Mimpi apa ... Serena, ia kini berada dalam satu pesawat, duduk sebelahan dengan lelaki yang sah menjadi suaminya. Perjalan mereka ke negara gajah putih hampir tiba di tujuan. Di sana nanti mereka akan dijemput kolega Lita yang memang sudah lama tinggal menetap di sana, orang Indonesia yang menikah dengan wanita Thailand. Wanita sungguhan, ya, bukan nganu.
"Dari tadi lo nggak makan atau minum apa-apa, Tante, nggak laper atau haus? Apa puasa?" bisik Romeo.
"Sstt! Diem!" cicit Serena sambil melotot. Romeo kembali duduk bersandar santai sambil tersenyum lebar. Mereka akan bersiap mendarat, semua penumpang pesawat diminta mengencangkan sabuk pengaman.
Pendaratan mulus, mereka juga keluar dari pesawat dengan santai, tak tergesa-gesa seperti penumpang mau turun angkot, pesawat baru landing langsung berdiri bersiap, santai aja sist, bro, pesawatnya biar berhenti sempurna dulu baru kalian turun.
"Night food streetnya, enak-enak kayanya, Tan," ujar Romeo yang langsung memakai tas ransel besar dipunggungnya, sementara Serena menyeret koper warna kuning mencolok supaya mudah di kenali.
Serena diam, tak menggubris. Ia justru menatap sekeliling, baginya suasana dan wajah-wajah semua orang sama saja seperti orang Indonesia. Ya wajar, Thailand bisa dibilang masih serumpun dengan Indonesia, jika diurut sejarah dari masa kerahaan Sriwijaya dan Majapahit ... baca sendiri, deh, kelanjutannya.
Balik ke berondong dan Tante-tante. Romeo meraih jemari tangan Serena yang segera ditepis.
"Peraturan pertama, nggak boleh gandengan tangan. Kedua, rangkulan, ketiga cium, keempat--"
"Hahhh! Ribet!" Romeo berjalan cepat meninggalkan Serena di belakang. Seseorang yang memegang papan bertuliskan nama Romeo dan Serena from Jakarta, membuat Romeo segera mendekat diikuti Serena.
"Om Indra, ya," sapa Romeo.
"Romeo!" pekiknya. Mereka berpelukan.
"Selamat menempuh hidup baru. Mama Papamu sudah siapkan semua, mana istri kamu, ini?" tunjuknya. Serena menyalim tangan Indra.
"Serena," ucap Serena memperkenalkan diri.
"Saya Indra, teman kuliah Papa Mamanya Romeo. Ayo masuk, Om antar ke hotel." Indra membuka bagasi mobil, ia membantu Serena mengangkat koper lalu Romeo juga meletakkan tas ranselnya.
Tujuan mereka memang hotel, sepanjang perjalanan, Indra banyak memberitau lokasi yang bagus, aman dan seru untuk didatangi.
"Ini, pegang. Om udah tukar uang rupiah ke bath, untuk pegangan kalian selama di sini." Indra memberikan amplop coklat ke tangan Romeo, Serena tak enak hati karena kedua orang tua Romeo seperti full memfasilitasi semuanya.
"Makasih, Om," ucap Romeo.
"Sama-sama. Oh, iya. Kalau bisa jangan naik ke daraan umum, ya, kalian turis, takutnya ada aja yang jail. Kalau nggak didampingi tour guide atau memang kalian niat lama di sini, baiknya jalan kaki aja ke mana-mana, kalau mau ke tempat yang agak jauh, Om antar, ya."
Serena melihat Romeo menganggukkan kepala, suaminya duduk di depan sementara Serena di belakang.
Hotel tujuan sudah terlihat, begitu megah dan mewah. Entah berapa bath satu malamnya. Serena berpikir, apa keluarga Romeo sekaya raya itu, rasanya tidak kelihatan. Di komplek, rumahnya juga tak mewah atau megah, biasa saja seperti rumah orang tuanya.
"Romeo udah simpan nomor HP Om, kan? Hubungi kalau ada apa-apa, ya. Selamat bulan madu, Serena, Romeo." Indra menepuk bahu Romeo, lalu tersenyum ke Serena.
Mereka hanya mengangguk, Romeo berjalan ke resepsionis, ia berkata jika sudah memesan kamar atas nama Erlita Setiawan, mamanya.
Wanita itu begitu cantik, Serena bahkan tak melihat ada yang jelek. Ia jadi minder sendiri, apalagi pakaiannya hanya kaos, celana jeans dan sandal jepit. Ya ampun ... sungguh gembel.
"Ayo," kata Romeo membuyarkan lamunan Serena. Keduanya berjalan ke arah lift menuju lantai delapan.
Saat membuka pintu kamar, suasana pemandangan kota Bangkok malam hari membuat Romeo tersenyum sumringah.
"Keren," pujinya.
"Halah, sama aja kayak Jakarta," sanggah Serena yang langsung membuka koper untuk mengeluarkan baju tidur.
"Puji sedikit, bisa, kan? Ini honeymoon kita, Tan."
Bodo amat, Serena berjalan masuk ke kamar mandi. Ia melihat bathub, enak sepertinya jika berendam. Akhirnya ia nyalakan keran air panas dan dingin, diatur suhunya sebelum berendam.
Kegiayan berendam Serena tak santai, karena ia justru berpikir bagaimana nasibnya setelah menjadi istri Romeo. Anak itu slengean, semaunya, masih kuliah juga. Ya walau katanya setiap bulan dia bisa menafkahi Serena uang dari kedua orang tuanya.
Padahal sama saja itu bukan nafkah yang Romeo cari sendiri, sama saja sedekah dari orang tuanya yang penting Romeo menikah!
Lucu sekali. Serena menghentak-hentakkan kaki hingga air nyiprat ke mana-mana, ia kesal sekali sebenarnya.
Satu jam berlalu, Serena selesai berendam, bilas lalu berpakaian. Ia tak melihat Romeo di dalam kamar, yasudah lah, biarkan. Perut Serena lapar, ia mau memesan makanan tapi takut non halal. Akhirnya ia putuskan keluar hotel menuju food street tak jauh dari sana.
Jalan kaki sendirian, membuat Serena bisa nyaman. Ia melihat penjual sate cumi sotong bumbu bbq, menarik perhatiannya.
"One please," katanya. Ia keluarkan uang bath ke pejual seusia harga yang tercantum. Lalu setelah menerima pesanan, ia berjalan ke penjual jus buah. Tertarik, ia membeli mix berry kemudian sebotol air mineral.
Serena duduk di tempat kosong dengan meja warna putih di tengahnya. Ia menikmati santapannya sendirian.
Sama sekali tak melihat sosok Romeo. Kedua mata Serena disuguhkan pemandangan warga lokal yang tampan-tampan, ia senyum senyum sendiri jadinya kan. Biasanya nonton drama Thailand, sekarang lihat langsung paras tampan penduduknya yang putih bersih.
"Gantengan gue."
Pandangan Serena tertutup wajah dingin Romeo yang sudah berada di depan matanya.
"Ganggu, lo. Geser!" omel Serena. Romeo duduk di samping Serena, menyambar gelas berisi jus buah dingin milik sang istri, ia sedot banyak sekali. Serena melotot, tapi Romeo masa bodo.
"Lo dari mana," tanya Serena akhirnya.
"Teleponan sama Kamila di pinggir kolam renang hotel. Gue balik ke kamar, lo udah nggak ada, Tan."
"Gue kira malah lo yang kabur ninggalin gue," gumam Serena.
Romeo terkekeh, "cieee ... takut ditinggal, ya, sini istriku, sayangku," tukas Romeo merangkul bahu Serena.
"Peraturan tadi lo lupa, hah! Oh lupa. Ada peraturan terrrpenting."
"Apa," kata Romeo melepaskan rangkulan.
"Jangan campuri urusan masing-masing. Paham?!" Serena menyipitkan kedua matanya.
"Mmm ... tergantung, lah."
"Nggak bisa. Harus!" tegas Serena.
"Ya terserah, sih, mau sepanjang apa peraturan yang lo bikin, gue bakal langgar. Bagi gue, peraturan itu bullshit!"
Serena memukul bahu Romeo. "Disiplin, Meo! Peraturan itu buat disiplin! Lo nggak bakal bisa sukses kalau nggak disiplin!"
Romeo memalingkan wajah. "Ya ... ya ... ya ..., terserah Tante Serena, gue mau beli makan dulu. Oh iya, tadi gue teleponan sama Kamila, dia kasih kabar kalau Mama pingsan lagi waktu baru sampai rumah Om di sana. Doain Mama biar stabil kondisinya, ya, Tan. Tungguin, jangan kemana-mana." Romeo berjalan meninggalkan Serena yang hanya bisa diam menatap terkejut saat tau mama mertuanya koleps lagi.
"Mama Lita," gumamnya sambil menutup mulut dengan tangan.
bersambung,
Malam kedua mereka di kota Bangkok. Ide gila Romeo membuat Serena hanya bisa mengumpat kesal. Mereka masuk ke dalam salah satu klub ternama di sana. Serena walaupun sedikit banyak tau kehidupan malam kota metropolitan, tapi ia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol.Lain dengan Romeo, ternyata dia suka minum bir walau berkadar alkohol rendah."Darah lo kotor, Meo." jeplak Serena. Romeo tersenyum tipis, bahkan terlihat sudut bibirnya tersungging samar."Bir doang, Tante," gumamnya meneguk lagi.Serena memutar kursi di meja bar, memunggungi rak dengan botol minuman alkohol berjajar rapi juga seorang bartender yang terlihat bertubuh tinggi kekar dengan tatoo yang terlukis abstrak.Kedua mata Serena terbelalak saat melihat jajaran pria tampan seperti di drama Thailand berjalan memasuki klub. Senyumnya mendadak merekah, saat kesal dengan Romeo, eh ada yang hijau menyegarkan mata di depan mata.Dentuman musik menyamarkan suara degup jantung Serena saat salah satu dari pria tampan tadi m
"Kata Mama boleh diubah mau kayak apa penataan ruangannya. Mama serahin semua ke elo." Mulai gue-elo keluar lagi, tandanya memang mereka belum siap saling memanggil dengan panggilan yang lebih baik."Gak ada yang perlu gue ubah juga. Gini aja udah ok." Serena berkacak pinggang kemudian melirik Romeo yang bersiap pergi. "Mau ke mana?""Main. Lo kalau pergi, kunci bawa yang cadangan. Gue balik malem palingan, oke, Tante." Romeo menyambar jaket warna coklat muda, lalu hendak mencium kening Serena tapi wanita itu memundurkan kepalanya."Sana pergi! Gue juga mau jalan nanti sama temen. Gue mau beli baju kerja." Serena berjalan ke dapur. Ia lupa sedang memanaskan sop buntut kiriman mamanya."Butuh uang berapa?" Romeo masih berdiri di tempat."Gue ada duit sendiri. Duit lo pake aja buat jajan," sahut Serena sambil mematikan kompor."Berapa, Tan," sambung Romeo. Serena berbalik badan."Gue punya uang sendiri. Udah sana pergi. Gue mau beresin kamar. Sementara Mama Papa lo masih di LN, kita tid
Selamat membaca lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak. _________"Meo," cicit Serena. Romeo tersenyum lebar. Disampingnya ada sosok wanita cantik sepantaran suami Serena itu. Bodynya juga aduhai walau terbalut kemeja pres body juga celana jeans ketat. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang semakin menambah jenjang penampilannya."Ngapain kamu di sini?" tegur Romeo lagi. Serena mengerutkan kening. 'Kamu' sejak kapan Romeo mengubah panggilan menjadi resmi begitu?"Oh, lagi temani Pak Erik. Direktur perusahaan tempat aku kerja. Pak Erik, kenalkan, ini su--" Serena diam saat Erik sudah mengulurkan tangan ke Romeo yang disambut cepat oleh lelaki muda itu."Romeo.""Erik."Serena melihat wanita disisi Romeo tampak terus diam dengan pandangan tak suka ke arahnya. Ingin rasanya Serena tegur saat itu juga tapi urung karena ia sedang bersama Erik, harus jaga sikap, dong."Aku lanjut. Nanti aku telpon kamu." Tanpa basa basi lagi Romeo berjalan meninggalkan Serena dan Erik yang hanya bisa mengiku
Jangan lupa tinggalkan jejak ya _________________Serena mendorong mundur tubuh Romeo. Ia membawa piring berisi nasi goreng ke meja makan. Kesal karena makan malamnya diganggu, ia letakkan begitu saja tanpa lanjut makan.Romeo mengambil alih, ia habiskan nasi goreng Serena yang berlalu meninggalkannya sendirian.Hari kerja bagi Serena harus dipersiapkan sebaik mungkin. Ia atur pakaian hingga sepatu yang akan dikenakan. Senin pagi ia harus mendampingi bosnya menjemput klien dari luar kota, bersama Erik juga ke bandara. Persiapan selesai, Serena lanjut mandi dan bersiap.Masih dengan rambut setengah basah yang ia keringkan dengan hair dryer, terdengar suara pecahan barang di dapur. Segera Serena berlari, ia melihat Romeo meringis sambil memegang telunjuk jari tangan kirinya."Mecahin apa lo?" tegur Serena datar."Mug. Mau bikin kopi." Romeo membilas telunjuknya, darah masih mengucur. Serena jongkok, ia punguti bekas pecahan mug lalu dimasukkan ke kantong plastik, lanjut ia sapu ke dala
"Tante, Serena ...," panggil Romeo saat ia baru saja kembali setelah untuk sekian kali seringnya main tanpa tujuan. Serena yang sedang memeriksa ulang pekerjaannya hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap layar laptop di depannya.Serena duduk di meja makan, fokus menata ulang jadwal kerja bosnya untuk satu minggu ke depan."Masak nggak?" Romeo menyeret kursi meja makan di depan Serena lantas duduk santai seolah tak ada beban. Ya memang, ia bahkan tak peduli Serena sendiri sudah makan atau belum, gimana di kantor dan hal lainnya."Lo nggak bisa lihat ada makanan nggak di meja." Serena sinis.Romeo meletakkan uang di depan Serena, lembaran seratus ribuan sebanyak lima puluh lembar. "Uang nafkah buat lo bulan ini," tukas Romeo.Serena tak peduli, ia terus fokus."Gue bisa buktiin kalau gue mampu nafkahin lo walau nggak kerja, kan?" Dengan bangga dan sombong ia berkata sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi."Gue nggak butuh," tolak Serena mentah-mentah. "Lo mau nafkahin g
Mari lanjut! _____________Bunyi klakson membuat Serena segera berjalan ke depan rumah. City car warna merah sudah terparkir di sana. "Buruan, Mbak!" teriak Tira, adik satu-satunya yang juga musuh bebuyutan tapi tetap disayang Serena."Sabar! Gue pamit ke Mama Lita dulu tadi." Serena segera menutup pintu mobil lantas memakai seatbelt."Udah bilang kita buru-buru jadi gue nggak bisa ketemu Tante Lita?" Tira melajukan mobilnya."Mama. Tante," tegur Serena sinis."Idih. Buat lo Mama, buat gue ya Tante lah. Mantunya kan elo, bukan gue, Mbak." Tira tergelak. Serena hanya memutar bola matanya malas, semalas ia menyanggah omongan adiknya yang seringnya ajak ribut."Mbak, si Romeo ke mana? Masih molor jangan-jangan?""Tuh tau. Segala nanya." Jawaban sinis Serena membuat Tira curiga."Lo berdua masih kayak musuh? Apa jangan-jangan sampe sekarang kalian belum tidur bareng?" lirik Tira sekilas sebelum kembali menatap jalanan di sabtu siang yang ramai.Mereka akan ke mal untuk ke salon, makan, n
Serena tercengang saat melihat mewahnya apartemen yang katanya dibelikan untuk Romeo. Pemuda itu bersilang tangan di depan dada sambil bersandar pada meja bar yang ada di dalam unit tersebut."Meo, bagus banget!" puji Serena."Betah tinggal di sini, Tan? Gue nggak yakin," sinis Romeo."Dicoba dulu, lah. Lagian itu gedung kantor gue, kelihatan jelas dari sini. Kampus lo juga deket dari sini, halte busway di depan gedung ini. Kita di sini aja, deh!" ajak Serena girang. Pasalnya, semua akan mudah untuk aksesnya bekerja. Ia wanita metropolitan yang punya mobilitas tinggi juga gaya hidup layaknya wanita karir sukses walau sebagai aspri."Nggak deh. Gue nggak suka."Romeo berjalan ke arah kaca besar mengarah ke pemandangan kota Jakarta pada malam hari."Kenapa lagi, sih! Ini tuh udah paling pas, Meo." Serena ikut berdiri di sisi kiri suaminya, ruangan kosong melompong, tak ada barang satupun bahkan kulkas. Sengaja dikosongkan karena memang apartemen itu hanya sebagai tempat Romeo suka mengh
Halo, jangan lupa tinggalkan jejak ya ...._______Serena sudah berdandan cantik, Romeo yang tengah duduk santai di ruang TV hanya melirik sepintas saat Serena pamit pergi. Ia bahkan tampil memukau tak seperti biasanya."Lo mau ke club?" tegur Romeo masih memegang remote TV juga memangku bantal sofa."Rahasia. Mau tau aja. Bye!" Serena melangkah pergi dengan mengemudi sendiri di jam tujuh malam. Dari pakaiannya, Romeo tau tak mungkin ke mal atau cafe biasa, fix, istrinya mau dugem.Diperjalanan, Serena menghubungi teman kerja juga bosnya, mereka janjian bertemu di salah satu club yang ada di perkantoran elite Ibu kota. Ia akan bertemu di parkiran mobil.Benar saja, setibanya di sana sudah terlihat deretan mobil mewah lain yang salah satunya dikemudikan bosnya sendiri. Serena segera turun, berlari kecil menghampiri rombongan rekan kerjanya.
Perjalanan mencapai kesuksesan tidak lah mudah, berliku bahkan berdarah-darah dapat terjadi. Proses memang butuh waktu, kesabaran dan tetap tekun menjadi kuncinya.Memasuki bulan kelahiran, sudah dipastikan Serena akan operasi. Romeo tetap bekerja sebagai ojek online karena tak mau menerima bantuan tawaran kerja dari siapapun.Perkara dengan papanya masih berlanjut, pria itu sudah menikah lagi tanpa Romeo pun Serena datang. Mau dibujuk seperti apa, Romeo tak akan bergerak datang."Kamu nggak kasihan sama Papamu, Meo?" Serena sedang merapikan pakaian bayi ke dalam koper. Esok ia dijadwalkan operasi sesar."Nggak." Romeo menjawab tegas."Susah ya kasih pengertian ke anak muda," sindir Serena diakhiri kekehan. Romeo hanya berdecak. Ia bangkit, meraih jaket ojol lantas memakainya."Hari ini aku narik sebentar, sampe siang, terus pulang."Serena mengangguk. Ia peluk suaminya memberi semangat, sedangkan Romeo bersandar manja di bahu sang istri."I love you," bisik Romeo."Love you more," ba
Malam-malam bisa jalan berdua, Serena menggamit lengan Romeo saat mereka selesai makan malam di warung tenda yang menyajikan menu soto daging. Tak lupa ia membeli minuman manis supaya segar tenggorokannya."Jangan kebanyakan minum manis, Ser," tegur Romeo."Dikit aja." Serena menyedot jus jeruk sunkies."Ser, buat makan sehari-hari gimana? Nebeng orang tua?" Romeo tak enak hati, harus merepotkan kedua mertuanya."Ada aku, cukup kok gajiku buat tambahin biaya dapur." Dengan santai Serena menjawab, keduanya berhenti berjalan di depan taman air mancur komplek, sengaja dibuat supaya bisa jadi tempat para warga berkumpul karena dihias lampu warna warni yang cantik.Pandangan Romeo lurus ke depan. Ia berpikir sampai kapan harus serumah dengan mertua, ia juga mau punya tempat tinggal sendiri walau sewa. Tak ingin meminta bantuan papanya juga, kegengsian Romeo sangat tinggi, ia harus berhasil dengan kakinya sendiri bagaimanapun juga. Belajar dari masa lalu dan kesalahan, tak akan kembali ia t
"Meo, bangun ... kamu jalan jam berapa?" Serena duduk di tepi ranjang, ia sudah selesai mandi juga berpakaian. Jam masih diangka lima pagi, karena Tira sedang menginap di rumah temannya, ia ke kantor berangkat sendiri.Romeo bergeliat, ia buka matanya perlahan lalu tersenyum. Bukannya langsung beranjak, ia justru mendusalkan wajah ke arah perut Serena.Ia ciumi perut buncit Serena begitu penuh kebahagiaan. Perlahan, Romeo duduk, ia menyapa Serena dengan belaian di kepala lantas segera ke kamar mandi.Serena keluar kamar, ia kaget karena papanya sudah berdiri di depan kamar. "Romeo?" Tatapan papa begitu datar.Hanya bisa senyam senyum yang ditunjukkan Serena. "Papa mau ngomong sama suamimu." Lalu papa turun ke lantai bawah. Serena menutup pintu lagi, tadinya ia mau menyiapkan kopi untuk Romeo."Meo," ketuk Serena ke pintu kamar mandi. Pintu terbuka, Romeo masih dalam keadaan basah kuyup, belum selesai mandi. "Papa mau ngomong sama kamu," tukasnya. Romeo mengangguk. "Aku tunggu di bawah
Serena menutup pagar, ia gandeng Romeo masuk ke dalam rumah. Duduk bersama di ruang tamu.Kepala Romeo tertunduk dalam dengan kedua tangan saling meremas. "Aku nggak sangka Papa bisa secepat ini mau dekat sama perempuan lain, Ser. Gampang banget Papa lupain Mama!" Emosi Romeo mulai muncul. Serena meraih jemari tangan suaminya yang saling meremas keras."Papa butuh temen, emang kamu udah tau siapa ceweknya? Bukan ani-ani atau cewek kegatelan, kan?!" Kalimat Serena membuat Romeo menoleh cepat ke arahnya. "Barang kali, namanya jaman sekarang," sambung Serena."Perempuannya Bu Hartoyo, janda RT delapan. Ibunya Fadlan. Musuh aku waktu SMP sampe SMA, mantan pacarnya Tira," tukas Romeo."HAH!" Serena teriak kencang sekali. Romeo mengusap kasar wajahnya."Kayak nggak ada pilihan lagi Papa, kan?! Aku nggak masalahin Bu Hartoyo! Aku masalahin anaknya. Si Fadlan itu males! Dia kerjanya game melulu! Yang ada morotin Papa!" kesal Romeo."Emang kamu nggak males," cicit Serena yang masih bisa dideng
Serena seolah membatu, setiap hari Romeo datang sekedar memberikan makanan dan tak lupa uang seadanya. Kini, kehamilan Serena sudah masuk bulan kelima, perutnya sudah mulai tampak membuncit.Saat berjalan terlihat tonjolan pada perutnya yang mampu membuat mata tetangga jelatan alias siap menggosipkan dirinya untuk kesekian kalinya."Mbak, gue drop di perempatan deket kantor lo aja, ya," ujar Tira seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi."Iya," tukas Serena seraya masuk ke dalam mobil. Serena kembali bekerja, di rumah saja membuatnya justru bosan. Karena kehamilannya, ia tak lagi menjadi aspri dari Moza, tapi ia pindah ke bagian keuangan.Bagus Serena cepat belajar, ia juga tak malu bertanya jika ada hal yang membingungkan.Serena dan Tira melewati rumah tetangga yang suka bergosip. Ia mulai kesal namun Tira meminta mengabaikan. Berita ia hamil bukan dengan Romeo hingga ia dibilang cerai lalu menjadi simpanan Om-om juga marak disebar."Mbak, udah coba ngobrol sama Romeo?" Tira meme
Halo, kembali lagi ketemu saya, maaf lamaaa nggak update. Semoga kalian masih mau membaca karya ini ya, terima kasih.****Romeo diam, ia merenungi semuanya. Di dalam hati, ia tau Serena yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak keduanya kecil. Petualangan cinta Romeo sendiri dengan perempuan lain hanya basa basi, tak serius. Hanya Serena yang bisa mengikat hatinya."Gue harus mulai dari mana?" gumamnya merutuki diri karena laki-laki seharusnya bekerja keras demi membahagiakan diri sendiri dan wanita yang dicintai. Bukan seperti dirinya yang seenaknya sendiri.Bergelut dengan hati, membuat Romeo meneteskan air mata akibat terlalu santai selama ini. Kini ia akan menjadi seorang ayah, ada tanggung jawab baru yang harus diemban.Bekerja dengan papanya, bisa saja. Tetapi bagi Romeo yang berprinsip keras jika ia bisa berdiri di kaki sendiri tak akan mau menikmati fasilitas kemudahan itu.Grup chat SMA ia buka, ia mencoba menghubungi temannya satu persatu yang dekat dengannya dulu. Mencari lo
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k