Hal yang dulunya jadi semacam blessing in disguise dari renggangnya ikatan keluarganya adalah semakin berkurangnya orang-orang yang mengurusi hidup Athalia.
Bukannya Athalia benar-benar menyukai apa yang telah ia lewati seorang diri, tapi kini ia mulai mengerti bahwa perhatian keluarga terhadap dirinya ternyata juga bisa menyesakkan dada.
“Mama nggak sabar punya cucu.”
“Kan udah ada anaknya Mbak Aline.” Athalia menjawab sambil lalu.
Astrid tertawa kering, setelahnya ia kembali berkata dengan penuh makna, “Mama juga mau punya cucu dari kamu, Tha.”
“Sabarlah, Ma. Baru juga berapa bulan nikah.” Ini bukan pertama kalinya Athalia mengatakan hal serupa sejak mereka bertemu dua jam yang lalu.
“Gimana? Istri Pak Asa udah isi belum?”Asa agak mengernyit mendengar pertanyaan salah satu manajer—manajer dari divisi procurement, yang hari ini ikut rapat bersamanya di luar.Ia agak jengah setiap kali orang-orang menanyakan perihal apakah Athalia sudah hamil atau belum. Hamil atau tidak seharusnya bukan hal yang diurus oleh orang lain selain ia dan Athalia kan?Belum sempat Asa menjawab, seseorang sudah terlebih dahulu menyahuti. “Ah… iya, perlu tips dari kita-kita nggak, Pak?”Kebanyakan dari mereka tertawa. Asa membiarkannya terlebih dahulu, karena sebesar apa pun keinginannya untuk membantah, mereka semua ini adalah orang-orang yang juga memiliki kinerja yang baik di Dirja Group, juga sudah bekerja cukup lama dengannya.
Bersama dengan Asa, ada banyak hal pertama yang Athalia lakukan dengan suaminya tersebut. Athalia masih mengingat dengan jelas bagaimana pertama kalinya, mereka belanja bersama untuk kebutuhan rumah.Rasanya menyenangkan, memiliki seseorang untuk berbagi pikiran atau sekadar menanyakan pendapat soal produk mana yang lebih baik mereka pilih untuk dibeli.Ah, mengingat hal itu saja sudah membuat Athalia tersenyum. Sambil menelusuri lorong berisi deterjen dan sabun lainnya, Athalia bersenandung kecil. Sesekali ia berhenti di depan sebuah rak untuk mengambil barang yang ada di daftar belanjanya.Untuk kali ini, Athalia harus belanja sendiri karena Asa sedang ada meeting sampai menjelang malam. Sedangkan besok keluarga Asa akan datang ke rumah untuk berkunjung di akhir pekan. Kalau biasanya Athalia dan suaminya yang akan pergi ke ke
Asa memandang buket bunga yang ada di sampingnya secara sekilas, karena ia masih mengemudi. Senyum di wajahnya tidak kunjung luntur. Sepulangnya dari kantor, Asa menyempatkan diri untuk mampir ke florist yang tidak jauh dari kantornya.Ide untuk membelikan bunga ini datang begitu saja, saat mengingat bahwa hari ini lagi-lagi ia pulang malam. Dalam sebulan terakhir, Asa lumayan sering lembur dan membuat Athalia akhirnya menyetir sendiri supaya tidak menunggu Asa menjemputnya di kantor saat hari sudah malam atau mengharuskannya naik kendaraan umum.Jabatan barunya membuat pekerjaan Asa benar-benar padat dan belakangan ini selalu ada meeting di sore hari, hingga akhirnya ia sering pulang terlambat.Untunglah suasana hati Athalia secara keseluruhan sudah membaik meski beberapa minggu sebelumnya, sempat drop karena test
“Gimana Bali? Kepakai nggak bikini yang Mama beliin?”Athalia tertawa dan tersipu malu saat Padma menanyakan hal tersebut padanya. “Bali ya seperti biasa, Ma, selalu menyenangkan,” jawabnya. “Dan kepakai sih, walaupun kayaknya Asa agak susah ya buat nahan diri nggak nutupin aku pakai handuk.”Padma tergelak begitu mendengar penjelasan Athalia, sedangkan Athalia juga ikut tertawa sambil tetap mengupas buah mangga di tangannya.“Dulu dia suka ngeledekin papanya yang kelakuannya juga 11:12 tuh, protektif walaupun kita pakai bikini cuma di pantai,” jelas Padma. “Sekarang malah dia jadi nggak jauh beda sama papanya.”Sosok yang dibicarakan Padma dan Athalia barusan tiba-tiba muncul di teras belakang kediaman Tanaka. Lelaki itu sepertinya tidak mendengar apa yang dibicarakan ibu dan istrinya tersebut, makanya ia masih tersenyum seperti biasa dan langsung duduk di sebelah Athalia dengan santainya.“Pada ngomongin apa sih? Kayaknya seru banget,” kata Asa dengan enteng.“Ngomongin kamu.” Athal
Asa: Aku lagi mau makan malam sama orang kantor yang ikut ke Palembang ini.Asa: Kamu lembur hari ini?Athalia: Nggak kok, ini udah mau jalan pulang.Athalia: Mau mampir ke minimarket dulu, kemarin lupa beli kamper.Asa: Ke minimarket di perumahan aja biar nggak jauh dari rumah, Sayang.Athalia: Iya, nanti aku kabarin begitu sampai di rumah ya.Asa: Take care and I love you.Athalia selalu menghitung hari yang ia habiskan tanpa Asa di sisinya, setiap kali mereka harus berjauhan.Dua hari yang lalu Asa sudah berangkat ke Palembang. Athalia ikut mengantar Asa ke bandara, meski itu artinya ia harus bersiap ke kantor sejak dini hari. Mereka tidak banyak bicara, tapi baik Asa dan Athalia sama-sama tidak melepaskan dekapan mereka sampai Asa harus meninggalkannya.Seharusnya besok Asa sudah pulang ke Jakarta dengan penerbangan yang dijadwalkan pukul setengah dua belas siang. Maka dari itu hari ini Athalia berpikir untuk pulang ke rumahnya sendiri sepulang kerja. Padma pun mengiakan dan berpe
Asa mengernyit bingung saat telepon dengan Athalia tiba-tiba terputus. Ia menatap ponselnya dengan gamang, lalu mencoba kembali menghubungi istrinya, tapi tidak kunjung diangkat.“Hmmm.” Asa bergumam tanpa sadar. “Kok aneh?”“Kenapa, Pak?” tanya asisten Asa yang ikut di perjalanan dinas ini dan sekarang sedang duduk di sebelahnya, di acara makan malam dengan orang-orang yang beberapa hari ini bekerja dengannya di Palembang.“Besok pesawat kita siang ya?” Asa memilih untuk tidak langsung menjawab pertanyaan sang asisten dan menanyakan hal lain.“Iya, Pak. Apa Bapak mau reschedule ke pagi hari?”“Kalau pesawat malam ini nggak ada ya?” Tiba-tiba Asa merasa ingin pulang saja, rasanya cukup aneh me
Kepala Athalia berdenyut—menyakitkan sekali rasanya. Ketika rasa sakit itu semakin tidak tertahankan, Athalia berusaha untuk membuka kedua matanya dan kegelapanlah yang menyambutnya.Ugh, di mana ini? batinnya yang mulai sadar bahwa ia tidak mengenal tempat ini.Mata Athalia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri supaya bisa melihat ke sekitarnya. Kamar ini gelap, tapi masih ada sedikit cahaya dari ventilasi yang menjadi satu-satunya sumber penerangan untuk Athalia.Tangan Athalia diikat ke belakang, jadi ia hanya bisa meraba-raba permukaan tempatnya duduk saat ini dan mendapati bahwa ia sepertinya duduk di atas ranjang.Ini jelas bukan kamarnya. Bau apak yang tercium dari seluruh penjuru ruangan jelas menunjukkan kalau tempat ini sudah lama tidak dihuni. Hanya keberadaan ranjang ya
“Kalian nggak harus ikut aku sebenernya.”Badai Tanaka dan Teguh Sastradiredja sama-sama menoleh begitu mendengar kalimat tersebut. Asa akhirnya bicara setelah sekian lama terdiam—lebih tepatnya sejak mendapati pesan berisi foto istrinya yang disekap, dari orang yang sudah ia duga.Marcell.Setelah menerima pesan itu, orang-orang pilihan ayahnya yang dapat dipercaya dan dapat bekerja dengan cepat, langsung melacak Marcell. Mereka juga menemukan mobil Athalia yang dibawa Marcell ke daerah Cikini. Mini Cooper istrinya itu diparkir begitu saja di salah satu jalan yang cukup sepi dan tidak ada CCTV di sekitarnya.Beruntung ada mobil yang diparkir tak jauh dari sana dan sudah memiliki dash camera, yang kameranya menyorot ke arah mobil Athalia. Pemilik mobil itu mau memberikan rekaman kam