KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 67POV Author Dengan perasaan was-was mereka mulai menyalakan ponsel. Layar ponsel kemudian menampilkan logo dari merk ponsel tersebut. Akhirnya ponsel itu benar-benar menyala."Coba kamu kirim pesan ke suamimu Va," usul Bude Ratmi."Telepon aja gimana Bude?""Pulsanya nggak cukup, Va," sahut Bude. "Buruan Va, kirim pesan keburu mereka datang.""Iya Bude." [ Kanda, aku dibawa sama Mbak Tania dan Mbak Lidiya juga suaminya. Tempatnya ada di hutan tapi entah dimana. Bude Ratmi sama aku. Jangan telepon ] ok send."Bude, semoga pesanku langsung dibaca ya oleh suamiku." Seva melihat layar di ponsel waktu menunjukkan pukul dua dini hari itu artinya Seva sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang, bisa jadi Seva sudah di luar kota. Ah, sial baterai ponsel tinggal satu garis itu artinya tidak lama lagi ponsel ini akan kehabisan daya, Seva merutuki kesialannya sendiri.***Sementara itu, dilain pihak suami Seva sedang mengerahkan anak buahnya untuk mencari istr
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 68POV Author"Bawa mereka ke gudang! Sekarang!" Akhirnya Seva dan Bude Ratmi dibawa ke gudang di sebelah rumah. Seva yang sudah dalam kondisi lemas hanya bisa pasrah tak mampu melawan. Andra langsung mengikat tangan Seva dan Bude Ratmi di belakang kursi di dalam gudang. "Oke Mamih Tiyi, kita main-main sebentar …" ucap Andra."Kalian semua tidak punya hati!" teriak Seva sembari berusaha terus melepaskan ikatan di tangannya."Tidak punya hati katamu?! Kamu yang tidak punya hati! Gara-gara kamu ayah tidak mau memberikan bisnisnya, gara-gara kamu juga ayah tidak mau membagi warisannya! Dan gara-gara kamu juga uang jatah untuk kita tak lagi sebesar dulu! Bahkan sekarang ayah sudah memecat suamiku, pasti itu semua atas hasutanmu! Semua gara-gara kamu!"Plak!Tania melayangkan tangannya pada pipi Seva. Seva menatap mata Tania dengan tatapan tajam dan nafas memburu."Kalian pantas mendapatkannya! Kalian orang-orang yang tidak tau balas budi! Apa kalian tidak inga
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 69POV Seva"Diam kamu …!" teriak Andra.Dor!Tiba-tiba terdengar suara tembakan diiringi dengan jerit kesakitan."Aaaaaaaaaaa…!"Aku yang terkulai lemas sontak kaget dengan suara tembakan dan jeritan. Rasa penasaran dan rasa ketakutan berkumpul menjadi satu. "Mas Andra …!" teriak Mbak Tania. Bersamaan dengan suara teriakkan Mbak Tania, tumbang juga sosok di samping kananku.Seketika orang yang di gudang mengalihkan perhatian pada Mas Andra."Dinda … " Suamiku memelukku erat, sementara tanganku sedang dibuka ikatan talinya."Kanda …'' Aku langsung membalas pelukan suamiku setelah ikatan di tanganku terlepas. Aku tumpahkan air mata ini di pelukkan suamiku. "A—ku ta—kut" ucapku tercekat. Aku semakin mempererat pelukanku."Sssttt … Dinda tenang ya, Dinda sudah aman, maaf, Kanda terlambat ….""Mas Andra … bangun Mas!" Terdengar suara Mbak Tania yang memanggil nama suaminya yang kini terkapar akibat terkena tembakan. Sementara Mas Iqbal dan Mbak Lidiya ikut meng
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 70Aku terbangun ketika mencium bau minyak kayu putih yang sangat terasa. Begitu aku membuka mata terlihat ruangan serba putih dan juga botol infus yang tergantung."Dinda sudah sadar …" Suamiku duduk di samping ranjangku, menatapku lekat.Aku mengusap perutku ingin memastikan kandunganku baik-baik saja. Syukurlah, perutku masih buncit dan aku masih bisa merasakan anak dalam kandunganku yang bergerak."Anak kita baik-baik saja, jangan khawatir." Ternyata suamiku paham dengan yang aku pikirkan, aku bernafas lega. "Dinda pengen sesuatu?" tanya suamiku. Aku menggelengkan kepalaku. Pintu ruangan terbuka kemudian masuklah Riska, Nisa dan juga Bude Ratmi, mereka kemudian mendekatiku."Alhamdulillah, Seva sudah sadar," ucap Bude Ratmi."Bude gimana? Kakinya udah diobati?" tanyaku lirih. Aku ingat kemarin Bude jalannya pincang katanya kakinya terkilir."Nggak apa-apa Va, udah diperiksa juga kok.""Oh iya, Nisa tadi beli jus loh, sama kue. Seva makan ya, biar ada ten
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 71"Sepertinya jarumnya terlepas.""Sebentar Kanda panggilkan perawat." Suamiku lantas memanggil perawat melalui alat yang terpasang di samping ranjang.Tak lama berselang perawat datang bersama dengan dokter kemudian memeriksa keadaanku."Ini infusnya dilepas saja nggak apa-apa, kondisi Bu Seva juga sudah membaik," ucap Dokter."Berarti sudah boleh pulang?" tanyaku pada Dokter."Besok pagi USG ya, kalau semuanya baik nanti boleh pulang. Suster, nanti dilepas saja infusnya ya.""Iya, Dok," jawab perawat itu. Perawat yang sama yang tadi datang disaat moment yang kurang tepat."Baiklah Bu Seva, saya permisi dulu." "Iya Dok, terimakasih."Perawat mulai mengambil infus yang terpasang di tiang kemudian menurunkannya. Plester di tanganku juga mulai di lepas, yang jadi persoalan kenapa perawat itu senyum-senyum sendiri. Terkadang dia mencuri pandang kepadaku lalu ke suamiku. Wajahnya juga memerah dan selalu menunduk."Sudah selesai Bu, saya permisi." Perawat itu ke
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 72"Mbak Nisa yang terlihat berjalan dengan seorang laki-laki yang wajahnya tak asing buatku. Mereka terlihat akrab dan saling bercanda. Reflek aku menggenggam erat tangan suamiku.Laki-laki yang dulu pernah menjadi guru homeschooling ku, laki-laki yang pernah mengutarakan perasaan sukanya padaku dan laki-laki itu pula yang telah menghina suamiku. Ya dia adalah Pak Bagas!Ada hubungan apa Mbak Nisa dengan Pak Bagas?"Kanda …." Lirih aku memanggil suamiku agar dia tau apa yang aku pikirkan. "Ya, Sayang," jawab suamiku sambil tersenyum. Apa suamiku nggak ingat dengan laki-laki yang bersama Mbak Nisa ya?Mbak Nisa dan Pak Bagas kini semakin mendekat, aku yang takut mundur berlindung di belakang badan suamiku."Selamat siang Om, siang Seva" sapa Pak Bagas. Aku tak membalasnya justru aku menundukkan wajahku. Malas rasanya melihat Pak Bagas. "Sepertinya Seva masih takut sama aku."Aku mendongakkan wajahku setelah mendengar ucapan Pak Bagas. "Kamu harus tanggung ja
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 73Aku tepuk jidat sampai lupa kalau belum tau jenis kelamin anakku. Aku kembalikan baju bayi itu pada tempatnya, kemudian aku pilih model baju dan warna yang netral."Kalau nanti anak kita lahir dan sudah tau jenis kelaminnya kita beli baju lagi ya … atau baju yang tadi Dinda pengin, beli saja nggak apa-apa, barangkali nanti anak kita perempuan." "Nggak apa-apa Kanda, kita pilih baju yang lain saja ya," jawabku sambil tersenyum.Setelah puas belanja kami melanjutkan dengan makan di restoran di mall. Kami semua berkumpul bersama.Terlihat mereka sudah menenteng barang belanja mereka.Suamiku memanggil pelayan restoran untuk meminta meja digabung menjadi satu agar kita semua bisa makan bersama tanpa terpisah."Dinda duduk disini ya" Suamiku menyeret kursi dan membantuku untuk duduk. "Ratih, kamu tidak lupa membawanya kan?" tanya suamiku pada Bi Ratih."Tidak Tuan, apa mau saya buatkan sekarang?""Tidak usah, biar saya yang membuatnya." Bi Ratih kemudian meny
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 74"Nggak perlu Kanda, mungkin ini efek terlalu lelah tadi siang.""Pokoknya Dinda harus periksa ke dokter!""Kanda, ini itu biasa pada orang hamil, tadi aku udah tanya sama Ibu. Ke dokternya besok aja ya kalau masih bengkak. Aku sudah sangat capek mau istirahat." Maaf Kanda aku berbohong, sebenarnya aku tidak menghubungi ibuku, suamiku saja yang terlalu khawatir."Ya sudah, Dinda berbaring ya, biar Kanda lanjut lagi pijit kakinya." Ah, daripada ribet menolak mending aku turuti saja, toh suamiku yang mau. Kutepuk-tepuk bantal empukku, kubaca doa, tak lupa kuelus perut buncitku seraya berkata pada anak-anak dalam perutku agar jangan main bola dulu di dalam perut biar aku bisa tidur nyenyak."Selamat malam Kanda sayang" Tak lupa kuberikan senyum termanis pakai gula alami biar suamiku tak kena diabetes jika aku pakai gula buatan.***"Dinda, ayo bangun! Ini sudah subuh." Suara dari suamiku terdengar samar di telingaku."Ini jam berapa, Kanda?" tanyaku dengan sua
"Ehm, Pak Agus kalau pulangnya naik taxi online nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa sih, Nona Bos, tapi mobilnya mau dibawa kemana?""Mau dibawa buat momong aki-aki," gurauku."Gimana Bos?" Pak Agus meminta persetujuan dari suamiku."Perintah istriku mutlak wajib dikabulkan," jawab suamiku. Pak Agus kemudian menyerahkan kunci mobil pada suamiku namun sebelum suamiku menerimanya aku sudah terlebih dahulu merebutnya."Aku yang nyetir," ucapku sambil berlalu menaiki mobil."Jangan lupa pasang safety belt ya Kek," candaku saat suamiku duduk di kursi penumpang sebelahku."Mohon maaf Cu, Kakek lupa cara pasangnya." Lah malah suamiku balik ledek."Oke, kita berangkat. Sesuai aplikasi ya," ucapku menirukan driver taxi online. Kemudian aku pacu mobil sedan Mercedes Benz keluaran terbaru berwarna hitam dengan kecepatan sedang."Kita mau kemana, Sayang?" tanya suamiku."Gimana kalau nonton bioskop?" usulku."Boleh, bentar Kanda booking dulu.""Eh, jangan donk, jangan main asal booking. Kita biasa a
Aku cukup kaget mendengar perintah suamiku, dan Seno pun terlihat langsung menunduk."Darimana kamu belajar nyetir?" tanya suamiku."Dari Bapak," jawab Seno lirih."Maaf Mas Mantu, Seno sebenarnya sudah ada satu tahun belajar nyetir, kadang dia yang antar pesanan ketring, tapi tetap dalam pengawasan bapak. Hanya saja, setelah bapak meninggal, Seno bawa sendiri. Kalau keberatan nanti biar mobilnya ditinggal disini," imbuh Ibu."Apa Kanda marah sama Seno?" tanyaku pada suamiku."Siapa yang marah?""Itu tadi minta mobil di tinggal disini.""Memangnya nggak boleh kalau ditinggal disini?" "Satu minggu lagi kan Seno tujuh belas tahun, bisa buat SIM sama KTP kenapa harus ditinggal disini mobilnya? Kalau ditinggal disini Ibu gimana anter pesanan ketring?" "Dinda jangan marah-marah dulu, belum selesai ngomong udah di protes." "Terus?""Itu mobil yang dibawa Seno udah ketinggalan model, masa anak muda kaya Seno bawa mobil kaya gitu, niatnya mau dibelikan yang baru …," jelas suamiku. "Tapi ka
Perhatian kini tertuju pada perempuan itu, ah iya aku ingat namanya Mayang.Mbak Nisa berbalik, karena perempuan itu datang dari arah belakang Mbak Nisa."Enak banget kamu mau melamar dia?!" pekik Mayang.Ivan yang tadinya berlutut kemudian berdiri menghampiri Mayang."Apa ada yang salah, Mayang?" tanya Ivan."Tentu saja ada!" jawab Mayang dengan nada tinggi. "Kalau kamu melamar dia, apa arti kedekatan kita selama ini?" "Kedekatan? Apa maksudmu? Bukankah dari awal aku sudah memberitahu tentang rencana ini?" tanya Ivan."Kalian selesaikan dulu masalahnya, aku pergi dulu," ucap Mbak Nisa."Tunggu, Nisa!" cegah Ivan."Ada apa lagi? Sudah jelas kan kalau dia berharap lebih pada kamu?""Tapi aku tidak ada maksud apa-apa sama Mayang, aku hanya mencintaimu Nisa ….""Aku juga," jawab Mbak Nisa lirih. "Tapi aku tidak mau ada orang lain yang sakit hati dengan hubungan kita.""Katakan sekali lagi Nisa, apa kamu mencintai Ivan?" tanya Mayang."Maaf, kalau aku salah. Aku memang masih sangat menci
Setelah dilakukan cek darah, dia terkena tipes dan itu sudah lumayan parah," jelas Dokter. "Dia harus rawat inap di rumah sakit," imbuh Dokter."Lakukan yang terbaik untuk putri saya Dok," ucap Ayah Riska."Rawat dia di ruang VVIP, akan aku booking satu lantai untuk dia," ujar suamiku."Tuh, Ris, ucapan adalah doa. Kamu kan dulu pengen booking satu lantai sekarang kesampaian." "Ya kali harus sakit dulu kaya gini," elak Riska. "Ehm, aku cancel deh buat booking satu lantai, mending pulang aja. Boleh nggak, Dok?" pinta Riska."Nggak bisa. Apa kamu mau sakitmu tambah parah?" Riska akhirnya pasrah harus opname di rumah sakit. "Terimakasih Pak Bambang, sudah sangat peduli dengan anak kami," ucap Ayah Riska saat aku dan suamiku hendak pulang."Tidak apa-apa. Riska adalah sahabat baik istriku, dia sudah saya anggap sebagai—""Stop Pak Bambang!" sergah Riska. "Jangan anggap aku sebagai istrimu!" Mendengar ucapan Riska, Ibu Riska langsung memukul kaki Riska."Astaga! ini bocah kalau ngomong
"Maaf Va, tapi benar-benar perutku mual," ucap Riska."Nggak apa-apa." Aku mendorong kursiku kemudian mendekati Riska. Aku pijat tengkuk lehernya, agar dia merasa lebih baik. "Jangan-jangan dia hamil," ucap seseorang yang duduk di meja sebelahku."Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku padanya."Ya nggak apa-apa. Sekarang lihat deh, dia muntah-muntah di pagi hari, bukankah pas sama ciri-ciri orang hamil?""Kalau ngomong disaring dulu mulutnya! Nggak tau apa-apa udah ngomong hamil!""Loh, kok kamu nggak terima?!""Kirim aja nggak gimana aku mau terima? Dasar aneh, kenal juga nggak udah main tuduh!" Ingin aku menyiram muka perempuan itu dengan teh yang ada diatas meja, tapi tanganku malah ditarik oleh Riska."Va … aku pulang aja ya," ucap Riska."Aku anterin ya," usulku pada Riska."Nggak usah, aku naik taksi online aja, kamu kan ada kelas pagi," tolak Riska."Udah, nggak usah dipikirin," jawabku.Aku kemudian membantu Riska untuk berdiri dan memapahnya."Maaf Va, ngrepotin kamu," u
"Va, kamu selalu bawa kan?" tanya Riska. Entah apa maksudnya malah tanya seperti itu."Bawa apaan?" "Permen!" jawab Riska ketus. "Botol Va, botol."Auto mikir dengan ucapan Riska. Aku ingat-ingat tentang botol, yang terlintas di otak malah bayangan tampan suamiku. Aku geser kembali bayangan suamiku, yang keluar malah Song Joong Ki. Hih! Ni otak kenapa mendadak pintar!"Kelamaan mikir kamu, Va!" hardik Riska. Dua orang laki-laki itu sudah sangat dekat jaraknya dengan kami. "Om-om! Lihat deh, ke atas," ucap Riska."Ada apa di atas?" tanya salah satu laki-laki itu."Itu ada cicak bawa koper, kayaknya keberatan deh. Bantuin dulu gih Om," jawab Riska membuatku tepuk jidat. Bisa-bisanya dia bercanda disaat seperti ini."Ngledek kamu, hah?!" bentak laki-laki itu."Siapa yang ngeledek?" elak Riska. "Kalau yang ini beneran deh, tuh lihat dipojokkan," tunjuk Riska pada benda kecil yang terpasang di langit-langit pojok lift. "Kasih lihat giginya dulu, Om!" perintah Riska. Yang lebih mencengang
"Mbak … Mbak Nisa kenapa?" Aku beranikan diri untuk bertanya pada Mbak Nisa karena semakin lama air mata Mbak Nisa semakin banyak mengalir di pipi."Mbak Nisa nangis pengin balon? Atau mau kue ulang tahun? Nanti Riska ambilkan, tapi jangan nangis ya …" hibur Riska."Kenapa rasanya sakit kaya gini? Seharusnya aku biasa saja. Aku sudah menolaknya, tapi aku sakit melihatnya dengan perempuan lain," ucap Mbak Nisa terisak."Apa itu karena Ivan Mbak?" tanyaku pada Mbak Nisa. "Kenapa Mbak Nisa menolak lamaran Ivan kalau Mbak Nisa cinta sama dia?""A—aku takut dia kecewa Va. Kamu kan tau aku nggak bisa kasih dia keturunan dulu juga ibunya menentang hubungan kami karena hal itu.""Waktu mau melamar Mbak Nisa kan ibunya sudah merestui Mbak, kenapa Mbak Nisa tetap menolaknya?""Aku takut Va, takut jika suatu saat ibunya kembali mengungkitnya.""Mbak Nisa sekarang masih cinta sama Ivan?""Dari dulu aku nggak pernah mencintai laki-laki lain selain dia, bahkan setelah aku meninggalkannya ke Austral
Malamnya kami sudah sampai di tempat Ibu. Mbak Nisa malah sudah sampai terlebih dahulu karena Mbak Nisa dari kantor langsung ke tempat Ibu. Kue yang aku pesan juga sudah sekalian dibawa sama Mbak Nisa.Di ruang tamu para tamu datang berkumpul untuk mengirimkan doa untuk Bapak."Va, kuenya enak," ucap Riska saat baca doa telah selesai."Hmmmm, makan terus kamu kerjanya! Bukannya ikut kirim doa!" sungutku pada Riska."Aku kan lagi halangan, Va," jawabnya dengan mulut penuh makanan. "Halah! Alasan aja kamu!" timpal Mbak Nisa. "Aku perhatiin kok dari tadi kamu sibuk sama kacang di depan kamu. Tuh lihat kulitnya aja paling banyak di depan kamu." "Lah kan biar pas, nanti kalau kulitnya di buang jadinya kacang yang lupa sama kulitnya," elak Riska.Pukul sembilan malam akhirnya acara telah selesai, semua tamu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Ibu."Ris, kamu masih ngunyah?" tanya Mbak Nisa saat Riska masih menikmati bola-bola coklat yang ada di de
Bi Asih kemudian mematikan sambungan teleponnya dan berbalik."Nyo—nya," ucap Bi Asih gelagapan. Mukanya menunduk tak berani menatapku."Iya ini saya. Kaget?!" "Ti—tidak Nyonya, saya kira Nyonya masih di kamar sebelah," jawab Bi Asih melawan rasa gugupnya."Sudah dari tadi saya disini. Mana ponselmu?" Bi Asih kemudian merogoh saku bajunya dan menyerahkan ponsel kepadaku, yang diserahkannya justru ponselku padahal sudah jelas yang aku minta adalah ponsel Bi Asih. Aku terima saja ponselku dan aku masukkan kantong bajuku."Ponsel Bi Asih mana?" tanyaku."Bu—bu—buat apa Nyonya?" "Nggak usah banyak tanya! Saya sudah tau semuanya! Cepat berikan ponsel kamu!" teriaku.Bi Asih kaget dengan suara nada tinggi yang aku keluarkan. Tangannya langsung bertindak cepat merogoh saku kemudian menyerahkan ponsel miliknya padaku."Ada apa Dinda?" tanya suamiku yang baru saja terbangun. Mungkin dia kaget dengan suara kerasku."Maaf Kanda, sudah membuat Kanda kaget sampai terbangun," jawabku pada suamik