KESIBUKAN membantu Mbak Yem di dapur membuat waktu bergulir lebih cepat bagi Tiara. Tahu-tahu saja sudah waktunya bagi gadis itu untuk sarapan dan kemudian berangkat ke kantor. Ia sudah tak sabar ingin tahu apa yang ingin dibicarakan Ryan dengannya.
Ketika papa dan mamanya bergabung ke meja makan, Tiara memanfaatkan kesempatan itu untuk kembali menanyakan soal niat mereka berbicara dengan Keluarga Wijaya. Mereka bertiga harus satu kata sebelum menghadapi pihak laki-laki.
"Pa, Ma, kira-kira kapan nih baiknya kita bicarakan soal batalnya pertunangan Tiara dan Ryan? Jangan digantung lama-lama dong," cetus Tiara membuka pembicaraan.
Pak Wardoyo dan istri sontak saling pandang mendengar itu. Alih-alih menjawab serius, lelaki berusia pengujung lima puluhan tahun itu malah menggoda puterinya.
"Wah, Ma, sepertinya ada yang sudah tidak sabar ingin berstatus bebas tanpa ikatan. Apa karena sudah ada yang mengejar lagi, ya?" kata Pak Wardoyo, serya kedipkan sebelah m
BUDI Wijaya duduk di kursi satu-satunya yang ada di depan meja kerja Tiara. Sedangkan Ryan berdiri di sebelah ayahnya. Wajah kedua lelaki itu sangat sulit diartikan. Tiara tak dapat menebak apakah keduanya tengah marah, malu, atau malah seperti memendam kesakitan.Tiara sendiri kembali duduk di kursinya. Didekatkannya kursi ke meja, sehingga kedua tangannya dapat dilipat ke permukaan meja kerja. Ia sama sekali tidak menghiraukan Ryan yang hanya berdiri karena tak ada lagi tempat duduk.Menariknya, Budi Wijaya juga seperti tak acuh pada puteranya yang tak dipedulikan oleh Tiara. Hal ini membuat dugaan di hati Tiara semakin tebal, bahwasanya orang tua tersebut sudah tahu perbuatan Ryan terhadapnya."Om mengagetkan saya, karena sudah lama sekali Om nggak main ke kantor ini," ujar Tiara membuka percakapan. Kalimat itu merupakan bentuk halus dari pertanyaan yang muncul di benaknya, "Tumben, Om?"Budi Wijaya coba tersenyum. Namun jelas sekali senyum itu dipaksa
SETELAH tubuh Budi Wijaya dan Ryan menghilang ke dalam kabin lift, barulah Tiara menarik napas lega. Disandarkannya punggung ke sandaran kursi, lalu meregangkan kedua tangan dan kaki. Sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat.Gadis itu merasa sedikit bersalah karena telah bersandiwara pura-pura tidak tahu di hadapan bekas calon mertuanya. Namun, bukankah itu yang justru menjadi permintaan Ryan padanya? Bukankah Ryan meminta Tiara tidak memberi tahu perselingkuhan yang ia lakukan kepada orang tuanya?Berpikir sampai di sana Tiara merasa lega. Setidaknya ia tidak malah menambahi kesedihan Budi Wijaya. Biarlah orang tua itu berpikir Tiara tak tahu apa-apa mengenai hubungan Ryan dan Anita. Tak terbayangkan betapa sedihnya perasaan lelaki tersebut andai Tiara malah menambahi keterangan bahwa dirinya pernah memergoki Ryan dan Anita di apartemen.Satu hal yang pasti, kini persoalannya dengan Ryan sudah bisa dikatakan benar-benar selesai. Ia telah dapat melepaskan diri d
ABDI terpaksa menunda keberangkatannya ke Jakarta pagi itu. Satu hal yang ia kahwatirkan akhirnya terjadi juga. Atisaya menyulut drama, mencegahnya pergi karena tahu sang calon suami hendak menemui Tiara.Untung saja Haji Sobirin sedang tidak ada di rumah. Sejak pukul enam orang tua tersebut sudah pergi bersama beberapa orang untuk berbelanja ke pusat kabupaten. Persiapan upacara pernikahan Atisaya dan Abdi sudah dimulai.Sebelumnya Abdi sudah meminta izin pada Haji Sobirin dan ibunya untuk ke Jakarta sebentar. Ia beralasan hendak mengundurkan diri secara langsung, serta mengambil barang-barangnya yang masih ada di ibukota.Sayang, rupanya Atisaya sulit menerima alasan tersebut saat Abdi datang untuk berpamitan. Alih-alih mengizinkan sang calon suami pergi, gadis itu malah merajuk."Neng, tolong mengerti. Akang harus menyelesaikan persoalan ini, supaya pernikahan kita tidak ada ganjalan ke depan. Lagi pula Akang tidak akan lama-lama di Jakarta, nanti mala
BEGITULAH yang terjadi akhirnya. Membawa mobil milik calon mertuanya, Abdi mengajak serta Atisaya ke Jakarta. Segera perubahan rencana itu ia kabarkan pada ibunya, yang tentu saja sangat kaget. "Eh, kalian serius mau pergi jauh?" tanya ibu Abdi dengan wajah terheran-heran. Sebagai orang tua, ia masih meyakini jika pengantin tidak boleh bepergian jelang hari pernikahan. Apalagi sejauh jarak yang membentang antara Indramayu dan Jakarta. "Minta doanya, Mak. Pokoknya Abdi bakal sehati-hati mungkin nyetirnya," sahut Abdi, seraya mencium tangan ibunya untuk berpamitan. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan ibunya. "Kalian berapa hari di sana?" tanya ibunya saat ganti membiarkan tangannya dicium Atisaya. "Nanti malam langsung balik, Mak. Cuma sebentar kok," jawab Abdi. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati," pesan ibu Abdi akhirnya. Lalu kepada Atisaya wanita tersebut berkata, "Eneng jangan lupa kasih kabar ke Pak Haji." "Iya, Mak," jawab Atisaya
ABDI dapat melihat jelas perubahan ekspresi wajah maupun sikap yang ditunjukkan Tiara. Dalam tempo beberapa detik saja paras gadis itu berubah dari gembira menjadi murung. Dari hendak bangkit berdiri, menjadi kehilangan gairah dan kembali menyibukkan diri dengan laptopnya.Tentu saja Abdi juga tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan kemunculannya bersama Atisaya? Kalau bukan karena perasaan cemburu yang seketika muncul?Diam-diam pemuda tersebut menyayangkan keputusannya tadi pagi. Ada benarnya kata Atisaya tadi, sebaiknya ia memberi tahu Tiara melalui telepon saja. Biarlah dibilang tidak sopan, tidak jantan, dan lain sebagainya. Tapi Abdi tidak tega melihat Tiara menderita perasaan begitu."Ibu ... Tiara," sapa Abdi agak kikuk sewaktu sudah tiba di hadapan meja kerja atasannya. Dipaksakannya satu senyum. "Mohon maaf, Bu, saya datang tanpa memberi kabar dan tanpa membuat janji.""Oh, iya, tidak apa-apa," sahut Tiara tak kalah kikuk, sembari membalas sen
TIARA tidak tahu berapa lama dirinya mengurai air mata. Gadis itu baru menghentikan tangis ketika merasa tenggorokannya begitu kering. Ia kehausan. Mau tak mau Tiara buka kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah.Satu tarikan napas panjang terdengar manakala Tiara memandangi ujung lengan blazer yang ia kenakan. Pada bagian pergelangan, seluruhnya telah basah oleh air mata. Tiara tersenyum kecut membayangkan seberapa banyak ia menumpahkan kesedihan.Saat itulah Tiara jadi terpikir sesuatu. Jika blazer-nya saja jadi sebasah itu, bagaimana pula bentuk wajahnya saat ini? Pastilah sudah berantakan tidak karuan. Buru-buru Tiara mengambil tisu dan mengelap wajahnya kering-kering."Betapa bodohnya aku," rutuk Tiara pada dirinya sendiri, sembari meraih tas tangan yang tergeletak di meja sebelah. "Bukankah seharusnya aku sudah dapat menduga hal seperti ini akan terjadi? Bukankah dia memang harus menikahi tunangannya? Kenapa pula aku sampai menangisinya? Dasar bodo
MALAM harinya, Tiara tak kunjung mengajak bicara papa dan mamanya karena keburu tidur. Gadis itu merasakah seharian tadi sangat melelahkan batinnya. Maka setelah mandi dan makan malam, lalu mengecek email sebentar di laptop, ia bermaksud tidur-tiduran melemaskan tulang di atas kasur.Eh, rupanya tanpa ia sengaja malah jadi tertidur pulas. Kesempatan mengobrol bersama papa dan mamanya terpaksa harus ditunda besok pagi. Itu pun kalau papa dan mamanya kebetulan tidak berangkat pagi-pagi.Padahal, mulanya Tiara bermaksud menyampaikan keinginannya untuk mengambil gelar doktor di Inggris saat makan malam. Sudah disiapkannya alasan beserta penjelasan mengapa tiba-tiba ingin kuliah lagi. Kenapa tidak langsung saja sewaktu dulu baru lulus dari S2?Tiara sama sekali tak peduli andaikata kedua orang tuanya berpendapat keputusan ini sebagai bentuk pelarian. Karena memang ada benarnya juga dibilang begitu. Ia memang ingin menjauh sejenak dari kehidupannya saat ini, dan menyi
PUAS saling bertangis-tangisan, Bu Wardoyo mengajak Tiara keluar kamar. Setelah minta waktu untuk memasuk mukanya yang basah oleh leleran air mata, Tiara mengikuti langkah mamanya.Mereka berdua menuju ke halaman belakang, tempat favorit Pak Wardoyo di pagi hari seperti ini. Saat mereka tiba, tampak Pak Wardoyo tengah asyik memelototi layar tablet di tangan. Agaknya tengah membaca sesuatu, seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi."Ada berita apa, Pak? Kok bacanya sampai tegang begitu, sih?" tegur Bu Wardoyo sembari duduk di sebelah suaminya. Kepala wanita paruh bayar tersebut melongok ke arah tablet."Ngecek saham, Bu. Kemarin kan ada yang baru rilis laporan keuangan," sahut Pak Wardoyo, seraya serahkan tablet di tangannya pada sang istri.Lelaki tersebut lantas mendekati Tiara. Tangannya terjulur, memegangi pinggang sang puteri, kemudian mencium kedua pipi Tiara dengan lembut. Yang dicium tersenyum kecil dengan raut bahagia."Kok basah pipinya