelopak mata Merin melebar. Bibirnya sedikit menganga mendengar pernyataan dosen jangkung itu.
"A—ap—pa? Jadi, Isabella tidak curang?"
"Di mana dia sekarang?"
Rasa sesal dan gelisah menyeruak di sanubari Merin. Gadis itu memejamkan mata sesaat, lalu berbalik arah.
"SIAL!"
Cengkeraman Eldric lepas dalam satu hempasan. Dia kembali berlari menuju tangga darurat, disusul Eldric dengan jas hitam yang mengepak oleh angin.
Dengan terengah-engah, Merin membuka pintu. Retinanya melebar ketika sadar tidak ada tangan yang menggenggam tepian tangga. Begitu dia memeriksa ke bawah, Merin sekuat tenaga menahan jeritannya dengan kedua tangan. Dia mundur beberapa langkah dengan tubuh bergetar, sementara giliran Eldric yang memeriksa.
"Isabella!" teriak Eldric mendapati tubuh gadis itu telah terbujur kaku di lantai dasar. Otaknya pecah dengan darah bersimbah menggenangi tubuhnya.
Tatapan Merin kosong. Ketakutan. Penyesalan. "Salahku—"
Eldric langsung melirik tajam Merin. Kedua tangannya mencengkeram keras tepian. Mencoba menahan diri sekuat tenaga. Menahan untuk tidak menyerang Merin. Menahan segala kekalutan yang ada.
"Aku akan melaporkanmu," geram Eldric.
Merin terpelatuk. Dia mencengkeram bahu laki-laki itu dengan keras. Sorot kekhawatiran dan amarah berpendar di pupilnya.
"Tidak, aku tidak akan membiarkan siapa pun memenjarakanku. Kedua orangtuaku pun begitu, mereka akan membunuhku bila aku merusak reputasi mereka!"
Merin berhenti begitu tatapan muak ditorehkan Eldric. "Apa kamu sadar akan perbuatanmu? Seseorang mati!"
"SAYA TIDAK SENGAJA MENDORONGNYA!"
Keduanya saling berlomba meninggikan suara. Merin menelan ludahnya lagi. Kali ini, tenggorokannya terasa lebih sakit. Perlahan, cengkeramannya melonggar. Tangannya lalu merogoh ponsel dan mengacungkannya di hadapan Eldric.
"Profesor, rekaman ini menunjukkan Anda adalah orang terakhir bersama Isabella di tempat kejadian. Anda paham maksudku, kan?" kata Merin.
Eldric mengatupkan bibir. Dia sejenak terkekeh, lalu kembali menggeram.
"Kamu pikir bisa menjebakku?" tantang Eldric.
"Anda juga tidak ingin mengacaukan proyek Fantasia, bukan?" timpal Merin dengan seringainya.
Sentuhan hangat mendarat di leher Merin saat Eldric melingkarkan tangannya. Bulu kuduk gadis itu merinding. Aliran darahnya terasa berdesir cepat ketika Eldric membelai pipinya lembut. Sebuah bisikkan lembut mengembus ke telinganya.
"Merin Noella, apa kamu tahu proyek seperti apa yang sedang saya kerjakan?"
"Jangan macam-macam," ancam Merin.
Tiba-tiba, tangan Eldric menarik bahu Merin dan mengunci tubuhnya erat.
"Proyek Fantasia diciptakan untuk menghukum orang-orang sepertimu. Orang-orang jahat yang tidak mau bertanggung jawab atas kesalahan mereka!"
"Anda berencana membuat hukum baru dengan menggunakan teknologi?"
"Jika kalian tidak mau dipenjara, maka biar hari-hari kalian yang kubuat seperti penjara! Sebuah hukuman yang tidak akan bisa kalian lewati seumur hidup," jelas Eldric.
"Bagaimana jika saya bisa melewatinya?" tantang Merin, "apa berarti dosa ini sudah kutebus?"
Eldric membalikkan tubuh Merin. Membuat gadis itu sedikit berguncang. Pandangan mereka bertemu. Eldric masih menerka-nerka maksud dari Merin. Sementara gadis itu justru masih mempertahankan seringainya.
"Kalau begitu jadikan saya tersangka pertama Anda, Profesor Eldric. Saya akan menjamin video ini tidak akan bocor. Proyekmu akan terus berjalan dan saya aman dari jeruji besi."
Pandangan Eldric menurun sambil melangkah mundur. Menjatuhkan punggungnya ke dinding dengan napas terengah. Dia sadar semua yang dikatakan Merin masuk akal. Proyek Fantasia harus berjalan tanpa kendala. Jika tidak, dia akan mengecewakan banyak pihak. Keluarganya, seniornya, timnya, dan mendiang saudara kembarnya ... Aldric.
Bisakah aku percaya pada gadis licik ini? Batin Eldric.
Namun, dia tahu betul kehadiran Merin memberikan jalan keberuntungan pada proyeknya. Bila berhasil, Fantasia dapat langsung memperoleh lisensi resmi dari kementerian.
"Untuk apa berpikir lama-lama? Jangan membuang-buang waktu!" protes Merin.
Satu tangan Eldric meraup rambutnya. Sejenak dia meremasnya, lalu mengempaskannya. Kedua bahunya ditegakkan. Menghujami Merin dengan tatapan tajam.
"Aku akan menghubungi kepolisian. Kamu ikut saya ke markas." Eldric menginstruksi.
Suara sirine menggema di langit universitas. Terdengar jeritan paling keras yang berasal dari DenadaChloe. Beberapa orang menahan tubuh gadis itu yang hampir ambruk saat sahabatnya dibawa oleh petugas medis dengan tubuh tertutup kain putih. Situasi sidang menjadi kacau dan menegangkan. Para dewan akhirnya memutuskan untuk menunda sidang pertama."Denada Chloe," panggil salah seorang polisi membuat tangisnya berhenti.Dia mengusap air matanya dan mencoba berdiri tegak."Apakah Anda adalah sahabat dari Isabella Liu?"Denada langsung mengangguk dengan cepat. "Benar.""Apa Anda bersedia memberikan kesaksian pada kepolisian?" tanya polisi itu memastikan.Tanpa ragu, Denada kembali mengangguk. Namun, kecurigaan sedikit menyeruak di batin Denada sebab tidak dibawa ke kantor polisi. Dia justru digiring memasuki tempat paling ujung di universitas."Apa saya tidak akan memberi kesaksian di kantor polisi?" tanyanya."Tidak. Kepala polisi menunggu kesaksian Anda di markas Profesor Eldric," jelas
Untuk pertama kalinya, Merin berjalan tidak sendirian di bawah langit kota. Tidak—sampai sebuah drone mini menjelma sebagai 'sipir penjara'. Meski anti bising, Merin bisa menebak keberadaan drone itu dengan lirikan matanya. Sekali pun alat itu menyelinap di balik bangunan.Di penjuru tempat lain, hanya ada Tim Fantasia di markas baru mereka."Bagaimana? Apa kita munculkan mereka sekarang?" tanya Loey dengan datar.Eldric menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari big screen."Tunggu sebentar lagi."Ia kembali mengawasi pergerakkan Merin, sekecil apa pun itu. Tiba-tiba, Merin menghentikan langkah di depan kantor stasiun televisi. Beberapa orang terlihat berkerumun sambil menatap lurus layar raksasa yang tengah memutar berita eksklusif. Kelopak mata Merin berkedut, situasi familier yang ditunjukkan media membuatnya muak.BERITA TERKINI: TRAGEDI PEMBUNUHAN MAHASISWI EAGLE TECH.ISABELLA LIU DITEMUKAN TEWAS DI TANGGA DARURAT ( .... )DIKETAHUI PELAKU YANG DIRAHASIAKAN IDENTITASNYA LAN
"Lapor komandan!" Eldric bercanda.Suara anggun wanita menyusul terdengar. "Makan?""Sudah," jawab Eldric manja, lalu disusul suara pria bersuara berat. [Peregangan?]Raut wajahnya mendadak kaget. "Benar, aku lupa."[Dasar bandel] omel sang ayah. "Sorry, Mr. James Peterson."[Kapan kamu pulang ke Beijing, Nak?] tanyanya.Belum sempat dijawab, Eldric terkekeh kecil sebab mendengar perdebatan kecil di telepon.[Kenapa menanyakan itu? Proyek besar anak kita baru saja dimulai.][Seorang ibu wajib menanyakan kapan pulang, Sayang.]Eldric menggaruk pelipisnya. "Eum ... Nyonya Bae Lui? Aku pasti akan menghubungimu seminggu sebelum pulang, jangan khawatir."[Anak baik, ibu akan menantikannya!][Kalau begitu, sudah dulu ya!] sela Mr. Peterson, [Sayang, ayo jangan mengganggu waktu istirahatnya lagi.]"Sampai jumpa! Aku sayang kalian, selalu."Meski suara kedua orangtuanya lenyap saat ia kembali meletakkan ponsel, kehangatannya masih berbekas. Senyumannya terus melekat, memikirkan bagaimana beru
Ketika arunika mulai menampakkan wujudnya, Eldric masih terjaga. Memang, dia sudah terbiasa. Namun kali ini, pikirannya diganggu oleh bayang-bayang Merin dan keluarganya. Dia merasa tidak boleh membiarkan hal semalam terulang lagi. Dia harus menjamin keselamatan gadis itu. Semalaman penuh, dia bergumul dengan kegelisahan hanya karenanya.Dia segera menyambar jasnya untuk mengakhiri kegelisahan. Membuka pintu markas berlapis alumunium. Kali ini, markasnya terletak di tengah gedung penelitian PYRAMID—organisasi para ilmuwan pengembang teknologi milik Prof. Takeda. Banyak orang berjas putih terlihat berlalu lalang. Rata-rata, mereka menuju unit markas masing-masing. Membuat Eldric terlihat melawan arus.Eldric merogoh ponselnya dan menghubungi Olivia dengan bahu terus naik-turun.“Kamu mungkin akan kaget dengan rekam jejak semalam, nanti akan kujelaskan. Beritahu anak-anak aku ada urusan di luar,”“Kamu tidak akan menemuinya kan, El?” balas Olivia cemas.Eldric berhenti di depan mobilnya
Di tempat lain, Loey menegakkan tubuhnya setelah mendapat sinyal dari Scarlett.“Iron terpancing, tapi bukan saatnya dia meledak,” ujarnya dengan santai. Olivia mencondongkan wajahnya ke layar Loey, membuat anak itu merasa tak nyaman.“Merin ingin bertemu Eldric? Kenapa dia melakukan itu?” tanya Olivia terheran-heran.Loey mengangkat bahu dengan bibir ditarik ke bawah.“Sepertinya dia punya motif lain,” tebaknya, “tapi ... bisakah kamu sedikit menggeser wajahmu?”Olivia terdiam, melirik anak itu sambil berkedip cepat. Gadis itu masih di posisinya, membuat Loey memutuskan untuk menggeser kursinya sendiri. Kecanggungan pun tercipta di antara keduanya, tidak—hanya pada Loey. Karena Olivia sama sekali tidak paham maksud anak itu. Memang menurutnya, hal itulah yang tersulit selama bergabung dengan Tim Fantasia.Sementara itu, Jasper masih melaksanakan bagiannya.IRON’S SECURITY GUARDLevel up/entering-to-level-7/add... SUCCEED ...“Aku sudah menaikkan keamanannya supaya tidak meledak,” ce
Scarlett tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Cermin full body hancur berkeping-keping menghujani lantai. Sepertinya, sistem Scarlett benar-benar akan mengecap Merin sebagai manusia berbahaya. Sementara itu, Iron masih bersandar di pintu. Karena sistemnya telah diperbaharui, ia tidak terpancing dengan perilaku gila tahanannya.Dada Merin naik-turun. Napasnya tak beraturan. Dia tertawa, sangat keras. Otot-otot wajahnya kembali menegang. “Kenapa? Kalian pikir aku gadis lemah? Kenapa kalian begitu merepotkan!”Scarlett tersenyum. “Dengar Merin, tugas kami adalah memastikanmu tidak bertemu dengan atasan kami.”“Kalau begitu, beri aku kesempatan untuk berbincang saja. Tidak perlu bertemu, aku hanya perlu berbicara padanya sebentar, sama seperti semalam.”Iron terkekeh, terdengar seperti meremehkan permintaan gadis itu.“Kamu pikir semalam kalian berbincang?” Pertanyaan Iron membuat Merin menyipit. Semakin dia mencoba menerka, keraguan perlahan menjalar di benaknya.“Maksudmu?” Daun pi
“Dia masuk, dia masuk!” seru Jasper sedikit menganga, tak percaya akan pemandangan yang ditampilkan layar. Mereka baru mengaktifkan kembali mode kamera di drone, sehingga yang tertangkap adalah langkah Merin dengan sepatu kets merahnya.Dress hitam bermotif kupu-kupu mengombak di tengah aula. Menepikan hilir mudik muda-mudi berpakaian casual. Hanya Merin Noella yang bergaya nyentrik. Benar, sesuai ciri khasnya. Sesuai yang dia inginkan. Membawa konsep presentasi yang menonjol.Bagai menghadiri acara pesta dansa kerajaan, setengah wajah gadis itu tertutup oleh topi bundar dengan sehelai bulu hitam di tepinya. Olivia menggaruk pelipisnya, berusaha mencerna apa yang di otak Merin. Bahkan orang awam pun akan tahu dia salah kostum.“Apa aliran listrik membuat otaknya geser?” celetuk Jasper, masih tak percaya.“Bukannya dia memang seperti itu?” timpal Loey santai.Eldric menunduk. Bibirnya berkedut menahan senyum. Di benaknya, gadis itu memang tidak pernah bisa digoyahkan. Dia tak gentar. T
Di menit kamera dimatikan...“Please welcome, Merin Noella Amyra from class-A.” Suara wanita di dalam speaker memenuhi langit-langit aula. Tak disangka, ternyata Merin sudah berada di dalamnya. Meninggalkan drone yang dianggapnya sebagai benda bodoh.Perhitungannya tepat sasaran. Jika Eldric akan meluncurkan misi tepat saat namanya disebut, dia akan bergerak lima menit sebelumnya. Tentu saja, Eldric tidak akan membiarkan Iron dan Scarlett melabraknya setengah telanjang. Merin yakin dia akan mematikan fungsi sipir hologram mereka.Fungsi drone itu akan berhenti mendeteksi keberadaannya ketika di toilet. Saat itulah, Merin berganti peran dengan orang bayarannya. Dia akan meminta orang itu untuk bertahan sampai sebuah drone datang padanya.Merin keluar dengan setelan jaket denim, celana jeans, dan rambut yang dimasukkan ke dalam topi hitam. Gadis itu berdecih saat berhasil melewati drone itu.Dia merasa bangga karena telah mengambil alih keadaan hanya karena sembelit.“Periksa ke dalam!”
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o