Bab 13B"Kamu aslinya orang mana, Nay?""Solo, Pak.""Hah?! Yang bener?""Ishh, mesti Bapak nggak percaya.""Jelas. Biasa putri Solo kalem." Pak Aryo tergelak dengan ucapannya sendiri."Saya memang aslinya kalem, Pak." Nay berusaha membela diri."Nggak. Kalem apanya." "Terserah Pak Aryo!"Ada kesenangan tersendiri saat bisa membuat Nay kesal. Laki-laki berstatus masih single di usianya yang semakin dewasa itu merasakan ada sesuatu yang berbeda, ketika berdekatan dengan mahasiswinya yang spesial itu."Kamu dari tadi gusar gitu, Nay?""Hmm, Cici kenapa lama sih. Saya cuma nggak enak aja berada di sini sama Bapak. Takut ada yang melihat bisa-bisa tersebar gosip nggak jelas," jawab Nay."Kalau gosipnya beneran kamu mau?" Ucapan Pak Aryo membuat Nay tercengang."Hah, apa, Pak?! Maksudnya gimana?" Nay ingij memperjelas perkataan Pak Aryo."Sudahlah, kalau ga paham. Memangnya siapa yang mau melihat. Mereka pada ke mall untuk jalan-jalan atau membeli sesuatu, bukan menguntit orang, Nay." "T
Bab 13C"Bukannya Pak Aryo ada keperluan?" Nay masih berusaha menolak dengan halus tawaran dosennya."Nggak jadi. Oya, batik di Narita itu bagus-bagus lho. Seperti baju yang kamu pakai kemarin Nay, beli disana juga, Kan?""Eh, iya. Itu yang belikan tante saya kok, Pak.""Oya? Tante kamu ada yang tinggal di Bandung?""Tante saudara jauh, iya kan, Ci?" Cici hanya mengangguk mengikuti skenario konyol sahabatnya. Nay merasa repot sendiri, sekali menutupi kejujuran, ia harus berusaha menutupi yang lainnya. Ia spontan menepuk jidatnya.Sepanjang perjalanan naik mobil Pak Aryo, Nay menahan kesal karena Cici memaksanya duduk di kursi samping kemudi, menyebalkan. Jelas Pak Aryo tidak mau seperti sopir taksi kalau kedua mahasiswinya duduk di belakang. Akhirnya, Cici duduk di belakang sendiri sambil menahan senyum penuh arti.Setengah jam membelah jalanan yang macet, akhirnya mobil memasuki kompleks perumahan milik Bu Maya."Pak, kami turun di sini saja! Itu rumah tante saya di depan." Nay turun
Bab 14"Paper bagnya tolong antar ke kamar di samping TV ya Mbak Nay. Ada ponakan saya di sana.""Siap, Bu."Sementara Cici membantu Bu Maya, Nay menuju kamar yang dimaksud, lalu mengetuk pintunya. Bu Maya bilang kalau ponakannya laki-laki, tetapi Nay bingung memanggilnya apa, karena tidak tanya namanya. Ia berinisiatif mengetuk pintu. Panggilan pertama tidak ada jawaban, Nay mengulangnya."Mas. Saya mengantar barang Bu Maya." "Ya, sebentar." Terdengar kaki melangkah, Nay masih setia berdiri di depan pintu."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Terilhat satpam rumah mendekati Nayla yang tengah membawa paper bag di tangannya. Merasa menunggu agak lama pintu belum juga dibuka, Nay memutuskan kembali membantu Bu Maya. Ia menitipkan barang tadi ke satpam."Sudah ketemu ponakan saya, Mbak Nay? Ganteng kan? Masih single lho, padahal sudah pantes berkeluarga. Tapi...." Nayla hanya mengulas senyum, lalu saling pandang dengan Cici yang menahan tawanya."Tapi kenapa, Bu?" Justru Cici yang antusias in
Bab 15"Kira-kira jodohku nanti siapa ya, Ci? Teman kuliah, polisi, dokter, atau....hiks tukang parkir?" celetuk Nay setengah bercanda."Ishh, berprasangka yang baik, Nay. Ucapan adalah doa.""Astaghfirullah. Iya ya, Ci. Apa aku juga boleh berharap bisa mendapat pasangan yang sholeh, cerdas, dan kaya ya Ci?" Nay bertanya seraya terkekeh pelan, menertawakan diri sendiri sepertinya konyol pertanyaannya."Tidak mustahil kata Oma tadi, Nay. Tidak mustahil bagi Allah menentukan takdir untuk kita. Tapi ingat kita juga harus berusaha.""Hmm, ustadzah Cici, nih," celetuk Nay."Apaan, aku cuma niru kata Oma. Tuh dengerin lagi, jangan berisik!" Nay mencubit lengan Cici hingga mengaduh tertahan, tak mungkin menjerit. Bisa-bisa jeritannya menjadi pusat perhatian.Mereka kembali fokus mendengarkan lagi tausiyah Oma Icha.Sebelum memasuki jenjang pernikahan, ada proses yang akan dilalui. Pemilihan jodoh, khitbah, keberlangsungannya hingga ke akad pernikahan, pemahaman hak dan kewajiban, serta tahap
"Itu tantemu?" Nay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sudah kepalang basah ketahuan berbohong."Maaf." Hanya satu kata yang mewakili wajah bersalahnya. Nay segera duduk di kursi di samping dosennya."Kenapa harus berbohong?" "Hah?! Nayla tertunduk malu dengan ulahnya sendiri.Sepuluh menit terasa lama, Nayla menarik napas lalu menghembuskan kasar. Ia mengaku sudah bersalah karena berbohong pada laki-laki yang tengah cuek memainkan ponsel."Pak Aryo."Laki-laki itu hanya berdehem. Nayla berniat mengulang panggilannya. Namun, deheman kembali yang terdengar hingga membuat perasaannya dongkol."Pak!" Sedikit menaikkan suaranya, Nay memanggil dosennya dengan raut wajah kesal karena dicuekin."Kemejanya saya kembalikan kalau sudah di cuci. Lusa semoga sudah beres." Nay mencoba mengalihkan topik. Ia masih gengsi untuk mengakui kebohongannya."Ya." Aryo mengulas senyum, hanya jawaban singkat yang terlontar dari mulutnya."Ishh menyebalkan," guman Nay seeaya beranjak dari duduknya."Ma
Bab 16B"Saya ingin mengenalmu lebih jauh." Nay tersentak, beruntung minuman jahe yang baru mau diseruput tidak membuatnya tersedak."Maksud Pak Aryo apa?" Nay terbata menjawab tanya dari laki-laki dewasa yang duduk di sampingnya memainkan gelas setelah menyesap susu jahe."Apa orang ini sedang melamarku? Ckk, konyol sekali, melamar di warung bubur. Duh, mau ditaruh mana mukaku." Nay mengernyitkan dahinya. Sesekali melirik pelayan yang juga berprofesi sebagai mahasiswa part time di kampusnya. Nay jelas kenal dengan pelayan di warung borjo langganannya kalau malam dilanda kelaparan."Saya mau menjalin hubungan serius denganmu, bukan pacaran." Lidah Nayla menjadi kelu. Pikirannya kalut mendadak ditembak dosennya, di warung burjo lagi. Nay hanya bergeming, tapi jantungnya berdesir. Ia takut memberi jawaban yang salah. Bagaimanapun Nay takut kecewa, juga mengecewakan."Pikirkan saja dulu, jangan dijawab sekarang! Ayo balik, sudah malam nggak enak ngobrol di sini.""Lha itu tahu, kenapa ng
Bab 17Nayla teringat janjinya kalau Andra sudah membantunya belajar dan memberinya info murid untuk di privat, ia ingin memberinya hadiah kecil. Ia sedang berpikir hadiah apa yang cocok untuk diberikan. Sekilas teringat kemeja Pak Aryo. Terlintas ide memberikan kemeja saja untuk Andra. Namun ada keraguan apa Andra mau menerima pemberiannya. Terlebih sudah ada Cindy di sampingnya sekarang. "Tidak apa-apalah, setidaknya memberi kenang-kenangan sebagai rasa terima kasih." Nayla meyakinkan dirinya. Dia mengambil ponselnya untuk mengirim pesan.[assalamu'alaikum. Mas Andra apa kabar? Lagi dimana nih?][wa'alaikumsalam. Kabar sehat Nay, semoga kamu juga. Lagi di kos barusan pulang tadi.][aku mau ngasih sesuatu karena mas sudah bantu aku belajar dan memberi murid untuk di privat.][nggak usah repot repot Nay, saya mbantu kamu ikhlas kok.][enggak repot mas, anggap aja sebagai kenang kenangan.][kalau kamu maksa. Hadiahnya kamu berikan buat Cindy aja.]Deg, membaca pesan yang barusan dik
Bab 18Sampai di kampus, Nayla menuju taman dekat kantin yang ada tempat duduk dan meja permanen biasa dipakai mahasiswa untuk duduk santai atau mengerjakan tugas. Di sana sudah ada Riyan, dan Mika serta dua mahasiswi satu kelas Nayla. Ternyata mereka sedang membahas tugas kelompok untuk mata kuliah kewirausahaan. Kebetulan Nayla tidak satu kelompok sama mereka."Assalamu'alaikum. Wah asyik sekali diskusinya." Nay menyapa teman-temannya dengan senyum khas dan wajah yang selalu ceria disaat bahagia ataupun sedih. Yang membedakan kali ini, pakaiannya lebih banyak model tunik. Ia menerima pemberian Bu Maya lagi, karena baju-baju putrinya masih tergolong bagus, bahkan ada yang masih baru."Wa'alaikumsalam." Mereka menjawab dengan kompak.Nayla mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi kosong sambil meletakkan tas punggungnya di meja depannya dan paper bag berisi kemeja ditaruh di atas tasnya."Kalau begitu, nanti siang kita lanjut lagi ya diskusinya," kata Rita."Iya nih, aku sama Rita m
Bab 63C "Terima kasih, Sayang. Sudah bersedia mendampingiku, menjadi ibu dari anak-anakku." Aryo mengecup puncak kepala Nay yang tertutup pasmina hingga membuat hati Nayla mengembang. "Terima kasih juga, Mas." Lima bulan kemudian. Nay mengenakan baju toga untuk menghadiri wisuda sarajananya. Perutnya sudah terlihat membuncit karena HPL tinggal beberapa haru lagi. Suami dan keluarganya mendampingi acara wisudanya. Pun teman-temannya bersiap dengan buket bunga ditangan mereka. "Selamat dan sukses atas wisudanya, Nay," ucap ketiga sahabatnya. Menyusul juga ucapan selamat dari orang tua dan keluarga Aryo. "Selamat ya, Sayang. Maafkan mama! Kamu memang pantas menjadi pendamping Aryo. Jaga putraku ya, Sayang. Sebagai orang tuanya, mama memang kurang memberinya kasih sayang." "Tidak, Ma. Mama selalu menyayangi Mas Aryo meski jauh di negeri orang. Nay dan Mas Aryo selalu merindukan mama dan papa." Nay mencium pipi mertuanya lalu teringat ibunya. Wanita yang sudah mengandung dan melah
Bab 63B"Mereka kan mau menghadiri acara ini, Mas.""Apa?! Sebenarnya ini acara apa sih, Nay?" Aryo bergantian menatap Nay juga keluarganya yang tak ada angin tak ada hujan muncul di rumah istrinya."Hai, Aryo! Oma mau nengok calon buyut tahu, nggak? Kamu tuh malah bengong."Aryo kembali terkesiap. Merasa di prank, Aryo mendekati keluarganya. "Mama, papa, kapan pulangnya? Tante juga katanya nganter oma ke luar kota.""Kamu tuh, Yo. Sama istri mbok ya dijagain yang baik. Untung calon bayinya nggak kenapa-napa. Bisa-bisa kamu tak jewer sini.""Ampun, Oma." "Iya, ini tante sama orang tuamu nganter oma ke luar kota buat mengisi tausiyah, Yo," pungkas tante Maya. Aryo masih terbengong.Semua yang hadir melihat tingkah keluarga Aryo akhirnya tertawa, ada juga yang menahan senyum, seperti Nayla yang saling pandang dengan Andra. Semua itu skenario Andra untuk mengerjai Aryo. Andra tidak mau Nay disakiti oleh suaminya. Saat di Daejeon, dokter mengatakan Nay hampir keguguran karena tindakan
Bab 63A"Nay, ini tanda kasihku untukmu." Nay tertegun melihat apa yang dibawa suaminya.Aryo membuka kotak kecil berlapis beludru. Ia mengeluarkan benda yang terpasang cantik di tempatnya. Sebuah kalung pertanda kasih sayangnya untuk sang istri tercinta. Ada liontin bunga matahari di kalung itu. Aryo berharap mentari akan selalu bersinar menerangi langkah mereka mengarungi biduk rumah tangga.Bukan tidak mungkin akan datang kerikil yang menghadang. Sebisa mungkin mereka saling menggenggam tangan untuk melalui jalan yang harus ditempuh. Apa yang menjadi tujuannya menggapai keluarga yang samawa (sakinah, mawaddah, warahmah).Aryo memakaikan kalung dengan liontin matahari ke leher Nayla. Pasmina Nay angkat hingga kalung itu terpasang sempurna di lehernya. Aryo mengecup kepala Nay dari belakang. Rasa yang membuncah mengisi rongga dada keduanya. Senyum manis pun terukir di wajah masing-masing, hingga sepasang lengan kekar Aryo melingkar di perut Nayla. Tatapan hangat di wajah Aryo terli
Bab 62B"Sudah saya bilang Pak Aryo jangan menyakitinya. Dua kali Bapak sakiti Nay, maka...""No, big No, Ndra. Saya harus bicara sama Nayla. Pokoknya kamu nggak boleh melamar sebelum hubungan kami jelas, oke!" Andra hanya mengedikkan bahu, dalam hati tertawa penuh kemenangan.Aryo meninggalkan Andra membereskan tempat yang akan dipakai untuk acara. Entah acara apa sebenarnya Aryo tidaklah tahu. Ia mendekati Pak Rusdi, meminta maaf atas kesalahannya karena membuat Nay sakit hati.Aryo juga bercerita tentang kesalah pahamannya dengan Nay yang melihat dirinya bersama Tika. Waktu itu Tika ingin berpamitan yang terakhir karena mau tinggal di luar negeri. Pak Rusdi yang sudah tahu duduk perkaranya langsung menyilakan Aryo masuk dan duduk di ruang tamu. Bu Ranti terkejut melihat kedatangan tiba-tiba menantunya. Gegas wanita paruh baya itu membuatkan minuman dan menyuguhkan cemilan."Nay baru selesai mandi, Nak. Tunggulah sebentar. Tolong sabar ya Nak Aryo, menghadapi Nay yang anak tunggal
Bab 62AAryo berjalan tergopoh menuju rumah Nay. Mendengar obrolan tetangga Nay tentang acara syukuran membuat hatinya berkecamuk. Menyesakkan."Apa maunya Nayla? Apa dia benar-benar menginginkan perpisahan?" Aryo mendengkus kesal seraya kakinya menendang kerikil di jalan.Sementara itu,di kamar, Nayla merapikan penampilannya di depan cermin. Ingatannya terlempar saat tidur siang di kos Cika. Bisa-bisanya ia mimpi buruk."Nay, maaf. Aku tidak tega membuat Tika sedih," ungkap Aryo membuat Nay mencelos."Lalu?" Tatapan nyalang Nay tujukan pada suaminya. Napasnya memburu menanti perkataan selanjutnya dari sang suami."Ada yang ingin aku katakan padamu. Mama memintaku menikahinya. Tika bersedia menjadi istri kedua.""Untung hanya mimpi. Kalau beneran, aku nggak yakin bisa menerima kabar itu."Nay menghela napas panjang, seulas senyum tersungging di bibir bergincu pinknya. Kedua tangan mengusap perutnya lembut. Sebuah ketukan pintu megusik kegiatan asyiknya di depan cermin."Masuk!" Nay me
BAB 61B"Astaghfirullah. Aryo kenapa?""Aryo bersalah, Oma. Aryo sudah menyakiti hati Nayla. Dia pergi karena Aryo yang nggak sabaran. Saat di Daejeon Aryo menyakitinya fisik juga batin. Lagi-lagi pulangnya pun Aryo menambah lukanya kembali menganga."Oma dan Tante Maya tertegun melihat pengakuan Aryo. Keduanya menasehati Aryo supaya lebih sabar menghadapi masalah. Yang telah berlalu biarlah berlalu, jangan terulang lagi kesalahan yang sama. Manusia tidak ada yang sempurna. Memilih pasangan bukan untuk mencari yang sempurna tetapi yang bisa saling melengkapi hingga mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Rabbnya."Makasih, Oma, tante. Aryo mau bernagkat dulu ke Solo.""Apapun yang terjadi jadikan ini belajaran berharga untukmu dan Nayla, Yo. Oma tidak berharap kalian berpisah. Tetapi kalau mengharuskan kalian berpisah, kamu harus mengikhlaskannya.""Oma, Aryo tidak akan membiarkan Nay pergi. Oma dan tante doakan hubungan kami membaik!" pinta Aryo dengan penuh permohonan."
Bab 61ASehari tinggal di kos Cika, Nay akhirnya pulang ke Solo. Ia bertemu bapak ibunya, melepas rindu yang bersemayam di dada. Tangis haru nan bahagia mengiringi pertemuan keluarga sederhana itu."Kamu kurusan, Nay. Makan yang banyak, Nak!" Nay meraup wajahnya kasar. Sejatinya bukan hanya rindu yang ingin tersampaikan. Lebih tepatnya, Nay ingin mendapatkan pelukan. Support yang menguatkan hatinya karena masalah rumah tangga sedang menghampiri."Yang penting sehat kan, bu. Nanti Nay makan yang banyak soalnya kangen masakan ibu. Di sana makannya aneh-aneh," terang Nay dengan kelakarnya membuat orang tuanya tergelak.Pak Rusdi dan Bu Ranti tidak menyadari putrinya sedang dilanda masalah. Nay memang pandai menyembunyikan kesedihannya. Ia sibuk membantu ibunya membereskan jahitan seperti biasa."Pak, Bu. Ini ada sedikit rejeki, Nay ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan karena sudah diberi kesehatan saat belajar di negeri orang. Juga Nay selamat sampai pulang ke rumah.""Tapi suamimu a
Bab 60B"Sebenarna ada apa sih, Nay? Pasti kamu dan suamimu lagi berantem, ya?"Nay tidak menjawab justru tergugu seraya memeluk guling di atas kasur Cika. Sahabatnya segera mengambilkan segelas air untuk diminum supaya Nay lebih tenang.Setelah Nay terlihat tenang, Cika mulai menanyakan dengan hati-hati. Ia tidak mau Nay menangis lagi."Kalau sudah bisa cerita, aku siap ndengerin, Nay," ujar Cika."Aku tadi sudah sampai rumah. Tapi..." Nay menjeda kalimatnya seolah ada duri yang menancap di tenggorokan. Ia susah payah mengatakannya. Menarik napas panjang, Nay merasakan tepukan halus di punggungnya"Ada Mbak Tika di sana." "Hah, Bu Tika? Dosen fakultas yang baru?" Cika memasang raut keheranan kenaoa Tika bisa pagi-pagi di rumah Aryo."Kamu ingat, kan? Mbak Tika itu wanita yang dijodohkan sama Pak Aryo."Cika mendengarkan dengan sabar cerita Nayla."Tapi kamu jangan berpikiran buruk dulu, Nay. Tenanglah, kamu harus berpikir dengan kepala dingin biar nggak runyam masalahnya."Nay menga
Bab 60A EgoisNayla masih tergugu di dalam taksi yang membawanya memutari kota Bandung. Sedari tadi sopir menanyakan kemana tujuan, tetapi Nayla tidak menjawab. Sekutar satu jam, Nay baru sadar saat perutnya berdendang. Ia teringat telah melewatkan sarapan."Astagfirullah, sampai mana ini, Pak?!" pekiknya seraya menoleh ke kanan dan ke kiri. Sopir segera menepi dan menghentikan laju taksinya."Kita sudah memutari kota Bandung. Mbak mau ke mana lagi?" jawabnya seakan ingin protes tapi penumpang adalah raja. Sopir hanya memberikan pelayanan terbaiknya."Maaf, Pak. Tunggu sebentar, saya telpon teman dulu," pinta Nay. Ia mencari nomer kontak Cika."Halo, Ci. Kamu di kos atau kampus? Aku udah di Bandung.""Nay, kapan pulang?!" Nay menjauhkan ponselnya karena suara teriakan Cika dari seberang mengusi telinganya."Aku di kampus. Bentar lagi balik kos. Hanya ada kuliah pagi saja. Mika sama Ryan baru ke ruang dosen, nih. Kita ketemuan di kosku aja ya!""Ya, Ci. Tapi tolong kalau ketemu Pak Ary