Wanita berusia dua puluh tahun itu menginjakkan kaki di pelataran sebuah galeri lukisan bernama Gheoff Art. Sudah hampir seminggu ia tidak datang ke sana karena merasa kurang enak badan. Sudah hampir seminggu juga ia tidak dapat menghubungi Frans Geoff Richardson, kekasihnya sekaligus pemilik galeri itu. Sebelum membuka pintu, wanita bernama Kamasean Shirly itu tampak menambah polesan lipstik di bibirnya. Ia tidak ingin tampil pucat di hadapan Frans.
Sean menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Ia melakukan itu berulang kali untuk meredakan rasa gugupnya. Selain ingin bertemu Frans, kedatangan Sean ke tempat itu juga untuk menyampaikan sebuah kabar, kabar yang tak sepenuhnya baik, pun tak sepenuhnya buruk.
Ketika Sean hendak membuka pintu, seorang cleaning service yang bekerja di sana lebih dahulu ke luar. Wanita paruh baya itu tampak kaget melihat kedatangan Sean. “Mm..Mbak Sean ada perlu apa datang ke sini?” lirihnya yang tampak gugup.
Sean mengernyitkan dahi. Tidak biasanya cleaning service itu bersikap demikian, seolah tidak senang dengan kedatangan Sean. Padahal, biasanya Bi Ningsih, demikian beliau akrab dipanggil, selalu menyambut kedatangan Sean dengan sumringah.
“Apa Frans ada di dalam, Bi?” tanya Sean yang tidak ingin berprasangka buruk pada wanita di hadapannya.
“Tidak ada,” jawab Bi Ningsih cepat. “Tuan Frans tidak ada di dalam,” terangnya lagi.
Sean mengerutkan dahi untuk yang kedua kalinya. Matanya melirik ke parkiran, tampak dua buah mobil mewah yang berdiri di sana, satu diantaranya adalah mobil Frans.
“Tuan Frans keluar tanpa membawa mobil, Mbak,” ucap Bi Ningsih lagi setelah ia menelusuri arah pandangan Sean.
“Ohh.” Terdengar Sean mendenguskan kecewa, namun gadis berlesung pipi itu masih mengusahakan senyum pada Bi Ningsih. “Kalau gitu, saya tunggu di dalam saja, Bi,” ucapnya.
“Ja-jangan, Mbak.” Bi Ningsih mencegat langkah Sean. “Tuan Frans tidak balik ke sini lagi, Mbak. Beliau ada urusan penting,” terang Bi Ningsih yang tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Sean menyipitkan matanya pada Bi Ningsih, mulai curiga dengan gelagat dan perkataan wanita paruh baya itu. “Apa Bi Ningsih menyembunyikan sesuatu dari saya?” selidik Sean.
Bi Ningsih menggeleng cepat. Sebisa mungkin ia mengalihkan matanya dari tatapan Sean, tidak ingin perempuan muda itu membaca sesuatu yang sedang berusaha ditutup-tutupinya.
Melihat reaksi Bi Ningsih, Sean pun semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sean memaksa masuk untuk memastikan sendiri apakah Frans ada di dalam atau tidak. “Frans...,” panggil Sean dalam ruangan yang bergema itu. Sean mengedarkan pandangan ke sekitar, galeri itu tampak lebih rapi dari biasanya, pekan mendatang Frans akan mengadakan pameran besar yang akan melibatkan kurator-kurator dari mancanegara.
Tanpa mengulur waktu, Sean langsung menuju ruangan paling belakang, tempat Frans biasa bersuaka untuk mengerjakan lukisan-lukisannya.
Klek!
Pintu terbuka, dan Sean kontan bergeming. Segala gerak dan gerik lenyap bagi Sean ketika melihat apa yang sedang berlangsung di depan matanya. Frans sedang mencoret-coret kanvas bersama seorang wanita yang bergayut manja di bahunya. Dada Sean sesak menyaksikan hal itu.
Menyadari kedatangan Sean, Frans dan wanita berambut pirang itu pun tampak terkejut. Berbeda dengan reaksi Frans yang pucat pasi, wanita itu tampak tersenyum sumringah. Alih-alih menjauh dari tubuh Frans, wanita bernama Batrice itu semakin bergelayut manja di bahu Frans yang lebar itu.
Sean tampak menelan ludah. “Apa perempuan ini yang sudah membuatmu menghilang dariku selama seminggu belakangan?” lirih Sean dengan suaranya yang serak, tatapannya lurus pada Frans.
“Kenapa kau datang ke sini, Sean. Ada perlu apa?” Frans balik bertanya. Laki-laki itu jelas tengah berusaha mengalihkan topik.
Sean tersentak mendengar pertanyaan Frans. “Apa aku harus punya alasan untuk bertemu dengan kekasihku? Apa aku harus buat janji dulu untuk bertemu dengan kekasihku sendiri?” Nada suara Sean mulai tinggi, genangan di matanya tampak semakin kentara.
Frans melangkah mendekati Sean. “Pulanglah dulu. Kita bicara nanti,” ucapnya dengan raut wajah datar.
Sean semakin terbelalak mendengar hal itu. “Kau mengusir aku? Kau mengusir aku karena wanita itu?”
Melihat Sean mengacungkan telunjuk padanya, Batrice pun mendekat dan kembali melingkarkan sebelah tangannya di lengan Frans, sementara tangannya yang satu lagi ia ulurkan pada Sean. “Perkenalkan, aku Batrice, tunangan Frans,” cetus Batrice dengan senyuman penuh kemenangan.
Duarrr! Sean merasakan dadanya bergemuruh. Ia menatap Frans, meminta penjelasan, berharap Frans akan menyanggah ucapan Batrice. Namun Frans tidak bicara sepatah kata pun.
Frans justru menarik lengan Sean untuk keluar dari ruangan itu. Begitu sudah berada di luar ruangan itu, Sean langsung melepaskan tangannya dari cengkraman Frans. Ia kembali menatap tajam pada mata coklat laki-laki itu. “Frans, jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sebenarnya wanita itu?” desak Sean, dadanya turun naik karena menahan emosi.
“Kau tidak perlu tahu siapa dia. Ada perlu apa kau ke sini, Sean? Jika tidak ada hal yang penting, pulanglah segera. Aku sedang sibuk sekali mempersiapkan pameran untuk minggu depan,” balas Frans dengan ekspresi sedatar mungkin.
Sean geleng-geleng kepala. Ia benar-benar tidak menyangka Frans akan bicara seperti itu padanya. Sean kembali mengedarkan pandangan ke seisi galeri itu. Selama ini yang tertanam di kepalanya, Frans selalu meminta Sean untuk menemaninya. Frans selalu mengatakan bahwa hanya Sean yang memahami impian Frans sebagai seorang pelukis terkenal. Sean adalah saksi hidup perjalanan karier Frans, dari Frans mulai kuliah, menjajakan lukisannya kesana-sini, ikut pameran-pameran, hingga membangun galeri lukisan sendiri seperti sekarang ini.
Sedangkan dari perkataan Frans barusan, laki-laki itu seolah menganggap kedatangan Sean sebagai pengganggu yang akan merusak hari besarnya. Terang saja Sean terluka mendengar hal itu. Apalagi Sean melihat sendiri Frans tampak lebih sibuk bermesraan dengan perempuan lain ketimbang mempersiapkan pameran.
“Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu. Aku datang karena ingin menyampaikan suatu hal penting,” lirih Sean dengan mata berkaca-kaca.
“Cepatlah katakan. Aku tidak punya banyak waktu,” balas Frans yang terdengar sinis, seolah ia ingin Sean cepat-cepat keluar dari tempat itu.
Sean menundukkan kelopak matanya. Sebutir air mata mengalir lurus di pipinya yang bergegas ia seka secepat mungkin. Dadanya kian terasa sesak. Apakah ia masih perlu menyampaikan kabar itu? Apakah kabar itu masih akan menjadi sesuatu yang penting bagi Frans?
Sean kembali mengangkat kelopak matanya dan mendapati sepasang mata coklat Frans yang masih menatapnya dingin. Penting atau tidak, Sean harus tetap mengatakan itu. Frans harus tahu perihal sesuatu.
“Frans, aku hamil anakmu,” ucap Sean.
Duarr!Giliran Frans yang merasakan dadanya bergemuruh. Ia seperti mendengar petir di siang bolong. “Kenapa kau bisa hamil?” tanya Frans. Wajahnya yang sedari tadi datar mulai memperlihatkan kerutan-kerutan, pertanda ia mulai panik.Sean semakin melongo mendengar pertanyaan Frans. Kenapa laki-laki itu justru bertanya? Apakah Frans lupa berapa kali ia menghabiskan malam-malam panjang bersama Sean? Apa Frans lupa berapa banyak kali ia melempar benih di rahim wanita itu dengan segala bujuk rayu dan janji-janji manis yang berhasil membuat Sean menuruti kehendaknya?“Kau tidak boleh hamil, Sean,” cetus Frans.Sean masih melongo. Ia benar-benar tidak habis pikir. Ia seperti kehilangan Frans yang ia kenal selama ini. “Tapi kenyataannya aku sudah hamil, Frans. Aku hamil anakmu,” tegas Sean.“Anak itu tidak boleh lahir. Aku tidak bisa menikahimu. Aku akan segera menikah dengan Batrice,” tandas Frans tanpa rasa
Laki-laki yang memiliki alis tebal itu tampak berjongkok di sebuah nisan bertuliskan nama: Leona Valleryn, seorang perempuan yang jasadnya dimakamkan di sana semenjak tiga tahun yang lalu. Laki-laki itu meletakkan bunga di pinggir nisan tersebut, ia tampak mengusap tulisan yang mulai memudar itu, hal yang selalu dilakukannya setiap kali datang ke sana.Tiga tahun berlalu, Daniel Caldwell, demikian nama lengkapnya, masih merasa kejadian itu hanyalah mimpi buruk belaka. Ia ingin kala terbangun pagi hari, Leona sudah berada di hadapannya, mengenakan gaun putih di hari pernikahan mereka. Namun, nyatanya, setiap kali laki-laki itu terbangun, ia hanya akan melihat gaun putih pengantin tanpa Leona yang mengenakannya.Kejadiannya memang tiga tahun yang lalu, tatkala Daniel dan Leona hendak mencari baju pengantin yang akan mereka kenakan di hari bahagianya.“Daniel, kau dimana? Aku sudah di butik ini semenjak dua jam yang lalu,” rengek Leona kala itu via pons
Battrice masih melirik Frans yang tampak membuang tatapan ke balik jendela. Raut wajah lelaki itu masih kusut. Battrice dapat menerka, Frans pasti tengah memikirkan Sean. Battrice pun tersenyum, setelah bertahun-tahun mencoba merebut hati Frans dan selalu terhalang oleh perempuan bernama Kamasean itu, kini Battrice justru muncul sebagai pemenang mutlak.Battrice menghampiri Nyonya Richardson yang duduk di salah satu sofa yang memang disediakan untuk para tamu yang hendak berkunjung ke galeri itu. “Tante, sepertinya Frans masih sangat mencintai perempuan itu,” ucap Battrice dengan nada mengiba sembari duduk di sebelah Nyonya Richardson.Nyonya Richardson tampak tersenyum saat menatap wajah Battrice, semata-mata untuk melegakan hati gadis itu. “Kau tidak perlu merasa insecure seperti itu, Cantik. Frans pasti akan melupakan perempuan jalang itu dengan mudah, lantas mencintaimu seutuhnya,” ujar Nyonya Richardson.“Tapi, perempuan itu ka
“Saya perlu identitasmu untuk keperluan administrasi rumah sakit,” ujar Daniel kemudian.Perempuan itu pun mengeluarkan kartu identitas dari dalam dompetnya lantas menyerahkannya pada Daniel. Daniel tampak menyipitkan mata melihat sebaris nama yang tertera di sana: Kamasean Shirly, kemudian mata Daniel menyoroti status identitas perempuan itu yang menyatakan ia belum kawin. Daniel tampak menghela napas, kini ia tahu kondisi perempuan itu, ia pasti tengah hamil di luar nikah. Barangkali laki-laki yang telah menabur benih itu enggan bertanggung jawab, mungkin karena itu juga ia hendak mengakhiri hidupnya.“Hei, kenapa masih diam di sini?” hentak Sean yang langsung mengagetkan Daniel.“Ya, saya pergi sekarang.” Daniel pun bergegas keluar dari ruangan itu.Begitu Daniel pergi, mata Sean langsung berkaca-kaca. Wanita itu tampak meraba perutnya, merasakan janin yang masih berdenyut di sana. “Maafkan mama yang sudah bern
“Saya perlu identitasmu untuk keperluan administrasi rumah sakit,” ujar Daniel kemudian.Perempuan itu pun mengeluarkan kartu identitas dari dalam dompetnya lantas menyerahkannya pada Daniel. Daniel tampak menyipitkan mata melihat sebaris nama yang tertera di sana: Kamasean Shirly, kemudian mata Daniel menyoroti status identitas perempuan itu yang menyatakan ia belum kawin. Daniel tampak menghela napas, kini ia tahu kondisi perempuan itu, ia pasti tengah hamil di luar nikah. Barangkali laki-laki yang telah menabur benih itu enggan bertanggung jawab, mungkin karena itu juga ia hendak mengakhiri hidupnya.“Hei, kenapa masih diam di sini?” hentak Sean yang langsung mengagetkan Daniel.“Ya, saya pergi sekarang.” Daniel pun bergegas keluar dari ruangan itu.Begitu Daniel pergi, mata Sean langsung berkaca-kaca. Wanita itu tampak meraba perutnya, merasakan janin yang masih berdenyut di sana. “Maafkan mama yang sudah bern
Battrice masih melirik Frans yang tampak membuang tatapan ke balik jendela. Raut wajah lelaki itu masih kusut. Battrice dapat menerka, Frans pasti tengah memikirkan Sean. Battrice pun tersenyum, setelah bertahun-tahun mencoba merebut hati Frans dan selalu terhalang oleh perempuan bernama Kamasean itu, kini Battrice justru muncul sebagai pemenang mutlak.Battrice menghampiri Nyonya Richardson yang duduk di salah satu sofa yang memang disediakan untuk para tamu yang hendak berkunjung ke galeri itu. “Tante, sepertinya Frans masih sangat mencintai perempuan itu,” ucap Battrice dengan nada mengiba sembari duduk di sebelah Nyonya Richardson.Nyonya Richardson tampak tersenyum saat menatap wajah Battrice, semata-mata untuk melegakan hati gadis itu. “Kau tidak perlu merasa insecure seperti itu, Cantik. Frans pasti akan melupakan perempuan jalang itu dengan mudah, lantas mencintaimu seutuhnya,” ujar Nyonya Richardson.“Tapi, perempuan itu ka
Laki-laki yang memiliki alis tebal itu tampak berjongkok di sebuah nisan bertuliskan nama: Leona Valleryn, seorang perempuan yang jasadnya dimakamkan di sana semenjak tiga tahun yang lalu. Laki-laki itu meletakkan bunga di pinggir nisan tersebut, ia tampak mengusap tulisan yang mulai memudar itu, hal yang selalu dilakukannya setiap kali datang ke sana.Tiga tahun berlalu, Daniel Caldwell, demikian nama lengkapnya, masih merasa kejadian itu hanyalah mimpi buruk belaka. Ia ingin kala terbangun pagi hari, Leona sudah berada di hadapannya, mengenakan gaun putih di hari pernikahan mereka. Namun, nyatanya, setiap kali laki-laki itu terbangun, ia hanya akan melihat gaun putih pengantin tanpa Leona yang mengenakannya.Kejadiannya memang tiga tahun yang lalu, tatkala Daniel dan Leona hendak mencari baju pengantin yang akan mereka kenakan di hari bahagianya.“Daniel, kau dimana? Aku sudah di butik ini semenjak dua jam yang lalu,” rengek Leona kala itu via pons
Duarr!Giliran Frans yang merasakan dadanya bergemuruh. Ia seperti mendengar petir di siang bolong. “Kenapa kau bisa hamil?” tanya Frans. Wajahnya yang sedari tadi datar mulai memperlihatkan kerutan-kerutan, pertanda ia mulai panik.Sean semakin melongo mendengar pertanyaan Frans. Kenapa laki-laki itu justru bertanya? Apakah Frans lupa berapa kali ia menghabiskan malam-malam panjang bersama Sean? Apa Frans lupa berapa banyak kali ia melempar benih di rahim wanita itu dengan segala bujuk rayu dan janji-janji manis yang berhasil membuat Sean menuruti kehendaknya?“Kau tidak boleh hamil, Sean,” cetus Frans.Sean masih melongo. Ia benar-benar tidak habis pikir. Ia seperti kehilangan Frans yang ia kenal selama ini. “Tapi kenyataannya aku sudah hamil, Frans. Aku hamil anakmu,” tegas Sean.“Anak itu tidak boleh lahir. Aku tidak bisa menikahimu. Aku akan segera menikah dengan Batrice,” tandas Frans tanpa rasa
Wanita berusia dua puluh tahun itu menginjakkan kaki di pelataran sebuah galeri lukisan bernama Gheoff Art. Sudah hampir seminggu ia tidak datang ke sana karena merasa kurang enak badan. Sudah hampir seminggu juga ia tidak dapat menghubungi Frans Geoff Richardson, kekasihnya sekaligus pemilik galeri itu. Sebelum membuka pintu, wanita bernama Kamasean Shirly itu tampak menambah polesan lipstik di bibirnya. Ia tidak ingin tampil pucat di hadapan Frans.Sean menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Ia melakukan itu berulang kali untuk meredakan rasa gugupnya. Selain ingin bertemu Frans, kedatangan Sean ke tempat itu juga untuk menyampaikan sebuah kabar, kabar yang tak sepenuhnya baik, pun tak sepenuhnya buruk.Ketika Sean hendak membuka pintu, seorang cleaning service yang bekerja di sana lebih dahulu ke luar. Wanita paruh baya itu tampak kaget melihat kedatangan Sean. “Mm..Mbak Sean ada perlu apa datang ke sini?” lirihnya yang tampak gugup.Sean m