Fahmi“Aku dan Iin udah nikah!!” Kalimat yang diucapkan suara bariton membuat langkah Fahmi berhenti.Dua menit yang lalu, ia baru saja memutuskan untuk menenangkan diri dengan duduk di pinggir sungai. Perasaan cemburu melihat Arini dan Brandon benar-benar mengusiknya. Sebelumnya, ia tidak pernah seperti ini. Namun, sejak bertemu Arini dunianya seakan jungkir balik.Fahmi selalu menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ditinggalkan oleh sang ayah sejak masih SMP, membuat dirinya membanting tulang demi mencukupi kebutuhan hidup ibu dan sang adik. Tidak ada waktu untuk percintaan sampai ia bertemu dengan Arini.Saat itulah, ia mulai berpikir tentang pernikahan dan ingin menjadikan Arini bagian dalam hidupnya. Dan apa yang baru saja didengarkan tadi, mampu mengguncang batin pria berhati mulia tersebut. Satu-satunya wanita yang ingin ia nikahi, ternyata telah menjadi milik orang lain.Sama halnya dengan Moza, ia tidak percaya kalau Brandon dan Arini telah menikah. Baru beberapa minggu yang la
AriniSejak tadi pagi sampai sore ini, Arini tidak berhenti memikirkan Moza. Apakah kondisinya baik-baik saja setelah menceburkan diri ke sungai? Apakah wanita itu akan berhenti mengejar Brandon, setelah tahu kebenarannya?“Mikirin apa lagi sih, Sayang?” bisik Brandon ketika bus melaju ke tempat penginapan.Hari ini energi mereka terkuras banyak, karena kegiatan outing yang padat. Mulai dari bermain flying fox, memanah, paintball, hingga arung jeram. Alhasil sepanjang perjalanan banyak karyawan yang memilih tidur.Arini menoleh sebentar ke arah Brandon, sebelum mengalihkan perhatian ke tempat Moza duduk. Dia tidak bisa melihat wanita itu, karena terhalang oleh Fahmi.“Kira-kira Moza baik-baik aja nggak sih?” balasnya ikut merendahkan suara.“Lo nggak lihat dia masih hidup tuh?” kata Brandon malas-malasan.“Lo ih.” Arini gemas ketika mencubit pinggang Brandon. “Bukan itu maksud gue. Sejak kejadian tadi, dia lebih banyak diam. Biasanya ‘kan nggak bisa diam.”Dia ingat ketika berpapasan,
BrandonBrandon mondar-mandir di antara kamar yang ditempati Arini dan dirinya. Sudah satu jam, belum ada kabar apa-apa dari wanita itu. Pesan yang dikirimkan juga tidak dibalas. Padahal sebelumnya mereka sudah berjanji berjumpa lagi di luar, jika kondisi Moza sudah membaik. Apakah terjadi sesuatu dengan mantannya tersebut?“Bran,” panggil suara bas yang dikenal Brandon.Pria itu menoleh ke sumber suara dengan kening berkerut. “Kenapa, Bang?” sambutnya dingin.“Mau cari udara segar?” Fahmi mengerling ke arah taman sebelum mengutarakan maksudnya. “Ada yang mau aku bicarakan.”Pandangan netra sipit itu beralih ke kamar Arini yang pintunya tertutup rapat. “Arini sepertinya masih sibuk dengan Moza. Kondisi Moza cukup buruk waktu di bus tadi,” sambungnya menjelaskan.Brandon menatap pintu kamar yang tidak lagi dibuka seperti tadi. Sudah tiga puluh menit tidak ada yang keluar-masuk. Dia melihat beberapa agent wanita, termasuk Siti dan Widya, hilir-mudik membawa sesuatu. Di antaranya benda s
Arini melangkah pelan menuju taman. Dia baru saja mendapatkan pesan dari Brandon yang mengatakan tidak bisa tidur sejak tadi. Keinginan untuk memesan kamar sendiri pupus sudah. Waktu sudah lewat dari tengah malam, artinya sebentar lagi subuh menjelang.“Hai cewek,” sapa suara bariton tak jauh dari tempat Arini berjalan.Senyum langsung mengembang melihat suaminya merentangkan tangan. Dengan ringan kaki Arini berlari kecil mendekati Brandon. Wanita itu melompat, lalu menjatuhkan diri ke dalam pelukan hangat sang suami yang begitu dirindukan.Terbiasa tidur berpelukan selama hampir dua bulan belakangan, membuat mereka ketergantungan satu sama lain. Contohnya malam ini. Brandon bahkan tidak bisa tidur tanpa sang istri di sisinya.“Gue kangen sama lo, In,” ujar Brandon menangkupkan kedua belah tangan di pipi Arini yang dingin. Angin di daerah itu terasa begitu dingin. Apalagi malam mulai diselimuti embun.“Gue juga,” balas Arini mengeratkan lingkaran tangan di pinggang. Rasa hangat yang d
Getaran ponsel di atas nakas membuat kening di balik poni mengernyit. Mata yang terasa masih berat perlahan terbuka. Dalam hati bertanya, siapa yang menelepon sepagi ini? Ah, badan rasanya masih pegal setelah pulang dari acara outing tadi malam. Masih butuh istirahat.Arini menoleh ke samping mendapati Brandon masih lelap dalam tidur. Napas pria itu teratur saking lelah. Meski kecapekan, tapi ada kepuasan tersendiri dari acara outing kemarin. Hubungannya dengan Moza mulai membaik dan wanita itu berjanji tidak akan lagi mengganggu pernikahannya dengan Brandon.Tangan mulus dan ramping itu bergerak mengambil ponsel di atas nakas. Telepon keburu berakhir sebelum benda itu berada di tangannya. Arini menatap layar dengan pandangan fokus dan melihat sebuah pesan masuk.+6281110xxxx: Arini, ini Ayu, Mama Brandon. Bisa bertemu hari ini? Jangan sampai Brandon tahu!Mata yang masih mengantuk kini terbuka lebar membaca pesan yang dikirimkan istri kedua Sandy Harun tersebut.Ngapain dia WA gue da
Brandon memeluk Arini yang sedang berdiri di depan cermin. Tangannya sudah tidak tahan untuk merangkul tubuh ramping itu dari belakang. Meski sudah menikah, keinginan untuk menyentuh dan merasakan kehangatannya semakin tidak terbendung. Dia menginginkan wanita itu lagi, lagi dan lagi. seakan tidak pernah puas.“Istri siapa sih cantik banget?” bisik Brandon memberi kecupan di leher jenjang Arini.“Nih, cowok yang paling genit. Maunya nempel terus. Cium terus,” balas Arini mencebik.Pria itu memutar bahu Arini, agar berhadap-hadapan dengannya. “Genitnya sama lo doang. See people change, ‘kan?”Senyum merekah indah di paras Arini melihat perubahan Brandon. Tidak ada lagi yang namanya tebar pesona di depan kaum hawa. Bahkan ia sudah mengenakan kacamata kuda, agar tidak melirik kiri-kanan lagi. Pandangan netra sayu suaminya hanya tertuju kepada istri tercinta.“Mudah-mudahan sih sampai nanti kayak gitu.” Mata Arini melebar sempurna sebelum mengucapkan bagian ini. “Awas aja kalau main belak
BrandonBrandon memandangi wajah Arini yang masih nyenyak dalam lelap. Tiga hari berlalu sejak pertemuan dengan Desta, tapi masih menyisakan amarah yang membara di dalam dirinya. Apa yang didengar dari istrinya benar-benar membuat pria itu marah, sampai ingin menghajar Desta habis-habisan. Kalau bisa sampai masuk rumah sakit, bahkan liang lahat sekalipun.“Gue ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi janji lo nggak boleh marah,” kata Arini sebelum mengatakan yang sebenarnya.“Janji.” Satu kata yang sangat disesali Brandon, setelah tahu penyebab Arini trauma selama ini.“Setelah kita video call waktu itu, gue berniat masak. Pas ambil bahan makanan dari kulkas, ada barang yang tarik perhatian.” Arini mulai menceritakan apa yang ia lihat setelah menelepon Brandon. “Gue penasaran banget, karena udah tiga bulan barang yang katanya titipan teman, nggak diambil-ambil juga.”“Trus lo buka?” Brandon menyela penasaran.Arini mengangguk singkat di sela sesegukan akibat tangis. “Gue kaget wakt
Brandon menatap muram Arini yang sudah memasangkan lagi kalung di leher. Dia baru sadar kalau wanita itu telah melepaskan cincinnya, lalu menggantungkannya di kalung yang dikenakan.“Udah, jangan protes!” tegas Arini mengusap cincin Brandon yang berada tepat di dadanya.“Turun yuk!” ajaknya dengan seulas senyum ringan. Berusaha seakan tidak ada beban di dalam hati sekarang.Tarikan napas berat terdengar di sela hidung Brandon, sebelum membuka tuas pintu. “Balikin lagi habis acara,” katanya kemudian.Arini menundukkan kepala sembari mengusap bagian dalam cincin Brandon. Pandangannya beralih ke kiri saat pria itu sudah membuka pintu. Tilikan mata cokelat lebar itu terpaku kepada tangan yang diulurkan kepadanya.“Nggak akan ada yang lihat,” tutur Brandon dengan tangan masih menggantung.Kepala yang dihiasi rambut panjang tersebut menggeleng pelan. “Kalau ada yang lihat bisa bahaya.”Brandon mendesah, lalu menarik tangan istrinya ke posisi berdiri. Mau tidak mau, Arini harus menuruti kema
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan