Bab 12 B"Eh, Andra benar jadian sama Cindy, Nay?" tanya Mika."Nggak tahu. Bukan urusanku juga.""Yakin, bukan urusanmu, Nay?" Riyan mulai memancing kesalnya lagi membuat Nay siap-siap melempar tas selempangnya. Riyan berlari menjauh supaya tidak kena sasaran Nay.Satu jam berlalu, Nay tergesa memenuhi permintaan Bu Maya. Ia minta ditemani Cici ke sebuah mall besar di Bandung. Bu Maya meminta bantuan Nay untuk mengambil baju batik di butik ternama di dalam mall itu."Mi, nggak bisa ya antar kami dulu?" Nay mencoba merayu Mika. Jelas hanya Mika dan Riyan yang sudah menyambangi mall itu, sementara dirinya dan Cici belum pernah sekalipun. Nay yang berasal dari Solo saja belum pernah ke mall terbesar di Solo, meskipun sering naik dan turun dari Stasiun Balapan. Kalau ke pasar klewer justru Nay sering, karena membantu ibunya mengantar hasil jahitan ke juragan yang memasarkan di Pasar Klewer. Pasar tekstil terbesar di kotanya menjadi tujuan pencari tekstil dari daerah sekitar maupun luar
Bab 13"Sebentar, Ci. Kepalaku pusing sekali."Nay menundukkan kepalanya di pembatas. Dengan posisinya yang menunduk justru membuat air matanya lolos tanpa permisi. Punggungnya bergetar membuat Cici panik seketika."Nay, Nayla! Jangan membuatku takut!""Ada apa?! Kenapa kalian ada di sini?""Hah. Itu, Pak. Hmm, Nay, ada Pak Aryo."Posisi Nay yang memunggungi segera berbalik membuat kedua orang di depannya tercengang."Nay, kamu pucat sekali!" seru Pak Aryo.Cici segera membantu memapah Nay yang sedikit sempoyongan mengikuti langkah dosennya."Duduk di sini dulu!"Pak Aryo memesan minuman hangat di salah satu restoran yang ada di lantai yang sama, tak jauh dari mereka berdiri. Selain minuman, pesanan makanan juga datang. "Minum dulu!" Nay mengangguk patuh segera menyeruput teh panas yang diambilkan Cici. "Kamu kenapa sih, Nay? Bikin aku jantungan aja," ungkap Cici masih dengan wajah khawatir."Nggak tahu juga, Ci. Perutku tiba-tiba melilit, kepala pusing, dan keringat dingin di telap
Bab 13B"Kamu aslinya orang mana, Nay?""Solo, Pak.""Hah?! Yang bener?""Ishh, mesti Bapak nggak percaya.""Jelas. Biasa putri Solo kalem." Pak Aryo tergelak dengan ucapannya sendiri."Saya memang aslinya kalem, Pak." Nay berusaha membela diri."Nggak. Kalem apanya." "Terserah Pak Aryo!"Ada kesenangan tersendiri saat bisa membuat Nay kesal. Laki-laki berstatus masih single di usianya yang semakin dewasa itu merasakan ada sesuatu yang berbeda, ketika berdekatan dengan mahasiswinya yang spesial itu."Kamu dari tadi gusar gitu, Nay?""Hmm, Cici kenapa lama sih. Saya cuma nggak enak aja berada di sini sama Bapak. Takut ada yang melihat bisa-bisa tersebar gosip nggak jelas," jawab Nay."Kalau gosipnya beneran kamu mau?" Ucapan Pak Aryo membuat Nay tercengang."Hah, apa, Pak?! Maksudnya gimana?" Nay ingij memperjelas perkataan Pak Aryo."Sudahlah, kalau ga paham. Memangnya siapa yang mau melihat. Mereka pada ke mall untuk jalan-jalan atau membeli sesuatu, bukan menguntit orang, Nay." "T
Bab 13C"Bukannya Pak Aryo ada keperluan?" Nay masih berusaha menolak dengan halus tawaran dosennya."Nggak jadi. Oya, batik di Narita itu bagus-bagus lho. Seperti baju yang kamu pakai kemarin Nay, beli disana juga, Kan?""Eh, iya. Itu yang belikan tante saya kok, Pak.""Oya? Tante kamu ada yang tinggal di Bandung?""Tante saudara jauh, iya kan, Ci?" Cici hanya mengangguk mengikuti skenario konyol sahabatnya. Nay merasa repot sendiri, sekali menutupi kejujuran, ia harus berusaha menutupi yang lainnya. Ia spontan menepuk jidatnya.Sepanjang perjalanan naik mobil Pak Aryo, Nay menahan kesal karena Cici memaksanya duduk di kursi samping kemudi, menyebalkan. Jelas Pak Aryo tidak mau seperti sopir taksi kalau kedua mahasiswinya duduk di belakang. Akhirnya, Cici duduk di belakang sendiri sambil menahan senyum penuh arti.Setengah jam membelah jalanan yang macet, akhirnya mobil memasuki kompleks perumahan milik Bu Maya."Pak, kami turun di sini saja! Itu rumah tante saya di depan." Nay turun
Bab 14"Paper bagnya tolong antar ke kamar di samping TV ya Mbak Nay. Ada ponakan saya di sana.""Siap, Bu."Sementara Cici membantu Bu Maya, Nay menuju kamar yang dimaksud, lalu mengetuk pintunya. Bu Maya bilang kalau ponakannya laki-laki, tetapi Nay bingung memanggilnya apa, karena tidak tanya namanya. Ia berinisiatif mengetuk pintu. Panggilan pertama tidak ada jawaban, Nay mengulangnya."Mas. Saya mengantar barang Bu Maya." "Ya, sebentar." Terdengar kaki melangkah, Nay masih setia berdiri di depan pintu."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Terilhat satpam rumah mendekati Nayla yang tengah membawa paper bag di tangannya. Merasa menunggu agak lama pintu belum juga dibuka, Nay memutuskan kembali membantu Bu Maya. Ia menitipkan barang tadi ke satpam."Sudah ketemu ponakan saya, Mbak Nay? Ganteng kan? Masih single lho, padahal sudah pantes berkeluarga. Tapi...." Nayla hanya mengulas senyum, lalu saling pandang dengan Cici yang menahan tawanya."Tapi kenapa, Bu?" Justru Cici yang antusias in
Bab 15"Kira-kira jodohku nanti siapa ya, Ci? Teman kuliah, polisi, dokter, atau....hiks tukang parkir?" celetuk Nay setengah bercanda."Ishh, berprasangka yang baik, Nay. Ucapan adalah doa.""Astaghfirullah. Iya ya, Ci. Apa aku juga boleh berharap bisa mendapat pasangan yang sholeh, cerdas, dan kaya ya Ci?" Nay bertanya seraya terkekeh pelan, menertawakan diri sendiri sepertinya konyol pertanyaannya."Tidak mustahil kata Oma tadi, Nay. Tidak mustahil bagi Allah menentukan takdir untuk kita. Tapi ingat kita juga harus berusaha.""Hmm, ustadzah Cici, nih," celetuk Nay."Apaan, aku cuma niru kata Oma. Tuh dengerin lagi, jangan berisik!" Nay mencubit lengan Cici hingga mengaduh tertahan, tak mungkin menjerit. Bisa-bisa jeritannya menjadi pusat perhatian.Mereka kembali fokus mendengarkan lagi tausiyah Oma Icha.Sebelum memasuki jenjang pernikahan, ada proses yang akan dilalui. Pemilihan jodoh, khitbah, keberlangsungannya hingga ke akad pernikahan, pemahaman hak dan kewajiban, serta tahap
"Itu tantemu?" Nay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sudah kepalang basah ketahuan berbohong."Maaf." Hanya satu kata yang mewakili wajah bersalahnya. Nay segera duduk di kursi di samping dosennya."Kenapa harus berbohong?" "Hah?! Nayla tertunduk malu dengan ulahnya sendiri.Sepuluh menit terasa lama, Nayla menarik napas lalu menghembuskan kasar. Ia mengaku sudah bersalah karena berbohong pada laki-laki yang tengah cuek memainkan ponsel."Pak Aryo."Laki-laki itu hanya berdehem. Nayla berniat mengulang panggilannya. Namun, deheman kembali yang terdengar hingga membuat perasaannya dongkol."Pak!" Sedikit menaikkan suaranya, Nay memanggil dosennya dengan raut wajah kesal karena dicuekin."Kemejanya saya kembalikan kalau sudah di cuci. Lusa semoga sudah beres." Nay mencoba mengalihkan topik. Ia masih gengsi untuk mengakui kebohongannya."Ya." Aryo mengulas senyum, hanya jawaban singkat yang terlontar dari mulutnya."Ishh menyebalkan," guman Nay seeaya beranjak dari duduknya."Ma
Bab 16B"Saya ingin mengenalmu lebih jauh." Nay tersentak, beruntung minuman jahe yang baru mau diseruput tidak membuatnya tersedak."Maksud Pak Aryo apa?" Nay terbata menjawab tanya dari laki-laki dewasa yang duduk di sampingnya memainkan gelas setelah menyesap susu jahe."Apa orang ini sedang melamarku? Ckk, konyol sekali, melamar di warung bubur. Duh, mau ditaruh mana mukaku." Nay mengernyitkan dahinya. Sesekali melirik pelayan yang juga berprofesi sebagai mahasiswa part time di kampusnya. Nay jelas kenal dengan pelayan di warung borjo langganannya kalau malam dilanda kelaparan."Saya mau menjalin hubungan serius denganmu, bukan pacaran." Lidah Nayla menjadi kelu. Pikirannya kalut mendadak ditembak dosennya, di warung burjo lagi. Nay hanya bergeming, tapi jantungnya berdesir. Ia takut memberi jawaban yang salah. Bagaimanapun Nay takut kecewa, juga mengecewakan."Pikirkan saja dulu, jangan dijawab sekarang! Ayo balik, sudah malam nggak enak ngobrol di sini.""Lha itu tahu, kenapa ng