Tangan Brandon terasa berat ketika mengambil cincin tunangan dari kotak yang dipegang oleh ibu Sheila. Pandangannya beralih kepada Arini yang menunduk muram. Tampak jelas sedang menahan segala perasaan yang wanita itu tanggung sekarang. Ingin rasanya menghampiri sang istri, kemudian lari dari ballroom, jika tidak memikirkan dampak dari tindakannya.“Brandon,” desis Sheila menyentakkan pria itu.Brandon menoleh kepada Sheila yang melirik cincin, seolah berkata; cepat ambil cincin itu dan pasang di jari gue. Masalah kelar.Jari-jari tangan kanan Brandon menekuk ke telapak tangan, menekan kuat di dalam sana. Tarikan napas berat terdengar dari sela hidung sebelum mengerling ke tempat Sandy duduk. Pria itu berani bersumpah akan melakukan segala cara agar pernikahan dengan Sheila tidak akan pernah terwujud. Cara terhormat yang bisa menyelamatkan Lisa dari perceraian.Netra hitam sayunya bergerak lagi ke tempat Arini duduk. Wanita itu sudah mengangkat kepala dan memberikan seulas senyum. Ang
Arini bersandar di dada suaminya ketika mereka berdiri di Jembatan Cinta. Tempat persahabatan mereka diikrarkan pertama kali. Sekarang semua terasa berbeda. Terutama status mereka yang bukan lagi sahabat, apalagi musuh seperti awal bertemu.“Nggak nyangka ya kita bisa nikah, Bran,” cetus Arini dengan kepala masih berada di dada Brandon. Bagian belakang kepala bisa merasakan debaran jantung suaminya.“Iya. Padahal kalau diingat-ingat kita dulu musuhan ya?”Tubuh ramping itu berputar balik ke belakang. “Lo sampai bilang gue bukan tipe lo,” cibirnya manja.“Ah, gue kok bisa sampai bilang kayak gitu ya?” elak Brandon pura-pura lupa alasannya.“Karena gue rata dari atas sampai bawah. Lo sendiri yang ngomong,” tanggap Arini dengan wajah mengerucut.Brandon tertawa ketika ingat tanggapannya pertama kali melihat Arini. Memang tidak dipungkiri, wanita itu dulu kurus. Tidak ada yang istimewa dari tubuhnya, kecuali wajah yang dihiasi dua lesung pipi. Tampak begitu manis dan mampu menarik perhati
Pagi ini Arini tampak begitu cantik dengan balutan blus berwarna cream dipadu dengan rok hitam panjang sedikit di bawah lutut. Rambut diikat sebagian ke belakang, sementara sisanya dibiarkan tergerai menutup punggung. Make-up minimalis menghiasi paras tirusnya yang begitu menggemaskan.“Duh, kalau lepasin lo kayak gini ke kantor jadi was-was deh.” Brandon datang lalu memeluk Arini dari belakang.“Was-was kenapa?” tanya Arini dengan kening mengernyit melihat pantulan mereka di cermin.“Habis lo cantik banget.” Bran memberi kecupan di pinggir pipi istrinya.Arini geleng-geleng kepala, kemudian menaikkan tangan kanan ke atas. “Maaf, Pak. Saya udah punya suami,” ujarnya menahan tawa.“Itu jauh lebih bagus.” Sesaat kemudian Brandon mendesah. “Tapi status di CV dan KTP lo masih belum berubah, In.”Pelukan Brandon meregang, sehingga Arini bisa memutar balik tubuh ke belakang. Netra cokelatnya mengitari paras sang suami yang cemas.“Hei, Bran. Minggu depan lo juga udah gabung di perusahaan.”
Lisa memandang menantunya penuh syukur. Dia memeluk tubuh ramping itu dengan erat. Lega memiliki menantu seperti Arini yang begitu penurut dan menyayanginya.“Mama tidak akan biarkan orang menjatuhkanmu di sini, Rin. Siapapun itu,” bisik Lisa mengusap belakang kepala wanita itu.Arini tersenyum lebar ketika mengangguk di bahu ibu mertua. Dia juga tidak akan membiarkan Lisa disakiti lagi. Cukup ia menyaksikan wanita itu terpuruk ketika tahu Sandy menikah lagi. Kali ini ia akan memastikan, pernikahan Brandon dengan Sheila berjalan lancar sesuai rencana. Meski tidak bisa dipungkiri, hatinya kerap terasa sakit saat mengingat hal itu.“Habib akan bantu semua urusanmu sampai Brandon resmi bekerja,” tutur Lisa lagi setelah pelukan longgar.“Ada banyak perusahaan yang melakukan negosiasi terlarang dengan project manager sebelumnya. Misalnya ada yang minta agar tender diloloskan, menaikkan harga bahan bangunan, suap dan banyak lagi. Jadi, kamu harus berhati-hati.” Lisa menatap menantunya seriu
AriniArini meregangkan otot seraya mengusap pundak setelah berjibaku dengan banyak materi yang diberikan Habib. Sejak pria itu menjelaskan pekerjaan yang harus dilakukan, ia susah untuk berkonsentrasi. Perkataan yang diucapkan Sandy tadi terus menari di pikiran.“Habib cocok untuk kamu, Rin. Dia pria sejati dan sudah terbukti dengan memiliki anak. Istrinya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Saat itu anaknya juga masih sangat kecil. Masih umur dua tahun seingat Om. Kamu pantas untuk jadi ibu sambung putranya,” papar Sandy ketika mempromosikan Habib.Dan sekarang pria yang disebutkan oleh Sandy duduk selang satu ruas meja darinya. Jika dilihat-lihat, Habib masih terlihat segar untuk laki-laki berusia empat puluh tahun. Tubuh yang terjaga, rahang kokoh, hidung mancung mencuat dan wajahnya terkesan jantan. Bisa dipastikan Habib tidak kalah tampan dari Brandon di usia pertengahan dua puluh. Namun, ada yang kurang darinya yaitu senyuman.Sejak bertemu tadi pagi sampai sekarang, ia
AriniHari ketiga bekerja, Arini kembali disibukkan dengan berbagai materi yang diberikan oleh Habib. Beruntung otak cerdasnya bisa menampung semua dengan baik, sehingga pria itu tidak harus mengulang lagi jika ada yang kurang dipahami.Siang ini, rencananya Siti akan datang untuk mengantarkan berkas yang dibutuhkan. Tentunya Arini harus meluangkan waktu di sela kesibukan belajar kilat menjadi project manager.Sampai sekarang, Habib masih bersikap profesional tanpa menunjukkan gelagat mencurigakan. Dugaan Arini mungkin benar, Sandy belum mengatakan apa-apa tentang niat untuk menjodohkan pria itu dengannya.“Ini list toko bangunan rekanan kita,” kata Habib menyerahkan daftar nama toko bangunan yang bekerjasama dengan The Harun’s Group.Arini mengangguk ketika membaca daftar tersebut sekilas. Tidak ada toko bangunan partai kecil, semua partai besar dan terkenal dengan kualitas yang bagus. Dia mengetahui beberapa toko tersebut, karena pernah bekerja di perusahaan konsultan data selama be
“Bu Arini?” Kening yang berukuran ideal itu mengernyit ketika melihat kehadiran Arini di sana.“Pak Habib?” balas Arini tak kalah terkejut.Habib melihat ke sekitar seperti mencari keberadaan seseorang. Namun, tidak ada lagi orang yang baru datang selain Arini.“Ibu … mau makan siang di sini?” tanya Habib masih bingung.Arini menggelengkan kepala dua kali. Dia mulai menduga apa maksud Sandy memintanya datang ke sini dan apa maksud kencan yang dikatakan pria paruh baya tersebut? Semuanya dihubungkan, mulai dari ucapan Sandy tentang Habib sampai kejadian hari ini.Tangan Arini menarik kursi yang ada di seberang meja, lalu duduk di sana dengan lemas. Tawa pelan keluar dari sela bibir saat menarik kesimpulan, bahwa orang yang dimaksudkan Sandy adalah Habib. Lelaki yang duduk di depannya sekarang.“Bu?” panggil Habib bertambah heran melihat Arini duduk.“Saya diminta Om Sandy datang ke sini. Katanya ada yang mau dibicarakan. Ternyata ….” Kalimat Arini menggantung saat senyum kecut menghias
Brandon menghela dan mengembuskan napas berkali-kali. Dia menatap lama Arini sebelum menganggukkan kepala.“Beneran?”Anggukan kembali diberikan.“Lo udah janji, jadi nggak boleh dilanggar loh,” imbuh Arini lagi.“Iya, Sayang. Takut banget deh gue nggak tepat janji.” Brandon memandang netra cokelat Arini bergantian. “Sekarang cerita sama gue. Om kesayangan lo ngerecokin lo gimana?”Arini tidak langsung bercerita, karena masih memastikan Brandon tidak akan ingkar janji. Bukan hanya perjodohan itu yang menjadi taruhan, tapi Lisa juga. Belum lagi dengan kondisi pekerjaan yang mungkin bisa berdampak, jika tahu siapa yang akan dijodohkan Sandy dengannya.Mata cokelat lebar itu terpejam sebentar ketika masih mencoba meyakinkan diri, bahwa Brandon tidak akan melanggar janji. Dia harus percaya dengan sang suami sepenuhnya.“Om Sandy jodohkan gue dengan seseorang,” ungkap Arini setelah yakin agar memberitahukan Brandon.Sklera netra sayu Brandon langsung memerah. Terlihat amarah yang menyala d
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan