BEGITULAH yang terjadi akhirnya. Membawa mobil milik calon mertuanya, Abdi mengajak serta Atisaya ke Jakarta. Segera perubahan rencana itu ia kabarkan pada ibunya, yang tentu saja sangat kaget.
"Eh, kalian serius mau pergi jauh?" tanya ibu Abdi dengan wajah terheran-heran. Sebagai orang tua, ia masih meyakini jika pengantin tidak boleh bepergian jelang hari pernikahan. Apalagi sejauh jarak yang membentang antara Indramayu dan Jakarta.
"Minta doanya, Mak. Pokoknya Abdi bakal sehati-hati mungkin nyetirnya," sahut Abdi, seraya mencium tangan ibunya untuk berpamitan. Sama sekali tidak menjawab pertanyaan ibunya.
"Kalian berapa hari di sana?" tanya ibunya saat ganti membiarkan tangannya dicium Atisaya.
"Nanti malam langsung balik, Mak. Cuma sebentar kok," jawab Abdi.
"Ya sudah, kalau begitu hati-hati," pesan ibu Abdi akhirnya. Lalu kepada Atisaya wanita tersebut berkata, "Eneng jangan lupa kasih kabar ke Pak Haji."
"Iya, Mak," jawab Atisaya
ABDI dapat melihat jelas perubahan ekspresi wajah maupun sikap yang ditunjukkan Tiara. Dalam tempo beberapa detik saja paras gadis itu berubah dari gembira menjadi murung. Dari hendak bangkit berdiri, menjadi kehilangan gairah dan kembali menyibukkan diri dengan laptopnya.Tentu saja Abdi juga tahu apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan kemunculannya bersama Atisaya? Kalau bukan karena perasaan cemburu yang seketika muncul?Diam-diam pemuda tersebut menyayangkan keputusannya tadi pagi. Ada benarnya kata Atisaya tadi, sebaiknya ia memberi tahu Tiara melalui telepon saja. Biarlah dibilang tidak sopan, tidak jantan, dan lain sebagainya. Tapi Abdi tidak tega melihat Tiara menderita perasaan begitu."Ibu ... Tiara," sapa Abdi agak kikuk sewaktu sudah tiba di hadapan meja kerja atasannya. Dipaksakannya satu senyum. "Mohon maaf, Bu, saya datang tanpa memberi kabar dan tanpa membuat janji.""Oh, iya, tidak apa-apa," sahut Tiara tak kalah kikuk, sembari membalas sen
TIARA tidak tahu berapa lama dirinya mengurai air mata. Gadis itu baru menghentikan tangis ketika merasa tenggorokannya begitu kering. Ia kehausan. Mau tak mau Tiara buka kedua tangannya yang sedari tadi menangkup wajah.Satu tarikan napas panjang terdengar manakala Tiara memandangi ujung lengan blazer yang ia kenakan. Pada bagian pergelangan, seluruhnya telah basah oleh air mata. Tiara tersenyum kecut membayangkan seberapa banyak ia menumpahkan kesedihan.Saat itulah Tiara jadi terpikir sesuatu. Jika blazer-nya saja jadi sebasah itu, bagaimana pula bentuk wajahnya saat ini? Pastilah sudah berantakan tidak karuan. Buru-buru Tiara mengambil tisu dan mengelap wajahnya kering-kering."Betapa bodohnya aku," rutuk Tiara pada dirinya sendiri, sembari meraih tas tangan yang tergeletak di meja sebelah. "Bukankah seharusnya aku sudah dapat menduga hal seperti ini akan terjadi? Bukankah dia memang harus menikahi tunangannya? Kenapa pula aku sampai menangisinya? Dasar bodo
MALAM harinya, Tiara tak kunjung mengajak bicara papa dan mamanya karena keburu tidur. Gadis itu merasakah seharian tadi sangat melelahkan batinnya. Maka setelah mandi dan makan malam, lalu mengecek email sebentar di laptop, ia bermaksud tidur-tiduran melemaskan tulang di atas kasur.Eh, rupanya tanpa ia sengaja malah jadi tertidur pulas. Kesempatan mengobrol bersama papa dan mamanya terpaksa harus ditunda besok pagi. Itu pun kalau papa dan mamanya kebetulan tidak berangkat pagi-pagi.Padahal, mulanya Tiara bermaksud menyampaikan keinginannya untuk mengambil gelar doktor di Inggris saat makan malam. Sudah disiapkannya alasan beserta penjelasan mengapa tiba-tiba ingin kuliah lagi. Kenapa tidak langsung saja sewaktu dulu baru lulus dari S2?Tiara sama sekali tak peduli andaikata kedua orang tuanya berpendapat keputusan ini sebagai bentuk pelarian. Karena memang ada benarnya juga dibilang begitu. Ia memang ingin menjauh sejenak dari kehidupannya saat ini, dan menyi
PUAS saling bertangis-tangisan, Bu Wardoyo mengajak Tiara keluar kamar. Setelah minta waktu untuk memasuk mukanya yang basah oleh leleran air mata, Tiara mengikuti langkah mamanya.Mereka berdua menuju ke halaman belakang, tempat favorit Pak Wardoyo di pagi hari seperti ini. Saat mereka tiba, tampak Pak Wardoyo tengah asyik memelototi layar tablet di tangan. Agaknya tengah membaca sesuatu, seperti yang biasa dilakukannya setiap pagi."Ada berita apa, Pak? Kok bacanya sampai tegang begitu, sih?" tegur Bu Wardoyo sembari duduk di sebelah suaminya. Kepala wanita paruh bayar tersebut melongok ke arah tablet."Ngecek saham, Bu. Kemarin kan ada yang baru rilis laporan keuangan," sahut Pak Wardoyo, seraya serahkan tablet di tangannya pada sang istri.Lelaki tersebut lantas mendekati Tiara. Tangannya terjulur, memegangi pinggang sang puteri, kemudian mencium kedua pipi Tiara dengan lembut. Yang dicium tersenyum kecil dengan raut bahagia."Kok basah pipinya
HARI-HARI berikutnya dihabiskan Tiara untuk memilah dan memilih negara serta kampus yang hendak ia pilih. Setelah melalui berbagai pertimbangan, juga atas saran kedua orang tua dan beberapa kenalan, gadis itu akhirnya mantap memilih Inggris.Salah satu alasan Tiara menjatuhkan pilihan pada Inggris, sistem pendidikan di negara tersebut tidak usah ditanyakan lagi. Inggris memiliki sistem pendidikan yang diakui dunia. Salah satu universitas di negara ini, Oxford University, bahkan sudah ada sejak tahun 1096.Dan Oxford bukan satu-satunya universitas tertua di dunia yang ada di Inggris. Masih ada Cambridge University, yang merupakan kampus tertua kedua di dunia dan nomor empat tertua di dunia.Alasan tambahannya terdengar konyol, yakni karena Tiara adalah penggemar berat Harry Potter. Gadis itu memiliki seluruh seri cerita penyihir tampan berkaca mata itu. Baik seri berbahasa Indonesia, maupun yang berbahasa Inggris.Lalu masih ada satu alasan lagi yang tak k
PAGI itu Tiara terbangun sebelum alarm di gawainya berbunyi. Bergegas ia turun dari ranjang, mengambil air minum dalam gelas yang terletak di nakas. Dalam sekali teguk saja segelas air putih sudah berpindah ke dalam perutnya.Tiara lantas pergi ke kamar mandi. Usai membersihkan seluruh tubuhnya di bawah guyuran air pancuran, gadis itu mengambil air wudhu. Sudah sekian hari dirinya menunaikan salat Subuh. Sebuah kebiasaan yang ia rasakan membantunya menenangkan diri.Tiara ingin kembali merasakan satu perasaan damai yang melingkunginya setiap kali mendirikan salat. Lebih-lebih saat fajar seperti ini, di mana dunia tengah tenang-tenangnya. Udara juga sedang segar-segarnya.Di atas sajadahnya Tiara menumpahkan seluruh keresahan dan kesedihan yang selama ini mengganjal di hati. Ia sampaikan semuanya pada Sang Maha Pencipta, berharap diberikan ketegaran serta kebesaran hati agar dapat menjalankan kehidupan dengan baik.Tak terasa lima belas menit Tiara menghab
UCAPAN terakhir Tiara seolah terus terngiang-ngiang di telinga Abdi. Entah sudah berapa puluh menit berlalu sejak panggilan ditutup, pemuda itu masih saja termangu di tempatnya. Terdiam serupa patung.Abdi sungguh tidak menyangka hatinya bakal sedemikian pedih mendengar Tiara mengatakan mereka bakal berpisah selama-lamanya. Juga, tidak ada apa-apa lagi di antara mereka. Lupakan semua yang pernah terjadi."Setelah semua yang kita alami selama lebih sebulan kemarin, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kamu begitu saja, Tiara?" desis Abdi kemudian, setengah mendesah pilu. Kemudian ia mengusap wajah dengan kedua tangan.Sekali lagi Abdi memandangi layar hape, seakan wajah Tiara bakal muncul di sana dan tersenyum ke arahnya. Akan tetapi, yang didapatinya hanyalah bayangan wajahnya sendiri yang memantul dalam hitamnya permukaan layar.Abdi tersenyum kecut menyadari betapa berantakan wajahnya dari pantulan layar hape. Ekspresi yang tidak seharusnya ditunjukkan
KEESOKAN harinya, seisi Desa Mekarjaya turut berpesta dan bergembira merayakan acara pernikahan Abdi dan Atisaya. Baik yang tinggal jauh dari rumah Haji Sobirin, apatah lagi yang bertetangga, semuanya larut dalam keriaan yang berlangsung sehari penuh.Haji Sobirin menggelar satu pesta nan megah lagi mewah. Tidak main-main, sang haji melangsungkannya selama tiga hari berturut-turut. Masing-masing dikhususkan bagi tamu-tamu yang berbeda-beda.Hari pertama, hari di mana Abdi mengucapkan kalimat qabul membalas ijab yang dilisankan Haji Sobirin, merupakan perayaan khusus bagi warga Desa Mekarjaya. Seluruh warga, terutama para pekerja di usaha-usaha milik sang haji, memeriahkan acara tersebut dengan penuh suka cita.Haji Sobirin tidak menerima amplop. Dalam undangan yang disebarkan ke seluruh warga desa, diterakan jelas-jelas jika sang ahli hajat tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun/ Dengan demikian tak ada alasan bagi warga Mekarjaya untuk tidak datang membe