Alexander pergi ke Hongkong untuk meninjau proyek yang ada di sana. Selesai dengan proyek di negara pearl of orient itu, dia langsung terbang ke China untuk proyek yang lain."Bagaimana progres pembangunan resort di sana?" tanya Alexander sembari melihat Adrian dari kaca spion. Dengan kakinya yang menyilang, lelaki itu tengah membaca majalah bisnis.Adrian memutar tubuhnya. Menatap Alexander sebelum menjawab. "Sudah hampir rampung, Tuan Muda. Kemungkinan hanya kurang dua puluh persen lagi."Alexander mengangguk-angguk. Lantas kembali pada majalah yang ada di pangkuannya. Menghabiskan waktunya dalam perjalanan untuk membaca.Lalu ketika sampai di Shanghai, beberapa orang sudah menunggu di sana. Termasuk bodyguard yang dengan sigap membukakan pintu untuk Alexander saat mobilnya benar-benar berhenti.Dengan kaca mata hitam, Alexander keluar dari mobil. Sebuah payung hitam sudah disiapkan untuk melindunginya dari sengatan terik matahari.Alexander berjalan ke area resort dengan pemandanga
"Alex, maaf tidak mengangkat teleponmu. Tadi aku pergi jalan-jalan dengan Zzar." Setelah melihat panggilan tidak terjawab dari Alexander, Arandra langsung menghubungi lelaki itu setelah sampai di rumah.["Hm. Menyenangkan acara jalan-jalannya?"] tanyanya. Arandra tidak menyadari ada nada menyindir dari pertanyaan Alexander."Menyenangkan." Arandra mengangguk senang. "Tadi aku juga pergi ke taman. Taman yang ada didekat mansion? Apa kau tahu? Di sana sangat indah. Kita harus pergi ke sana bersama-sama lain kali." Arandra dengan semangat menceritakan apa saja dilakukannya di taman itu, pemandangan apa saja yang ada di sana, bercerita tentang anjingnya yang sempat hilang."Aku mencarinya ke mana-mana. Tapi tidak menemukannya," kata Arandra dengan nada sedih dan wajah ditekuk. Tapi kemudian berubah ceria dengan cepat ketika akan melanjutkan kalimatnya. "Tapi kemudian seseorang menemukannya. Jadi Zzar tidak jadi hilang."["Iya?"] Alexander membalas sin
Selama ini Arandra tidak pernah ingat kapan pernah menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya–berbincang membicarakan banyak hal. Sehingga ketika duduk bersama seperti ini dengan ibunya Anggy, ayahnya Arthur, dan Alexander di gazebo taman mansion–ditemani cangkir-cangkir teh dan berbagai macam kudapan yang tersaji di depan mereka–membuatnya merasa cukup senang. Apalagi dengan semilir angin sore yang menghangatkan tubuh–Arandra sangat bersemangat.Arandra mengangguk-angguk mendengar cerita Ibunya. Lalu menoleh pada Ayahnya ketika lelaki itu memberikan tanggapan. Arandra mendengarkan dengan baik. Sementara Alexander hanya menikmati tehnya yang masih hangat."Ibu sangat tidak suka padanya. Dia suka sekali menyombongkan diri." Cerita Anggy masih berlanjut. Arandra tetap setia mendengar di saat Arthur dan Alexander sepertinya sudah mulai bosan mendengarnya. "Kau tahu putri perdana menteri kan?"Arandra mengangguk. Dia sebenarnya tidak tahu siapa yang sedang Ibunya bicarakan, sepertinya
Alexander melempar handuk yang dia gunakan untuk mengeringkan rambut Arandra ke sofa tanpa sandaran di kaki ranjang. Lalu mengambil sisir.enyisir rambut panjang Arandra di saat Arandra sendiri belum berpakaian. Masih mengenakan jubah mandinya."Alex, aku ingin memotong rambut seperti itu," ucap Arandra dengan tangan menunjuk ke arah televisi yang menyala. Menampilkan berita tentang putri dari raja Spanyol yang akan memasuki pelatihan militer. Melihatnya, membuat Arandra teringat begitu saja pada ayahnya. Arandra pernah tanpa sengaja mendengar, jika Arthur ingin memiliki seorang anak laki-laki, dan memiliki cita-cita untuk memasukkan anaknya itu ke akademi militer. Tapi yang lahir malah Arandra. Arandra ingin mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Sayangnya dia yang memiliki tubuh lemah–membuatnya tidak bisa menjadi apa yang diinginkan ayahnya. Arandra bisa langsung sakit hanya karena bekerja sedikit. Dia tidak tahan dengan dingin, tidak tahan panas.
Pintu terbuka. Alexander memasuki ruang meeting–diikuti Elena yang berjalan dua langkah di belakangnya. Alexander duduk di kursinya tanpa berkata apapun. Hanya memberi isyarat pada Reigan Aditama–kontraktor ternama asal Indonesia itu untuk memulai. "Seperti permintaan Anda sebelumnya. Ruangan rumah ini didesain untuk menciptakan suasana privasi bagi penghuninya. Rumah kaca ini akan mengusung sambungan luar ruangan melalui penggunaan area kaca dan dek yang luas...Reigan terus menjelaskan rencana proyek pembangunan rumah kaca di Abisko yang dibebankan kepadanya. Alexander menyentuh layar tab di depannya. Melihat sendiri kerangka rumah kaca yang tengah dijelaskan."Bangunan ini nantinya akan menggunakan beton, baja, dan kaca. Kemudian yang istimewa adalah, sistem ventilasi di rumah kaca ini akan didesain sedemikian rupa sehingga jika suhu di sekitarnya membuat udara memanas, sirkulasi udara dari ventilasi yang akan membuatnya dingin. Sebaliknya, jika penghuninya membutuhkan kehangatan
"Terima kasih, Andrew."Arandra membuka pintu mobil. Keluar setelah mengucapkan terima kasih pada Andrew yang telah mengantarnya sampai ke rumah–meski awalnya dia menolak diantar."Kau yakin bisa berjalan?" tanya Andrew dengan nada tidak yakin. Lelaki itu ikut keluar dari mobil–tidak langsung pergi.Arandra mengangguk. Tetapi baru berjalan satu langkah, wanita itu sudah meringis. Pergelangan kakinya terasa sakit sekali. Arandra menahannya–mencoba memaksanya tetap berjalan.Melihat itu, Andrew merasa geram sendiri. Dia berjalan cepat ke arah Arandra. Sama seperti sebelumnya, dia menggendong Arandra tanpa pemberitahuan. Membuat Arandra yang terkejut dengan refleks melingkarkan tangan ke leher Andrew."Aku bisa berjalan sendiri. Turunkan aku," pinta Arandra tergesa. Dia tidak ingin Alexander marah karena ini. Arandra sudah berkata padanya jika dia tidak akan dekat-dekat dengan Andrew. Dia akan merasa bersalah jika Alexander melihatnya dan Andrew.Alexander memang masih berada di kantor s
Alexander tahu tidak seharusnya dia merasa kesal. Tanpa Arandra mencoba menjelaskan, dia sudah tahu apa yang terjadi. Tapi di saat bodyguardnya terus mengirimkan foto Arandra dan Andrew yang sedang bersama, perasaannya menjadi tidak karuan.Seharusnya Arandra meneleponnya. Alexander akan menjemputnya di manapun dia berada. Alexander juga bisa menggendongnya jika memang dia tidak bisa berjalan. Sayangnya Arandra tidak berusaha mengandalkannya. Tapi membiarkan Andrew melakukannya.Alexander merasa kesal. Dia merasa marah dan cemburu. Tapi Arandra seolah sama sekali tidak mempedulikan perasaannya. Alexander diam karena dia berusaha menahan emosinya. Dia tidak ingin menyakiti Arandra dengan kata-katanya yang menyakitkan. Tapi Arandra malah menyulut emosinya. Dia membandingkannya dengan Axelino. Alexander selalu berusaha memperlakukannya dengan baik. Alexander berusaha memberikan semua kasih sayang yang dia miliki. Tapi Arandra tidak peduli. Semua yang dia lakukan seolah tidak lebih baik
Seorang dokter keluar dari kamar setelah memeriksa Arandra. Setelah itu Alexander masuk tidak lama kemudian. Menghampiri istrinya yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Alexander memanggil dokter untuk memastikan saja Arandra baik-baik saja.Alexander duduk di samping Arandra. Telapak tangannya dia letakkan di pipi Arandra. Jemarinya mengusapnya dengan lembut, sekaligus memeriksa suhu tubuhnya. "Tadi dokter juga memeriksa kakiku," kata Arandra.Memberikan tanggapan, Ale kemudian bertanya. "Lalu apa katanya?"Bibir bawah Arandra sedikit dimajukan. Dia menatap Alexander dengan mata mengedip lambat. Menampakkan wajah sedihnya sebelum berkata-kata. "Kakiku sakit sekali. Seperti mau putus," ucapnya. "Kata dokter, aku butuh seseorang untuk membantuku berjalan mulai sekarang."Hidung Alexander berkerut. Bola matanya mengarah ke kaki Arandra yang diluruskan. "Bahkan untuk turun dari ranjang," lanjut Arandra. Tapi tidak ada respon dari Alexander. Arandra memajukan bibir. "Apa kau men