“Capek? Mau aku pijatin?”“Capek sih. Tapi nggak usah, nggak apa-apa, Sayang.” Athalia memutuskan untuk menyudahi kegiatannya merapikan pakaian di lemari, lalu naik ke atas ranjang dan disusul oleh Asa. “Rebahan dulu aja deh sambil nonton televisi.”“Mau minum?”Athalia menggeleng. “Belum haus sih. Kamu mau minum?”“Nggak, cuma nawarin kamu aja.” Cengiran Asa membuatnya terlihat boyish dan menggemaskan di mata Athalia, hingga ia mengulurkan tangannya untuk mencubit pipi sang suami yang terima-terima saja atas tindakannya.Tangan Athalia beralih mengambil remote televisi di atas nakas kamar Asa yang mereka tempati sejak semalam tiba di Bali, lalu menyalakan benda berbentuk persegi panjang itu. Tubuhnya terlonjak kaget saat tahu-tahu tangan Asa sudah ada di betisnya, lalu memijat betisnya dengan lembut tapi cukup bertenaga hingga rasa pegal yang dirasakan Athalia sejak tadi… mulai lebih baik.“Asa….”“Kenapa?” Asa pura-pura tak melihat tatapan protes Athalia dan memamerkan senyumnya unt
Athalia menyelesaikan sapuan terakhirnya di teras belakang rumah dan menghela napas lega. Sejak pagi tadi ia dan Asa berjibaku untuk membersihkan rumah, karena ART yang seharusnya mulai bekerja di rumah ini baru bisa datang minggu depan.Walau begitu, Athalia tidak keberatan untuk membereskan rumah ini. Rumah mereka—Asa dan Athalia.“Sayang, makanannya udah dateng,” seru Asa dari dalam rumah. “Makan, yuk.”“Ayo.” Athalia bergegas ke ruangan di sebelah dapur, di mana tempat peralatan bersih-bersih mereka berada. Saat hendak ke ruang tengah, ternyata Asa sudah tiba di dapur dan membuka plastik dari restoran yang makanannya mereka pesan kurang dari satu jam yang lalu.Sepulang dari honeymoon, keduanya mulai menghuni rumah baru mereka ini. Masih ada dua hari lagi sebelum keduanya kembali bekerja. Jadi Asa dan Athalia memutuskan untuk merapikan rumah mereka.Sebelum resmi menikah, semua barang-barang milik keduanya sudah dipindahkan ke rumah ini. Furnitur pun sudah terbeli sejak dua bulan
“Mau jemput Atha, Bang?”“Nggak, Pa. Abang mau ke kosan Athalia yang lama.”“Ngapain?” Badai mengernyitkan keningnya, bingung dengan jawaban Asa. Lelaki paruh baya itu bersandar di dinding lift yang baru saja tertutup dan hanya dihuni oleh mereka berdua. “Ada barang yang ketinggalan?”“Nggak juga sih, Pa. Cuma ada paket yang masih dikirim ke sana. Mungkin hadiah pernikahan.”“Oh. Kenapa nggak bareng Atha?”“Katanya harus lembur, hari ini ada sampel bahan baru masuk dan dia yang harus ngawasin proses masuknya.”“Kasihan, habis honeymoon langsung disuruh lembur,” ledek Badai yang hanya menuai tawa Asa. “Perlu telepon Ksatria nggak biar istrimu disuruh pulang aja?”“Nggak usah, Pa. Yang ada nanti Athalia malah ngamuk sama aku, hehehe.”“Dia hardworker ya,” komentar Badai lagi. “Sama kayak mamamu.”“Iya.” Untuk yang itu, Asa setuju. Athalia mungkin bukan tipe orang yang sering lembur untuk bekerja. Tetapi, Asa bisa melihat betapa passionate-nya Athalia terhadap apa yang ia kerjakan.Sekal
Athalia membuka matanya secara perlahan. Ia mengerang pelan dan tangannya tak sengaja mengusap permukaan ranjang di sebelahnya yang ternyata kosong.Kedua mata yang tadinya belum sepenuhnya terbuka, langsung terbelalak kaget saat mendapati tidak ada Asa di sampingnya."Asa?" panggilnya pelan, masih mengira bahwa Asa mungkin ada di kamar mandi. Tapi saat tak kunjung ada sahutan, Athalia menegakkan tubuhnya dan bersandar pada headboard seraya mengucek matanya."Sayang?" Athalia kembali mencoba memanggil suaminya.Saat tak terdengar sahutan sama sekali, Athalia memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan mengecek kamar mandi. Asa tidak di sana, begitu pula dengan balkon kamar yang baru-baru ini jadi spot favorit Asa di rumah.Apa dia lagi masak mie? p
Hari ini suasana hati Athalia benar-benar bagus.Meskipun ia baru tertidur pukul setengah tiga pagi (karena tidak mungkin setelah makan mie instan ia langsung tidur kan?) dan otomatis jam tidurnya berkurang, tapi Athalia tidur dengan hati yang damai.Ia dan Asa berhasil menghadapi hadiah pernikahan dari orang yang tidak mereka inginkan kehadirannya lagi di hidup mereka. Rasanya lega sekali, saat mereka bisa membuka kotak itu tanpa merasa perlu berteriak histeris atau dengan tangan yang gemetar tak terhingga.“Pengantin baru… senyum-senyum terus.”Ledekan Astrid hanya ditanggapi dengan senyum oleh Athalia. Sepulang kerja hari ini, Athalia menemani Astrid makan di salah satu restoran yang berada di kawasan Gunawarman.Sejak persiapan pernikahan At
“Kamu yakin?”Asa mengangguk dan mematikan mesin mobilnya, semata supaya tidak ada alasan lain untuk menghindar dari tempat ini. Kalau mesin mobilnya masih menyala, mungkin saja Asa akan putar balik kembali ke rumah mereka.“Kamu aja bisa ketemu sama papa dan mama kamu, masa aku ketemu eyang sendiri nggak bisa?”Saat Asa menoleh, ia mendapati Athalia yang tersenyum lembut kepadanya. Kalau sedang begini, Asa merasa seperti anak yang tertangkap basah sedang berbohong. Istrinya itu pasti menangkap keraguan yang sempat melintas meski hanya sedetik.Akhir pekan ini mereka diundang Banyu untuk menghabiskan waktu bersama di rumahnya. Lelaki paruh baya itu baru saja berulang tahun dan mengumpulkan keluarganya di sana. Badai, Padma, Ilana, dan Meisie juga turut datang, tapi yang sejak pagi tadi
“Mama nggak tahu harus ngomong terima kasih sebanyak apa ke kamu, Tha. Rasanya ngomong ribuan kali pun nggak akan cukup.”Athalia sampai tercengang saat tiba-tiba Padma mengatakan hal itu. Mereka sedang bersantai di teras rumah Banyu. Para lelaki sedang sibuk memanggang daging dan ikan yang sudah disiapkan khusus untuk acara ‘bakar-bakar’ malam hari ini.Ilana, Meisie, Hanna, dan Sinta masih bergosip seru sambil menyiapkan piring serta makanan pendamping lainnya. Sementara Nira, Padma, dan Athalia bertugas menyiapkan minuman serta buah-buahan. Hanya saja Nira sedang kembali ke dapur untuk mengambil stok es batu.“Ngomong terima kasih buat apa, Ma?” Athalia benar-benar bingung. Ia menatap buah melon yang tengah ia potong setelah dipisahkan dari kulitnya, kemudian berganti melihat hasil karya Padma yang
Hal yang dulunya jadi semacam blessing in disguise dari renggangnya ikatan keluarganya adalah semakin berkurangnya orang-orang yang mengurusi hidup Athalia.Bukannya Athalia benar-benar menyukai apa yang telah ia lewati seorang diri, tapi kini ia mulai mengerti bahwa perhatian keluarga terhadap dirinya ternyata juga bisa menyesakkan dada.“Mama nggak sabar punya cucu.”“Kan udah ada anaknya Mbak Aline.” Athalia menjawab sambil lalu.Astrid tertawa kering, setelahnya ia kembali berkata dengan penuh makna, “Mama juga mau punya cucu dari kamu, Tha.”“Sabarlah, Ma. Baru juga berapa bulan nikah.” Ini bukan pertama kalinya Athalia mengatakan hal serupa sejak mereka bertemu dua jam yang lalu.