Share

07 | Terdesak Ancaman

Penulis: oceanisa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-22 04:35:34

Bogor sampai Jakarta kulalui dengan banyak termenung. Melamun menatap mobil yang berpapasan dengan mobil milik Marvin. Melihat lampu-lampu jalanan ketika kami berada di lampu merah dengan  diiringi lagu depresi yang terputar di radio.

Aku menghela napas, menghadapi semua ini. Bisa tidak aku menjadi cendol saja? Atau menjadi ayam suwir di bubur ayam? Atau barangkali remahan rengginang? Hidup sebagai anak perempuan yang dijodohkan lebih sulit dari pada hidup sebagai kucing peliharaan tetanggaku.

Aku meringis sedih, betapa gilanya hidupku selama satu minggu ini. Jungkir balik dengan semua serangan fakta dan kenyataan yang menamparku keras-keras. Semua hal ini seolah menyadarkanku bahwa aku tidak boleh bahagia. Bahwa genre hidupku adalah angst dan penuh dengan derai air mata dan kesedihan. Sinetron di stasiun televisi ikan terbang saja masih ada bahagianya sedikit. Hah, pengen sambat tapi aku sudah sambat sedari tadi bukan?

Kemalangan datang beruntun dalam kehidupanku, layaknya semut yang mengerubungi gula, datang banyak dan menyiksa. Datang seperti titik hujan, berjamaah menghantam duniaku. Pertama, aku dijodohkan dengan lelaki penuh sandiwara yang sudah jelas tidak akan pernah mencintaiku, Satria bin Syamsudin. Mana bisa aku menjadi istrinya? Aku dan Satria saja tidak pernah berbincang meski kami satu komplek. Ia selalu menyindir kelakuanku dan Marvin setiap ia mengisi acara pengajian ataupun khutbah hari Jum'at. Aku dan Satria menikah adalah sebuah pilihan paling buruk yang akan membuat kehancuran dalam hidupku. Dua kutub magnet yang berbeda disatukan yang terjadi tentu saja perang dunia ketiga yang menyebabkan kekacauan. End Game!

Kedua, kekasih yang sering aku banggakan dengan segala sikap baiknya rupanya hanyalah seorang pengecut, pendusta ulung, dan penjahat kelamin yang meniduri wanita lain. Buaya berkulit domba itu selalu menunjukkan wajah polos dan baik, selalu menunjukkan image sebagai cowok baik-baik yang tidak pernah menonton bokep. Tapi di balik semua topengnya, rupanya ia tak jauh berbeda dengan lelaki kebanyakan, tukang main perempuan dan menghargai seseorang dari kesanggupan si gadis menyenangkannya di ranjang. Ewh, menjijikan!

Ketiga, aku gagal mendapatkan beasiswa yang kuidam-idamkan. Setelah selama hampir setengah tahun aku berharap, ternyata yang kudapat hanya kabar buruk bahwa aku tidak masuk dalam seratus penerima beasiswa itu. Bayangkan, setelah melalui seleksi administrasi, psikotest dan test bidang akademik, focus group discussion hingga interview dengan asessor ternyata aku menelan pil pahit. Aku dinyatakan tak lolos. Aku gagal.

Rasanya aku ingin menangisi setiap malam yang terbuang sia-sia hanya untuk menulis essay yang menjadi syarat apply beasiswa. Menulis dua essay tanpa dengan tema "Peranku Bagi Indonesia" dan "Sukses Terbesar dalam Hidupku" selalu membuatku mual-mual usai menulisnya, kecemasan yang menyerangku acap kali mengerjakan essay kini menjadi kenyataan. Aku tidak berhasil mendapatkannya. Sial banget! Rasanya bahagia cuma imajinasi yang tidak bisa aku temui.

Semua perjuanganku kandas.

Alasan untuk menolak perjodohan pun tak ada.

Dan hal paling gila dari semua kemalangan di atas adalah saat aku diajak nikah kontrak oleh orang asing yang kutemui di kondangan nikahan. Orang asing yang melihatku menangis sesenggukan di cafe, orang asing yang rebutan yoghurt denganku, dan orang asing yang menangisi mantannya di kondangan nikahan.

Tresna Kartadinata.

Kakak tingkat Naya saat berkuliah dulu itu mendadak mengajakku nikah kontrak. Se-desperate itukah dia ditinggal menikah mantan hingga mengajakku nikah kontrak? Cih, menikah bukan untuk ibadah tapi untuk bercerai. Sebuah awal dibuat untuk diakhiri. Sial, sial, sial!

Aku merasa direndahkan tapi di satu sisi aku tak bisa marah. Semua penjelasan orang asing bernama Tresna itu benar-benar tak bisa kubantah. Kalimatnya singkat dan bisa aku terima. Semua ujarannya sangat logis meski sedikit melenceng dari norma masyarakat di negara kami. Aku tak bisa mengelak bahwa tawaran Tresna adalah sebuah pilihan paling tepat untuk situasiku saat ini. Sebuah solusi cepat yang bisa mengatasi situasi pelik yang sedang kualami. Sebuah langkah bijak yang bisa aku lakukan untuk mengatasi krisis dalam hidupku.

Sial, apakah aku harus menerima tawaran Tresna dan hidup sebagai istri kontrak?

Menjadi istri kontrak seorang Tresna Kartadinata, si dosen Teknik Elektro supaya tidak dijodohkan dengan si pencitraan?

Betapa nelangsanya diriku.

Kadang aku iri dengan Marvin, kembaranku yang rajin dan pintar itu tidak harus menjalani hidup sulit sepertiku padahal kami lahir di hari dan jam yang sama. Muka kami juga sebelas dua belas meski bukan kembar identik. Kami memiliki rupa yang sama tapi kadang diperlakukan berbeda. Marvin selalu dibebaskan memilih apa yang dia suka, selalu dipuji, selalu disayang oleh semua orang meski ia dan diriku tak jauh berbeda. Hanya karena aku perempuan, mereka selalu menganggapku sebagai nomer dua. Mereka selalu menekanku untuk bersikap manis dan sesuai norma. Ck, norma bangsat!

Mama dan papa tidak pernah menuntut banyak dari Marvin, berbeda dengan diriku. Ia bebas berkelana dan menentukan hidupnya. Ia bebas melakukan apapun karena ia lelaki. Huh, sungguh sangat kolot. Padahal Marvin tidak jauh berbeda denganku, dia hanya jago pencitraan dan mudah berbaur saja—hanya itu kelebihannya.

"Rencana lo selanjutnya apa, Mei?" tanya Marvin menatap lurus ke rumah. Mobil yang kami kendarai telah tiba, tapi sepertinya Marvin enggan turun karena aku sedang muram durja.

Aku menghela napas panjang, "Kenapa sih aku gak jadi cowok aja kayak kamu, Vin."

Marvin menoleh menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Aku tidak pernah menyalahkan Marvin karena ia terlahir sebagai laki-laki, aku tidak iri dengannya, aku hanya kecewa dengan keadaan dan situasi di mana kami dilahirkan. Aku sayang Marvin, dia adalah saudara yang baik tapi dunia selalu berusaha membuat kami berkompetisi dan bersaing, sungguh ironis.

"Kalau jadi cowok, kayaknya Mama sama Papa gak bakalan sekeras gini sama aku," ucapku getir yang membuat Marvin menoleh kepadaku dengan sorot yang tak bisa kuprediksi. "Seenggaknya, aku bisa dapet setengah kebebasan kayak yang mereka berikan ke kamu."

"Orang tua kita cuma ingin yang terbaik untuk anaknya, Mei. Yah, mungkin caranya aja yang gak tepat," sahut Marvin seraya mencengkeram erat setir mobil. Aku tahu ia memendam emosi di sana. Entah, marah kepada siapa? Kepada hidup? Atau kepada orang tua kami?

"Mereka cuma mau yang terbaik untuk hidup mereka, Vin. Mereka gak pernah mau dengar apa yang aku inginkan. Semuanya diatur, bahkan untuk urusan hati dan perasaan, aku gak bisa milih sendiri," kataku kemudian menatap Marvin. "Aku harap kamu bisa bahagia. Bisa bebas merasakan mencintai dan dicintai." Aku menepuk bahunya lalu melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.

***

"Mama sama Papa sudah menemukan calon yang pas buat kamu, Mei," ucap Mama menatapku girang saat kami sedang sarapan di meja makan. "Kamu pasti suka sama calon pilihan Mama dan Papa. Anaknya baik dan sholeh kan, Pa?" tanya Mama pada Papa. Matanya berbinar bangga, persis seperti saat ia menceritakan Marvin yang bisa lulus dengan gelar cumlaude kepada tetangga dulu. Sepertinya Mama merasa mendapatkan menantu seperti Satria adakah sebuah prestasi juga. Hah, males!

Papa yang biasanya hanya fokus dengan berita di koran dan kopi, kini entah bagaimana menjadi sosok yang tertarik dengan drama perjodohan ini. "Tentu, Mei pasti akan bahagia jika menikah dengan Nak Satria anaknya Haji Syamsudin."

Wow kalimat Papa sudah seperti peramal saja. Pa, Mei gak bakalan bahagia! Aku cuma bisa mendengus dalam hati.

"Ih, Papa! Gak jadi kejutan dong kalo Papa bilang-bilang ke Mei," sungut Mama kemudian menatapku yang mencoba bersikap biasa saja. "Mei, lusa kamu dandan yang cantik dan pake hijab, keluarga Haji Syamsuddin akan datang melamar kamu."

Dengan enggan aku hanya mengangguk. Rasanya potongan ayam goreng yang tengah aku suap berubah menjadi kerikil tajam yang menusuk tenggorokan. Sakit, benar-benar sakit.

Bagaimana lagi, apakah aku bisa menolak titah Mama dan Papa lalu terancam menjadi gelandangan. Aku memang punya tabungan dari kerja freelance tapi semua sudah aku investasikan di usaha temanku. Sial, mana bisa aku menariknya sekarang.

Aku belum siap hidup miskin dan aku tidak suka hidup melarat. Hidup miskin itu tidak enak.

"Menantu kita Sholeh dan baik hati begitu pasti bisa membimbing Mei," ucap Mama sembari mengambil potongan kentang balado sisa kemarin. Celotehan Mama terdnegar sangat bahagia, seperti kisah di cerita ber-genre fluffy. "Kamu kalau jadi istrinya Satria nanti harus berubah loh Mei. Jangan kayak orang Amerika sama Korea yang suka pake baju ketat-ketat, ketek sama pahanya kelihatan. Pamer aurat gak baik dan mengundang fitnah."

Membimbing? Cuih! Satria yang justru butuh siraman rohani dan ceramah. Orang-orang saja yang tidak tahu. Sisi gelapnya saja belum terbongkar.

***

Sebaris pesan membuatku terlonjak. Buru-buru aku mengambil jaket dan ponselku. Melangkahkan tungkai dan berjalan cepat menuju titik temu yang tertulis di pesan itu.

Pohon manggis.

Menjadi saksi bisu bagaimana aku dan Satria akan berbicara serius untuk pertama kali.

Satria nampak mendengus saat aku hampir terjatuh lantaran tersandung kerikil di belokan. Sial, sial, sial. Clumsy banget sih aku!

"Lemot banget sih lo, gue bilang sepuluh menit sampe sini," ujar Satria saat aku berada di hadapannya. Tiba-tiba aura tokoh antagonis dalam sinetron nampak di depan mataku. Iya, tokoh jahatnya adalah satria dan aku tokoh protagonis lemah yang cuma bisa iya-iya saja, patuh pada perintah. Heran juga aku dengannya, sepuluh menit sampai lokasi sedangkan rumahku dengan pohon manggis itu berjarak hampir setengah kilometer. Ingin sekali kucakar wajahnya. "Karena lo terlambat, gue langsung aja ke intinya."

Lihat, biasanya ia pencitraan dan bilang tidak suka berbicara dengan bahasa gaul Jakarta kini terlihat ketus dan songong memakai lo-gue. Ia bilang berkata dengan bahasa gaul tidak sopan. Hah, sekarang lihat, mana sopan santun yang ia bangga-banggakan. Sopan santunnya sudah hilang digondol kucing, dimakan harimau, dikunyah godzilla, diinjak-injak We Bare Bears—oke stop sepertinya aku mulai meracau lagi.

"Lo tahu kan ortu kita ngejodohin lo sama gue," ujarnya kemudian bersidekap. Berlagak sombong seperti yang sering dilakukan CEO-CEO di cerita fiksi. Firaun saja insecure melihat kelakuan Satria. Tobat, wahai Satria, bapakmu belum baca nih!"Maaf-maaf aja nih, Mei, badan cungkring, dada sama pantat rata bukan tipe gue."

Aku menganga mendengar perkataannya. Hello! Siapa juga yang mau dengan cowok seperti dirinya? "Kamu juga bukan tipeku. Remaja masjid macem kamu biasanya cuma bisa pencitraan," ketusku. Ah, sepertinya level rasismeku naik saat menghadapi Satria.

Dengusan keluar dari mulut anak Pak Haji itu,"Bagus, gue udah punya cewek pilihan sendiri. Kita juga sama-sama gak suka. Hal ini bisa lo pake alasan buat batalin perjodohan ini kan?"

Kedua alisku menukik mendengar perintahnya, "Kenapa  harus aku yang ngomong? Orang tuaku gak bakalan terima. Lebih baik kamu aja yang batalin. Suara maskot kesayangan masjid pasti didengar. Adzan bisa kenceng masa ngomong begini aja gak berani."

Ow, ow, aku bicara jauh dari konteks pembicaraan.

Rahang Satria mengeras, jelas aku tahu ia sepertinya tersinggung padaku tapi bodo amat, dia juga sudah mengejek dan menyinggungku sedari tadi. Anggap saja ini impas. "Gue gak bisa, bokap gue bisa kena serangan jantung kalo gue yang batalin perjodohan." Satria menunjuk wajahku dengan telunjuknya. "Batalin perjodohan itu atau lo siap-siap aja gue poligami!" Satria lantas berlalu meninggalkanku.

Mendadak aku mual, ucapan Satria terdengar menjijikan dan memojokkan.

Apa yang harus kuperbuat?

Aku meremas rambutku sendiri dan menghentak tanah. Dalam kebingungan yang kian membumbung, dalam gusar dan khawatir yang tak terkira. Ucapan dan tawaran itu datang. Menggema dan bersuara di kepalaku.

Menikah karena cinta itu sebuah kemewahan yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang seperti kita.

Untuk bisa menikmati cinta, kita harus punya status, kedudukan, dan kekuasaan, Meilavia.

Bak sihir, kata-kata itu kembali bergema dalam pikiranku. Perkataan itu seolah melambai, mengajakku ikut berkolaborasi. Memberikan pertolongan di saat aku kesusahan.

Ya Tuhan, aku memang menyebutmu di saat aku berada dalam kesempitan. Tapi apakah Tresna dan tawarannya itu adalah sebuah jalan untuk mencapai kesuksesan?

Apakah ia dan tawarannya itu sebuah pertolongan?

Aku memejamkan mata sesaat lantas  membuka layar ponselku yang terkunci. Sebuah nama di kontakku yang disimpan paksa kini terpampang jelas di layar.

Sial, apakah aku harus menghubungi Tresna dan mengiyakan kontrak pernikahan itu?

Bayangan Tresna yang menawarkan pernikahan kontrak terlintas jelas. Tawarannya menggiurkan.

Berdoa sejenak aku segera menghubungi nomer tersebut. Beberapa detik, yang kudapatkan hanyalah suara operator.

Sekali lagi aku mencoba dan hasilnya masih sama.

Aku memijat pelipisku kemudian memasukan ponsel itu ke dalam saku jaket. Berjalan pulang diiringi lagu Fix You milik Coldplay yang entah bagaimana liriknya membuatku menangis.

Oh, seandainya ada cowok yang menyanyikan lagu ini untuk menghiburku!

Mungkin sudah takdirnya bahwa nasib cintaku tragis. Lelaki hanya datang untuk singgah dan tak pernah sungguh. Mereka hanya mencari kamar sewa untuk singgah bukan rumah untuk tinggal dan menetap. Tak akan ada lagi cowok yang menyanyikanku lagu diiringi petikan gitar. Kenangan bersama Adi kembali berkelindan di benakku. Ah, kenapa ia harus menikamku di saat-saat mencekam dalam hidupku. Mengapa ia berkhianat di saat aku sedang membutuhkannya dengan sangat?

Fix You terhenti, nama Tresna terpampang di layar. Memenuhi layar gawaiku, memenuhi semua harapanku. Entah, tiba-tiba aku ingin tersenyum saat mendapat panggilan dari lelaki itu.

Hah? Tersenyum, ewh, gross!

Aku langsung merotasikan netraku, jangan gila, Mei! sugestiku pada diri sendiri sesaat sebelum mengangkat panggilan.

"Maaf, saya tadi masih di jalan," ucapnya via telepon. Suaranya serak-serak basah, sexy terdengar. "Jadi, kamu menerima ajakan nikah kontrak saya?" tanyanya to the point. Tentu ia tahu, aku tak akan menelpon jika tak menyetujui kontrak itu. Ngapain juga menelepon dia? Mau mancing bareng? Ya gak mungkinlah!

Aku menghela napas dan tetap mengangguk meski Tresna tak mungkin melihatnya. "Iya, aku mau."

"Pilihanmu tepat, Meilavia." Suaranya terdengar lagi, aku mendadak pusing. Kenapa ia memiliki suara bariton yang enak didengar seperti ini?

Aku berdeham, mengalihkan pikiranku yang mukai rancu karena banyak masalah. "Kamu masih di Bandung?" tanyaku kemudian.

"Iya," jawabnya lantas terbatuk. Hah? Tresna sakit, ya?"Saya masih di rumah teman." Suara batuk terdengar lagi dari ujung sana.

Aku mengerjap sesaat hingga akhirnya berujar, "Kamu sakit?"

Hening.

Sedetik.

Dua detik.

Tresna urung menjawab.

"Halo, kamu masih di sana?"

"Hm, iya," jawabnya. "Maaf, saya sedikit flu. Tapi tenang saja, ini tidak akan mengganggu rencana dan kontrak kita."

Padahal, aku bertanya bukan karena hal itu, tapi ya sudahlah. Aku pun langsung ke inti pembicaraan. "Sebelum kita baca dan tanda tangan kontrak. Aku butuh bantuan kamu."

"Hm?"

"Batalkan perjodohanku, dan kita bisa melakukan pernikahan kontrak itu," kataku, "datang ke Jakarta besok pagi, yakinkan orang tuaku supaya membatalkan perjodohan atau kontrak itu tidak akan pernah terjadi."

"Oh, bisa kamu kirim ringkasan tentang orang tuamu? Seperti CV disertai kebiasaan dan kesukaan mereka?" tanya Tresna.

"Untuk apa?"

Terbatuk lagi, "Untuk melancarkan urusan melamarmu tentunya."

Melamarmu

Melamarmu

Melamarmu.

Sialan satu kata itu membuat pipiku memanas. "Baik, akan kukirim nanti." Jeda. " Aku tutup telfonnya. Jaga kesehatan, ya."

[]

Bab terkait

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   08 | Kunjungan Mengejutkan

    Gamis merah muda dan hijab dengan warna senada tergantung di dinding kamarku. Aku yang masih memakai mukena usai sholat subuh memandang gamis itu jengah.Kenapa modelnya persis seperti seragam ibu-ibu pengajian?Ah, apakah aku harus mengenakannya saat keluarga Satria nanti bertandang?Aku segera melepas mukenaku, melipatnya dan menggantungnya di hanger bersama sajadah. Kuraih ponselku dan melihat chat terakhir dari Tresna.Tresna Kartadinata :Saya siap-siap berangkat ke Jakarta.Meilavia Cokroaminoto :Kamu gak lupa dengan pesan-pesanku kan?Tresna Kartadinata :Kita akan melakukannya sesuai rencana.Kita? I. T. A.Kita

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   09 |  Kok Gak Bilang?

    "Kamukokgakbilangkalopunyapacar?""Hah?""Kamu itu loh gak bilang kalo punya pacar?""Hah, apa Pa?""Marvin, Papa tanyanya ke Mei, bukan ke kamu. Jangan ikutan jadi keong kamu!" hardik Papa setengah kesal. Melirik tajam ke arahku dan Marvin yang kompak mengerjap setelah kami berdua cosplay keong.Bagaimana tidak jengkel, dua anak kembarnya mendadak cuma bisa hah-heh-hah-heh seperti tukang keong. Marvin entah kesambet apa malah ikut-ikutan. Kadang kami sama-sama bego."Maaf, Pa," tukas Marvin kemudian menunjukkan senyum terbaiknya seraya menyugar rambutnya yang mulai memanjang, pamer jidat seperti sedang photoshoot. Gaya ini sering ia salah gunakan, contohnya seperti saat ini, dengan kekuatan good looking ia akan meluluhkan perasaan jengkel Papa.Papa mencebik, menunjukkan ekspresi kes

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   10 |  Mama Dan Papa Terpukau!

    Pertanyaan bagaimana cara Tresna merayu Papa benar-benar membuatku penasaran. Papa itu tipikal orang yang kaku, tidak peduli apapun selain dengan berita di televisi dan kopi hitam di awal harinya. Papa selalu terlihat datar dan flat seperti jalanan tol. Selalu bersikap netral dan cenderung tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Mana pernah Papa marah, senang, dan sedih berlebihan. Untuk ukuran orang normal Papa sedikit lebih diam. Heran sekali kok bisa menikah dengan wanita cerewet seperti Mama.Aku baru melihat Papa berlinang air mata bahagia saat Mama berhasil siuman setelah melahirkan Alan. Mama sempat koma beberapa hari akibat komplikasi melahirkan adikku itu. Beberapa hari ayah tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya menepuk-nepuk bahuku dan Marvin bergantian saat kami menangis karena menguping pembicaraan dokter perihal keadaan Mama yang semakin kritis. Mendengar kalimat meninggal membuat kami menangis sesenggukan. Saat itu Pap

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   11 | Kowe Tak Sayang-Sayang

    Yakin mau menikah?Pertanyaan itu membuatku menjenjangkan alis. Jujur, jika dari diriku sendiri, dengan lantang aku akan berkata;"BELUM SIAPLAH, ANJAY!''Aku belum siap masuk ke dalam permasalah rumah tangga terlebih jika calon suamiku menuntut untuk dilayani, dimasakkan, dicucikan baju atau simpelnya minta diurus semua kebutuhannya dari A-Z. Aku belum siap menikah jika ujung-ujungnya hanya dijadikan seorang pembantu ataupun mesin pencetak anak yang dianggap berguna jika bisa memenuhi kemauan memiliki cucu menggemaskan yang bisa pamerkan oleh mertua dan orang tuaku.Membayangkan jika nanti menikah aku harus hamil dan mempunyai anak. Terbangun di tengah malam hanya untuk menyusui sedangkan suamiku hanya tidur pura-pura tidak tahu apa-apa. Amit-amit deh!Lebih baik aku pergi Hogwarts saja jadi pembantu Voldemort atau tukang sapu asrama Ravenclaw, kegiatan itu lebih bermartabat dan men

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   12 | Niat Muji Gak, Nih?

    Aku diungsikan keluargaku saat keluarga Pak Haji hendak bertandang. Entah, rencana apa yang akan dilakukan oleh keluargaku untuk menolak perjodohan itu. Apa yang kira-kira reaksi keluatga Pak Haji jika tahu lamaran anaknya ditolak? Apakah mereka akan mendoakan yang baik-baik atau justru menyumpahi? Atau apa yang akan dikatakan Mama dan Papa. Jujur saja, aku penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi di rumah sekarang, tapi, sayangnya tidak bisa karena aku sedang bersama Tresna. Berdua saja dengan Tresna. Tresna yang mengemudi hanya diam saja semenjak keluar dari rumah. Ia terus memutari jalanan di sekitar area kampusku dahulu, Depok. Sudah setengah jam kami terjebak hening dan membuatku ingin bernyanyi, tiga puluh menit kita di sini, tanpa suara~ Serius, jika hanya diam seperti ini aku merasa canggung dan aneh. Di antara kami hanya ada suara lagu-lagu di radio yang memutar lagu-lagu dari band lokal era 2005 ke atas seper

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   13 | Anak Ayam Hilang

    Aku meneguk ludah, menyadari baru saja aku menyakiti perasaan Tresna. Ah, sialan. Kenapa aku harus peduli dengan perasaan dosen itu di saat ia sering mengolok diriku juga. Argh, ini menyebalkan! Aku benci menyalahkan diri sendiri. "Dia mantan kamu?" tanyaku hati-hati. Aku tidak mau menyakiti perasaan Tresna lagi dengan mengingatkannya pada gadis yang ia sukai itu. "Bukan, kita gak pernah pacaran," jawab Tresna. Aku mendadak pusing. Bukan pacar tapi mengapa sesedih itu ia melihat gadis itu menikah? Apa-apaan ini, huh? "Turun," titah Tresna membuyarkan pikiranku. Aku meneliti sekeliling lewat jendela mobil. Kami tiba di sebuah parkiran basement pusat perbelanjaan. "Ngapain kita kesini?" tanyaku menatap Tresna yang melepaskan sabuk pengamannya. Ia merotasikan kedua netranya saat melihatku. Kenapa? Aku k

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   14 | Kontraknya Ngajakin Ribut

    Tresna yang sedang bersandar di kursi mengerjap beberapa kali saat mendengar ungkapan terima kasihku. Setelahnya ia mengangguk sembari menggigit ujung sedotan milo kotaknya, "Yap, santai saja, itu hanya air mineral."Reaksinya tak berlebihan, meski potret dirinya yang tengah menggigit sedotan itu terlihat cute dan tengil dalam satu waktu. Hah, rugi banget sih cewek yang menolak pria ini. Iya, aku memikirkan gadis yang ditangisi Tresna di hari pernikahannya.Aku segera menghabiskan ayamku dan meneguk air yang dibawakan Tresna, kemudian cuci tangan dan siap untuk membaca kontrak yang telah ia siapkan.Pemuda itu terlihat sudah menyiapkan segalanya. Aku tidak ingat kapan ia membawa tas berisi laptop serta lembaran-lembaran kontrak yang tengah

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-31
  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   15 | Beneran Crazy Rich?

    Apa-apaan maksud Tresna?Perdebatan kami mengundang pandangan ingin tahu dari beberapa pengunjung restoran itu. Kebanyakan mereka senyum-senyum melihat interaksi diriku dan Tresna. Hah, aku dan Tresna pelawak ya memangnya? Apa aku dan Tresna terlihat seperti pemain Opera Van Java? Apa kami seperti Nunung dan Sule? Oh jelas tidak, aku dan Tresna tidak punya bakat melawak, kami lebih jago berdebat tidak jelas.Aku mendengus kesal melihat Tresna yang kini membuang muka ke sisi kanan. "Kenapa sih selalu bilang-bilang soal bibir! KAMU MESUM BANGET!!!" Tuh kan aku sampai nyemprot kalo ngomong.Tresna melotot dan mengingatkan diriku. "Jangan teriak-teriak, kamu gak malu didengerin orang, hah?" Dengusan terdengar dan ia mulai berlagak meremehkan orang lagi.Huh, sombong amat! "Saya tuh cuma ngomong dua kali, kamu kok nambah-nambahin!"Ah benar juga, Tresna memang baru du

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01

Bab terbaru

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   42 | Senjata Makan Tuan

    42 | Senjata Makan Tuan"Kamu tahu kan saya sangat kompetitif Meilavia?" kata Tresna. "Saya selalu menjadi nomer satu dalam hal apapun."Nomer satu dalam hal apapun? Haha aku ingin tertawa mendengar ucapan Tresna ini."Kalau kamu nomer satu, kamu pasti nikahnya sama mantamu itu dulu lah, gak mungkin sekarang bikin perjanjian istri kontrak sama aku," sindirku terang-terangan seraya merotasikan kedua bola mataku."KAMU YA!!!!" seru Tresna menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya. Jika ia tokoh dalam anime, kurasa di sekujur tubuhnya sudah ada bara api amarah yang membara dan di kepalanya tumbuh tanduk.Wajahnya seram tapi masih ganteng."Aku kenapa?" balasku tidak takut.Tresna menggerutu sendiri dan menurunkan tangannya dan berganti memegang pangkal hidungnya. "Ingat Tresna, dia dan semua saudara-saudaranya adalah titisan mony

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   41 | Games

    41 | Game Sekarang pikiranku dipenuhi dengan rencanaku selama menjadi istri kontrak Tresna yang tak banyak merepotkan sebenarnya —untuk sejauh ini. Entah nanti. Kadang aku takut sesuatu yang tenang ini akan membawa badai setelahnya. Mungkin sekarang masih santai ala-ala genre slice of life tapi detik selanjutnya bisa saja berubah menjadi romusha comedy. Ya kalian tidak salah membaca romusha comedy, perbudakan dan penjajahan oleh Tresna Kartadinata. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tresna saat nanti Marvin kembali ke Jakarta dan Alan kembali ke kostnya. Ah, sialan pikiranku mulai membuat skenario buruk. Seperti bisa saja Tresna diam-diam psikopat yang doyan memakan manusia. Atau jangan-jangan Tresna mengajakku menikah kontrak karena ingin menguasai harta keluargaku karena diam-diam aku anak kekuarga kon

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   40 | Mantan Dan Cara Move On!

    40 | Mantan Dan Cara Move On! "Panik kalau kamu kabur dan gak nerusin kontrak, kan gak lucu saya cerai setelah tiga bulan nikah."Ah, aku harus berhenti berharap memang.Sudah tahu tidak boleh berekspetasi lebih kepada manusia, kenapa masih saja aku menaruh harapan pada sosok Tresna."Aku gak bakal lari kok, bayaran dari kontrak ini kan gede. Ya kali aku ngelepas kesempatan lanjut S2 sama kabur dari negara ini," kataku setelah mengucapkan terima kasih ke pelayan yang mengantarkan nasi bebek kami.Tresna menatapku sesaat, "Kamu belum move on dari mantan kamu itu? Kenapa segitunya pengen ke luar negeri?"Aku yang mencocol daging bebek dengan sambal sontak memandang Tresna dengan wajah heran bercampur tak percaya.Bisa-bisanya ia bertanya seperti itu di saat ia yang berkali-kali menangis karena mantann

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   39 | Bos, Katanya....

    39 | Bos, Katanya...."Saya cari kamu kemana-mana."Aku refleks berdiri saking kagetnya melihat pria itu ada di depanku sekarang.Apakah benar dia Tresna? Bukan genderuwo atau Totoro yang menyamar menjadi suami pura-puraku itu?Napas Tresna sedikit tersengal, keringat menetes dari dahinya. Tresna terlihat lusuh seperti habis lari maraton.Hah? Tak mungkin ia mencariku sembari berlari-lari seperti orang gila kan? Tidak mungkin!Tolong cek apakah matahari terbit dari tenggara sekarang?"Saya pulang ke rumah tidak ada siapapun, pintunya terbuka," kata Tresna. "Saya cari kamu kemana-mana, di kamar, halaman belakang, bahkan sampai jalanan komplek!"Aku menahan napas, Tresna mengomeliku. Entah berapa kali ia mendesah dan berdecak kesal saat mengutarakan u

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   38 | Lelaki Semua Sama Saja!

    38 | Lelaki Semua Sama Saja!"Gimana mau minta maaf," kata Marvin dengan nada suara tengil. "Dia aja menghilang bak ditelan bumi.""Karma itu ada loh Mas Marvin," kata Alan. "Kalau Mbak Mei disakitin juga kayak yang lo lakuin gimana?"Aku mendengkus, melihat bagaimana Marvin memperlakukan mantannya membuatku menyadari satu hal.Perangai Marvin yang menjijikkan ini membuatmu mood-ku berantakan. Sikap Marvin kepada mantannya itu benar-benar mengingatkanku pada sikap Tresna.Jelas keduanya sama-sama lelaki, memikirkan bagaimana Tresna memperlakukan gadis itu dengan sangat kurang ajar membuatku sangat terusik.Bagaimana jika Alan benar?Bagaimana jika aku terkena karma dari perbuatannya pada gadis itu dulu?Jika kupikir-pikir, bukankah sekarang aku juga sedang direndahkan oleh Tresna. Ia mengajakku menikah kontrak di saat ia masih mencinta mantannya itu.Apakah perasaan gadis itu juga seperti yang sedang aku rasa

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   37 | MCR Dan Mantannya Marvin

    37 | MCR Dan Mantannya MarvinRumah Tresna yang damai sentosa seperti taman surga mendadak jadi riuh ramai bak suara hajatan anak wali kota yang menyewa sound system terbaik. Atau mungkin seperti gemuruh suara buruh yang berdemo meminta pembatalan UU Cipta Kerja.Kira-kira sudah dua puluh lagu kami nyanyikan ulang, sekarang Alan dan Marvin menyanyikan lagu dangdut yang entah aku tidak tahu judulnya apa. Mendung Tanpo Udan? Whatever!"Suara lo kayak kucing keinjek majikan, Mas. Cempreng banget," ejek Alan dengan wajah datar."Si paling bagus suaranya, coba deh lo nyanyi lagu dangdut, cengkoknya susah njir, sungkem gue sama Lesti Kejora!" kata Marvin menyerahkan microphone ke Alan."Gue emang gak bisa nyanyi dangdut makannya gak pilih dangdut," kata Alan menerima microphone dari Marvin. "Nih, lihat gue bakalan nyanyi di genre yang gue expert banget."

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   36 | Ayo Jadi Topeng Monyet!

    36 | Ayo Jadi Topeng Monyet!"Kalau gue tetap sampe sekarang sayangnya sama Nabila JKT48, Oshi-gue tetap doi!!! Gue setia ya, jangan ragukan cinta gue buat Nabila!!!"Aku menaikan satu alisku saat mendengar suara menggelegar Marvin, si raja lebay."Kembaran kamu aneh," kata Tresna saat menghentikan motor di garasi."Emang aneh, untung aja dia ganteng," sahutku seraya turun dari motornya."Masa sih ganteng? Wajah kayak kembaran kamu banyak di kampus saya," kata Tresna.Aku mendelik, bisa-bisanya Tresna meragukan ketampanan kembaranku dan menyebut wajah Marvin ada dimana-mana.Secara tak langsung Tresna juga mengatai wajahku pasaran jika menyebut wajah Marvin mudah ditemukan.Kurang ajar!"Kamu ngatain wajahku pasaran?"Tresna menatapku bingung, kedua bola matanya yang hitam kecoklatan menampakkan kilat wajahku yang kesal."Siapa yang ngatain wajah kamu pasaran?" tanya Tresna yang

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   35 | First Day

    35 | First Day"Mana si Tresna?" tanya Marvin celingukan. "Yang itu bukan, pakai sarung naik motor matic oranye?"Alan yang mengemudikan mobil, ikut melirik ke arah pandang Marvin sembari menyipit lantaran matanya minus."Gak mungkin dia Tresna, wajahnya ganteng gitu," kata Marvin lagi, kembaranku masih belum mau mengakui jika Tresna memiliki wajah ganteng.Ia masih denial dan menganggap bahwa dirinya yang paling ganteng satu alam semesta."Dia ganteng kok, Mas," kata Alan mengemudikan mobil kami mendekati motor matic oranye itu."Gak usah sok tahu ganteng atau enggak, lo itu minus, pendapat lo gak valid, Lan," gerutu Marvin. "Lihat nih gue Masmu yang very handsome.""Ganteng itu relatif sih sebenarnya, tinggal memakai standar negara mana, tapi kalau memakai standar live action anime," kata Alan mulai berargu

  • Jungkir Balik Nikah Kontrak   34 | Tiga Bersaudara

    Jadi begini rasanya meninggalkan rumah sendiri?Perasaanku sungguh campur aduk saat aku melihat rumah orang tuaku.Aku baru sadar tidak banyak yang berubah dari rumah ini selain cat dan beberapa perabotannya.Masa remajaku dan Marvin yang kami habiskan di rumah ini seolah baru terjadi kemarin.Jejak-jejak petualangan kami berdua seolah masih tersisa di setiap sudutnya.Kursi kayu di teras tentu menjadi saksi dimana Alan terjatuh nyungsep karena aku dan Marvin meributkan pertarungan Sasuke dan Naruto hingga tak menyadari bahwa Alan yang baru bisa berbicara itu merangkak naik ke kursi.Aku dan Marvin yang sedang berdebat tentang masa depan Konoha dan persahabatan Sasuke dan Naruto tentu tak memperhatikan.Konoha dan persahabatan Naruto Sasuke dalam di ujung tanduk.Barulah saat Alan yang hendak turun justru jatuh dan tertimpa kursi, aku dan Marvin baru tersadar bahwa kami harus menjaga Alan karena Mama sedang pergi ke warung.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status