06 | Tawaran Menggiurkan
Aku membeku saat ia menyebutkan kejadian di cafe kemarin. Saat aku menangis lantaran gagal mendapatkan beasiswa dan putus dengan Adi.
"Kamu pikir saya gak tahu kamu nangis sambil terisak minta dinikahi sama siapa itu namanya? Park Jaelani?" Ia berkata ketus.
"Kamu kok tahu?" tanyaku. Siapa sebenarnya dia?
"Yang ngasih kamu hoodie itu saya," ucapnya ketus.
Hah, cowok yang aku puji romantis itu ternyata dia? Gila! Konspirasi macam apa ini!
Belum sempat aku membalas, Naya sudah kembali dengan cengiran. "Ciye, udah ngobrol bareng," goda Naya.
Aku tersenyum ambigu berharap Naya berhenti menggoda kami.
"Ini namanya Meilavia, sepupu gue yang dari Jakarta," ucap Naya mengenalkanku pada sosok yang sejak pertemuan pertama benar-benar tidak memiliki kesan baik terhadapku.
Aku hanya terpekur, awakward dan terlihat bego. Naya menyikut lenganku beberapa kali, mengkodeku untuk mengulurkan tangan karena Tresna sepertinya enggan melakukannya duluan. "Ini Mas Tresna, dulu satu organisasi pas kuliah," ucapnya lalu menyikutku lagi. "Kenalan dulu gih biar sayang."
Aku dan Tresna sontak menoleh ke arah Naya dengan sinar laser di mata. Naya yang kadang kurang peka dengan situasi dan kondisi tentu tidak paham dengan bagaimana canggungnya aku dan Tresna. Ah, ralat! Kurasa hanya aku yang canggung, karena nyatanya Tresna hanya memandang diriku dengan dingin.
"Tresna," katanya sembari mengulurkan tangan, "Tresna Kartadinata."
Aku hampir menjatuhkan rahangku saat ia tersenyum sekilas sembari mengulurkan tangannya sebelum kembali memberi ekspresi dingin.
Hah? Maksudnya apa?
Tadi kami saling mengolok dan mengomel. Mengapa dalam beberapa detik ia berubah? Aku pun membalas uluran tangan Tresna. Sejenak aku merasa ia menyeringai kepadaku. "Mei, Meilavia Cokroaminoto."
Seperti mak comblang tidak tanggung jawab, Naya tiba-tiba berseru saat ponselnya berdering. "Ya Ampun! Suami gue telpon lagi. Kalian kenalan dulu aja ya."
Ingatkan aku untuk memaki Aksa jika ia kembali dari Jepang nanti. Kenapa sih ia berkali-kali telepon, mengganggu sekali!
Setelah beberapa Naya pergi lagi, situasi canggung menyelimuti kami. Tak ada tanda-tanda Tresna akan berbicara dan membunuh sunyi. Aku juga bingung harus memulai percakapan bagaimana setelah dua kali pertemuan buruk kami. Ah, ralat tiga kali.
Aku sudah skeptis.
Rencana Naya menjodohkanku dengan temannya pun kandas.
Sepertinya aku benar-benar sial.
Mengapa pula dari sekian banyak lelaki di dunia, Tresna harus menjadi teman Naya. Mengapa pula dari sekian banyak mini market di Bogor kami harus bertemu malam itu? Dan juga, kenapa ia melihatku menangis di cafe kemarin. Gila, ini memalukan!!! Yang paling membuat jengah, aku tadi memergoki Tresna menangisi pengantin yang sekarang sedang haha-hehe bahagia dan mengolok dirinya.
Oh, shit!
Tresna bukan pilihan tepat yang bisa dibawa kepada Mama untuk menghentikan perjodohan konyol dengan Satria. Mana mungkin ia mau denganku setelah semua kejadian menjengkelkan yang ia alami saat bersamaku?
Aku harus mengambil langkah!
Aku harus kabur!
Berdeham, lantas aku mencari alasan pamit yang paling sopan, "Marvin nungguin dessert-nya, aku pamit dulu."
Sedetik.
Dua detik.
"Tunggu." Tresna menahanku.
Aku mengerjap beberapa saat dan menghentikan pergerakanku. Ya Tuhan, apa ia akan mengolokku lagi?
"Kamu kerja apa?" tanya Tresna dengan suara yang lebih manusiawi, maksudku tidak seketus tadi.
Menunjuk diriku sendiri aku berujar, "Aku?"
"Bukan, Naya maksud saya —ya jelas kamulah, siapa lagi di sini yang bisa saya tanyai?" Nada ucapannya datar, tapi kontennya serasa sarkas didengar.
"Freelance copywriter, nulis artikel," jawabku.
Ia menaikan satu alisnya. "Kata Naya kamu mau kuliah S2?" Wow ternyata Naya sudah mempromy diriku.
Aku menghela napas, "Seleksi beasiswanya gagal, aku kembali kerja lepas aja."
Tiba-tiba Tresna berujar tanpa ditanya. "Saya dosen di salah satu kampus negeri di Surabaya," katanya yang membuatku menaikan satu alis.
Tresna seorang dosen. Pantas saja auranya sangat mengintimidasi.
Tresna melanjutkan ucapannya, "Saya gak mau basa-basi."
Aku mengerjap beberapa kali. Tiba-tiba jantungku berdebar kencang tanpa sebab. Apa aku terkena serangan jantung?
"Saya mencari istri." Jeda beberapa detik hingga ia melanjutkan ucapannya. "Istri kontrak."
Aku menjatuhkan rahangku. Boleh aku mengumpat di hadapan lelaki yang mengaku dosen ini? "Kamu pikir nikah sebercanda itu?" tanyaku kini dengan nada satu level lebih tinggi. "Kamu kira hukum Tuhan bisa dipermainkan dengan sistem kontrak, huh?"
"Saya tidak hobi bercanda," jawab Tresna enteng. "Saya serius mencari istri kontrak."
"Arghh! Kamu tau gak kalo pernikahan itu ibadah paling panjang, ikatan sakral yang gak bisa dimainin? Kamu kira pernikahan seperti nyewa rumah pake sistem kontrak! Dosa hukumnya mempermainkan agama!" cerocosku menggebu-gebu, aku tidak percaya orang berpendidikan seperti dirinya suka mempermainkan hukum. "Aku gak bisa nikah jika aku niat bercerai."
Tresna diam, masih mendengarkan argumenku. Ia belum menyela ucapanku.
"Orang yang suka kawin kontrak itu orang yang takut dengan komitmen, gak punya tanggung jawab!" Aku menatapnya remeh, Tresna masih flat saja menanggapiku. Tenang, seperti dosen yang sedang mendengarkan mahasiswanya presentasi. "Itu berarti kalau kamu suka nikah kontrak, berarti tanggung jawab kamu lebih payah dari pada mahasiswa yang kamu ajar."
Tresna menaikan satu alisnya.
"Aku gak mau nikah sama pria cemen yang gak punya tanggung jawab." Jeda beberapa detik dan aku melontarkan sebuah kalimat yang pastinya akan membuat harga dirinya runtuh. "Aku juga gak mau nikah dengan lelaki yang gagal move on dan datang ke kondangan mantan dengan derai air mata."
Sorot mata dingin itu nampak bergetar.
Ia mengerjap beberapa kali.
Apa ia terusik dengan ucapanku?
Apa ia terluka dengan ucapanku?
"Sudah selesai?" tanya Tresna.
Aku mengangguk dan ia menghela napas.
"Kamu tidak seharusnya berkata seperti itu jika memang tidak mau," ujar Tresna. "Saya kira kita orang yang sama."
Aku menahan napas mendengar ucapannya yang terdengar getir. Mengapa aku tiba-tiba merasa bersalah.
"Saya kira kita sama-sama dipecundangi dan dijadikan bahan bercanda oleh hidup maka dari itu saya memilih kamu," Tresna terdnegar sedih dan itu membuati terusik.
"Kamu butuh beasiswa S2 dan suami yang terlahir dari Jawa Timur. Saya butuh istri yang bisa merebut hati Sang Pewaris," katanya.
Hah? Sang Pewaris? Siapa dia?
"Kamu tahu kita perfect! Saling menguntungkan satu sama lain," imbuhnya lagi.
"Tapi, pernikahan gak cuma harus serasi. Pernikahan juga harus atas dasar suka sama suka atau saling cinta. Pernikahan seharursnya disertai komitmen mempertahankan pernikahan sampai ajal menjemput," sangkalku. Aku tak terima dengan ucapannya.
Tresna berdecih, matanya berkabut seolah dipenuhi kekecewaan dan duka. Aku dapat merasakannya. "Kamu kira menikahi pria yang dijodohkan orang tuamu itu akan berlangsung langgeng? Jangan mimpi, ia akan menceraikan kamu dalam hitungan bulan."
Aku tercekat, dari mana Tresna tahu semua fakta ini? Apakah ia juga ini tahu dari Naya?
"Kamu pasti tidak tahu bahwa anak ustadz gadungan itu akan menikah dengan kekasihnya dalam waktu dekat. Bukankah lebih menyakitkan ia menceraikanmu setelah pura-pura cinta?" Tresna menyilangkan tangannya. "Lebih tidak tanggung jawab mana lelaki yang mengajakmu nikah kontrak dengan banyak keuntungan atau menikah penuh dengan impian manis, tapi nyatanya kamu bukanlah pilihan dan akan ditinggalkan dengan status sebagai selingkuhan. Ingat, kamu orang ketiga yang hadir dalam hubungan Satria dan kekasihnya."
Aku terdiam segala ucapan Tresna menyakitkan tapi semua itu adalah kumpulan fakta yang tak bisa dibantah. Kebenaran yang pahit yang harus aku terima.
Bukankah Satria bisa saja menceraikanku dan lebih memilih gadis seksi itu?
"Kamu tahu sekarang kamu gak bisa menemukan lelaki yang mau menikahi kamu, kekasihmu saja menyelingkuhimu bukan?" Tresna berkata skeptis.
Aku memaki dalam hati, ia bahkan tahu alasanku putus dengan Adi. Naya benar-benar menceritakan semua aibku pada Tresna. Kenapa Naya tidak sekalian cerita jika aku diam-diam menjadi penggemar Lucinta Luna!
"Sekarang pilihan ada di tanganmu, Meilavia. Pilih menikah lalu diceraikan tanpa mendapatkan apa-apa selain gunjingan tetangga atau menikah kontrak dengan saya dan mendapatkan apa yang kamu inginkan." Ia menghadapkanku pada pilihan dan konsekuensi yang menyertainya. Ia membuatku semakin terpojok dengan semua analisisnya.
Aku menyahut ketus, "Memang apa yang aku inginkan? Sok tahu."
Tresna menyeringai, "Beasiswa pasca sarjana sebagai uang muka. Harta gono-gini setelah kita berceraidan tentu saja beasiswa S2 atau surat pengantar kerja di New York Times."
Aku menelan ludah, sialan aku akan menjadi janda parlente jika menikahi Tresna. Tawarannya sangat menggiurkan. Sialan, aku menangisi jiwa materialistisku. Aku membayangkan berjalan dengan kopi Starbucks di tangan menuju kantor New York Times.
"Menikah karena cinta itu sebuah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang seperti kita," kata Tresna lantas memandang nanar perempuan yang sedang tersenyum pada suaminya sekarang. "Untuk bisa menikmati cinta, kita harus punya status, kedudukan, dan kekuasaan, Meilavia."
Sial, ucapan Tresna sangat valid!
[]
Bogor sampai Jakarta kulalui dengan banyak termenung. Melamun menatap mobil yang berpapasan dengan mobil milik Marvin. Melihat lampu-lampu jalanan ketika kami berada di lampu merah dengan diiringi lagu depresi yang terputar di radio.Aku menghela napas, menghadapi semua ini. Bisa tidak aku menjadi cendol saja? Atau menjadi ayam suwir di bubur ayam? Atau barangkali remahan rengginang? Hidup sebagai anak perempuan yang dijodohkan lebih sulit dari pada hidup sebagai kucing peliharaan tetanggaku.Aku meringis sedih, betapa gilanya hidupku selama satu minggu ini. Jungkir balik dengan semua serangan fakta dan kenyataan yang menamparku keras-keras. Semua hal ini seolah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh bahagia. Bahwa genre hidupku adalah angst dan penuh dengan derai air mata dan kesedihan. Sinetron di stasiun televisi ikan terbang saja masih ada bahagianya sedikit. Hah, pengen sambat tapi aku sudah sambat sedari tadi bukan?
Gamis merah muda dan hijab dengan warna senada tergantung di dinding kamarku. Aku yang masih memakai mukena usai sholat subuh memandang gamis itu jengah.Kenapa modelnya persis seperti seragam ibu-ibu pengajian?Ah, apakah aku harus mengenakannya saat keluarga Satria nanti bertandang?Aku segera melepas mukenaku, melipatnya dan menggantungnya di hanger bersama sajadah. Kuraih ponselku dan melihat chat terakhir dari Tresna.Tresna Kartadinata :Saya siap-siap berangkat ke Jakarta.Meilavia Cokroaminoto :Kamu gak lupa dengan pesan-pesanku kan?Tresna Kartadinata :Kita akan melakukannya sesuai rencana.Kita? I. T. A.Kita
"Kamukokgakbilangkalopunyapacar?""Hah?""Kamu itu loh gak bilang kalo punya pacar?""Hah, apa Pa?""Marvin, Papa tanyanya ke Mei, bukan ke kamu. Jangan ikutan jadi keong kamu!" hardik Papa setengah kesal. Melirik tajam ke arahku dan Marvin yang kompak mengerjap setelah kami berdua cosplay keong.Bagaimana tidak jengkel, dua anak kembarnya mendadak cuma bisa hah-heh-hah-heh seperti tukang keong. Marvin entah kesambet apa malah ikut-ikutan. Kadang kami sama-sama bego."Maaf, Pa," tukas Marvin kemudian menunjukkan senyum terbaiknya seraya menyugar rambutnya yang mulai memanjang, pamer jidat seperti sedang photoshoot. Gaya ini sering ia salah gunakan, contohnya seperti saat ini, dengan kekuatan good looking ia akan meluluhkan perasaan jengkel Papa.Papa mencebik, menunjukkan ekspresi kes
Pertanyaan bagaimana cara Tresna merayu Papa benar-benar membuatku penasaran. Papa itu tipikal orang yang kaku, tidak peduli apapun selain dengan berita di televisi dan kopi hitam di awal harinya. Papa selalu terlihat datar dan flat seperti jalanan tol. Selalu bersikap netral dan cenderung tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Mana pernah Papa marah, senang, dan sedih berlebihan. Untuk ukuran orang normal Papa sedikit lebih diam. Heran sekali kok bisa menikah dengan wanita cerewet seperti Mama.Aku baru melihat Papa berlinang air mata bahagia saat Mama berhasil siuman setelah melahirkan Alan. Mama sempat koma beberapa hari akibat komplikasi melahirkan adikku itu. Beberapa hari ayah tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya menepuk-nepuk bahuku dan Marvin bergantian saat kami menangis karena menguping pembicaraan dokter perihal keadaan Mama yang semakin kritis. Mendengar kalimat meninggal membuat kami menangis sesenggukan. Saat itu Pap
Yakin mau menikah?Pertanyaan itu membuatku menjenjangkan alis. Jujur, jika dari diriku sendiri, dengan lantang aku akan berkata;"BELUM SIAPLAH, ANJAY!''Aku belum siap masuk ke dalam permasalah rumah tangga terlebih jika calon suamiku menuntut untuk dilayani, dimasakkan, dicucikan baju atau simpelnya minta diurus semua kebutuhannya dari A-Z. Aku belum siap menikah jika ujung-ujungnya hanya dijadikan seorang pembantu ataupun mesin pencetak anak yang dianggap berguna jika bisa memenuhi kemauan memiliki cucu menggemaskan yang bisa pamerkan oleh mertua dan orang tuaku.Membayangkan jika nanti menikah aku harus hamil dan mempunyai anak. Terbangun di tengah malam hanya untuk menyusui sedangkan suamiku hanya tidur pura-pura tidak tahu apa-apa. Amit-amit deh!Lebih baik aku pergi Hogwarts saja jadi pembantu Voldemort atau tukang sapu asrama Ravenclaw, kegiatan itu lebih bermartabat dan men
Aku diungsikan keluargaku saat keluarga Pak Haji hendak bertandang. Entah, rencana apa yang akan dilakukan oleh keluargaku untuk menolak perjodohan itu. Apa yang kira-kira reaksi keluatga Pak Haji jika tahu lamaran anaknya ditolak? Apakah mereka akan mendoakan yang baik-baik atau justru menyumpahi? Atau apa yang akan dikatakan Mama dan Papa. Jujur saja, aku penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi di rumah sekarang, tapi, sayangnya tidak bisa karena aku sedang bersama Tresna. Berdua saja dengan Tresna. Tresna yang mengemudi hanya diam saja semenjak keluar dari rumah. Ia terus memutari jalanan di sekitar area kampusku dahulu, Depok. Sudah setengah jam kami terjebak hening dan membuatku ingin bernyanyi, tiga puluh menit kita di sini, tanpa suara~ Serius, jika hanya diam seperti ini aku merasa canggung dan aneh. Di antara kami hanya ada suara lagu-lagu di radio yang memutar lagu-lagu dari band lokal era 2005 ke atas seper
Aku meneguk ludah, menyadari baru saja aku menyakiti perasaan Tresna. Ah, sialan. Kenapa aku harus peduli dengan perasaan dosen itu di saat ia sering mengolok diriku juga. Argh, ini menyebalkan! Aku benci menyalahkan diri sendiri. "Dia mantan kamu?" tanyaku hati-hati. Aku tidak mau menyakiti perasaan Tresna lagi dengan mengingatkannya pada gadis yang ia sukai itu. "Bukan, kita gak pernah pacaran," jawab Tresna. Aku mendadak pusing. Bukan pacar tapi mengapa sesedih itu ia melihat gadis itu menikah? Apa-apaan ini, huh? "Turun," titah Tresna membuyarkan pikiranku. Aku meneliti sekeliling lewat jendela mobil. Kami tiba di sebuah parkiran basement pusat perbelanjaan. "Ngapain kita kesini?" tanyaku menatap Tresna yang melepaskan sabuk pengamannya. Ia merotasikan kedua netranya saat melihatku. Kenapa? Aku k
Tresna yang sedang bersandar di kursi mengerjap beberapa kali saat mendengar ungkapan terima kasihku. Setelahnya ia mengangguk sembari menggigit ujung sedotan milo kotaknya, "Yap, santai saja, itu hanya air mineral."Reaksinya tak berlebihan, meski potret dirinya yang tengah menggigit sedotan itu terlihat cute dan tengil dalam satu waktu. Hah, rugi banget sih cewek yang menolak pria ini. Iya, aku memikirkan gadis yang ditangisi Tresna di hari pernikahannya.Aku segera menghabiskan ayamku dan meneguk air yang dibawakan Tresna, kemudian cuci tangan dan siap untuk membaca kontrak yang telah ia siapkan.Pemuda itu terlihat sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak ingat kapan ia membawa tas berisi laptop serta lembaran-lembaran kontrak yang tengah
42 | Senjata Makan Tuan"Kamu tahu kan saya sangat kompetitif Meilavia?" kata Tresna. "Saya selalu menjadi nomer satu dalam hal apapun."Nomer satu dalam hal apapun? Haha aku ingin tertawa mendengar ucapan Tresna ini."Kalau kamu nomer satu, kamu pasti nikahnya sama mantamu itu dulu lah, gak mungkin sekarang bikin perjanjian istri kontrak sama aku," sindirku terang-terangan seraya merotasikan kedua bola mataku."KAMU YA!!!!" seru Tresna menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Jika ia tokoh dalam anime, kurasa di sekujur tubuhnya sudah ada bara api amarah yang membara dan di kepalanya tumbuh tanduk.Wajahnya seram tapi masih ganteng."Aku kenapa?" balasku tidak takut.Tresna menggerutu sendiri dan menurunkan tangannya dan berganti memegang pangkal hidungnya. "Ingat Tresna, dia dan semua saudara-saudaranya adalah titisan mony
41 | Game Sekarang pikiranku dipenuhi dengan rencanaku selama menjadi istri kontrak Tresna yang tak banyak merepotkan sebenarnya —untuk sejauh ini. Entah nanti. Kadang aku takut sesuatu yang tenang ini akan membawa badai setelahnya. Mungkin sekarang masih santai ala-ala genre slice of life tapi detik selanjutnya bisa saja berubah menjadi romusha comedy. Ya kalian tidak salah membaca romusha comedy, perbudakan dan penjajahan oleh Tresna Kartadinata. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tresna saat nanti Marvin kembali ke Jakarta dan Alan kembali ke kostnya. Ah, sialan pikiranku mulai membuat skenario buruk. Seperti bisa saja Tresna diam-diam psikopat yang doyan memakan manusia. Atau jangan-jangan Tresna mengajakku menikah kontrak karena ingin menguasai harta keluargaku karena diam-diam aku anak kekuarga kon
40 | Mantan Dan Cara Move On! "Panik kalau kamu kabur dan gak nerusin kontrak, kan gak lucu saya cerai setelah tiga bulan nikah."Ah, aku harus berhenti berharap memang.Sudah tahu tidak boleh berekspetasi lebih kepada manusia, kenapa masih saja aku menaruh harapan pada sosok Tresna."Aku gak bakal lari kok, bayaran dari kontrak ini kan gede. Ya kali aku ngelepas kesempatan lanjut S2 sama kabur dari negara ini," kataku setelah mengucapkan terima kasih ke pelayan yang mengantarkan nasi bebek kami.Tresna menatapku sesaat, "Kamu belum move on dari mantan kamu itu? Kenapa segitunya pengen ke luar negeri?"Aku yang mencocol daging bebek dengan sambal sontak memandang Tresna dengan wajah heran bercampur tak percaya.Bisa-bisanya ia bertanya seperti itu di saat ia yang berkali-kali menangis karena mantann
39 | Bos, Katanya...."Saya cari kamu kemana-mana."Aku refleks berdiri saking kagetnya melihat pria itu ada di depanku sekarang.Apakah benar dia Tresna? Bukan genderuwo atau Totoro yang menyamar menjadi suami pura-puraku itu?Napas Tresna sedikit tersengal, keringat menetes dari dahinya. Tresna terlihat lusuh seperti habis lari maraton.Hah? Tak mungkin ia mencariku sembari berlari-lari seperti orang gila kan? Tidak mungkin!Tolong cek apakah matahari terbit dari tenggara sekarang?"Saya pulang ke rumah tidak ada siapapun, pintunya terbuka," kata Tresna. "Saya cari kamu kemana-mana, di kamar, halaman belakang, bahkan sampai jalanan komplek!"Aku menahan napas, Tresna mengomeliku. Entah berapa kali ia mendesah dan berdecak kesal saat mengutarakan u
38 | Lelaki Semua Sama Saja!"Gimana mau minta maaf," kata Marvin dengan nada suara tengil. "Dia aja menghilang bak ditelan bumi.""Karma itu ada loh Mas Marvin," kata Alan. "Kalau Mbak Mei disakitin juga kayak yang lo lakuin gimana?"Aku mendengkus, melihat bagaimana Marvin memperlakukan mantannya membuatku menyadari satu hal.Perangai Marvin yang menjijikkan ini membuatmu mood-ku berantakan. Sikap Marvin kepada mantannya itu benar-benar mengingatkanku pada sikap Tresna.Jelas keduanya sama-sama lelaki, memikirkan bagaimana Tresna memperlakukan gadis itu dengan sangat kurang ajar membuatku sangat terusik.Bagaimana jika Alan benar?Bagaimana jika aku terkena karma dari perbuatannya pada gadis itu dulu?Jika kupikir-pikir, bukankah sekarang aku juga sedang direndahkan oleh Tresna. Ia mengajakku menikah kontrak di saat ia masih mencinta mantannya itu.Apakah perasaan gadis itu juga seperti yang sedang aku rasa
37 | MCR Dan Mantannya MarvinRumah Tresna yang damai sentosa seperti taman surga mendadak jadi riuh ramai bak suara hajatan anak wali kota yang menyewa sound system terbaik. Atau mungkin seperti gemuruh suara buruh yang berdemo meminta pembatalan UU Cipta Kerja.Kira-kira sudah dua puluh lagu kami nyanyikan ulang, sekarang Alan dan Marvin menyanyikan lagu dangdut yang entah aku tidak tahu judulnya apa. Mendung Tanpo Udan? Whatever!"Suara lo kayak kucing keinjek majikan, Mas. Cempreng banget," ejek Alan dengan wajah datar."Si paling bagus suaranya, coba deh lo nyanyi lagu dangdut, cengkoknya susah njir, sungkem gue sama Lesti Kejora!" kata Marvin menyerahkan microphone ke Alan."Gue emang gak bisa nyanyi dangdut makannya gak pilih dangdut," kata Alan menerima microphone dari Marvin. "Nih, lihat gue bakalan nyanyi di genre yang gue expert banget."
36 | Ayo Jadi Topeng Monyet!"Kalau gue tetap sampe sekarang sayangnya sama Nabila JKT48, Oshi-gue tetap doi!!! Gue setia ya, jangan ragukan cinta gue buat Nabila!!!"Aku menaikan satu alisku saat mendengar suara menggelegar Marvin, si raja lebay."Kembaran kamu aneh," kata Tresna saat menghentikan motor di garasi."Emang aneh, untung aja dia ganteng," sahutku seraya turun dari motornya."Masa sih ganteng? Wajah kayak kembaran kamu banyak di kampus saya," kata Tresna.Aku mendelik, bisa-bisanya Tresna meragukan ketampanan kembaranku dan menyebut wajah Marvin ada dimana-mana.Secara tak langsung Tresna juga mengatai wajahku pasaran jika menyebut wajah Marvin mudah ditemukan.Kurang ajar!"Kamu ngatain wajahku pasaran?"Tresna menatapku bingung, kedua bola matanya yang hitam kecoklatan menampakkan kilat wajahku yang kesal."Siapa yang ngatain wajah kamu pasaran?" tanya Tresna yang
35 | First Day"Mana si Tresna?" tanya Marvin celingukan. "Yang itu bukan, pakai sarung naik motor matic oranye?"Alan yang mengemudikan mobil, ikut melirik ke arah pandang Marvin sembari menyipit lantaran matanya minus."Gak mungkin dia Tresna, wajahnya ganteng gitu," kata Marvin lagi, kembaranku masih belum mau mengakui jika Tresna memiliki wajah ganteng.Ia masih denial dan menganggap bahwa dirinya yang paling ganteng satu alam semesta."Dia ganteng kok, Mas," kata Alan mengemudikan mobil kami mendekati motor matic oranye itu."Gak usah sok tahu ganteng atau enggak, lo itu minus, pendapat lo gak valid, Lan," gerutu Marvin. "Lihat nih gue Masmu yang very handsome.""Ganteng itu relatif sih sebenarnya, tinggal memakai standar negara mana, tapi kalau memakai standar live action anime," kata Alan mulai berargu
Jadi begini rasanya meninggalkan rumah sendiri?Perasaanku sungguh campur aduk saat aku melihat rumah orang tuaku.Aku baru sadar tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain cat dan beberapa perabotannya.Masa remajaku dan Marvin yang kami habiskan di rumah ini seolah baru terjadi kemarin.Jejak-jejak petualangan kami berdua seolah masih tersisa di setiap sudutnya.Kursi kayu di teras tentu menjadi saksi dimana Alan terjatuh nyungsep karena aku dan Marvin meributkan pertarungan Sasuke dan Naruto hingga tak menyadari bahwa Alan yang baru bisa berbicara itu merangkak naik ke kursi.Aku dan Marvin yang sedang berdebat tentang masa depan Konoha dan persahabatan Sasuke dan Naruto tentu tak memperhatikan.Konoha dan persahabatan Naruto Sasuke dalam di ujung tanduk.Barulah saat Alan yang hendak turun justru jatuh dan tertimpa kursi, aku dan Marvin baru tersadar bahwa kami harus menjaga Alan karena Mama sedang pergi ke warung.