Selamat membaca lagi ya, jangan lupa tinggalkan jejak.
_________"Meo," cicit Serena. Romeo tersenyum lebar. Disampingnya ada sosok wanita cantik sepantaran suami Serena itu. Bodynya juga aduhai walau terbalut kemeja pres body juga celana jeans ketat. Jangan lupakan sepatu hak tinggi yang semakin menambah jenjang penampilannya.
"Ngapain kamu di sini?" tegur Romeo lagi. Serena mengerutkan kening. 'Kamu' sejak kapan Romeo mengubah panggilan menjadi resmi begitu?
"Oh, lagi temani Pak Erik. Direktur perusahaan tempat aku kerja. Pak Erik, kenalkan, ini su--" Serena diam saat Erik sudah mengulurkan tangan ke Romeo yang disambut cepat oleh lelaki muda itu.
"Romeo."
"Erik."
Serena melihat wanita disisi Romeo tampak terus diam dengan pandangan tak suka ke arahnya. Ingin rasanya Serena tegur saat itu juga tapi urung karena ia sedang bersama Erik, harus jaga sikap, dong.
"Aku lanjut. Nanti aku telpon kamu." Tanpa basa basi lagi Romeo berjalan meninggalkan Serena dan Erik yang hanya bisa mengikuti pandangan ke arah Romeo dan wanita itu berjalan. Tujuannya tempat pakaian juga, sepertinya Romeo mau membeli baju baru. Tetapi, kenapa tidak ajak Serena? Malah wanita lain dan siapa itu?
"Suami kamu santai sekali lihat kamu pergi dengan saya. Apa tidak masalah di rumah?" Erik terlihat tak enak hati.
Serena terkekeh pelan sambil menutup mulutnya lalu mengajak Erik berjalan ke arah kasir.
"Jangan dipikirin, Pak, suami saya itu terbuka kok pikirannya. Kami sama-sama membebaskan urusan masing-masing. Lagi pula perempuan tadi teman kuliahnya."
Erik menghentikan langkahnya berjalan. "Kuliah?" tekan Erik. Serena melotot, ia lupa jika harus merahasiakan jika Romeo masih kuliah dan pemalas.
"Iya, Pak, tapi dia kerja, kok. Punya usaha sama teman-temannya." Serena tersenyum lebar.
"Bukan kamu yang nafkahi dia, kan?" Erik terlihat ragu dengan jawaban Serena.
"Bukan, Pak. Setelah ini apa ada yang mau Pak Erik beli lagi?"
Erik menggeleng. Ia berjalan kembali tapi melirik ke Serena yang memalingkan pandangan.
***
Serena pulang ke rumah, ia melihat Romeo sudah pulang juga. Setelah menutup pintu ruang tamu, Serena melangkah langsung ke kamarnya.
"Bos lo tadi, tuh, Tante?" tegur Serena hingga membuatnya berhenti melangkah menaiki anak tangga menuju ke kamar. Ia tolehkan kepala ke kanan, melihat Romeo bertelanjang dada dengan berpeluh. Tampaknya baru selesai olahraga di taman belakang rumah walau tak luas.
"Iya, lah!" jawab Serena judes. "Keren, kan?" sambungnya.
"Ya ... buat standar laki-laki sukses, oke, lah." Romeo menandaskan air mineral di botol yang ia pegang.
"Meo, Mama Lita gimana kondisinya?" Mendadak Serena ingat mama mertuanya. Jika mama kandungnya biarlah, melihat ia menikah dengan Romeo saja sudah tampak bahagia.
"Stabil. Kenapa?" Romeo menempelkan bokongnya di tepi meja makan.
"Gue rasa, kita nggak bisa tinggal di sini terus. Rumah ini terlalu besar dan gue kurang nyaman."
Romeo mengerti, ia mengangguk pelan lantas melempar botol kosong ke tempat sampah tanpa meleset. Ia berjalan ke arah Serena yang bersandar pada pagar tangga bercat hitam.
"Lo mau kita tinggal di mana? Apartemen? Nggak, deh! Bukan tipe gue tinggal di kotak hamster."
Serena berdecak. "Kotak hamster lo bilang. Justru di apartemen mobilitas gue gampang. Gue bisa cari yang deket kantor. Kerjaan gue padat asal lo mau tau, Meo. Gue aspri CEO terkenal, perusahaan besar, bos utama gue Pak Erik yang nggak jarang gue juga ikut bantuin dia biar kerjaan lancar."
"Oh, karena Erik." Romeo bersilang tangan di depan dada. Serena memutar malas bola matanya.
"Lo mana tau, sih, Meo. Sibuknya dunia kerja. Kuliah lo aja nggak beres."
"Gue bisa nafkahin lo, Tante. Kenapa urus kuliah gue!"
Serena lanjut berjalan menaiki anak tangga, tapi ia berhenti lagi saat tinggal selangkah tiba di lantai atas. "Karena jadi sarjana itu penting buat gue! Bagus lanjut gelar master! Bagi gue pendidikan hal utama." Serena memalingkan wajahnya dari Romeo dengan cepat, secepat langkahnya masuk ke kamar lalu ia banting pintu.
Romeo tertawa meremehkan, ia kembali ke halaman belakang, masih ada satu sesi olahraga yang belum ia lalukan sebelum nanti harus bertemu dengan teman-teman satu tongkrongannya. Anak-anak komplek juga walau beda RT.
Saat malam tiba, Serena yang malas masak karena memang kurang bisa masak, memilih membeli makan malam saja. Tak ia dapati Romeo di dalam rumah.
Di garasi, sepeda motor Romeo tak ada, hanya mobil sedan Serena yang terparkir rapi di sana.
Serena memilih berjalan kaki menuju ke penjual nasi goreng langganan, tak jauh, hanya ke jalan utama yang berjarak lima ratus meter kurang lebih.
Ia melewati depan rumah kedua orang tuanya, tempat ia lahir dan tinggal selama ini. Sekarang ia tinggal di rumah Lita yang dulu paling anti ia lewati karena ada Romeo si anak jail yang membuatnya emosi.
"Ma," panggil Serena dari depan pagar. Mamanya tak lama berjalan keluar rumah.
"Eh, Ser, kok ke sini? Mana suami kamu?" Mama celingukan.
"Nggak tau ke mana. Mama masak, nggak?" Serena dan Mama bicara terpisah pagar rumah yang tertutup setinggi dagu Serena.
"Nggak. Mama beli tadi. Papa lagi mau jajan."
"Oh, yaudah. Serena ke depan, deh, beli nasi goreng." Serena melambaikan tangan ke mamanya yang menatap heran.
"Serena!" panggil mamanya. Serena menoleh ke belakang, arah pagar.
"Jangan lupa, kasih cucu buru-buru ke Mama Papa, ya! Semangat, Nak!" Mama mengepalkan tangan ke udara. Senyum merekah, Serena hanya bisa membalas dengan senyuman juga.
Ia berjalan kaki lagi, memakai celana training panjang, kaos longgar juga sandal jepit andalan. Tak tampak Serena seorang wanita karir yang berkelas. Ia memang begitu, di rumah ya ngegembel aja.
"Bang, nasi goreng ayam bakso satu, pedes, ya." Serena berdiri di sisi penjual.
"Siap, Mbak. Duduk, Mbak," tukas penjual. Serena duduk. Ia menguncir tinggi rambut panjangnya lalu memainkan ponsel. Terdengar gelak tawa dari arah kiri, warung kopi tampak ramai. Serena menyipitkan kedua matanya saat melihat Romeo ada diantara gerombolan teman sebaya lelaki itu.
Nasi goreng sudah dibungkus, Serena bawa dengan kantong plastik yang ia tenteng. Saat melewati warung kopi, Serena mulai mendengar suara sumbang gerombolan anak-anak komplek teman Romeo.
"Cieee...! Manten baru lewat! Tante Serena jemput suaminya, ya!" teriak salah satunya. Masih mahasiswa juga.
"Mampir sini Tante Serena! Lakinya seret balik, Tan! Nakal, nih, ngomongin adegan ranjang terus!" sambung lainnya.
"Tante Serenaaa... mampir sini, Tan, masa suaminya dicuekin." Kalimat ledekan itu terus sambung menyambung hingga membuat Serena emosi.
Ia menghentikan langkah kakinya, memutar arah jalan ke arah warung kopi dengan meja panjang warna putih.
Brak! Serena menggebrak meja sangat kerat. Ia tatap tajam semua orang.
"Elo ... elo ... elo ... elo ... elo dan elo semua!" geram Serena. "Lo lupa siapa gue di sini, hah!" omelnya keras. Tak ada senyum ramah apalagi hangat. Serena menyingsingkan lengan kaos longgarnya seraya tersenyum remeh.
"Lo semua nggak usah ledekin gue dengan kalimat nggak guna kayak gitu! Lo semua urus kuliah lo semua yang mogok! Lo urus masa depan lo semua dari pada nongkrong dan teriak-teriakin gue dengan kalimat nggak bagus kayak tadi!" Dengan begitu geram Serena menatap satu persatu. Sedangkan Romeo memalingkan wajah seraya meneguk kopi pesanannya. Masa bodoh Serena mau bilang apa.
"Ya elah, Mbak Serena, masih judes aja," keluh salah satunya.
"Heh! Boim! Lo mau gue ceburin ke comberan lagi! Lo mau gue sambit pake mangga Papa gue! Lo nggak kapok udah gue kasih pelajaran dari dulu karena mulut jail lo! Pikirin kuliah lo! Jaga sikap lo! Lo ngomong sama perempuan dan lebih tua! Lo mau gue seruduk motor lo di jalan biar lo nyungsep ke tempat sampah, hah!" Serena menaik turunkan napasnya cepat. Dadanya kembang kepis.
Ia terkekeh sinis. "Sekali lagi gue denger lo semua ngeledik gue atau adek gue dengan kalimat-kalimat kayak tadi. Gue bikin perhitungan ke elo semua!" tunjuk Serena. "Lo ingat baik-baik!" Serena pergi dari sana. Ia memang kesal sekali. Kadang anak-anak tetangganya walau beda RT saat berkumpul suka seenaknya bicara. Hal itu membuat Serena selalu emosi jiwa.
Sesampainya di rumah, baru saja memindahkan nasi goreng ke atas piring, Romeo pulang. Ia lempar kunci motor seenaknya ke atas sofa. Serena hanya melirik sepintas lalu membawa piring ke sofa ruang TV.
"Lo biasa aja harusnya tadi pas negur mereka. Gue yang nggak enak, Tan." Romeo berdiri di depan Serena, menghalangi TV yang sedang ditonton istrinya.
"Minggir, nggak!" galak Serena.
Romeo diam. Masih berdiri menghalangi.
"Mereka taunya kita suami istri harmonis," lanjut Romeo. Serena masa bodoh, ia mulai makan, mengabaikan ocehan Romeo.
Seketika, Romeo mendekat cepat. Membuat Serena terdorong bersandar dengan posisi setengah tiduran di atas sofa. Romeo menahan kedua bahunya dengan kedua tangan.
"Meo!" bentak Serena. Romeo mengecup bibir Serena dua kali lalu tersenyum.
"Tante Serena ngegoda banget galak kayak tadi," cengir Romeo diakhiri kedipan sebelah mata.
bersambung,
Jangan lupa tinggalkan jejak ya _________________Serena mendorong mundur tubuh Romeo. Ia membawa piring berisi nasi goreng ke meja makan. Kesal karena makan malamnya diganggu, ia letakkan begitu saja tanpa lanjut makan.Romeo mengambil alih, ia habiskan nasi goreng Serena yang berlalu meninggalkannya sendirian.Hari kerja bagi Serena harus dipersiapkan sebaik mungkin. Ia atur pakaian hingga sepatu yang akan dikenakan. Senin pagi ia harus mendampingi bosnya menjemput klien dari luar kota, bersama Erik juga ke bandara. Persiapan selesai, Serena lanjut mandi dan bersiap.Masih dengan rambut setengah basah yang ia keringkan dengan hair dryer, terdengar suara pecahan barang di dapur. Segera Serena berlari, ia melihat Romeo meringis sambil memegang telunjuk jari tangan kirinya."Mecahin apa lo?" tegur Serena datar."Mug. Mau bikin kopi." Romeo membilas telunjuknya, darah masih mengucur. Serena jongkok, ia punguti bekas pecahan mug lalu dimasukkan ke kantong plastik, lanjut ia sapu ke dala
"Tante, Serena ...," panggil Romeo saat ia baru saja kembali setelah untuk sekian kali seringnya main tanpa tujuan. Serena yang sedang memeriksa ulang pekerjaannya hanya melirik sekilas sebelum kembali menatap layar laptop di depannya.Serena duduk di meja makan, fokus menata ulang jadwal kerja bosnya untuk satu minggu ke depan."Masak nggak?" Romeo menyeret kursi meja makan di depan Serena lantas duduk santai seolah tak ada beban. Ya memang, ia bahkan tak peduli Serena sendiri sudah makan atau belum, gimana di kantor dan hal lainnya."Lo nggak bisa lihat ada makanan nggak di meja." Serena sinis.Romeo meletakkan uang di depan Serena, lembaran seratus ribuan sebanyak lima puluh lembar. "Uang nafkah buat lo bulan ini," tukas Romeo.Serena tak peduli, ia terus fokus."Gue bisa buktiin kalau gue mampu nafkahin lo walau nggak kerja, kan?" Dengan bangga dan sombong ia berkata sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi."Gue nggak butuh," tolak Serena mentah-mentah. "Lo mau nafkahin g
Mari lanjut! _____________Bunyi klakson membuat Serena segera berjalan ke depan rumah. City car warna merah sudah terparkir di sana. "Buruan, Mbak!" teriak Tira, adik satu-satunya yang juga musuh bebuyutan tapi tetap disayang Serena."Sabar! Gue pamit ke Mama Lita dulu tadi." Serena segera menutup pintu mobil lantas memakai seatbelt."Udah bilang kita buru-buru jadi gue nggak bisa ketemu Tante Lita?" Tira melajukan mobilnya."Mama. Tante," tegur Serena sinis."Idih. Buat lo Mama, buat gue ya Tante lah. Mantunya kan elo, bukan gue, Mbak." Tira tergelak. Serena hanya memutar bola matanya malas, semalas ia menyanggah omongan adiknya yang seringnya ajak ribut."Mbak, si Romeo ke mana? Masih molor jangan-jangan?""Tuh tau. Segala nanya." Jawaban sinis Serena membuat Tira curiga."Lo berdua masih kayak musuh? Apa jangan-jangan sampe sekarang kalian belum tidur bareng?" lirik Tira sekilas sebelum kembali menatap jalanan di sabtu siang yang ramai.Mereka akan ke mal untuk ke salon, makan, n
Serena tercengang saat melihat mewahnya apartemen yang katanya dibelikan untuk Romeo. Pemuda itu bersilang tangan di depan dada sambil bersandar pada meja bar yang ada di dalam unit tersebut."Meo, bagus banget!" puji Serena."Betah tinggal di sini, Tan? Gue nggak yakin," sinis Romeo."Dicoba dulu, lah. Lagian itu gedung kantor gue, kelihatan jelas dari sini. Kampus lo juga deket dari sini, halte busway di depan gedung ini. Kita di sini aja, deh!" ajak Serena girang. Pasalnya, semua akan mudah untuk aksesnya bekerja. Ia wanita metropolitan yang punya mobilitas tinggi juga gaya hidup layaknya wanita karir sukses walau sebagai aspri."Nggak deh. Gue nggak suka."Romeo berjalan ke arah kaca besar mengarah ke pemandangan kota Jakarta pada malam hari."Kenapa lagi, sih! Ini tuh udah paling pas, Meo." Serena ikut berdiri di sisi kiri suaminya, ruangan kosong melompong, tak ada barang satupun bahkan kulkas. Sengaja dikosongkan karena memang apartemen itu hanya sebagai tempat Romeo suka mengh
Halo, jangan lupa tinggalkan jejak ya ...._______Serena sudah berdandan cantik, Romeo yang tengah duduk santai di ruang TV hanya melirik sepintas saat Serena pamit pergi. Ia bahkan tampil memukau tak seperti biasanya."Lo mau ke club?" tegur Romeo masih memegang remote TV juga memangku bantal sofa."Rahasia. Mau tau aja. Bye!" Serena melangkah pergi dengan mengemudi sendiri di jam tujuh malam. Dari pakaiannya, Romeo tau tak mungkin ke mal atau cafe biasa, fix, istrinya mau dugem.Diperjalanan, Serena menghubungi teman kerja juga bosnya, mereka janjian bertemu di salah satu club yang ada di perkantoran elite Ibu kota. Ia akan bertemu di parkiran mobil.Benar saja, setibanya di sana sudah terlihat deretan mobil mewah lain yang salah satunya dikemudikan bosnya sendiri. Serena segera turun, berlari kecil menghampiri rombongan rekan kerjanya.
Melvin melepaskan kemeja lalu celana panjang, hanya menyisakan boxer ketat menutup inti miliknya. Ia berjalan ke dalam kamar mandi, menyalakan shower juga melepaskan boxer tadi.Ia guyur tubuhnya di tengah malam dengan air hangat. Kedua tangan menempel pada dinding, membiarkan air jatuh membasahi seluruh tubuh.Melvin terkekeh sendiri, ia tau siapa Romeo, karena waktu itu pernah dikenalkan Serena tapi ia mau memastikan sekali lagi.Jadi, anak kuliahan itu suaminya. batin Melvin.Melvin mengongak, air membasahi wajah tampannya. Ia basuh dengan tangan, lantas menyugar rambutnya yang juga sudah basah.Ada yang aneh, kenapa Serena kayak nggak suka sama suaminya sendiri? lanjut batin Melvin berucap.Well, gue yakin Serena terpaksa nikah sama bocah itu. Ia tutup dialog dengan diri sendiri lalu tersenyum lebar.
Serena tengah asik menikmati sarapan buatan mamanya. Ia tadi datang berjalan kaki karena malas sekedar ke rumah mamanya yang beda satu blok harus mengemudikan mobilnya.Dengan memakai kaos rumahan yang longgar dan warna bisa dibilang buluk, juga celana pendek dan tak lupa sendal jepit andalan. Serena tak berbeda dengan anak komplek lain yang saat akhir pekan malas ke mana-mana."Pelan-pelan makannya, Rena," tegur mama sambil menyeret kursi duduk di hadapan putrinya."Laper, Ma.""Emang habis ngapain? Olahraga pagi ya sama Romeo," ledek mama. Serena tersedak, buru-buru ia meneguk air putih. Mamanya mengingatkan adegan panas pagi tadi yang tak tuntas, ah ... bikin Serena ingat lagi, kan."Nggak. Romeo pamit mau naik gunung sama anak-anak tongkrongan di warung kopi depan. Tiga hari perginya.""Kok nggak ajak kamu?" Mama mulai heran."Rena kan kerja, mana bisa ditinggal kerjaan Rena, Ma. Papa mana?" Ia baru sadar jika sejak ia di rumah orang tuanya, Handoko alias papanya tidak ada."Papa
Dibilang salah, tidak juga ... di bilang tidak salah ya ... salah. Serena melepaskan pelukan, ia menatap Melvin yang tersenyum manis."Pernikahanmu, bukan maumu, kan, Ser?" lirih Melvin masih dengan kedua tangan memeluk pinggang ramping Serena.Serena hanya bisa diam tanpa mau menjawab, bingung juga sebenarnya."Em, mau coba baju lainnya? Saya bisa tunggu di sini lagi, Pak." Ia mundur selangkah, Melvin mau tak mau melepaskan pelukannya. Ia mengangguk, lantas masuk kembali ke dalam bilik kamar pas sedangkan Serena duduk di tempat semula dengan pikiran tak karuan.Ia diam, mencerna kejadian beberapa waktu lalu saat ia membalas pelukan Melvin.Ah, masa bodo! Romeo juga nggak peduli, batinnya berujar. Pintu bilik kamar pas terbuka, Melvin keluar dengan pakaian saat awal datang dengan Serena, di tangannya membawa semua baju baru pilihan Serena."Saya ambil semua, ayo kita bayar. Apa kamu butuh sesuatu? Sekalian nanti saya bayar." Melvin meraih cepat jemari tangan Serena yang masih duduk me
Perjalanan mencapai kesuksesan tidak lah mudah, berliku bahkan berdarah-darah dapat terjadi. Proses memang butuh waktu, kesabaran dan tetap tekun menjadi kuncinya.Memasuki bulan kelahiran, sudah dipastikan Serena akan operasi. Romeo tetap bekerja sebagai ojek online karena tak mau menerima bantuan tawaran kerja dari siapapun.Perkara dengan papanya masih berlanjut, pria itu sudah menikah lagi tanpa Romeo pun Serena datang. Mau dibujuk seperti apa, Romeo tak akan bergerak datang."Kamu nggak kasihan sama Papamu, Meo?" Serena sedang merapikan pakaian bayi ke dalam koper. Esok ia dijadwalkan operasi sesar."Nggak." Romeo menjawab tegas."Susah ya kasih pengertian ke anak muda," sindir Serena diakhiri kekehan. Romeo hanya berdecak. Ia bangkit, meraih jaket ojol lantas memakainya."Hari ini aku narik sebentar, sampe siang, terus pulang."Serena mengangguk. Ia peluk suaminya memberi semangat, sedangkan Romeo bersandar manja di bahu sang istri."I love you," bisik Romeo."Love you more," ba
Malam-malam bisa jalan berdua, Serena menggamit lengan Romeo saat mereka selesai makan malam di warung tenda yang menyajikan menu soto daging. Tak lupa ia membeli minuman manis supaya segar tenggorokannya."Jangan kebanyakan minum manis, Ser," tegur Romeo."Dikit aja." Serena menyedot jus jeruk sunkies."Ser, buat makan sehari-hari gimana? Nebeng orang tua?" Romeo tak enak hati, harus merepotkan kedua mertuanya."Ada aku, cukup kok gajiku buat tambahin biaya dapur." Dengan santai Serena menjawab, keduanya berhenti berjalan di depan taman air mancur komplek, sengaja dibuat supaya bisa jadi tempat para warga berkumpul karena dihias lampu warna warni yang cantik.Pandangan Romeo lurus ke depan. Ia berpikir sampai kapan harus serumah dengan mertua, ia juga mau punya tempat tinggal sendiri walau sewa. Tak ingin meminta bantuan papanya juga, kegengsian Romeo sangat tinggi, ia harus berhasil dengan kakinya sendiri bagaimanapun juga. Belajar dari masa lalu dan kesalahan, tak akan kembali ia t
"Meo, bangun ... kamu jalan jam berapa?" Serena duduk di tepi ranjang, ia sudah selesai mandi juga berpakaian. Jam masih diangka lima pagi, karena Tira sedang menginap di rumah temannya, ia ke kantor berangkat sendiri.Romeo bergeliat, ia buka matanya perlahan lalu tersenyum. Bukannya langsung beranjak, ia justru mendusalkan wajah ke arah perut Serena.Ia ciumi perut buncit Serena begitu penuh kebahagiaan. Perlahan, Romeo duduk, ia menyapa Serena dengan belaian di kepala lantas segera ke kamar mandi.Serena keluar kamar, ia kaget karena papanya sudah berdiri di depan kamar. "Romeo?" Tatapan papa begitu datar.Hanya bisa senyam senyum yang ditunjukkan Serena. "Papa mau ngomong sama suamimu." Lalu papa turun ke lantai bawah. Serena menutup pintu lagi, tadinya ia mau menyiapkan kopi untuk Romeo."Meo," ketuk Serena ke pintu kamar mandi. Pintu terbuka, Romeo masih dalam keadaan basah kuyup, belum selesai mandi. "Papa mau ngomong sama kamu," tukasnya. Romeo mengangguk. "Aku tunggu di bawah
Serena menutup pagar, ia gandeng Romeo masuk ke dalam rumah. Duduk bersama di ruang tamu.Kepala Romeo tertunduk dalam dengan kedua tangan saling meremas. "Aku nggak sangka Papa bisa secepat ini mau dekat sama perempuan lain, Ser. Gampang banget Papa lupain Mama!" Emosi Romeo mulai muncul. Serena meraih jemari tangan suaminya yang saling meremas keras."Papa butuh temen, emang kamu udah tau siapa ceweknya? Bukan ani-ani atau cewek kegatelan, kan?!" Kalimat Serena membuat Romeo menoleh cepat ke arahnya. "Barang kali, namanya jaman sekarang," sambung Serena."Perempuannya Bu Hartoyo, janda RT delapan. Ibunya Fadlan. Musuh aku waktu SMP sampe SMA, mantan pacarnya Tira," tukas Romeo."HAH!" Serena teriak kencang sekali. Romeo mengusap kasar wajahnya."Kayak nggak ada pilihan lagi Papa, kan?! Aku nggak masalahin Bu Hartoyo! Aku masalahin anaknya. Si Fadlan itu males! Dia kerjanya game melulu! Yang ada morotin Papa!" kesal Romeo."Emang kamu nggak males," cicit Serena yang masih bisa dideng
Serena seolah membatu, setiap hari Romeo datang sekedar memberikan makanan dan tak lupa uang seadanya. Kini, kehamilan Serena sudah masuk bulan kelima, perutnya sudah mulai tampak membuncit.Saat berjalan terlihat tonjolan pada perutnya yang mampu membuat mata tetangga jelatan alias siap menggosipkan dirinya untuk kesekian kalinya."Mbak, gue drop di perempatan deket kantor lo aja, ya," ujar Tira seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi."Iya," tukas Serena seraya masuk ke dalam mobil. Serena kembali bekerja, di rumah saja membuatnya justru bosan. Karena kehamilannya, ia tak lagi menjadi aspri dari Moza, tapi ia pindah ke bagian keuangan.Bagus Serena cepat belajar, ia juga tak malu bertanya jika ada hal yang membingungkan.Serena dan Tira melewati rumah tetangga yang suka bergosip. Ia mulai kesal namun Tira meminta mengabaikan. Berita ia hamil bukan dengan Romeo hingga ia dibilang cerai lalu menjadi simpanan Om-om juga marak disebar."Mbak, udah coba ngobrol sama Romeo?" Tira meme
Halo, kembali lagi ketemu saya, maaf lamaaa nggak update. Semoga kalian masih mau membaca karya ini ya, terima kasih.****Romeo diam, ia merenungi semuanya. Di dalam hati, ia tau Serena yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak keduanya kecil. Petualangan cinta Romeo sendiri dengan perempuan lain hanya basa basi, tak serius. Hanya Serena yang bisa mengikat hatinya."Gue harus mulai dari mana?" gumamnya merutuki diri karena laki-laki seharusnya bekerja keras demi membahagiakan diri sendiri dan wanita yang dicintai. Bukan seperti dirinya yang seenaknya sendiri.Bergelut dengan hati, membuat Romeo meneteskan air mata akibat terlalu santai selama ini. Kini ia akan menjadi seorang ayah, ada tanggung jawab baru yang harus diemban.Bekerja dengan papanya, bisa saja. Tetapi bagi Romeo yang berprinsip keras jika ia bisa berdiri di kaki sendiri tak akan mau menikmati fasilitas kemudahan itu.Grup chat SMA ia buka, ia mencoba menghubungi temannya satu persatu yang dekat dengannya dulu. Mencari lo
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k