KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 68POV Author"Bawa mereka ke gudang! Sekarang!" Akhirnya Seva dan Bude Ratmi dibawa ke gudang di sebelah rumah. Seva yang sudah dalam kondisi lemas hanya bisa pasrah tak mampu melawan. Andra langsung mengikat tangan Seva dan Bude Ratmi di belakang kursi di dalam gudang. "Oke Mamih Tiyi, kita main-main sebentar …" ucap Andra."Kalian semua tidak punya hati!" teriak Seva sembari berusaha terus melepaskan ikatan di tangannya."Tidak punya hati katamu?! Kamu yang tidak punya hati! Gara-gara kamu ayah tidak mau memberikan bisnisnya, gara-gara kamu juga ayah tidak mau membagi warisannya! Dan gara-gara kamu juga uang jatah untuk kita tak lagi sebesar dulu! Bahkan sekarang ayah sudah memecat suamiku, pasti itu semua atas hasutanmu! Semua gara-gara kamu!"Plak!Tania melayangkan tangannya pada pipi Seva. Seva menatap mata Tania dengan tatapan tajam dan nafas memburu."Kalian pantas mendapatkannya! Kalian orang-orang yang tidak tau balas budi! Apa kalian tidak inga
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 69POV Seva"Diam kamu …!" teriak Andra.Dor!Tiba-tiba terdengar suara tembakan diiringi dengan jerit kesakitan."Aaaaaaaaaaa…!"Aku yang terkulai lemas sontak kaget dengan suara tembakan dan jeritan. Rasa penasaran dan rasa ketakutan berkumpul menjadi satu. "Mas Andra …!" teriak Mbak Tania. Bersamaan dengan suara teriakkan Mbak Tania, tumbang juga sosok di samping kananku.Seketika orang yang di gudang mengalihkan perhatian pada Mas Andra."Dinda … " Suamiku memelukku erat, sementara tanganku sedang dibuka ikatan talinya."Kanda …'' Aku langsung membalas pelukan suamiku setelah ikatan di tanganku terlepas. Aku tumpahkan air mata ini di pelukkan suamiku. "A—ku ta—kut" ucapku tercekat. Aku semakin mempererat pelukanku."Sssttt … Dinda tenang ya, Dinda sudah aman, maaf, Kanda terlambat ….""Mas Andra … bangun Mas!" Terdengar suara Mbak Tania yang memanggil nama suaminya yang kini terkapar akibat terkena tembakan. Sementara Mas Iqbal dan Mbak Lidiya ikut meng
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 70Aku terbangun ketika mencium bau minyak kayu putih yang sangat terasa. Begitu aku membuka mata terlihat ruangan serba putih dan juga botol infus yang tergantung."Dinda sudah sadar …" Suamiku duduk di samping ranjangku, menatapku lekat.Aku mengusap perutku ingin memastikan kandunganku baik-baik saja. Syukurlah, perutku masih buncit dan aku masih bisa merasakan anak dalam kandunganku yang bergerak."Anak kita baik-baik saja, jangan khawatir." Ternyata suamiku paham dengan yang aku pikirkan, aku bernafas lega. "Dinda pengen sesuatu?" tanya suamiku. Aku menggelengkan kepalaku. Pintu ruangan terbuka kemudian masuklah Riska, Nisa dan juga Bude Ratmi, mereka kemudian mendekatiku."Alhamdulillah, Seva sudah sadar," ucap Bude Ratmi."Bude gimana? Kakinya udah diobati?" tanyaku lirih. Aku ingat kemarin Bude jalannya pincang katanya kakinya terkilir."Nggak apa-apa Va, udah diperiksa juga kok.""Oh iya, Nisa tadi beli jus loh, sama kue. Seva makan ya, biar ada ten
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 71"Sepertinya jarumnya terlepas.""Sebentar Kanda panggilkan perawat." Suamiku lantas memanggil perawat melalui alat yang terpasang di samping ranjang.Tak lama berselang perawat datang bersama dengan dokter kemudian memeriksa keadaanku."Ini infusnya dilepas saja nggak apa-apa, kondisi Bu Seva juga sudah membaik," ucap Dokter."Berarti sudah boleh pulang?" tanyaku pada Dokter."Besok pagi USG ya, kalau semuanya baik nanti boleh pulang. Suster, nanti dilepas saja infusnya ya.""Iya, Dok," jawab perawat itu. Perawat yang sama yang tadi datang disaat moment yang kurang tepat."Baiklah Bu Seva, saya permisi dulu." "Iya Dok, terimakasih."Perawat mulai mengambil infus yang terpasang di tiang kemudian menurunkannya. Plester di tanganku juga mulai di lepas, yang jadi persoalan kenapa perawat itu senyum-senyum sendiri. Terkadang dia mencuri pandang kepadaku lalu ke suamiku. Wajahnya juga memerah dan selalu menunduk."Sudah selesai Bu, saya permisi." Perawat itu ke
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 72"Mbak Nisa yang terlihat berjalan dengan seorang laki-laki yang wajahnya tak asing buatku. Mereka terlihat akrab dan saling bercanda. Reflek aku menggenggam erat tangan suamiku.Laki-laki yang dulu pernah menjadi guru homeschooling ku, laki-laki yang pernah mengutarakan perasaan sukanya padaku dan laki-laki itu pula yang telah menghina suamiku. Ya dia adalah Pak Bagas!Ada hubungan apa Mbak Nisa dengan Pak Bagas?"Kanda …." Lirih aku memanggil suamiku agar dia tau apa yang aku pikirkan. "Ya, Sayang," jawab suamiku sambil tersenyum. Apa suamiku nggak ingat dengan laki-laki yang bersama Mbak Nisa ya?Mbak Nisa dan Pak Bagas kini semakin mendekat, aku yang takut mundur berlindung di belakang badan suamiku."Selamat siang Om, siang Seva" sapa Pak Bagas. Aku tak membalasnya justru aku menundukkan wajahku. Malas rasanya melihat Pak Bagas. "Sepertinya Seva masih takut sama aku."Aku mendongakkan wajahku setelah mendengar ucapan Pak Bagas. "Kamu harus tanggung ja
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 73Aku tepuk jidat sampai lupa kalau belum tau jenis kelamin anakku. Aku kembalikan baju bayi itu pada tempatnya, kemudian aku pilih model baju dan warna yang netral."Kalau nanti anak kita lahir dan sudah tau jenis kelaminnya kita beli baju lagi ya … atau baju yang tadi Dinda pengin, beli saja nggak apa-apa, barangkali nanti anak kita perempuan." "Nggak apa-apa Kanda, kita pilih baju yang lain saja ya," jawabku sambil tersenyum.Setelah puas belanja kami melanjutkan dengan makan di restoran di mall. Kami semua berkumpul bersama.Terlihat mereka sudah menenteng barang belanja mereka.Suamiku memanggil pelayan restoran untuk meminta meja digabung menjadi satu agar kita semua bisa makan bersama tanpa terpisah."Dinda duduk disini ya" Suamiku menyeret kursi dan membantuku untuk duduk. "Ratih, kamu tidak lupa membawanya kan?" tanya suamiku pada Bi Ratih."Tidak Tuan, apa mau saya buatkan sekarang?""Tidak usah, biar saya yang membuatnya." Bi Ratih kemudian meny
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 74"Nggak perlu Kanda, mungkin ini efek terlalu lelah tadi siang.""Pokoknya Dinda harus periksa ke dokter!""Kanda, ini itu biasa pada orang hamil, tadi aku udah tanya sama Ibu. Ke dokternya besok aja ya kalau masih bengkak. Aku sudah sangat capek mau istirahat." Maaf Kanda aku berbohong, sebenarnya aku tidak menghubungi ibuku, suamiku saja yang terlalu khawatir."Ya sudah, Dinda berbaring ya, biar Kanda lanjut lagi pijit kakinya." Ah, daripada ribet menolak mending aku turuti saja, toh suamiku yang mau. Kutepuk-tepuk bantal empukku, kubaca doa, tak lupa kuelus perut buncitku seraya berkata pada anak-anak dalam perutku agar jangan main bola dulu di dalam perut biar aku bisa tidur nyenyak."Selamat malam Kanda sayang" Tak lupa kuberikan senyum termanis pakai gula alami biar suamiku tak kena diabetes jika aku pakai gula buatan.***"Dinda, ayo bangun! Ini sudah subuh." Suara dari suamiku terdengar samar di telingaku."Ini jam berapa, Kanda?" tanyaku dengan sua
"Kenapa Nyonya?" tanya Bi Ratih yang masih belum sadar tentang keadaanku."I—itu Bi," ucapku tersekat. Aku menunjukkan air yang berada di bawah tubuhku."Loh, Nyonya ngompol?" "Bukan Bi, kalau ngompol saya bisa kendalikan, ini nggak bisa. Airnya keluar begitu saja." Aku yang masih belum paham menjelaskannya pada Bi Ratih."Bukan ngompol berarti—""Huaaaaaaaa, Nyonya pecah ketuban!" Bi Ratih justru berteriak histeris dan mondar mandir di depanku. "Bibi! Jangan disini aja, cepat panggil Tuan!" Aku sebenarnya panik tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Bi Ratih akhirnya ke luar kamarku dengan berlari, baju yang tadi sedianya akan dibawa keluar malah dilempar ke sembarang tempat.Tak berselang lama, semua penghuni rumah masuk ke kamar. Aku masih berdiri mematung tak berani bergerak walaupun hanya satu langkah. Aku takut kalau bergerak air yang keluar akan tambah banyak."Dinda …." Suamiku terlihat panik dan memegang lenganku. "Kata Bi Ratih air ketubanku pecah," ucapku sambil melihat k
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa