TIARA tidak tahu berapa lama dirinya mengurai air mata. Gadis itu baru menghentikan tangis ketika merasa tenggorokannya begitu kering. Ia kehausan. Mau tak mau Tiara buka kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah.
Satu tarikan napas panjang terdengar manakala Tiara memandangi ujung lengan blazer yang ia kenakan. Pada bagian pergelangan, seluruhnya telah basah oleh air mata. Tiara tersenyum kecut membayangkan seberapa banyak ia menumpahkan kesedihan.
Saat itulah Tiara jadi terpikir sesuatu. Jika blazer-nya saja jadi sebasah itu, bagaimana pula bentuk wajahnya saat ini? Pastilah sudah berantakan tidak karuan. Buru-buru Tiara mengambil tisu dan mengelap wajahnya kering-kering.
"Betapa bodohnya aku," rutuk Tiara pada dirinya sendiri, sembari meraih tas tangan yang tergeletak di meja sebelah. "Bukankah seharusnya aku sudah dapat menduga hal seperti ini akan terjadi? Bukankah dia memang harus menikahi tunangannya? Kenapa pula aku sampai menangisinya? Dasar bodo
MALAM harinya, Tiara tak kunjung mengajak bicara papa dan mamanya karena keburu tidur. Gadis itu merasakah seharian tadi sangat melelahkan batinnya. Maka setelah mandi dan makan malam, lalu mengecek email sebentar di laptop, ia bermaksud tidur-tiduran melemaskan tulang di atas kasur.Eh, rupanya tanpa ia sengaja malah jadi tertidur pulas. Kesempatan mengobrol bersama papa dan mamanya terpaksa harus ditunda besok pagi. Itu pun kalau papa dan mamanya kebetulan tidak berangkat pagi-pagi.Padahal, mulanya Tiara bermaksud menyampaikan keinginannya untuk mengambil gelar doktor di Inggris saat makan malam. Sudah disiapkannya alasan beserta penjelasan mengapa tiba-tiba ingin kuliah lagi. Kenapa tidak langsung saja sewaktu dulu baru lulus dari S2?Tiara sama sekali tak peduli andaikata kedua orang tuanya berpendapat keputusan ini sebagai bentuk pelarian. Karena memang ada benarnya juga dibilang begitu. Ia memang ingin menjauh sejenak dari kehidupannya saat ini, dan menyi
PUAS saling bertangis-tangisan, Bu Wardoyo mengajak Tiara keluar kamar. Setelah minta waktu untuk memasuk mukanya yang basah oleh leleran air mata, Tiara mengikuti langkah mamanya.Mereka berdua menuju ke halaman belakang, tempat favorit Pak Wardoyo di pagi hari seperti ini. Saat mereka tiba, tampak Pak Wardoyo tengah asyik memelototi layar tablet di tangan. Agaknya tengah membaca sesuatu, seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi."Ada berita apa, Pak? Kok bacanya sampai tegang begitu, sih?" tegur Bu Wardoyo sembari duduk di sebelah suaminya. Kepala wanita paruh bayar tersebut melongok ke arah tablet."Ngecek saham, Bu. Kemarin kan ada yang baru rilis laporan keuangan," sahut Pak Wardoyo, seraya serahkan tablet di tangannya pada sang istri.Lelaki tersebut lantas mendekati Tiara. Tangannya terjulur, memegangi pinggang sang puteri, kemudian mencium kedua pipi Tiara dengan lembut. Yang dicium tersenyum kecil dengan raut bahagia."Kok basah pipinya
HARI-HARI berikutnya dihabiskan Tiara untuk memilah dan memilih negara serta kampus yang hendak ia pilih. Setelah melalui berbagai pertimbangan, juga atas saran kedua orang tua dan beberapa kenalan, gadis itu akhirnya mantap memilih Inggris.Salah satu alasan Tiara menjatuhkan pilihan pada Inggris, sistem pendidikan di negara tersebut tidak usah ditanyakan lagi. Inggris memiliki sistem pendidikan yang diakui dunia. Salah satu universitas di negara ini, Oxford University, bahkan sudah ada sejak tahun 1096.Dan Oxford bukan satu-satunya universitas tertua di dunia yang ada di Inggris. Masih ada Cambridge University, yang merupakan kampus tertua kedua di dunia dan nomor empat tertua di dunia.Alasan tambahannya terdengar konyol, yakni karena Tiara adalah penggemar berat Harry Potter. Gadis itu memiliki seluruh seri cerita penyihir tampan berkaca mata itu. Baik seri berbahasa Indonesia, maupun yang berbahasa Inggris.Lalu masih ada satu alasan lagi yang tak k
PAGI itu Tiara terbangun sebelum alarm di gawainya berbunyi. Bergegas ia turun dari ranjang, mengambil air minum dalam gelas yang terletak di nakas. Dalam sekali teguk saja segelas air putih sudah berpindah ke dalam perutnya.Tiara lantas pergi ke kamar mandi. Usai membersihkan seluruh tubuhnya di bawah guyuran air pancuran, gadis itu mengambil air wudhu. Sudah sekian hari dirinya menunaikan salat Subuh. Sebuah kebiasaan yang ia rasakan membantunya menenangkan diri.Tiara ingin kembali merasakan satu perasaan damai yang melingkunginya setiap kali mendirikan salat. Lebih-lebih saat fajar seperti ini, di mana dunia tengah tenang-tenangnya. Udara juga sedang segar-segarnya.Di atas sajadahnya Tiara menumpahkan seluruh keresahan dan kesedihan yang selama ini mengganjal di hati. Ia sampaikan semuanya pada Sang Maha Pencipta, berharap diberikan ketegaran serta kebesaran hati agar dapat menjalankan kehidupan dengan baik.Tak terasa lima belas menit Tiara menghab
UCAPAN terakhir Tiara seolah terus terngiang-ngiang di telinga Abdi. Entah sudah berapa puluh menit berlalu sejak panggilan ditutup, pemuda itu masih saja termangu di tempatnya. Terdiam serupa patung.Abdi sungguh tidak menyangka hatinya bakal sedemikian pedih mendengar Tiara mengatakan mereka bakal berpisah selama-lamanya. Juga, tidak ada apa-apa lagi di antara mereka. Lupakan semua yang pernah terjadi."Setelah semua yang kita alami selama lebih sebulan kemarin, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kamu begitu saja, Tiara?" desis Abdi kemudian, setengah mendesah pilu. Kemudian ia mengusap wajah dengan kedua tangan.Sekali lagi Abdi memandangi layar hape, seakan wajah Tiara bakal muncul di sana dan tersenyum ke arahnya. Akan tetapi, yang didapatinya hanyalah bayangan wajahnya sendiri yang memantul dalam hitamnya permukaan layar.Abdi tersenyum kecut menyadari betapa berantakan wajahnya dari pantulan layar hape. Ekspresi yang tidak seharusnya ditunjukkan
KEESOKAN harinya, seisi Desa Mekarjaya turut berpesta dan bergembira merayakan acara pernikahan Abdi dan Atisaya. Baik yang tinggal jauh dari rumah Haji Sobirin, apatah lagi yang bertetangga, semuanya larut dalam keriaan yang berlangsung sehari penuh.Haji Sobirin menggelar satu pesta nan megah lagi mewah. Tidak main-main, sang haji melangsungkannya selama tiga hari berturut-turut. Masing-masing dikhususkan bagi tamu-tamu yang berbeda-beda.Hari pertama, hari di mana Abdi mengucapkan kalimat qabul membalas ijab yang dilisankan Haji Sobirin, merupakan perayaan khusus bagi warga Desa Mekarjaya. Seluruh warga, terutama para pekerja di usaha-usaha milik sang haji, memeriahkan acara tersebut dengan penuh suka cita.Haji Sobirin tidak menerima amplop. Dalam undangan yang disebarkan ke seluruh warga desa, diterakan jelas-jelas jika sang ahli hajat tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun/ Dengan demikian tak ada alasan bagi warga Mekarjaya untuk tidak datang membe
PESTA pernikahan Abdi dan Atisaya masih berlanjut hingga dua hari kemudian. Pada hari kedua, Haji Sobirin menggelar resepsi khusus bagi para tetamu jauh. Umumnya yang datang berasal dari kalangan mitra bisnis Haji Sobirin. Baik rekanan usaha hingga teman sesama pedagang.Ada pula beberapa pejabat daerah. Mulai dari kepala desa, camat, hingga sejumlah kepala dinas kabupaten yang mengenal dekat sosok Haji Sobirin. Tidak mengherankan, sebab sang haji dikenal juga sebagai seorang dermawan. Termasuk dermawan politik ketika masa pemilihan tiba.Setelah dihibur dengan sajian orkes dangdut ditingkahi suara emas para biduan lokal di siang hingga sore hari, malam harinya tampillah kesenian tarling. Warga desa kembali berbondong-bondong memenuhi halaman rumah Haji Sobirin untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.Di hari kedua ini Abdi dan Atisaya tidak lagi didudukkan di atas pelaminan. Mereka berbaur dengan para tamu, menyalami satu demi satu setiap orang yang datang. Juga
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra