BUDI Wijaya duduk di kursi satu-satunya yang ada di depan meja kerja Tiara. Sedangkan Ryan berdiri di sebelah ayahnya. Wajah kedua lelaki itu sangat sulit diartikan. Tiara tak dapat menebak apakah keduanya tengah marah, malu, atau malah seperti memendam kesakitan.
Tiara sendiri kembali duduk di kursinya. Didekatkannya kursi ke meja, sehingga kedua tangannya dapat dilipat ke permukaan meja kerja. Ia sama sekali tidak menghiraukan Ryan yang hanya berdiri karena tak ada lagi tempat duduk.
Menariknya, Budi Wijaya juga seperti tak acuh pada puteranya yang tak dipedulikan oleh Tiara. Hal ini membuat dugaan di hati Tiara semakin tebal, bahwasanya orang tua tersebut sudah tahu perbuatan Ryan terhadapnya.
"Om mengagetkan saya, karena sudah lama sekali Om nggak main ke kantor ini," ujar Tiara membuka percakapan. Kalimat itu merupakan bentuk halus dari pertanyaan yang muncul di benaknya, "Tumben, Om?"
Budi Wijaya coba tersenyum. Namun jelas sekali senyum itu dipaksa
SETELAH tubuh Budi Wijaya dan Ryan menghilang ke dalam kabin lift, barulah Tiara menarik napas lega. Disandarkannya punggung ke sandaran kursi, lalu meregangkan kedua tangan dan kaki. Sepasang matanya dipejamkan rapat-rapat.Gadis itu merasa sedikit bersalah karena telah bersandiwara pura-pura tidak tahu di hadapan bekas calon mertuanya. Namun, bukankah itu yang justru menjadi permintaan Ryan padanya? Bukankah Ryan meminta Tiara tidak memberi tahu perselingkuhan yang ia lakukan kepada orang tuanya?Berpikir sampai di sana Tiara merasa lega. Setidaknya ia tidak malah menambahi kesedihan Budi Wijaya. Biarlah orang tua itu berpikir Tiara tak tahu apa-apa mengenai hubungan Ryan dan Anita. Tak terbayangkan betapa sedihnya perasaan lelaki tersebut andai Tiara malah menambahi keterangan bahwa dirinya pernah memergoki Ryan dan Anita di apartemen.Satu hal yang pasti, kini persoalannya dengan Ryan sudah bisa dikatakan benar-benar selesai. Ia telah dapat melepaskan diri d
ABDI terpaksa menunda keberangkatannya ke Jakarta pagi itu. Satu hal yang ia kahwatirkan akhirnya terjadi juga. Atisaya menyulut drama, mencegahnya pergi karena tahu sang calon suami hendak menemui Tiara.Untung saja Haji Sobirin sedang tidak ada di rumah. Sejak pukul enam orang tua tersebut sudah pergi bersama beberapa orang untuk berbelanja ke pusat kabupaten. Persiapan upacara pernikahan Atisaya dan Abdi sudah dimulai.Sebelumnya Abdi sudah meminta izin pada Haji Sobirin dan ibunya untuk ke Jakarta sebentar. Ia beralasan hendak mengundurkan diri secara langsung, serta mengambil barang-barangnya yang masih ada di ibukota.Sayang, rupanya Atisaya sulit menerima alasan tersebut saat Abdi datang untuk berpamitan. Alih-alih mengizinkan sang calon suami pergi, gadis itu malah merajuk."Neng, tolong mengerti. Akang harus menyelesaikan persoalan ini, supaya pernikahan kita tidak ada ganjalan ke depan. Lagi pula Akang tidak akan lama-lama di Jakarta, nanti mala
BEGITULAH yang terjadi akhirnya. Membawa mobil milik calon mertuanya, Abdi mengajak serta Atisaya ke Jakarta. Segera perubahan rencana itu ia kabarkan pada ibunya, yang tentu saja sangat kaget. "Eh, kalian serius mau pergi jauh?" tanya ibu Abdi dengan wajah terheran-heran. Sebagai orang tua, ia masih meyakini jika pengantin tidak boleh bepergian jelang hari pernikahan. Apalagi sejauh jarak yang membentang antara Indramayu dan Jakarta. "Minta doanya, Mak. Pokoknya Abdi bakal sehati-hati mungkin nyetirnya," sahut Abdi, seraya mencium tangan ibunya untuk berpamitan. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan ibunya. "Kalian berapa hari di sana?" tanya ibunya saat ganti membiarkan tangannya dicium Atisaya. "Nanti malam langsung balik, Mak. Cuma sebentar kok," jawab Abdi. "Ya sudah, kalau begitu hati-hati," pesan ibu Abdi akhirnya. Lalu kepada Atisaya wanita tersebut berkata, "Eneng jangan lupa kasih kabar ke Pak Haji." "Iya, Mak," jawab Atisaya
ABDI dapat melihat jelas perubahan ekspresi wajah maupun sikap yang ditunjukkan Tiara. Dalam tempo beberapa detik saja paras gadis itu berubah dari gembira menjadi murung. Dari hendak bangkit berdiri, menjadi kehilangan gairah dan kembali menyibukkan diri dengan laptopnya.Tentu saja Abdi juga tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan kemunculannya bersama Atisaya? Kalau bukan karena perasaan cemburu yang seketika muncul?Diam-diam pemuda tersebut menyayangkan keputusannya tadi pagi. Ada benarnya kata Atisaya tadi, sebaiknya ia memberi tahu Tiara melalui telepon saja. Biarlah dibilang tidak sopan, tidak jantan, dan lain sebagainya. Tapi Abdi tidak tega melihat Tiara menderita perasaan begitu."Ibu ... Tiara," sapa Abdi agak kikuk sewaktu sudah tiba di hadapan meja kerja atasannya. Dipaksakannya satu senyum. "Mohon maaf, Bu, saya datang tanpa memberi kabar dan tanpa membuat janji.""Oh, iya, tidak apa-apa," sahut Tiara tak kalah kikuk, sembari membalas sen
TIARA tidak tahu berapa lama dirinya mengurai air mata. Gadis itu baru menghentikan tangis ketika merasa tenggorokannya begitu kering. Ia kehausan. Mau tak mau Tiara buka kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah.Satu tarikan napas panjang terdengar manakala Tiara memandangi ujung lengan blazer yang ia kenakan. Pada bagian pergelangan, seluruhnya telah basah oleh air mata. Tiara tersenyum kecut membayangkan seberapa banyak ia menumpahkan kesedihan.Saat itulah Tiara jadi terpikir sesuatu. Jika blazer-nya saja jadi sebasah itu, bagaimana pula bentuk wajahnya saat ini? Pastilah sudah berantakan tidak karuan. Buru-buru Tiara mengambil tisu dan mengelap wajahnya kering-kering."Betapa bodohnya aku," rutuk Tiara pada dirinya sendiri, sembari meraih tas tangan yang tergeletak di meja sebelah. "Bukankah seharusnya aku sudah dapat menduga hal seperti ini akan terjadi? Bukankah dia memang harus menikahi tunangannya? Kenapa pula aku sampai menangisinya? Dasar bodo
MALAM harinya, Tiara tak kunjung mengajak bicara papa dan mamanya karena keburu tidur. Gadis itu merasakah seharian tadi sangat melelahkan batinnya. Maka setelah mandi dan makan malam, lalu mengecek email sebentar di laptop, ia bermaksud tidur-tiduran melemaskan tulang di atas kasur.Eh, rupanya tanpa ia sengaja malah jadi tertidur pulas. Kesempatan mengobrol bersama papa dan mamanya terpaksa harus ditunda besok pagi. Itu pun kalau papa dan mamanya kebetulan tidak berangkat pagi-pagi.Padahal, mulanya Tiara bermaksud menyampaikan keinginannya untuk mengambil gelar doktor di Inggris saat makan malam. Sudah disiapkannya alasan beserta penjelasan mengapa tiba-tiba ingin kuliah lagi. Kenapa tidak langsung saja sewaktu dulu baru lulus dari S2?Tiara sama sekali tak peduli andaikata kedua orang tuanya berpendapat keputusan ini sebagai bentuk pelarian. Karena memang ada benarnya juga dibilang begitu. Ia memang ingin menjauh sejenak dari kehidupannya saat ini, dan menyi
PUAS saling bertangis-tangisan, Bu Wardoyo mengajak Tiara keluar kamar. Setelah minta waktu untuk memasuk mukanya yang basah oleh leleran air mata, Tiara mengikuti langkah mamanya.Mereka berdua menuju ke halaman belakang, tempat favorit Pak Wardoyo di pagi hari seperti ini. Saat mereka tiba, tampak Pak Wardoyo tengah asyik memelototi layar tablet di tangan. Agaknya tengah membaca sesuatu, seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi."Ada berita apa, Pak? Kok bacanya sampai tegang begitu, sih?" tegur Bu Wardoyo sembari duduk di sebelah suaminya. Kepala wanita paruh bayar tersebut melongok ke arah tablet."Ngecek saham, Bu. Kemarin kan ada yang baru rilis laporan keuangan," sahut Pak Wardoyo, seraya serahkan tablet di tangannya pada sang istri.Lelaki tersebut lantas mendekati Tiara. Tangannya terjulur, memegangi pinggang sang puteri, kemudian mencium kedua pipi Tiara dengan lembut. Yang dicium tersenyum kecil dengan raut bahagia."Kok basah pipinya
HARI-HARI berikutnya dihabiskan Tiara untuk memilah dan memilih negara serta kampus yang hendak ia pilih. Setelah melalui berbagai pertimbangan, juga atas saran kedua orang tua dan beberapa kenalan, gadis itu akhirnya mantap memilih Inggris.Salah satu alasan Tiara menjatuhkan pilihan pada Inggris, sistem pendidikan di negara tersebut tidak usah ditanyakan lagi. Inggris memiliki sistem pendidikan yang diakui dunia. Salah satu universitas di negara ini, Oxford University, bahkan sudah ada sejak tahun 1096.Dan Oxford bukan satu-satunya universitas tertua di dunia yang ada di Inggris. Masih ada Cambridge University, yang merupakan kampus tertua kedua di dunia dan nomor empat tertua di dunia.Alasan tambahannya terdengar konyol, yakni karena Tiara adalah penggemar berat Harry Potter. Gadis itu memiliki seluruh seri cerita penyihir tampan berkaca mata itu. Baik seri berbahasa Indonesia, maupun yang berbahasa Inggris.Lalu masih ada satu alasan lagi yang tak k
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra