Berbeda dengan Bian, Archi terus berupaya kabur dari kejaran pria-pria itu. Ia terus berlari mengitari bandara. Fokusnya ke depan dan sesekali menoleh ke belakang untuk melihat jaraknya dengan pria-pria tersebut. Ketika ia sedang memperhatikan ke belakang, ia tak sengaja menabrak segerombolan orang hingga mengakibatkan kerusuhan. Badannya bernasib di lantai dan beberapa barang orang yang ditabrak juga berhamburan. Amukan dari orang tersebut didapatkan. Archi berusaha untuk mengutip barang-barang tersebut sembari terus meminta maaf, sama halnya seperti yang ia lakukan kepada Bian tadi.
“I’m sorry.” Ia menangkupkan kedua tangannya. Archi terus mengutip barang-barang tersebut dengan banjiran omelan. Ketika sedang asyik dengan kegiatannya, tangan Archi ditarik ke atas. Dengan keterkejutan, Archi mendongakkan wajahnya.
“Where do you want to go?”
Ternyata orang itu adalah salah seorang pria yang mengejarnya tadi. Archi merasa kecolongan s
Bian mengumpati orang yang berada di hadapannya. Sayangnya ia tak mampu mengeluarkan suara, maka umpatan tersebut hanya menumpuk dalam hati. Jari-jari Bian mengepal meski pergelangan tangannya terikat. Bian ingin menendang dengan kakinya tetapi itu juga tidak bisa. Sial memang sial, ia tak bisa menyalurkan emosinya.Archi merasa tidak enak dengan pria di hadapannya. Ia tahu dari tatapan pria tersebut memancarkan amarah. Tadi—sewaktu Archi tak sengaja menabrak Bian—ia tak sengaja melihat passport, bisa dipastikan bahwa pria itu bukan warga Singapore. Entah dosa apa ia bisa membawa kesialan untuk turis. Mungkin saja setelah ini, pria itu akan trauma berkunjung ke Singapore. Archi menatap dua pria yang membawanya tadi dan berharap mereka melepaskan tapes dari mulutnya. Ia ingin mengutarakan bahwa pria ini tidak bersalah.Archi dan Bian saling tatap meski arti tatapan mereka berbeda. Bian dengan kemarahannya dan Archi dengan penuh penyesalannya. Bayang
Suara gelak Rams menggelegar. “Sudahlah, Archi. Kebohonganmu terlalu menumpuk sehingga Daddy tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan bohong.”Bulu mata Archi yang lebat berkedip. Air matanya ingin keluar. Ia memang nakal, sering melawan tetapi ia tak pernah melibatkan orang lain untuk menanggung kesalahannya. Archi menjatuhkan dirinya lagi dan bergerak ke arah Rams. Ia menggunakan tangannya walau terikat sebagai tumpuan untuk berpindah tempat.Pemandangan itu terlihat menyedihkan. Bian menyaksikan kesengsaraan Archi. Bian tidak bisa menghakimi keluarga ini tetapi lewat kejadian ini, ia berpendapat bahwa Archi dididik sangat keras.“Jangan hukum orang yang tidak berdosa,” mohon Archi masih dengan menyeret tubuhnya ke arah Rams.Rams berdehem, “Bahkan dalam memohon pun kau tak sudi memanggilku ayah.”Suaranya tidak keras tetapi siapapun yang mendengarnya dapat menyimpulkan bahwa kemarahan yang terpendam sang
Bian membantu Archi untuk berdiri. Mereka berjalan keluar saling merangkul. Archi mengingat bahwa ia belum meminta maaf secara langsung. Oleh sebabnya ia berhenti. Hal itu membuat Bian juga berhenti.“Ada apa?” tanya Bian. Ia khawatir bila ada luka Archi yang tersenggol olehnya. Ia memperhatikan dengan seksama dari atas hingga bawah tubuh Archi.Archi memegang pundak Bian, “Tenanglah! Aku baik-baik saja,” beri tahu Archi.“Lalu mengapa berhenti?” Tentu saja ia dilanda kebingungan. Bian perlahan memperhatikan sekitar, khawatir penjahat itu kembali datang.Archi menjatuhkan dirinya di bawah kaki Bian, ia menangkupkan kedua tangannya. “Mungkin saat ini kau membenci ku, maka hukum saja aku! Maafkan aku telah membawamu ke dalam permasalahan ini!” Archi bersungguh-sungguh dalam meminta maaf. Jika boleh memutar waktu, ia akan berhati-hati dan tidak menabrak Bian sehingga mengakibatkan pria itu berakhir di tempat in
“Apa yang membuatmu ke negeri ini?” tanya Rams, meski bukan dengan nada membentak tetapi aura mencekam sangat terasa.Kini mereka berada di kediamannya tanpa ada perkelahian lagi. Semuanya duduk di ruang tamu; Archi, Mellisa, Bian dan Rams. Rams yang paling tampak kesal dan malu terhadap Bian. Selama ini, Bian mengenal sebagai sosok yang pendiam dan santun tetapi hari ini Bian seolah ditunjukkan oleh sisi berbeda Rams.“Kedatangan Bian ke negeri ini memang ingin mencari Daddy tetapi Tuhan Maha Baik, siapa sangka kita dipertemukan di hari pertama. Jadi, Bian tak perlu repot-repot berkeliling,” jelas Bian tanpa beban.Diam-diam tangan Rams mengepal sempurna. Perkataan Bian seolah menjadi tamparan. Salahkan anak buahnya yang asal-asalan menangkapnya. Beberapa pemikiran hinggap di kepala Rams tentang apa tujuan Bian mencarinya? Mungkinkah ia disuruh oleh Rentina atau justru karena Dewo? Membayangkan itu, Bian menggerakkan matanya ke atas.
Archi tidak tahan melihat ibunya dihina. Seorang wanita terlebih seorang ibu tidak pantas mendapatkan kata-kata terkutuk seperti itu. Archi menatap Rams dengan penuh emosi, “Sopanlah kepada ibuku!” teriaknya.Rams tidak suka diteriaki. Ia tak pandai mengontrol emosi. Tangannya secara otomatis mengepal dan ia bersiap ingin menampar Archi. Deru napas Archi tersenggal-senggal, ia tahu apa yang ingin dilakukan Rams dan ia bersiap menerima itu. Tatapannya tak sedetik pun dialihkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak takut sama sekali.Langkah Rams sudah semakin dekat. Dadanya naik turun. Ia ingin sekali menampar Archi tidak hanya sekali tetapi beberapa kali agar jera. Mau jadi anak durhaka dia meneriaki ayahnya. Bagaimanapun ia menolak kehadiran Rams tetap saja tidak bisa mengubah kenyataan bahwa ia adalah ayah biologis bagi Archi.Tangan Rams sudah naik ke atas. Tinggal beberapa detik lagi, tangan itu akan mendarat di wajah Archi. Tak ada raut ketakutan
Rams berdehem—sedikit keras—yang membuat fokus semua orang langsung tertuju padanya. Ia berpura-pura menampilkan wajah sayunya dan memijit-mijit leher bagian belakang, “Sepertinya tubuh Daddy sangat lelah. Jika begitu Daddy pamit istirahat terlebih dahulu.” Dengan demikian, ia beranjak menuju kamarnya.Pamitnya Daddy membuat suasana semakin canggung. Selama beberapa detik, tidak ada di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua sibuk dengan pemikiran masing-masing. Bian mulai merasa tidak nyaman berada di rumah ini. Oleh sebab itu, ia berinisiatif untuk pergi.“Tidurlah di sini, Kak Bian!” Archi menatapnya seolah anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Hati Bian tertegun mendengar Archi memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’ di depannya.“Ya, tidurlah di sini. Ada kamar kosong jika kamu bersedia menginap. Lagi pula ini sudah hampir larut, susah untuk mencari tempat penginapan lain.” Kini giliran Mellis
Udara pagi hari ini sangat dingin. Hujan mengguyur Singapore. Bian membuka tirai jendela kamarnya untuk menyaksikan sendiri bagaimana hujan membasahi tanah. Hujan punya arti tersendiri bagi Bian. Setiap kali hujan mengajarkannya arti kegagalan. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana tegarnya Byanca berjalan di bawah guyuran hujan dari kantornya menuju rumah. Hari itu adalah hari dimana Bian menobatkan diri sebagai pecundang, dimana ia menalak Byanca lewat panggilan telepon. Ia hanya diam saja ketika melihat Byanca menangis dan seorang diri berjalan hampa di bawah hujan.Bian mengelap air matanya yang tak sengaja menetes. Jika diingat tentang masa lalu, ia akui bahwa dirinya memang seorang pecundang. Bian mentertawakan kebodohannya sendiri.“By terlalu banyak teka-teki yang tak mampu aku mengerti,” ucapnya menghadap luar seolah Byanca sedang berdiri di balkon. Akhir-akhir ini Bian seolah dibukakan mata mengenai siapa keluarganya dan semakin ia ke sini sem
Keadaan Byanca berangsur membaik. Luka di punggungnya juga sudah mengering. Dokter telah memberikan racikan salap untuk menyamarkan bekas luka. Byanca tidak terlalu mengkhawatirkan itu, tenaganya kembali pulih saja sudah patut ia syukuri. Hari ini ia dan Mami berencana kembali ke Busan. Ken telah bosan mengomeli mereka agar pulang, ia mengatakan bahwa ia sendirian. Byanca tidak tega mendengar itu. Oleh sebab itu ia berusaha untuk cepat sembuh. “Hati-hati di jalan, Sayang. Jika sudah sampai kabari Papi, oke?” Dewo memeluk erat tubuh Byanca. Terpaksa ia tak bisa ikut dengan mereka karena beberapa urusan yang harus ditangani. Dewo hanya bisa mengantar sampai bandara. Dewo tahu meski wajah Byanca kini mulai berona tetapi dari sorot matanya masih menyimpan trauma. Dewo memang tidak pernah menanyakan dengan lugas tentang bagaimana perasaan Byanca saat ini, ia khawatir itu akan melukai kembali Byanca. Dewo hanya peka ketika Byanca melihat pisau, maka napasnya kembal
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t