"Gila lo cantik banget, Mei!" puji Naya saat melihat presensiku. Gaun coklat pastel selutut yang kukenakan nampak sempurna, seolah tercipta untuk menghiasi tubuhku. Meski bagian punggungnya sedikit terbuka tapi aku tak memungkiri bahwa kini aku nampak seperti putri-putri Disney. Jika saja keluarga Haji Syamsudin tahu aku memakai dress ini pasti mereka langsung menyebutku kebarat-baratan dan memancing fitnah. Huh, dasar kolot!
"Perasaan kalo gue pake ini, gaunnya jadi biasa aja, kenapa kalo lo pake jadi kelihatan mewah gini sih, ih sebel!" lanjutnya. "Bikin iri aja deh lo!"
Naya memang seorang fashionista, ia menyukai gaun dan pakaian yang dikeluarkan oleh rumah mode ternama. Kadang suaminya sampai geleng-geleng kepala dengan kebiasaan shopping Naya yang suka tidak lihat dompet. Dari semua gaun pesta di walking closet miliknya, Naya memilihkan gaun yang kukenakan saat ini. Tak tanggung-tanggung, gaun ini pernah masuk dalam video klip artis KPop.
Aku hanya tertawa, "I'm definition of fashion it self." Kemudian aku memutar tubuhku, memamerkan bagaimana dress ini membuat level kecantikanku naik. Sialan, sebuah baju ternyata mampu merubah suasana hati seseorang. Pantas saja banyak yang picky dan pilih-pilih dengan pakaian dan OOTD yang mereka kenakan. "Makasih buat pinjaman bajunya, Nay."
Naya mengibaskan tangannya, "Sama-sama. lo ambil juga gak apa-apa, Mei. Gue jarang pake ini sih."
Kedua netraku berbinar, "Seriously? Beneran buat aku?" Aku melongo, "Tapi ini kan mahal banget, kamu gak mabok kan?"
"Anjir, dikira mabok gue." Naya mengacungkan jempolnya, "Serius ini buat lo, itung-itung sedekah buat yang habis kena sial dan diputusin pacarnya."
"Kurang ajar," aku mendelik saat Naya mulai membahas nasib hidupku yang sepertinya tidak kunjung menemukan bahagia. Seolah kesenangan hanyalah wacana yang tak akan terealisasi. Mimpi tiada menjadi nyata. Duh, aku jadi teringat lagi dan mulai mengeluh.
"Wow, kembaran gue cantik banget!" seru Marvin di ambang pintu. "Gila lo juga Nay, jangan cantik-cantik. Lo mau godain siapa lagi? Inget suami lo masih dinas di Jepang, senpai!"
Naya mendecih saat mendengar suaminya yang kini masih terikat kontrak kerja di Jepang selama satu tahun ke depan. "Gue setia ya sama si Aksa! Emang kayak lo yang hobi memanfaatkan tampang buat mematahkan hati perempuan!" Kemudia ia mendady berbinar, dan berdiri di samping Marvin, "Anjrit, kenapa lo jasnya Aksa cocok banget buat lo. Perasaan Aksa kalo pake ini gak berubah jadi Jaehyun NCT!"
Tanadaksa Prayogi, nama suami Naya. Memiliki pekerjaan bergengsi di salah satu start up di Jepang setelah menamatkan kuliahnya di sana. Naya dan Aksa bertemu saat sepupuku ini mengikuti student exchange, merasa cocok dan sama-sama suka anime, Naya dan Aksa semakin dekat. Mereka tidak berpacaran dan hanya bersahabat, hingga saat Naya hendak kembali ke tanah air, dengan manis Aksa melamar sepupuku dan berjanji akan menikahinya saat mereka menyelesaikan studi masing-masing.
Sudah dua tahun mereka menikah, sebulan atau tiga bulan sekali, Naya pergi mengunjungi suaminya karena Long Distance Relationship. Naya kini bekerja sebagai salah supervisor marketing kosmetik yang menyasar anak muda, sementara Aksa menjadi back end developer. Ah, aku tidak terlalu paham pekerjaan suami sepupuku itu. Naya bilang, suaminya akan menyelesy kontrak akhir tahun ini dan pulang ke Indonesia.
"Mata lo cakep, Nay! Tau aja kalo gue ganteng," celetukan Marvin disambut getokan di kepala oleh Naya.
"Dipuji sekali aja belagu lo!" gerutu Naya.
Marvin terkekeh kemudian ia berkata, "Ladies sekalian, ini udah pada selesai belum dandannya? Sopir ganteng udah siap nemenin!"
Aku dan Naya reflek gumoh mendengar ujaran Marvin.
"NYESEL GUE MUJI LO!"
"Gak kenal, dia bukan kembaranku!"
***
Pernikahan sahabat Naya sangat mewah dan megah. Kata Naya, untuk acara akad mengusung adat Sunda sementara saat resepsi memakai tema modern. Garden party seperti pernikahan para selebriti Hollywood. Hutan pinus dan cemara berpadu dengan lampu neon dan dekorasi putih gading serta coklat. Mejanya mewah dengan sentuhan gaya bohemian. Sementara podium dan panggung kecil dipenuhi bunga-bunga.
Mewah dan sangat aesthetic.
Makanannya pun super lengkap dan banyak. Sepertinya masakan satu nusantara tumpah ruah di sini. Masakan Jawa, Bali hingga masakan Padang menjadi favorit dan primadona di sini. Untung saja meskipun mengusung konsep modern, hidangan dan sajian di sini tetap masakan nusantara. Rendang dengan daging empuk dan bumbu super legit sangat menggoda, sementara sate Madura dan Padang juga menggoda untuk dicicipi. Jangan lupakan soto lamongan dan gulainya. Marvin sudah makan piring ke tiga.
Aku tidak bisa menghitung berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk pesta pernikahan mewah ini. Pastinya sudah membuat jiwa miskinku ingin dicabut saja jika melihat nominalnya. Sewa tempat, dekorasi, hingga konsumsi tentu menghabisi banyak biaya. Aku heran sekali dengan orang kaya, menghabiskan bajyak uani untuk memuaskan keinginan yang kadang konyol.
"Temen kamu yang mana sih?" tanyaku pada Naya. Aku penasaran sekaya apa orang tuanya hingga mampu menggelar pesta pernikahan ala anak Presiden bahkan Raja Arab. Jangan-jangan mereka memiliki gunung emas atau memiliki pulau pribadi yang terbuat dari intan dan permata.
"Yang cowok itu punya adik, nah adiknya itu temen gue dulu pas exchange ke Jepang." Naya menunjuk pengantin pria yang berwajah oriental dengan postur tinggi dan berbagi lebar. Selain kaya raya pasangan pengantin itu memiliki wajah yang luar biasa tampan. Wajahnya mirip Park Seojun dan ia menjadi jajaran orang terkaya di Indonesia. Hidup sangat tidak adil, bagaimana bisa ada orang yang memiliki segalanya semeny ada yang tak mempunyai apa-apa. Hukum Tuhan kadang membingungkan.
"Gila pergaulan lo elit banget, Nay," kata Marvin setelah mengambil lontong dan sate. "Emaknya temen lo ada yang janda gak? Gue pengen dinikahin jadinya. Hidup santai-santai gak pake kerja."
Naya langsung menyumpal mulut Marvin dengan kerupuk udang dari nasi rames di piringnya. "Gue gak mau punya sepupu ipar tante-tante, gak usah ngadi-ngadi lo, Marvin Cokroaminoto!"
Marvin segera mengunyah kerupuk dengan wajah kesal. "Namanyhaaaa jughaaa usahhaaa, Bhuuu. Masha ghaak bolheeeeh."
"Oh ya Nay, kira-kira kamu ngenalin aku sama yang mana nih? Temen kamu yang kebelet nikah," tanyaku memutuskan perdebatan Naya dan Marvin yang jika dibiarkan bisa mengakahy sinetron Tukang Bubur Naik Haji.
"Benar-bentar, dia bilang tadi masih mau ketemuan sama temennya sih," kata Naya, lntas celingukan.
"Ada fotonya gak? Aku penasaran gimana orangnya," kataku. Aku tidak tahu apapun tentang pria yang ingin dikenalkan Naya padaku. Naya bilang pria itu super pintar dan ahli di bidangnya. Usianya dua tahun lebih tua dari aku, Marvin, dan Naya.
Naya menggeleng, "Dia gak suka difoto, padahal ganteng banget. Tatapan matanya tajam dan bikin deg-degan, pokoknya bikin ja—" Ucapan Naya terpotong saat gawainya berdering, sebuah nama dengan emoticon hati muncul.
Sial, kenapa di saat penting seperti ini Aksa harus menelpon.
"Gue angkat dulu, nanti Aksa ngamuk lagi," kata Naya, "lo pergi ke area dessert aja deh, pura-pura ambil es atau apa gitu. Temen cowok gue kayaknya pada di sana. Dia kayaknya di sana juga." Begitu saja Naya pun menjauh dari keramaian bersembunyi di antara pohon pinus demi mengangkat panggilan suaminya. Dasar!
Aku menatap Marvin yang fokus menikmati sate dan lontongnya. Merasa diamati Marvin menatapku, "Aphaaa? Ghueee ghak mhauu berbhaghii shaaate!" Mulutnya penuh dan ia berbicara. Kebiasaannya sangat buruk, ck ck ck.
Aku menggeleng, Marvin tidak bisa diandalkan. "Kamu mau apa buat dessert? Aku ambilin sekalian."
"Es krim yang di box itu enak deh, Mei. Ambilin itu dong," katanya setelah suapan terakhirnya ia telan. Kemudian ia meraih gawaiinha dan bermain game di sana
Aku memberi tanda oke dan menuju tempat dessert. Mencari pesanan Marvin dan mencari kesukaanku. Menilik segala makanan ada di sini, seharusnya dessert dengan sentuhan yoghurt juga ada dong, ini kan pernikahan sekelas Raja Minyak. Aku celingukan mencari dimana keberadaan teman-teman yang Naya ceritakan. Karena entah bagaimana tempat dessert sepi. Semua orang sibuk melihat souvenir emas batangan atau berdansa kala lagu Akad dicover oleh Raisa.
"Gimana sih Naya, katanya mereka ada di sini!" gerutuku sembari mengambil pesanan Marvin. Tapi dwinetraku yang sejeli elang, menemukan deretan salad buah dengan yoghurt di dalamnya, tersisa tiga box. Tapi aku merasa aneh, seperti sesuatu memaksaku untuk menoleh ke samping, mencari tahu apa yang mengusik diriku. Aku tak bisa mengabaikan keinginan dalam diriku. Aku pun memiringkan wajah. Tak kusangka pandanganku menemukan dia.
Lagi-lagi dia!
Jelas aku masih ingat dengan cowok yang mendoakanku dengan nada sarkas. Dia yang ingin merebut yoghurt milikku di mini market waktu itu. Aku menyipit memandang penuh kekesalan. Tapi kekesalanku luntur saat melihat lelaki dengan setelan semi formal, jas biru tua dan kaos dari merk ternama Gucci tersemat. Dandannya sangat mewah dan ia lumayan tampan juga. Tunggu, aku seperti pernah melihat pemuda itu selain di toserba. Dimana kami pernah bertemu?
Hah apa-apaan ini? Kenapa dia jadi ganteng kayak gitu. Ah sial!
Aku melihatnya, menatap sayu dengan dan beberapa tetes air mata yang membasahi pipi. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku terkejut saat mendapati objek apa yang ia lihat. Rupanya ia menatap presensi kedua mempelai yang nampak tersenyum bahagia dan pamer kemesraan saat bercengkrama dengan para tamu undangan.
Dia menangis di pernikahan?
Apa mungkin mempelai wanitanya adalah mantan kekasihnya.
Gila, mantannya secantik super model dan kaya raya!
Aku berdecak. Merasa iba sekaligus kesal pada lelaki yang bisa-bisanya menangisi wanita yang sudah menjadi istri orang lain. Ia menyedihkan saat menangis sendiri. Dia mengingatkanku pada diriku sendiri saat menangisi persenglingkuhan Adi.
Segera kuraih tiga salad buah dengan siraman yoghurt tadi Aku melangkah lebar-lebar menuju ke arahnya. Berdiri tepat di sampingnya, ikut menyaksikan moment manis Sang Raja dan Ratu sehari itu.
Ia belum menyadari presensiku, hingga akhirnya aku berdeham.
Responnya?
Tentu saja kaget dan buru-buru menghapus setitik air matanya dengan kesal. Kemudian ia menoleh kepadaku. Kedua netranya yang memerah melotot seolah ingin keluar. Mengerikan juga melihatnya marah seperti itu, air mukanya persis dengan dosenku saat melihat judul penelitian untuk tugas akhirku yang sangat ngawur dulu.
"Kamu yang mencuri yoghurt saya kan." Ia berdecak, "Lagi-lagi kamu! Ngapain kamu di sini, huh!"
Aku merotasikan kedua netraku, "Yang mencuri siapa? Aku bayar, bukti pembayaran belanjaannya aja masih ada di mobil Marvin!" ketusku sengit. Tidak mau kalah darinya yang tiba-tiba menyembur penuh kekesalan. Dasar, rupanya ia memiliki ingatan yang kuat dan seorang pendendam.
Ia mendengus, masih menatapku kesal dengan pandangan matanya yang tajam.
Aku langsung mengangsurkan dua kotak salad dengan yoghurt itu kepadanya. Ia menatapku dan dua box itu secara bergantian. Belum sempat ia bertanya aku lebih dulu menyahut ketus. "Salad buah extra yoghurt, satu buat ganti yoghurt yang di minimarket ...."
Ia menatapku bingung tapi entah bagaimana terlihat ganteng, hah!
"....yang satunya buat penghibur karena ditinggal nikah," lanjutku.
Ia membeku sesaat, air mukanya tak terjelaskan, entah cemas, entah takut, entah ingin marah, tapi ia hanya diam. Tatapannya itu tajam tapi menawan.
Aku menepuk bahunya pelan, "Kalau gak siap lihat mantan nikah ya gak usah kondangan, dari pada nangis ngenes di pojokan kayak gitu mending nonton anime atau streaming serial Netflix aja di rumah."
Pemuda itu masih membisu mendengar ejekanku. Ia terpaku dan tak berkutik sama sekali.
Aku tertawa jahat dalam hati. Rasanya menyenangkan bisa membuat pria yang hobi menggerutu itu tak bisa berkutik. Aku melangkah menjauhinya dan tersenyum penuh kemenangan hingga Naya menghampiriku dengan senyum cerah, ia melambaikan kedua tangannya. Aku hendak membalas lambaian Naya yang terlihat sangat anggun dan elegan. Tapi sebuah sapaan yang keluar dari mulutnya membuatku tertegun.
"Mas Tresna ganteng!"
Mas?
Tresna?
Ganteng?
Hah?
Naya memanggil seseorang di belakangku. Gadis itu segera berlari kecil dan mendekatiku sembari berbisik di telinga, "Wah, lo tadi udah ngobrol sama Mas Tresna, langkah bagus."
Langkah bagus?
Ini bencana, Nay!
Gadis itu mengamit lenganku dan mengajakku berjalan mendekati pemuda yang ternyata bernama Tresna ini. "Mas Tresna, ini Meilavia. Sepupu yang kemarin aku ceritain."
Pemuda itu menatapku dengan seringai, senyumnya sinis namun tampan secara bersamaan. Aku sepertinya gila karena sempat mengagumi wajah cowok ini. Hah, aku baru menyadarinya sekarang.
Tiba-tiba gawai Naya berdering lagi, "Waduh bentar ya Mas, ini suami gue nelpon lagi."
Naya meninggalkan kami dan sekarang rasanya aku ingin teleportasi ke Wakanda saja.
"Kamu mengejek saya karena menangis di pernikahan orang," ujarnya dingin. Kemudian ia melanjutkan, "Tapi kamu menangis kencang seperti orang gila di cafe kemarin."
Hah? Bagaimana dia bisa tahu?
[]
06 | Tawaran Menggiurkan Aku membeku saat ia menyebutkan kejadian di cafe kemarin. Saat aku menangis lantaran gagal mendapatkan beasiswa dan putus dengan Adi. "Kamu pikir saya gak tahu kamu nangis sambil terisak minta dinikahi sama siapa itu namanya? Park Jaelani?" Ia berkata ketus. "Kamu kok tahu?" tanyaku. Siapa sebenarnya dia? "Yang ngasih kamu hoodie itu saya," ucapnya ketus. Hah, cowok yang aku puji romantis itu ternyata dia? Gila! Konspirasi macam apa ini! Belum sempat aku membalas, Naya sudah kembali dengan cengiran. "Ciye, udah ngobrol bareng," goda Naya. Aku tersenyum ambigu berharap Naya berhenti menggoda kami. "Ini namanya Meilavia, sepupu gue yang dari Jakarta," ucap Naya mengenalkanku pada sosok yang sejak pertemuan pertama benar-benar tidak memiliki kesan baik terhadapku.
Bogor sampai Jakarta kulalui dengan banyak termenung. Melamun menatap mobil yang berpapasan dengan mobil milik Marvin. Melihat lampu-lampu jalanan ketika kami berada di lampu merah dengan diiringi lagu depresi yang terputar di radio.Aku menghela napas, menghadapi semua ini. Bisa tidak aku menjadi cendol saja? Atau menjadi ayam suwir di bubur ayam? Atau barangkali remahan rengginang? Hidup sebagai anak perempuan yang dijodohkan lebih sulit dari pada hidup sebagai kucing peliharaan tetanggaku.Aku meringis sedih, betapa gilanya hidupku selama satu minggu ini. Jungkir balik dengan semua serangan fakta dan kenyataan yang menamparku keras-keras. Semua hal ini seolah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh bahagia. Bahwa genre hidupku adalah angst dan penuh dengan derai air mata dan kesedihan. Sinetron di stasiun televisi ikan terbang saja masih ada bahagianya sedikit. Hah, pengen sambat tapi aku sudah sambat sedari tadi bukan?
Gamis merah muda dan hijab dengan warna senada tergantung di dinding kamarku. Aku yang masih memakai mukena usai sholat subuh memandang gamis itu jengah.Kenapa modelnya persis seperti seragam ibu-ibu pengajian?Ah, apakah aku harus mengenakannya saat keluarga Satria nanti bertandang?Aku segera melepas mukenaku, melipatnya dan menggantungnya di hanger bersama sajadah. Kuraih ponselku dan melihat chat terakhir dari Tresna.Tresna Kartadinata :Saya siap-siap berangkat ke Jakarta.Meilavia Cokroaminoto :Kamu gak lupa dengan pesan-pesanku kan?Tresna Kartadinata :Kita akan melakukannya sesuai rencana.Kita? I. T. A.Kita
"Kamukokgakbilangkalopunyapacar?""Hah?""Kamu itu loh gak bilang kalo punya pacar?""Hah, apa Pa?""Marvin, Papa tanyanya ke Mei, bukan ke kamu. Jangan ikutan jadi keong kamu!" hardik Papa setengah kesal. Melirik tajam ke arahku dan Marvin yang kompak mengerjap setelah kami berdua cosplay keong.Bagaimana tidak jengkel, dua anak kembarnya mendadak cuma bisa hah-heh-hah-heh seperti tukang keong. Marvin entah kesambet apa malah ikut-ikutan. Kadang kami sama-sama bego."Maaf, Pa," tukas Marvin kemudian menunjukkan senyum terbaiknya seraya menyugar rambutnya yang mulai memanjang, pamer jidat seperti sedang photoshoot. Gaya ini sering ia salah gunakan, contohnya seperti saat ini, dengan kekuatan good looking ia akan meluluhkan perasaan jengkel Papa.Papa mencebik, menunjukkan ekspresi kes
Pertanyaan bagaimana cara Tresna merayu Papa benar-benar membuatku penasaran. Papa itu tipikal orang yang kaku, tidak peduli apapun selain dengan berita di televisi dan kopi hitam di awal harinya. Papa selalu terlihat datar dan flat seperti jalanan tol. Selalu bersikap netral dan cenderung tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Mana pernah Papa marah, senang, dan sedih berlebihan. Untuk ukuran orang normal Papa sedikit lebih diam. Heran sekali kok bisa menikah dengan wanita cerewet seperti Mama.Aku baru melihat Papa berlinang air mata bahagia saat Mama berhasil siuman setelah melahirkan Alan. Mama sempat koma beberapa hari akibat komplikasi melahirkan adikku itu. Beberapa hari ayah tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya menepuk-nepuk bahuku dan Marvin bergantian saat kami menangis karena menguping pembicaraan dokter perihal keadaan Mama yang semakin kritis. Mendengar kalimat meninggal membuat kami menangis sesenggukan. Saat itu Pap
Yakin mau menikah?Pertanyaan itu membuatku menjenjangkan alis. Jujur, jika dari diriku sendiri, dengan lantang aku akan berkata;"BELUM SIAPLAH, ANJAY!''Aku belum siap masuk ke dalam permasalah rumah tangga terlebih jika calon suamiku menuntut untuk dilayani, dimasakkan, dicucikan baju atau simpelnya minta diurus semua kebutuhannya dari A-Z. Aku belum siap menikah jika ujung-ujungnya hanya dijadikan seorang pembantu ataupun mesin pencetak anak yang dianggap berguna jika bisa memenuhi kemauan memiliki cucu menggemaskan yang bisa pamerkan oleh mertua dan orang tuaku.Membayangkan jika nanti menikah aku harus hamil dan mempunyai anak. Terbangun di tengah malam hanya untuk menyusui sedangkan suamiku hanya tidur pura-pura tidak tahu apa-apa. Amit-amit deh!Lebih baik aku pergi Hogwarts saja jadi pembantu Voldemort atau tukang sapu asrama Ravenclaw, kegiatan itu lebih bermartabat dan men
Aku diungsikan keluargaku saat keluarga Pak Haji hendak bertandang. Entah, rencana apa yang akan dilakukan oleh keluargaku untuk menolak perjodohan itu. Apa yang kira-kira reaksi keluatga Pak Haji jika tahu lamaran anaknya ditolak? Apakah mereka akan mendoakan yang baik-baik atau justru menyumpahi? Atau apa yang akan dikatakan Mama dan Papa. Jujur saja, aku penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi di rumah sekarang, tapi, sayangnya tidak bisa karena aku sedang bersama Tresna. Berdua saja dengan Tresna. Tresna yang mengemudi hanya diam saja semenjak keluar dari rumah. Ia terus memutari jalanan di sekitar area kampusku dahulu, Depok. Sudah setengah jam kami terjebak hening dan membuatku ingin bernyanyi, tiga puluh menit kita di sini, tanpa suara~ Serius, jika hanya diam seperti ini aku merasa canggung dan aneh. Di antara kami hanya ada suara lagu-lagu di radio yang memutar lagu-lagu dari band lokal era 2005 ke atas seper
Aku meneguk ludah, menyadari baru saja aku menyakiti perasaan Tresna. Ah, sialan. Kenapa aku harus peduli dengan perasaan dosen itu di saat ia sering mengolok diriku juga. Argh, ini menyebalkan! Aku benci menyalahkan diri sendiri. "Dia mantan kamu?" tanyaku hati-hati. Aku tidak mau menyakiti perasaan Tresna lagi dengan mengingatkannya pada gadis yang ia sukai itu. "Bukan, kita gak pernah pacaran," jawab Tresna. Aku mendadak pusing. Bukan pacar tapi mengapa sesedih itu ia melihat gadis itu menikah? Apa-apaan ini, huh? "Turun," titah Tresna membuyarkan pikiranku. Aku meneliti sekeliling lewat jendela mobil. Kami tiba di sebuah parkiran basement pusat perbelanjaan. "Ngapain kita kesini?" tanyaku menatap Tresna yang melepaskan sabuk pengamannya. Ia merotasikan kedua netranya saat melihatku. Kenapa? Aku k
42 | Senjata Makan Tuan"Kamu tahu kan saya sangat kompetitif Meilavia?" kata Tresna. "Saya selalu menjadi nomer satu dalam hal apapun."Nomer satu dalam hal apapun? Haha aku ingin tertawa mendengar ucapan Tresna ini."Kalau kamu nomer satu, kamu pasti nikahnya sama mantamu itu dulu lah, gak mungkin sekarang bikin perjanjian istri kontrak sama aku," sindirku terang-terangan seraya merotasikan kedua bola mataku."KAMU YA!!!!" seru Tresna menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Jika ia tokoh dalam anime, kurasa di sekujur tubuhnya sudah ada bara api amarah yang membara dan di kepalanya tumbuh tanduk.Wajahnya seram tapi masih ganteng."Aku kenapa?" balasku tidak takut.Tresna menggerutu sendiri dan menurunkan tangannya dan berganti memegang pangkal hidungnya. "Ingat Tresna, dia dan semua saudara-saudaranya adalah titisan mony
41 | Game Sekarang pikiranku dipenuhi dengan rencanaku selama menjadi istri kontrak Tresna yang tak banyak merepotkan sebenarnya —untuk sejauh ini. Entah nanti. Kadang aku takut sesuatu yang tenang ini akan membawa badai setelahnya. Mungkin sekarang masih santai ala-ala genre slice of life tapi detik selanjutnya bisa saja berubah menjadi romusha comedy. Ya kalian tidak salah membaca romusha comedy, perbudakan dan penjajahan oleh Tresna Kartadinata. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tresna saat nanti Marvin kembali ke Jakarta dan Alan kembali ke kostnya. Ah, sialan pikiranku mulai membuat skenario buruk. Seperti bisa saja Tresna diam-diam psikopat yang doyan memakan manusia. Atau jangan-jangan Tresna mengajakku menikah kontrak karena ingin menguasai harta keluargaku karena diam-diam aku anak kekuarga kon
40 | Mantan Dan Cara Move On! "Panik kalau kamu kabur dan gak nerusin kontrak, kan gak lucu saya cerai setelah tiga bulan nikah."Ah, aku harus berhenti berharap memang.Sudah tahu tidak boleh berekspetasi lebih kepada manusia, kenapa masih saja aku menaruh harapan pada sosok Tresna."Aku gak bakal lari kok, bayaran dari kontrak ini kan gede. Ya kali aku ngelepas kesempatan lanjut S2 sama kabur dari negara ini," kataku setelah mengucapkan terima kasih ke pelayan yang mengantarkan nasi bebek kami.Tresna menatapku sesaat, "Kamu belum move on dari mantan kamu itu? Kenapa segitunya pengen ke luar negeri?"Aku yang mencocol daging bebek dengan sambal sontak memandang Tresna dengan wajah heran bercampur tak percaya.Bisa-bisanya ia bertanya seperti itu di saat ia yang berkali-kali menangis karena mantann
39 | Bos, Katanya...."Saya cari kamu kemana-mana."Aku refleks berdiri saking kagetnya melihat pria itu ada di depanku sekarang.Apakah benar dia Tresna? Bukan genderuwo atau Totoro yang menyamar menjadi suami pura-puraku itu?Napas Tresna sedikit tersengal, keringat menetes dari dahinya. Tresna terlihat lusuh seperti habis lari maraton.Hah? Tak mungkin ia mencariku sembari berlari-lari seperti orang gila kan? Tidak mungkin!Tolong cek apakah matahari terbit dari tenggara sekarang?"Saya pulang ke rumah tidak ada siapapun, pintunya terbuka," kata Tresna. "Saya cari kamu kemana-mana, di kamar, halaman belakang, bahkan sampai jalanan komplek!"Aku menahan napas, Tresna mengomeliku. Entah berapa kali ia mendesah dan berdecak kesal saat mengutarakan u
38 | Lelaki Semua Sama Saja!"Gimana mau minta maaf," kata Marvin dengan nada suara tengil. "Dia aja menghilang bak ditelan bumi.""Karma itu ada loh Mas Marvin," kata Alan. "Kalau Mbak Mei disakitin juga kayak yang lo lakuin gimana?"Aku mendengkus, melihat bagaimana Marvin memperlakukan mantannya membuatku menyadari satu hal.Perangai Marvin yang menjijikkan ini membuatmu mood-ku berantakan. Sikap Marvin kepada mantannya itu benar-benar mengingatkanku pada sikap Tresna.Jelas keduanya sama-sama lelaki, memikirkan bagaimana Tresna memperlakukan gadis itu dengan sangat kurang ajar membuatku sangat terusik.Bagaimana jika Alan benar?Bagaimana jika aku terkena karma dari perbuatannya pada gadis itu dulu?Jika kupikir-pikir, bukankah sekarang aku juga sedang direndahkan oleh Tresna. Ia mengajakku menikah kontrak di saat ia masih mencinta mantannya itu.Apakah perasaan gadis itu juga seperti yang sedang aku rasa
37 | MCR Dan Mantannya MarvinRumah Tresna yang damai sentosa seperti taman surga mendadak jadi riuh ramai bak suara hajatan anak wali kota yang menyewa sound system terbaik. Atau mungkin seperti gemuruh suara buruh yang berdemo meminta pembatalan UU Cipta Kerja.Kira-kira sudah dua puluh lagu kami nyanyikan ulang, sekarang Alan dan Marvin menyanyikan lagu dangdut yang entah aku tidak tahu judulnya apa. Mendung Tanpo Udan? Whatever!"Suara lo kayak kucing keinjek majikan, Mas. Cempreng banget," ejek Alan dengan wajah datar."Si paling bagus suaranya, coba deh lo nyanyi lagu dangdut, cengkoknya susah njir, sungkem gue sama Lesti Kejora!" kata Marvin menyerahkan microphone ke Alan."Gue emang gak bisa nyanyi dangdut makannya gak pilih dangdut," kata Alan menerima microphone dari Marvin. "Nih, lihat gue bakalan nyanyi di genre yang gue expert banget."
36 | Ayo Jadi Topeng Monyet!"Kalau gue tetap sampe sekarang sayangnya sama Nabila JKT48, Oshi-gue tetap doi!!! Gue setia ya, jangan ragukan cinta gue buat Nabila!!!"Aku menaikan satu alisku saat mendengar suara menggelegar Marvin, si raja lebay."Kembaran kamu aneh," kata Tresna saat menghentikan motor di garasi."Emang aneh, untung aja dia ganteng," sahutku seraya turun dari motornya."Masa sih ganteng? Wajah kayak kembaran kamu banyak di kampus saya," kata Tresna.Aku mendelik, bisa-bisanya Tresna meragukan ketampanan kembaranku dan menyebut wajah Marvin ada dimana-mana.Secara tak langsung Tresna juga mengatai wajahku pasaran jika menyebut wajah Marvin mudah ditemukan.Kurang ajar!"Kamu ngatain wajahku pasaran?"Tresna menatapku bingung, kedua bola matanya yang hitam kecoklatan menampakkan kilat wajahku yang kesal."Siapa yang ngatain wajah kamu pasaran?" tanya Tresna yang
35 | First Day"Mana si Tresna?" tanya Marvin celingukan. "Yang itu bukan, pakai sarung naik motor matic oranye?"Alan yang mengemudikan mobil, ikut melirik ke arah pandang Marvin sembari menyipit lantaran matanya minus."Gak mungkin dia Tresna, wajahnya ganteng gitu," kata Marvin lagi, kembaranku masih belum mau mengakui jika Tresna memiliki wajah ganteng.Ia masih denial dan menganggap bahwa dirinya yang paling ganteng satu alam semesta."Dia ganteng kok, Mas," kata Alan mengemudikan mobil kami mendekati motor matic oranye itu."Gak usah sok tahu ganteng atau enggak, lo itu minus, pendapat lo gak valid, Lan," gerutu Marvin. "Lihat nih gue Masmu yang very handsome.""Ganteng itu relatif sih sebenarnya, tinggal memakai standar negara mana, tapi kalau memakai standar live action anime," kata Alan mulai berargu
Jadi begini rasanya meninggalkan rumah sendiri?Perasaanku sungguh campur aduk saat aku melihat rumah orang tuaku.Aku baru sadar tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain cat dan beberapa perabotannya.Masa remajaku dan Marvin yang kami habiskan di rumah ini seolah baru terjadi kemarin.Jejak-jejak petualangan kami berdua seolah masih tersisa di setiap sudutnya.Kursi kayu di teras tentu menjadi saksi dimana Alan terjatuh nyungsep karena aku dan Marvin meributkan pertarungan Sasuke dan Naruto hingga tak menyadari bahwa Alan yang baru bisa berbicara itu merangkak naik ke kursi.Aku dan Marvin yang sedang berdebat tentang masa depan Konoha dan persahabatan Sasuke dan Naruto tentu tak memperhatikan.Konoha dan persahabatan Naruto Sasuke dalam di ujung tanduk.Barulah saat Alan yang hendak turun justru jatuh dan tertimpa kursi, aku dan Marvin baru tersadar bahwa kami harus menjaga Alan karena Mama sedang pergi ke warung.