Bian menyisir rambutnya dengan tangan. Ia mendadak menjadi seorang pria penuh pertimbangan. Bian memikirkan matang-matang akan keputusan yang ia ambil. “Aku harus bijaksana mengambil keputusan,” ucapnya pada diri sendiri.
Demi Byanca dan Ken, ia akan melakukan permintaan Dewo. Lagi pula jika dipikir permintaan Dewo terbilang ringan. Ia tak menghukum Bian dengan kekerasan. Bian yakin ia bisa melakukan permintaan Dewo tersebut. Ia harus bisa. Dewo memang tidak menjamin ia akan kembali bersama Byanca tetapi Bian yakin Byanca tidak akan menutup mata dengan perjuangannya. “Tunggu aku, By,” teguhnya.
Bian penuh semangat untuk keluar dari area rumah sakit ini, meski berat. Ia tahu bahwa Byanca akan baik-baik saja dan yang terpenting bahwa Byanca akan menunggunya.
Brukk
Bian tak terlalu mengindahkan perkataan Max. Mau Max melakukan apapun, dia tahu bahwa dia berada di pihak Dewo. Tidak mungkin Dewo akan diam saja jika ia diperlakukan buruk oleh Max. Yang ada dipikirannya hanya berupa merealisasikan rencana Dewo. Oleh sebab itu ia mengemudikan mobilnya ke suatu tempat.Sudah lama rasanya ia tidak ke rumah ini, mungkin sejak perpisahannya dengan Byanca. Dulu, rumah ini adalah tempat berkumpul keluarga mereka. Banyak canda dan tawa yang dibangun bersama. Rumah yang ditinggali kedua orang tuanya yaitu Bunda dan Daddy Rams. Bila diingat-ingat sudah lama rasanya ia tak melihat kehadiran Daddy Rams atau sebenarnya terjadi sesuatu dalam rumah tangga mereka. Sebagai anak, Bian merasa bahwa ia terlalu jauh dengan orang tuanya sendiri. Bunda tidak pernah menunjukkan kesedihannya dan tak pernah pula menceritakan tentang rumah tangganya.Menekan bel setelah beberapa saat tampak belum ada sahutan. Aneh, tak biasanya rumah dibiarkan berantakan. Deda
Bema melirik jam di pergelangan tangannya, terhitung sudah lima belas menit ia berada di café ini untuk menunggu Bian. Banyak hal yang ingin ia diskusikan kepada kakak tertuanya itu. Setelah menikah, mereka jarang bertemu ditambah lagi dengan kejadian yang menimpa Byanca. Sebagai mantan adik ipar, Bema merasakan khawatir terhadap Byanca terlebih lagi istrinya; Angel selalu menangis ketika bercerita tentang Byanca.“Bem,” Bian menepuk pundak Bema kemudian duduk di depan Bema. Secangkir Americano latte sudah terhidang. Bian tersenyum mengetahui bahwa Bema masih mengingat minuman favoritnya. Hal sederhana yang membuatnya merasa bahagia.“Mas, kenapa lama sekali?” Bema menggerutu sambil memperhatikan jam di pergelangan tangannya.Bian menghela napas kemudian bersandar pada punggung sofa, “Mas hanya telat 10 menit bukan 10 tahun.”“Ya, tapi sama saja, Mas. Ah, sudahlah! Aku tidak memiliki waktu banyak, Mas,&rdqu
Seuntai harapan Bian agar bisa bertemu Daddy kian menipis. Ia telah menyisir seluruh daerah Jakarta dan juga meminta bantuan hacker namun belum juga mendapatkan sinyal. Jika Daddy ingin pergi tanpa jejak pasti karena ada sesuatu. Bian diam-diam mempelajari permasalahan bangkrutnya perusahaan Daddy.“Jadi, maksudmu Papi Dewo sengaja menjual saham itu agar menggulingkan Daddy Rams?” tanya Bian pada anak buahnya.Anak buahnya itu mengangguk karena memang begitu hasil penyelidikannya. Ia telah bekerja mati-matian demi mengumpulkan informasi.Bian menumpukkan kepalanya di atas tangan. Ia merasa frustrasi. Entah permainan siapa yang akan diikuti, entah siapa sebenarnya pemain dan korban di sini? Bian terlena dengan perintah Papi Dewo sampai ia mengetahui bahwa kepergian Daddy Rams juga ada sangkut pautnya dengannya. Sebenarnya permasalahan apa mereka?“Apakah mereka bertengkar murni karena perceraianku dan Byanca?” tanya Bian.Ana
Atas informasi yang ia dapatkan bahwa Daddy Rams berada di Singapore, maka di hari yang sama Bian memutuskan untuk terbang ke Singapore. Mengenai pilihan yang ambigu tentang harus memilih keinginan Papi Dewo atau tidak. Ia memilih untuk bertemu langsung dengan Daddy Rams. Ada beberapa kesimpang siuran di kepalanya yang butuh diluruskan.Selama kurang lebih 2 jam di udara, Bian telah tiba di Bandara International Changi. Hal yang pertama kali dilakukan adalah menunggu supir hotel, ia telah melakukan pemesanan sejak dari Jakarta. Bian berdiri di lobby bandara sambil memperhatikan mobil yang lewat. Ketika Bian hendak mengambil ponsel di tasnya seorang pemuda menabrak bahunya sehingga tas yang dikenakan pun jatuh.“Sorry… sorry, bro.” Pemuda itu menangkupkan kedua tangannya kemudian ia mengutip barang-barang Bian.Bian yang kesal hanya memperhatikan pemuda itu mengutipi barang-barangnya. Ia ingin sekali mengomeli pemuda ini tetapi ia sadar bahwa i
Berbeda dengan Bian, Archi terus berupaya kabur dari kejaran pria-pria itu. Ia terus berlari mengitari bandara. Fokusnya ke depan dan sesekali menoleh ke belakang untuk melihat jaraknya dengan pria-pria tersebut. Ketika ia sedang memperhatikan ke belakang, ia tak sengaja menabrak segerombolan orang hingga mengakibatkan kerusuhan. Badannya bernasib di lantai dan beberapa barang orang yang ditabrak juga berhamburan. Amukan dari orang tersebut didapatkan. Archi berusaha untuk mengutip barang-barang tersebut sembari terus meminta maaf, sama halnya seperti yang ia lakukan kepada Bian tadi.“I’m sorry.” Ia menangkupkan kedua tangannya. Archi terus mengutip barang-barang tersebut dengan banjiran omelan. Ketika sedang asyik dengan kegiatannya, tangan Archi ditarik ke atas. Dengan keterkejutan, Archi mendongakkan wajahnya.“Where do you want to go?”Ternyata orang itu adalah salah seorang pria yang mengejarnya tadi. Archi merasa kecolongan s
Bian mengumpati orang yang berada di hadapannya. Sayangnya ia tak mampu mengeluarkan suara, maka umpatan tersebut hanya menumpuk dalam hati. Jari-jari Bian mengepal meski pergelangan tangannya terikat. Bian ingin menendang dengan kakinya tetapi itu juga tidak bisa. Sial memang sial, ia tak bisa menyalurkan emosinya.Archi merasa tidak enak dengan pria di hadapannya. Ia tahu dari tatapan pria tersebut memancarkan amarah. Tadi—sewaktu Archi tak sengaja menabrak Bian—ia tak sengaja melihat passport, bisa dipastikan bahwa pria itu bukan warga Singapore. Entah dosa apa ia bisa membawa kesialan untuk turis. Mungkin saja setelah ini, pria itu akan trauma berkunjung ke Singapore. Archi menatap dua pria yang membawanya tadi dan berharap mereka melepaskan tapes dari mulutnya. Ia ingin mengutarakan bahwa pria ini tidak bersalah.Archi dan Bian saling tatap meski arti tatapan mereka berbeda. Bian dengan kemarahannya dan Archi dengan penuh penyesalannya. Bayang
Suara gelak Rams menggelegar. “Sudahlah, Archi. Kebohonganmu terlalu menumpuk sehingga Daddy tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan bohong.”Bulu mata Archi yang lebat berkedip. Air matanya ingin keluar. Ia memang nakal, sering melawan tetapi ia tak pernah melibatkan orang lain untuk menanggung kesalahannya. Archi menjatuhkan dirinya lagi dan bergerak ke arah Rams. Ia menggunakan tangannya walau terikat sebagai tumpuan untuk berpindah tempat.Pemandangan itu terlihat menyedihkan. Bian menyaksikan kesengsaraan Archi. Bian tidak bisa menghakimi keluarga ini tetapi lewat kejadian ini, ia berpendapat bahwa Archi dididik sangat keras.“Jangan hukum orang yang tidak berdosa,” mohon Archi masih dengan menyeret tubuhnya ke arah Rams.Rams berdehem, “Bahkan dalam memohon pun kau tak sudi memanggilku ayah.”Suaranya tidak keras tetapi siapapun yang mendengarnya dapat menyimpulkan bahwa kemarahan yang terpendam sang
Bian membantu Archi untuk berdiri. Mereka berjalan keluar saling merangkul. Archi mengingat bahwa ia belum meminta maaf secara langsung. Oleh sebabnya ia berhenti. Hal itu membuat Bian juga berhenti.“Ada apa?” tanya Bian. Ia khawatir bila ada luka Archi yang tersenggol olehnya. Ia memperhatikan dengan seksama dari atas hingga bawah tubuh Archi.Archi memegang pundak Bian, “Tenanglah! Aku baik-baik saja,” beri tahu Archi.“Lalu mengapa berhenti?” Tentu saja ia dilanda kebingungan. Bian perlahan memperhatikan sekitar, khawatir penjahat itu kembali datang.Archi menjatuhkan dirinya di bawah kaki Bian, ia menangkupkan kedua tangannya. “Mungkin saat ini kau membenci ku, maka hukum saja aku! Maafkan aku telah membawamu ke dalam permasalahan ini!” Archi bersungguh-sungguh dalam meminta maaf. Jika boleh memutar waktu, ia akan berhati-hati dan tidak menabrak Bian sehingga mengakibatkan pria itu berakhir di tempat in