"Terima kasih, Andrew."Arandra membuka pintu mobil. Keluar setelah mengucapkan terima kasih pada Andrew yang telah mengantarnya sampai ke rumah–meski awalnya dia menolak diantar."Kau yakin bisa berjalan?" tanya Andrew dengan nada tidak yakin. Lelaki itu ikut keluar dari mobil–tidak langsung pergi.Arandra mengangguk. Tetapi baru berjalan satu langkah, wanita itu sudah meringis. Pergelangan kakinya terasa sakit sekali. Arandra menahannya–mencoba memaksanya tetap berjalan.Melihat itu, Andrew merasa geram sendiri. Dia berjalan cepat ke arah Arandra. Sama seperti sebelumnya, dia menggendong Arandra tanpa pemberitahuan. Membuat Arandra yang terkejut dengan refleks melingkarkan tangan ke leher Andrew."Aku bisa berjalan sendiri. Turunkan aku," pinta Arandra tergesa. Dia tidak ingin Alexander marah karena ini. Arandra sudah berkata padanya jika dia tidak akan dekat-dekat dengan Andrew. Dia akan merasa bersalah jika Alexander melihatnya dan Andrew.Alexander memang masih berada di kantor s
Alexander tahu tidak seharusnya dia merasa kesal. Tanpa Arandra mencoba menjelaskan, dia sudah tahu apa yang terjadi. Tapi di saat bodyguardnya terus mengirimkan foto Arandra dan Andrew yang sedang bersama, perasaannya menjadi tidak karuan.Seharusnya Arandra meneleponnya. Alexander akan menjemputnya di manapun dia berada. Alexander juga bisa menggendongnya jika memang dia tidak bisa berjalan. Sayangnya Arandra tidak berusaha mengandalkannya. Tapi membiarkan Andrew melakukannya.Alexander merasa kesal. Dia merasa marah dan cemburu. Tapi Arandra seolah sama sekali tidak mempedulikan perasaannya. Alexander diam karena dia berusaha menahan emosinya. Dia tidak ingin menyakiti Arandra dengan kata-katanya yang menyakitkan. Tapi Arandra malah menyulut emosinya. Dia membandingkannya dengan Axelino. Alexander selalu berusaha memperlakukannya dengan baik. Alexander berusaha memberikan semua kasih sayang yang dia miliki. Tapi Arandra tidak peduli. Semua yang dia lakukan seolah tidak lebih baik
Seorang dokter keluar dari kamar setelah memeriksa Arandra. Setelah itu Alexander masuk tidak lama kemudian. Menghampiri istrinya yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Alexander memanggil dokter untuk memastikan saja Arandra baik-baik saja.Alexander duduk di samping Arandra. Telapak tangannya dia letakkan di pipi Arandra. Jemarinya mengusapnya dengan lembut, sekaligus memeriksa suhu tubuhnya. "Tadi dokter juga memeriksa kakiku," kata Arandra.Memberikan tanggapan, Ale kemudian bertanya. "Lalu apa katanya?"Bibir bawah Arandra sedikit dimajukan. Dia menatap Alexander dengan mata mengedip lambat. Menampakkan wajah sedihnya sebelum berkata-kata. "Kakiku sakit sekali. Seperti mau putus," ucapnya. "Kata dokter, aku butuh seseorang untuk membantuku berjalan mulai sekarang."Hidung Alexander berkerut. Bola matanya mengarah ke kaki Arandra yang diluruskan. "Bahkan untuk turun dari ranjang," lanjut Arandra. Tapi tidak ada respon dari Alexander. Arandra memajukan bibir. "Apa kau men
"Kenapa lama sekali sampainya?" Arandra bergumam dengan kepala yang disandarkan ke jendela mobil. Sementara Alexander meresponnya hanya dengan senyum kecil. Lelaki itu tengah menatap jalan dengan fokus.Perjalanan pulang dari makam Axelino memang terasa lama sekali. Arandra merasakannya. Saat pergi tadi sepertinya tidak lebih dari tiga puluh menit. Arandra sampai mengantuk. Lagu yang mengalun lembut dari music player yang diputar Alexander tadi juga membuatnya ingin menutup mata.Arandra tidak memperhatikan jalan. Matanya hanya mengedip-ngedip lambat ketika mobil Alexander memasuki gerbang besar yang terbuka secara otomatis. Lalu berhenti di depan tangga masuk mansion besar berwarna putih gading dengan patung besar yang menyambut mereka di depan mansion. Arandra mulai merasa asing."Sejak kapan ada patung ini di sini?" tanya Arandra begitu Alexander membukakan pintu mobilnya.Alexander tersenyum geli. "Sudah ada sejak lama."Arandra mengernyit. "Saat kita pergi tadi, patung ini belum
Alexander turun ke lantai bawah–menghampiri Arandra yang terlihat duduk di sofa ruang tengah, bermain bersama anjingnya. Arandra tertawa ketika Zzar menjilati wajahnya. Lalu ketika tanpa sengaja melihat Alexander berjalan ke arahnya, hingga duduk di tempat kosong di sebelahnya, Arandra menjauhkan Zzar dari wajahnya. "Zzar, ayo bermain di luar." Arandra menggendong anjingnya itu sebelum bangkit dengan perlahan. Ketika kakinya baru akan melangkah, Alexander menarik tangannya hingga dia kembali duduk di tempatnya."Kau menghindari ku?""Tidak!" Arandra menjawab terlalu cepat, terlihat jelas berusaha menyangkal. Karena nyatanya dia memang menghindari Alexander. Tepat setelah pernyataan cinta dari Alexander, Arandra langsung berlari keluar–menjadikan Zzar yang baru datang bersama Rosaline sebagai alasan menghindar dari Alexander. Sebelum akhirnya dia asyik sendiri bermain dengan Zzar.Arandra tidak tahu apa yang dia rasakan ketika Alexander mengatakan itu. Entah dia harus percaya atau t
Alexander menghela napas lelah. Mendengar ocehan bocah di sebelahnya ini, telinganya sampai terasa pengang. Entah bagaimana dia dan Arandra bisa terjebak bersama Karin–nama anak yang menghentikan langkah Alexander tadi. Anak itu yang memperkenalkan dirinya sendiri di saat tidak ada yang bertanya. Dia sangat berisik. "Kau terpisah dengan orang tua mu ya?" tanya Arandra sembari memandang Karin yang tengah memakan es krim. Alexander yang akhirnya harus mengeluarkan uang untuk membelikannya, karena anak itu kembali merengek meminta dibelikan es krim–setelah mendapatkan boneka beruang yang dia inginkan. "Tidak. Ibuku ada di rumah. Aku kemari sendiri," jawab Karin dengan santai. Sementara Arandra membulatkan mata. Sedikit terkejut. Bagaimana bisa anak usia empat tahun pergi ke tempat ramai seperti ini sendiri? Bagaimana caranya dia sampai ke sini? "Sudah aku bilang tinggalkan saja dia disini. Orang-orang akan berpikir kita sedang menculik anak nanti." Alexander menatap Arandra dengan wa
Terdengar suara isakan kecil di kamar bernuansa hangat itu. Tapi hanya ada Arandra di sana. Masih berbaring di ranjang dengan kelopak mata tertutup. Arandra melihat sebuah mobil berputar-putar di jalanan yang lengang–setelah mendapat benturan dari arah belakang. Kekacauan tampak di depan matanya. Lampu menyorot dengan suara klakson yang bersahutan. Mobil itu terbalik. Menutup kemungkinan seseorang yang berada di dalamnya bisa keluar dengan mudah di saat mobil yang menabraknya masih baik-baik saja. Pintu mobil itu terbuka–menampilkan sosok yang familiar.Tubuh Arandra bergetar. Terisak semakin keras dengan mata masih terpejam. Ketika merasa tidak lagi sanggup, kesadarannya membawanya kembali.Mata Arandra terbuka dengan cepat, langsung terduduk. Napasnya memburu, keningnya mengeluarkan keringat dingin–terlampau shock dengan mimpinya yang terasa sangat nyata. Semua itu tidak pernah terjadi. Mobil, tempat, dan semua yang ada dalam mimpin
Alexander masuk ke dalam kamar. Menghampiri Arandra yang tengah berbaring tengkurap di ranjang–sebuah buku bacaan berada di tangannya. "Bangun."Arandra mendongak. Seorang pelayan berdiri di belakang Alexander–membawa nampan berisi segelas air dan botol obat di atasnya. Sementara Alexander sendiri menatapnya dengan tatapan memerintah. "Minum vitamin ini dulu." Arandra menggeleng–tidak merubah posisinya. "Aku tidak sakit."Alexander menggeram. "Mau membantah perkataanku lagi?" ucapnya tajam. Dia mencekal lengan Arandra–membuatnya bangun. "Cepat minum."Arandra menatap lesu Alexander. Menerima vitamin dan segelas air yang diulurkan Alexander dengan raut terpaksa. Meminumnya dalam sekali teguk. "Sudah," ucapnya dengan bibir mengerucut sembari memberikan kembali gelasnya pada Alexander."Gadis pintar." Alexander menepuk puncak kepala Arandra seperti anak kecil, sebelum menggeser tangannya ke kening Arandra–memeriksanya. "Masih pusing?"Arandra menggeleng. Alexander mengambil buku cerit
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande