"Nggak mau!" tolak Serena saat ia baru saja ia duduk di ruang tamu. Wajahnya masih lelah tapi sudah dapat info terkini di keluarganya yang meminta ia segera menikah dengan Romeo. Anak tetangga satu RT dengannya yang ia ingat dulu sering kena omel papanya-Handoko-karena sering bikin nangis adik perempuannya.
"Ren, Mama Papa minta tolong sekali sama kamu. Kondisinya mendesak. Apa kamu tega liat Tante Lita pergi saat anaknya belum dapet jodoh?" Rini meminta dengan sungguh-sungguh ke Serena yang menggeleng cepat.
"Nggak, Ma. Rena nolak. Titik!" Serena beranjak, ia berjalan cepat tapi berhenti saat mamanya menjawab telepon dari seseorang.
"Ya ampun! Iya, iya, kami ke sana sekarang!"
Serena menoleh, ia masih menginjakkan kaki di anak tangga ke tiga menuju kamarnya di atas.
"Rena, kita ke rumah sakit. Tante Lita dibawa ke ICU. Ayo cepet!" Rini menarik tangan putrinya, sementara Handoko segera menyambar kunci mobil yang tergantung di tempat gantungan kunci. Serena mau tak mau mengikuti. Pagar rumah bercat putih itu terbuka, muncul Tira yang baru pulang kuliah di jam tujuh malam. Ia sibuk organisasi di kampus, jadi wajar kalau pulang kuliah malam.
"Lho ... lho ... lho, pada mau ke mana!" Tira memekik.
"Tante Lita masuk ICU, kamu mau ikut nggak!" teriak Rini.
"Ikut!" Lita segera membuka lebar pagar rumah. Serena kesal tetapi Tira tergelak.
"Apa lo!" pelotot Serena.
"Calon mantu Tante Lita nggak boleh mereh-mereh kelesss ..., cantik bener yang mau disuruh nikah anak begajulan itu," godanya.
"Lo tau hal ini, Ra!"
"Jelasss ...," jawab Tira sembari mengacungkan ibu jari. Serena hanya bisa cemberut. Kedua kakak beradik itu masuk ke dalam mobil, saking buru-burunya pagar lupa di tutup. Akhirnya satpam komplek diminta Handoko mengunci pagarnya.
Dengan cepat Handoko mengemudikan mobil hingga ke rumah sakit. Mereka berempat berlari hingga ke arah lift yang akan membawa ke lantai lima tempat ruang ICU berada. Tiba di lantai lima, di depan ruang ICU, Rafli-suami Lita-sudah duduk sambil menundukkan kepala. Di sebelahnya ada Kamila anak kedua Rafli dan si tengil Romeo yang melirik ke arah keluarga Serena berjalan mendekat.
"Raf," sapa Handoko. Rafli beranjak, ia memeluk sekilas Handoko lalu mereka bicara cukup serius.
"Mama sesak napas lagi Tante Rini," kata Kamila sambil menangis.
"Kita doakan Mama semoga stabil, ya. Kamila tenang, ya," ucap Rini lalu memeluk Kamila.
Tira menyenggol bahu Serena, "Mbak, tuh, calon bojo," ledeknya seraya cekikikan.
"Apaan, sih lo! Lo aja yang nikah sama dia! Gue ogah!" bisik Serena menolak mentah-mentah perjodohan itu.
"Dih! Lo aja, umur lo udah dua tujuh. Udah cukup punya laki ama anak. Lagian gue udah punya cowok. Yang jomblo kan, elo." Tira mendekat ke Kamila, ia merangkul bahu remaja lima belas tahun itu untuk memberi support. Romeo melirik ke Serena yang mencibir kesal, lalu keduanya membuang pandangan.
Pintu ICU terbuka, perawat keluar. "Apa ada yang namanya Romeo dan Serena?"
Kedua pemilik nama yang disebutkan saling menatap lalu mengangguk ke arah perawat. "Boleh ikut saya masuk? Kondisi Ibu sudah stabil. Tapi hanya sebentar, ya. Ibu mau bicara."
Oke. Ini bukan bercanda atau settingan belaka. Serena menyerahkan tas kerja ke Tira, ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu, setelah berganti baju khusus, ia dan Romeo mendekat ke tempat Lita terbaring.
Wajah Lita pucat, bibirnya kering, tatapannya sayu. "Ma," sapa Romeo lalu mencium kening Lita. Serena hanya tersenyum menyapa.
"Rena," lirih Lita.
"Hai, Tante, cepat sembuh, ya." Lita tersenyum.
"Iya, Ren, tapi rasanya--" Lita diam, ia memejamkan kedua matanya. "Tante nggak kuat," lanjutnya dengan suara yang mewakilkan kesedihan. Romeo dan Serena hanya diam menatap Lita yang kembali menatap mereka sayu.
***
"Nikah sama gue nggak rugi kok, Ser," celetuk Romeo sembari bersedekap berdiri bersandar pada dinding rumah sakit saat mereka di parkiran.
"Rugi, lah!" sewot Serena bernada tinggi.
"Lo udah setuju tapi, kan? Nggak bisa mundur." Romeo tersenyum licik.
"Bisa!"
"Lo mau bahayain nyawa Mama gue!" Kali ini Romeo memekik.
Serena mengusap kasar wajahnya. "Denger ya, Meo, lo ...." tunjuk Serena dengan jarinya. "Jangan seenaknya sendiri setelah kita nikah. Karena ini cuma sementara sampai Tante Lita sehat lagi. Keluarga kalian sudah memutuskan Tante Lita dibawa berobat ke luar kota, kan? Karena ada keluarga kalian yang dokter hebat di sana."
"Setelah itu, lo mau kita cerai?"
"Ya!" jawab Serena tanpa ragu.
"Ups, sorry, Ser ... nggak bisa. Gue nikah maunya sekali seumur hidup." Tegas Romeo. Lelaki berambut lurus, bola mata hitam pekat, hidung mancung, kulit putih, tubuh tinggi cukup berisi walau tak kekar sekali, begitu yakin dengan ucapannya.
"Yaudah! Kalau gitu selamat merasakan pernikahan bagaikan di ne-ra-ka!" semprot Serena.
Romeo tergelak. "Maca cih, Ser ..., bisa aja, lo." Romeo mengacak-ngacak rambut panjang model layer Serena, ia marah. Napasnya memburu cepat, lalu ia tendang tulang kering Romeo hingga lelaki itu mengaduh. Romeo mengusap tulang keringnya sambil berlutut.
"Gue yakin kita jodoh, Ser," lanjut Romeo meringis. Sakit juga tendangan Serena.
"Nggak bakalan! Lo anak kecil tengil, belagu, somplak, seenaknya sendiri, badung, nggak bakal bikin gue jatuh cinta sama lo!" tunjuk Serena emosi.
Romeo berdiri, ia menarik napas dalam dan menghembuskan pelan. "Kita lihat, Ser. Sekarang kita lakukan demi Mama gue. Kalau memang lo nggak akan pernah jatuh cinta sama gue. Kita bisa bahas gimana masa depan rumah tangga kita."
Kedua bahu Serena merosot, ia mengigit bibir bawahnya sambil berpikir sesuatu. Di dalam pikirannya, ia baru sadar jika cinta bisa saja tumbuh karena seringnya bersama. Ia lalu menyesal sudah bicara seperti itu, hanya saja yang bikin ia kesal karena kenapa harus Romeo! Sejak dulu ia sudah sering bertengkar karena kenakalan lelaki dihadapannya yang bersedekap sambil tersenyum tengil. Melihat itu saja sudah membuat Serena kesal bukan kepalang.
"Ayo pulang, gue antar."
"Gue bisa sendiri," tolak Serena berjalan meninggalkan Romeo. Tangan Serena ditarik Romeo. "Lo calon istri gue, gue mulai harus tanggung jawab sama lo, Ser."
Serena menghentakkan tangan Romeo keras. "Elo jangan seenaknya panggil gue 'Ser'! Gue lebih tua lima tahun dari lo, Meo!"
"Nah, elo, manggil gue Meo?" cibir Romeo.
"Bebas, lah! Gue lebih tua dari lo!"
Romeo mengalah, ia menekan remote kunci mobil. City car hitam mengedipkan dua lampu depan, "itu mobil gue. Ayo pulang ... Tante Se-re-na ...," katanya meledek lalu tersenyum lebar sebelum berubah mencibir Serena lagi. Ia berjalan meninggalkan Serena yang kesal bukan main, bahkan sampai melepas sepatu kerjanya dan diangkat ke atas kepala hendak melempar ke Romeo yang melenggang jauh di depan, tapi ia urungkan.
"Tahan, Ren, sepatu lo lebih mahal dari kepala tu bocah," gumamnya lalu memakai sepatunya lagi.
Mereka pun pulang bersama. Romeo melirik Serena yang duduk diam dengan siku kiri diletakkan pada handle pintu mobil dan telapak tangan menyanggah kepala.
"Mau makan dulu? Udah makan belum?"
"Nggak laper," jawab Serena tanpa melirik Romeo.
"Yaudah." Romeo melajukan kecepatannya. Serena melotot. Ia mencubit keras lengan Romeo hingga mengaduh.
"Adadadah! Ser! Eh, Tante! Lepas, aduh sakittt!" teriaknya. Romeo memelankan laju mobil barulah Serena melepaskan cubitan pedas yang pasti menimbulkan bekas.
"Lo berani bahayain nyawa gue. Kalau gue mati gue gentayangin elo!" ancam Serena. Romeo melirik kesal, ia menahan sakit karena cubitan Serena sambil memegang kemudi.
"Sakit, Tante, lo mau gue bales cub--" Romeo diam. Serena benar-benar mengarahkan sepatu hak lima senti ke arah Romeo sambil melotot. "Galak banget. Pantesan jomblo. Kasihan nggak ada cowok yang betah. Gue doang kayaknya yang betah nanti, Tan."
Serena sudah tidak bisa marah, mereka sedang di dalam mobil, terlalu beresiko jika ia marah-marah.
***
Ya ... siapa sangka, jarak satu bulan kemudian mereka menikah. Geger dunia persilatan Serena di kantor. Semua orang tak menyangka seorang asisten pribadi yang terkenal cantik, body goal yang aduhai, pintar, cekatan, juga termasuk ke salah satu perempuan susah ditaklukan, kini sudah menyandang istri berondong yang masih kuliah bernama Romeo.
Romeo memakai setelan jas warna coklat muda, Serena memakai kebaya modern warna senada. Terpaksa Serena terlihat ikhlas menjalankan pernikahannya, padahal ia sudah menyiapkan banyak rencana supaya Romeo menyerah.
Perhelatan pernikahan di aula gedung megah itu selesai. Tira tak henti tertawa saat membantu kakaknya berganti pakaian di ruang ganti. "Jangan ngomel aja lo, Mbak. Kali aja lo dapet kenikmatan lahir batin nikah sama berondong modelan si tengil Romeo."
"Mimpi buruk bisa-bisa tiap hari!" omel Serena seraya memakai baju yang disiapkan Tira. Kaos oblong dan celana jeans. "Sendal jepit gue mana!" pinta Serena.
"Nih!" Tira meletakkan di atas lantai. "Malu, Mbak, ganti gaya napa. Lo udah jadi istri, baek-baek Romeo direbut cabe-cabean."
"Bagus, lah." Serena meraih tas selempang warna merah miliknya. Ia mengecek ponsel, banyak ucapan selamat dan doa supaya cepat dapat momongan ia terima, tetapi rasanya aneh. Hela napas panjang membuat Tira mendekat, ia merangkul Serena.
"Mbak, seenggaknya lo bikin senang Tante Lita. Selamat menempuh hidup baru, ya. Selamat bikin keponakan buat gue dan selamat malam per-- aduh! Mbak!" Tira meringis, pinggangnya kena cubit Serena tak lupa pelototan tajam.
"Bini gue mana?" suara Romeo terdengar di depan pintu. Serena berbalik badan menghadap pintu. Saat pintu terbuka, ia terkejut mendapati Romeo memakai celana pendek warna hitam selutut, sandal jepit hitam dan kaos kerah warna putih. Tak lupa Romeo mengunyah permen karet.
"Jiahhh! Kompak bener dandanannya! Lagi bini gembel!" Tira berlari bahkan menabrak Romeo yang terdorong hingga bersandar pada pintu sambil tertawa lepas.
"Heh! Adek ipar resek!" teriak Romeo.
"Apa barusan lo bilang!" tegur Serena. Romeo menoleh, menatap Serena yang berdiri di hadapannya.
"Eh, Tante Serena, ayo kita ke hotel. Tante Serena mau diservice apa sama Meo?" Dengan jail ia mengedipkan sebelah mata. Serena hendak melayangkan cubitan tapi mendengar Lita memanggil. Romeo merangkul bahu Serena mesra.
"Ya ampun, kalian, serasi," lirih Lita yang duduk di kursi roda sambil di dorong Rafli. Serena terpaksa tersenyum. "Kalian langsung check in aja, pesawat berangkat jam empat sore nanti. Buruan berangkat, takut ketinggalan pesawat. Hotel di sana sudah Mama hubungi, kok. Selamat bulan madu, ya, sayang." Lita menghadiahkan paket bulan madu ke Thailand selama empat hari tiga malam, setelah itu mereka akan tinggal di rumah Rafli hingga ia dan Lita kembali pulang setelah Lita menjalani pengobatan. Romeo harus menjaga Kamila yang masih sekolah.
Serena hanya bisa mencoba terlihat senang, sementara Romeo terus mengusap bahu istrinya seolah sengaja menggoda padahal Serena sudah kesal mau marah lagi.
bersambung,
Mimpi apa ... Serena, ia kini berada dalam satu pesawat, duduk sebelahan dengan lelaki yang sah menjadi suaminya. Perjalan mereka ke negara gajah putih hampir tiba di tujuan. Di sana nanti mereka akan dijemput kolega Lita yang memang sudah lama tinggal menetap di sana, orang Indonesia yang menikah dengan wanita Thailand. Wanita sungguhan, ya, bukan nganu."Dari tadi lo nggak makan atau minum apa-apa, Tante, nggak laper atau haus? Apa puasa?" bisik Romeo."Sstt! Diem!" cicit Serena sambil melotot. Romeo kembali duduk bersandar santai sambil tersenyum lebar. Mereka akan bersiap mendarat, semua penumpang pesawat diminta mengencangkan sabuk pengaman.Pendaratan mulus, mereka juga keluar dari pesawat dengan santai, tak tergesa-gesa seperti penumpang mau turun angkot, pesawat baru landing langsung berdiri bersiap, santai aja sist, bro, pesawatnya biar berhenti sempurna dulu baru kalian turun."Night food streetnya, enak-enak kayanya, Tan," ujar Romeo yang langsung memakai tas ransel besar d
Malam kedua mereka di kota Bangkok. Ide gila Romeo membuat Serena hanya bisa mengumpat kesal. Mereka masuk ke dalam salah satu klub ternama di sana. Serena walaupun sedikit banyak tau kehidupan malam kota metropolitan, tapi ia sama sekali tidak pernah menyentuh alkohol.Lain dengan Romeo, ternyata dia suka minum bir walau berkadar alkohol rendah."Darah lo kotor, Meo." jeplak Serena. Romeo tersenyum tipis, bahkan terlihat sudut bibirnya tersungging samar."Bir doang, Tante," gumamnya meneguk lagi.Serena memutar kursi di meja bar, memunggungi rak dengan botol minuman alkohol berjajar rapi juga seorang bartender yang terlihat bertubuh tinggi kekar dengan tatoo yang terlukis abstrak.Kedua mata Serena terbelalak saat melihat jajaran pria tampan seperti di drama Thailand berjalan memasuki klub. Senyumnya mendadak merekah, saat kesal dengan Romeo, eh ada yang hijau menyegarkan mata di depan mata.Dentuman musik menyamarkan suara degup jantung Serena saat salah satu dari pria tampan tadi m
"Kata Mama boleh diubah mau kayak apa penataan ruangannya. Mama serahin semua ke elo." Mulai gue-elo keluar lagi, tandanya memang mereka belum siap saling memanggil dengan panggilan yang lebih baik."Gak ada yang perlu gue ubah juga. Gini aja udah ok." Serena berkacak pinggang kemudian melirik Romeo yang bersiap pergi. "Mau ke mana?""Main. Lo kalau pergi, kunci bawa yang cadangan. Gue balik malem palingan, oke, Tante." Romeo menyambar jaket warna coklat muda, lalu hendak mencium kening Serena tapi wanita itu memundurkan kepalanya."Sana pergi! Gue juga mau jalan nanti sama temen. Gue mau beli baju kerja." Serena berjalan ke dapur. Ia lupa sedang memanaskan sop buntut kiriman mamanya."Butuh uang berapa?" Romeo masih berdiri di tempat."Gue ada duit sendiri. Duit lo pake aja buat jajan," sahut Serena sambil mematikan kompor."Berapa, Tan," sambung Romeo. Serena berbalik badan."Gue punya uang sendiri. Udah sana pergi. Gue mau beresin kamar. Sementara Mama Papa lo masih di LN, kita tid
Selamat membaca lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak. _________"Meo," cicit Serena. Romeo tersenyum lebar. Disampingnya ada sosok wanita cantik sepantaran suami Serena itu. Bodynya juga aduhai walau terbalut kemeja pres body juga celana jeans ketat. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang semakin menambah jenjang penampilannya."Ngapain kamu di sini?" tegur Romeo lagi. Serena mengerutkan kening. 'Kamu' sejak kapan Romeo mengubah panggilan menjadi resmi begitu?"Oh, lagi temani Pak Erik. Direktur perusahaan tempat aku kerja. Pak Erik, kenalkan, ini su--" Serena diam saat Erik sudah mengulurkan tangan ke Romeo yang disambut cepat oleh lelaki muda itu."Romeo.""Erik."Serena melihat wanita disisi Romeo tampak terus diam dengan pandangan tak suka ke arahnya. Ingin rasanya Serena tegur saat itu juga tapi urung karena ia sedang bersama Erik, harus jaga sikap, dong."Aku lanjut. Nanti aku telpon kamu." Tanpa basa basi lagi Romeo berjalan meninggalkan Serena dan Erik yang hanya bisa mengiku
Jangan lupa tinggalkan jejak ya _________________Serena mendorong mundur tubuh Romeo. Ia membawa piring berisi nasi goreng ke meja makan. Kesal karena makan malamnya diganggu, ia letakkan begitu saja tanpa lanjut makan.Romeo mengambil alih, ia habiskan nasi goreng Serena yang berlalu meninggalkannya sendirian.Hari kerja bagi Serena harus dipersiapkan sebaik mungkin. Ia atur pakaian hingga sepatu yang akan dikenakan. Senin pagi ia harus mendampingi bosnya menjemput klien dari luar kota, bersama Erik juga ke bandara. Persiapan selesai, Serena lanjut mandi dan bersiap.Masih dengan rambut setengah basah yang ia keringkan dengan hair dryer, terdengar suara pecahan barang di dapur. Segera Serena berlari, ia melihat Romeo meringis sambil memegang telunjuk jari tangan kirinya."Mecahin apa lo?" tegur Serena datar."Mug. Mau bikin kopi." Romeo membilas telunjuknya, darah masih mengucur. Serena jongkok, ia punguti bekas pecahan mug lalu dimasukkan ke kantong plastik, lanjut ia sapu ke dala
"Tante, Serena ...," panggil Romeo saat ia baru saja kembali setelah untuk sekian kali seringnya main tanpa tujuan. Serena yang sedang memeriksa ulang pekerjaannya hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap layar laptop di depannya.Serena duduk di meja makan, fokus menata ulang jadwal kerja bosnya untuk satu minggu ke depan."Masak nggak?" Romeo menyeret kursi meja makan di depan Serena lantas duduk santai seolah tak ada beban. Ya memang, ia bahkan tak peduli Serena sendiri sudah makan atau belum, gimana di kantor dan hal lainnya."Lo nggak bisa lihat ada makanan nggak di meja." Serena sinis.Romeo meletakkan uang di depan Serena, lembaran seratus ribuan sebanyak lima puluh lembar. "Uang nafkah buat lo bulan ini," tukas Romeo.Serena tak peduli, ia terus fokus."Gue bisa buktiin kalau gue mampu nafkahin lo walau nggak kerja, kan?" Dengan bangga dan sombong ia berkata sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi."Gue nggak butuh," tolak Serena mentah-mentah. "Lo mau nafkahin g
Mari lanjut! _____________Bunyi klakson membuat Serena segera berjalan ke depan rumah. City car warna merah sudah terparkir di sana. "Buruan, Mbak!" teriak Tira, adik satu-satunya yang juga musuh bebuyutan tapi tetap disayang Serena."Sabar! Gue pamit ke Mama Lita dulu tadi." Serena segera menutup pintu mobil lantas memakai seatbelt."Udah bilang kita buru-buru jadi gue nggak bisa ketemu Tante Lita?" Tira melajukan mobilnya."Mama. Tante," tegur Serena sinis."Idih. Buat lo Mama, buat gue ya Tante lah. Mantunya kan elo, bukan gue, Mbak." Tira tergelak. Serena hanya memutar bola matanya malas, semalas ia menyanggah omongan adiknya yang seringnya ajak ribut."Mbak, si Romeo ke mana? Masih molor jangan-jangan?""Tuh tau. Segala nanya." Jawaban sinis Serena membuat Tira curiga."Lo berdua masih kayak musuh? Apa jangan-jangan sampe sekarang kalian belum tidur bareng?" lirik Tira sekilas sebelum kembali menatap jalanan di sabtu siang yang ramai.Mereka akan ke mal untuk ke salon, makan, n
Serena tercengang saat melihat mewahnya apartemen yang katanya dibelikan untuk Romeo. Pemuda itu bersilang tangan di depan dada sambil bersandar pada meja bar yang ada di dalam unit tersebut."Meo, bagus banget!" puji Serena."Betah tinggal di sini, Tan? Gue nggak yakin," sinis Romeo."Dicoba dulu, lah. Lagian itu gedung kantor gue, kelihatan jelas dari sini. Kampus lo juga deket dari sini, halte busway di depan gedung ini. Kita di sini aja, deh!" ajak Serena girang. Pasalnya, semua akan mudah untuk aksesnya bekerja. Ia wanita metropolitan yang punya mobilitas tinggi juga gaya hidup layaknya wanita karir sukses walau sebagai aspri."Nggak deh. Gue nggak suka."Romeo berjalan ke arah kaca besar mengarah ke pemandangan kota Jakarta pada malam hari."Kenapa lagi, sih! Ini tuh udah paling pas, Meo." Serena ikut berdiri di sisi kiri suaminya, ruangan kosong melompong, tak ada barang satupun bahkan kulkas. Sengaja dikosongkan karena memang apartemen itu hanya sebagai tempat Romeo suka mengh