Alexander melempar handuk yang dia gunakan untuk mengeringkan rambut Arandra ke sofa tanpa sandaran di kaki ranjang. Lalu mengambil sisir.enyisir rambut panjang Arandra di saat Arandra sendiri belum berpakaian. Masih mengenakan jubah mandinya."Alex, aku ingin memotong rambut seperti itu," ucap Arandra dengan tangan menunjuk ke arah televisi yang menyala. Menampilkan berita tentang putri dari raja Spanyol yang akan memasuki pelatihan militer. Melihatnya, membuat Arandra teringat begitu saja pada ayahnya. Arandra pernah tanpa sengaja mendengar, jika Arthur ingin memiliki seorang anak laki-laki, dan memiliki cita-cita untuk memasukkan anaknya itu ke akademi militer. Tapi yang lahir malah Arandra. Arandra ingin mewujudkan cita-cita ayahnya itu. Sayangnya dia yang memiliki tubuh lemah–membuatnya tidak bisa menjadi apa yang diinginkan ayahnya. Arandra bisa langsung sakit hanya karena bekerja sedikit. Dia tidak tahan dengan dingin, tidak tahan panas.
Pintu terbuka. Alexander memasuki ruang meeting–diikuti Elena yang berjalan dua langkah di belakangnya. Alexander duduk di kursinya tanpa berkata apapun. Hanya memberi isyarat pada Reigan Aditama–kontraktor ternama asal Indonesia itu untuk memulai. "Seperti permintaan Anda sebelumnya. Ruangan rumah ini didesain untuk menciptakan suasana privasi bagi penghuninya. Rumah kaca ini akan mengusung sambungan luar ruangan melalui penggunaan area kaca dan dek yang luas...Reigan terus menjelaskan rencana proyek pembangunan rumah kaca di Abisko yang dibebankan kepadanya. Alexander menyentuh layar tab di depannya. Melihat sendiri kerangka rumah kaca yang tengah dijelaskan."Bangunan ini nantinya akan menggunakan beton, baja, dan kaca. Kemudian yang istimewa adalah, sistem ventilasi di rumah kaca ini akan didesain sedemikian rupa sehingga jika suhu di sekitarnya membuat udara memanas, sirkulasi udara dari ventilasi yang akan membuatnya dingin. Sebaliknya, jika penghuninya membutuhkan kehangatan
"Terima kasih, Andrew."Arandra membuka pintu mobil. Keluar setelah mengucapkan terima kasih pada Andrew yang telah mengantarnya sampai ke rumah–meski awalnya dia menolak diantar."Kau yakin bisa berjalan?" tanya Andrew dengan nada tidak yakin. Lelaki itu ikut keluar dari mobil–tidak langsung pergi.Arandra mengangguk. Tetapi baru berjalan satu langkah, wanita itu sudah meringis. Pergelangan kakinya terasa sakit sekali. Arandra menahannya–mencoba memaksanya tetap berjalan.Melihat itu, Andrew merasa geram sendiri. Dia berjalan cepat ke arah Arandra. Sama seperti sebelumnya, dia menggendong Arandra tanpa pemberitahuan. Membuat Arandra yang terkejut dengan refleks melingkarkan tangan ke leher Andrew."Aku bisa berjalan sendiri. Turunkan aku," pinta Arandra tergesa. Dia tidak ingin Alexander marah karena ini. Arandra sudah berkata padanya jika dia tidak akan dekat-dekat dengan Andrew. Dia akan merasa bersalah jika Alexander melihatnya dan Andrew.Alexander memang masih berada di kantor s
Alexander tahu tidak seharusnya dia merasa kesal. Tanpa Arandra mencoba menjelaskan, dia sudah tahu apa yang terjadi. Tapi di saat bodyguardnya terus mengirimkan foto Arandra dan Andrew yang sedang bersama, perasaannya menjadi tidak karuan.Seharusnya Arandra meneleponnya. Alexander akan menjemputnya di manapun dia berada. Alexander juga bisa menggendongnya jika memang dia tidak bisa berjalan. Sayangnya Arandra tidak berusaha mengandalkannya. Tapi membiarkan Andrew melakukannya.Alexander merasa kesal. Dia merasa marah dan cemburu. Tapi Arandra seolah sama sekali tidak mempedulikan perasaannya. Alexander diam karena dia berusaha menahan emosinya. Dia tidak ingin menyakiti Arandra dengan kata-katanya yang menyakitkan. Tapi Arandra malah menyulut emosinya. Dia membandingkannya dengan Axelino. Alexander selalu berusaha memperlakukannya dengan baik. Alexander berusaha memberikan semua kasih sayang yang dia miliki. Tapi Arandra tidak peduli. Semua yang dia lakukan seolah tidak lebih baik
Seorang dokter keluar dari kamar setelah memeriksa Arandra. Setelah itu Alexander masuk tidak lama kemudian. Menghampiri istrinya yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Alexander memanggil dokter untuk memastikan saja Arandra baik-baik saja.Alexander duduk di samping Arandra. Telapak tangannya dia letakkan di pipi Arandra. Jemarinya mengusapnya dengan lembut, sekaligus memeriksa suhu tubuhnya. "Tadi dokter juga memeriksa kakiku," kata Arandra.Memberikan tanggapan, Ale kemudian bertanya. "Lalu apa katanya?"Bibir bawah Arandra sedikit dimajukan. Dia menatap Alexander dengan mata mengedip lambat. Menampakkan wajah sedihnya sebelum berkata-kata. "Kakiku sakit sekali. Seperti mau putus," ucapnya. "Kata dokter, aku butuh seseorang untuk membantuku berjalan mulai sekarang."Hidung Alexander berkerut. Bola matanya mengarah ke kaki Arandra yang diluruskan. "Bahkan untuk turun dari ranjang," lanjut Arandra. Tapi tidak ada respon dari Alexander. Arandra memajukan bibir. "Apa kau men
"Kenapa lama sekali sampainya?" Arandra bergumam dengan kepala yang disandarkan ke jendela mobil. Sementara Alexander meresponnya hanya dengan senyum kecil. Lelaki itu tengah menatap jalan dengan fokus.Perjalanan pulang dari makam Axelino memang terasa lama sekali. Arandra merasakannya. Saat pergi tadi sepertinya tidak lebih dari tiga puluh menit. Arandra sampai mengantuk. Lagu yang mengalun lembut dari music player yang diputar Alexander tadi juga membuatnya ingin menutup mata.Arandra tidak memperhatikan jalan. Matanya hanya mengedip-ngedip lambat ketika mobil Alexander memasuki gerbang besar yang terbuka secara otomatis. Lalu berhenti di depan tangga masuk mansion besar berwarna putih gading dengan patung besar yang menyambut mereka di depan mansion. Arandra mulai merasa asing."Sejak kapan ada patung ini di sini?" tanya Arandra begitu Alexander membukakan pintu mobilnya.Alexander tersenyum geli. "Sudah ada sejak lama."Arandra mengernyit. "Saat kita pergi tadi, patung ini belum
Alexander turun ke lantai bawah–menghampiri Arandra yang terlihat duduk di sofa ruang tengah, bermain bersama anjingnya. Arandra tertawa ketika Zzar menjilati wajahnya. Lalu ketika tanpa sengaja melihat Alexander berjalan ke arahnya, hingga duduk di tempat kosong di sebelahnya, Arandra menjauhkan Zzar dari wajahnya. "Zzar, ayo bermain di luar." Arandra menggendong anjingnya itu sebelum bangkit dengan perlahan. Ketika kakinya baru akan melangkah, Alexander menarik tangannya hingga dia kembali duduk di tempatnya."Kau menghindari ku?""Tidak!" Arandra menjawab terlalu cepat, terlihat jelas berusaha menyangkal. Karena nyatanya dia memang menghindari Alexander. Tepat setelah pernyataan cinta dari Alexander, Arandra langsung berlari keluar–menjadikan Zzar yang baru datang bersama Rosaline sebagai alasan menghindar dari Alexander. Sebelum akhirnya dia asyik sendiri bermain dengan Zzar.Arandra tidak tahu apa yang dia rasakan ketika Alexander mengatakan itu. Entah dia harus percaya atau t
Alexander menghela napas lelah. Mendengar ocehan bocah di sebelahnya ini, telinganya sampai terasa pengang. Entah bagaimana dia dan Arandra bisa terjebak bersama Karin–nama anak yang menghentikan langkah Alexander tadi. Anak itu yang memperkenalkan dirinya sendiri di saat tidak ada yang bertanya. Dia sangat berisik. "Kau terpisah dengan orang tua mu ya?" tanya Arandra sembari memandang Karin yang tengah memakan es krim. Alexander yang akhirnya harus mengeluarkan uang untuk membelikannya, karena anak itu kembali merengek meminta dibelikan es krim–setelah mendapatkan boneka beruang yang dia inginkan. "Tidak. Ibuku ada di rumah. Aku kemari sendiri," jawab Karin dengan santai. Sementara Arandra membulatkan mata. Sedikit terkejut. Bagaimana bisa anak usia empat tahun pergi ke tempat ramai seperti ini sendiri? Bagaimana caranya dia sampai ke sini? "Sudah aku bilang tinggalkan saja dia disini. Orang-orang akan berpikir kita sedang menculik anak nanti." Alexander menatap Arandra dengan wa