“Ya ampun, aku ketiduran pas lagi makeup?”Aline tergelak dan mengangguk. “Iya, untung kepalamu nggak tiba-tiba jatuh ke depan gitu. Nggak lucu kan kalau pengantinnya malah benjol.”Gerakan MUA yang tengah meriasnya membuat Athalia menahan diri untuk meringis. Pagi tadi ia dibangunkan Aline dengan heboh, padahal dirinya baru mulai tertidur pukul satu malam saking gugupnya menghadapi hari ini—hari pernikahannya.Hampir seminggu telah berlalu dari pertemuan terakhir Athalia dengan Asa, saat lelaki itu tiba-tiba muncul di kos-kosannya. Mereka berkencan di Baca di Tebet sampai pukul enam sore, lalu berkeliling kawasan Tebet yang memiliki banyak kafe serta tempat makan yang populer untuk makan malam.Setelahnya, Asa memulangkan Athalia tepat pukul delapan malam. Mereka berciuman cukup lama di dalam mobil karena tahu kalau hampir mustahil untuk bertemu lagi sebelum hari pernikahan mereka. Keduanya baru berpisah setelah Aline mengetuk kaca mobil Asa sambil melotot.“Asa udah bangun belum ya,
Athalia cantik setiap hari.Tapi kalau diharuskan memilih kapan Athalia sangat cantik, maka Asa akan memilih Athalia yang hari ini.Yang hari ini resmi jadi istrinya.“Dilihatin terus, Bang.” Ilana yang berdiri di samping Asa sengaja menyenggol bahu sang kakak dengan jahil. “Tenang aja sih, nggak bakal ke mana-mana Mbak Atha-nya.”Asa tertawa saja diledek begitu oleh adiknya, Meisie yang berada di sisi kanannya pun ikut tertawa dengan Ilana. Tatapan mata Asa tetap tertuju pada Athalia yang tengah mengobrol dengan Teguh dan Jihan.Tadi Asa memang pamit ke toilet sebentar, selain karena ingin buang air kecil, Asa juga ingin Athalia memiliki waktu khusus dengan Teguh dan Jihan. Sebelumnya pun Athalia sudah menghabiskan waktu dengan Astrid dan Reza—suami baru Astrid.Tamu undangan yang terbatas, juga didominasi oleh kerabat dan teman yang memang benar-benar mereka kenal, membuat keduanya memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengobrol bersama keluarga dan para tamu. Asa bersyukur mereka
“Capek? Mau aku pijatin?”“Capek sih. Tapi nggak usah, nggak apa-apa, Sayang.” Athalia memutuskan untuk menyudahi kegiatannya merapikan pakaian di lemari, lalu naik ke atas ranjang dan disusul oleh Asa. “Rebahan dulu aja deh sambil nonton televisi.”“Mau minum?”Athalia menggeleng. “Belum haus sih. Kamu mau minum?”“Nggak, cuma nawarin kamu aja.” Cengiran Asa membuatnya terlihat boyish dan menggemaskan di mata Athalia, hingga ia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi sang suami yang terima-terima saja atas tindakannya.Tangan Athalia beralih mengambil remote televisi di atas nakas kamar Asa yang mereka tempati sejak semalam tiba di Bali, lalu menyalakan benda berbentuk persegi panjang itu. Tubuhnya terlonjak kaget saat tahu-tahu tangan Asa sudah ada di betisnya, lalu memijat betisnya dengan lembut tapi cukup bertenaga hingga rasa pegal yang dirasakan Athalia sejak tadi… mulai lebih baik.“Asa….”“Kenapa?” Asa pura-pura tak melihat tatapan protes Athalia dan memamerkan senyumnya unt
Athalia menyelesaikan sapuan terakhirnya di teras belakang rumah dan menghela napas lega. Sejak pagi tadi ia dan Asa berjibaku untuk membersihkan rumah, karena ART yang seharusnya mulai bekerja di rumah ini baru bisa datang minggu depan.Walau begitu, Athalia tidak keberatan untuk membereskan rumah ini. Rumah mereka—Asa dan Athalia.“Sayang, makanannya udah dateng,” seru Asa dari dalam rumah. “Makan, yuk.”“Ayo.” Athalia bergegas ke ruangan di sebelah dapur, di mana tempat peralatan bersih-bersih mereka berada. Saat hendak ke ruang tengah, ternyata Asa sudah tiba di dapur dan membuka plastik dari restoran yang makanannya mereka pesan kurang dari satu jam yang lalu.Sepulang dari honeymoon, keduanya mulai menghuni rumah baru mereka ini. Masih ada dua hari lagi sebelum keduanya kembali bekerja. Jadi Asa dan Athalia memutuskan untuk merapikan rumah mereka.Sebelum resmi menikah, semua barang-barang milik keduanya sudah dipindahkan ke rumah ini. Furnitur pun sudah terbeli sejak dua bulan
“Mau jemput Atha, Bang?”“Nggak, Pa. Abang mau ke kosan Athalia yang lama.”“Ngapain?” Badai mengernyitkan keningnya, bingung dengan jawaban Asa. Lelaki paruh baya itu bersandar di dinding lift yang baru saja tertutup dan hanya dihuni oleh mereka berdua. “Ada barang yang ketinggalan?”“Nggak juga sih, Pa. Cuma ada paket yang masih dikirim ke sana. Mungkin hadiah pernikahan.”“Oh. Kenapa nggak bareng Atha?”“Katanya harus lembur, hari ini ada sampel bahan baru masuk dan dia yang harus ngawasin proses masuknya.”“Kasihan, habis honeymoon langsung disuruh lembur,” ledek Badai yang hanya menuai tawa Asa. “Perlu telepon Ksatria nggak biar istrimu disuruh pulang aja?”“Nggak usah, Pa. Yang ada nanti Athalia malah ngamuk sama aku, hehehe.”“Dia hardworker ya,” komentar Badai lagi. “Sama kayak mamamu.”“Iya.” Untuk yang itu, Asa setuju. Athalia mungkin bukan tipe orang yang sering lembur untuk bekerja. Tetapi, Asa bisa melihat betapa passionate-nya Athalia terhadap apa yang ia kerjakan.Sekal
Athalia membuka matanya secara perlahan. Ia mengerang pelan dan tangannya tak sengaja mengusap permukaan ranjang di sebelahnya yang ternyata kosong.Kedua mata yang tadinya belum sepenuhnya terbuka, langsung terbelalak kaget saat mendapati tidak ada Asa di sampingnya."Asa?" panggilnya pelan, masih mengira bahwa Asa mungkin ada di kamar mandi. Tapi saat tak kunjung ada sahutan, Athalia menegakkan tubuhnya dan bersandar pada headboard seraya mengucek matanya."Sayang?" Athalia kembali mencoba memanggil suaminya.Saat tak terdengar sahutan sama sekali, Athalia memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan mengecek kamar mandi. Asa tidak di sana, begitu pula dengan balkon kamar yang baru-baru ini jadi spot favorit Asa di rumah.Apa dia lagi masak mie? p
Hari ini suasana hati Athalia benar-benar bagus.Meskipun ia baru tertidur pukul setengah tiga pagi (karena tidak mungkin setelah makan mie instan ia langsung tidur kan?) dan otomatis jam tidurnya berkurang, tapi Athalia tidur dengan hati yang damai.Ia dan Asa berhasil menghadapi hadiah pernikahan dari orang yang tidak mereka inginkan kehadirannya lagi di hidup mereka. Rasanya lega sekali, saat mereka bisa membuka kotak itu tanpa merasa perlu berteriak histeris atau dengan tangan yang gemetar tak terhingga.“Pengantin baru… senyum-senyum terus.”Ledekan Astrid hanya ditanggapi dengan senyum oleh Athalia. Sepulang kerja hari ini, Athalia menemani Astrid makan di salah satu restoran yang berada di kawasan Gunawarman.Sejak persiapan pernikahan At
“Kamu yakin?”Asa mengangguk dan mematikan mesin mobilnya, semata supaya tidak ada alasan lain untuk menghindar dari tempat ini. Kalau mesin mobilnya masih menyala, mungkin saja Asa akan putar balik kembali ke rumah mereka.“Kamu aja bisa ketemu sama papa dan mama kamu, masa aku ketemu eyang sendiri nggak bisa?”Saat Asa menoleh, ia mendapati Athalia yang tersenyum lembut kepadanya. Kalau sedang begini, Asa merasa seperti anak yang tertangkap basah sedang berbohong. Istrinya itu pasti menangkap keraguan yang sempat melintas meski hanya sedetik.Akhir pekan ini mereka diundang Banyu untuk menghabiskan waktu bersama di rumahnya. Lelaki paruh baya itu baru saja berulang tahun dan mengumpulkan keluarganya di sana. Badai, Padma, Ilana, dan Meisie juga turut datang, tapi yang sejak pagi tadi
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel