Bersama dengan Asa, ada banyak hal pertama yang Athalia lakukan dengan suaminya tersebut. Athalia masih mengingat dengan jelas bagaimana pertama kalinya, mereka belanja bersama untuk kebutuhan rumah.
Rasanya menyenangkan, memiliki seseorang untuk berbagi pikiran atau sekadar menanyakan pendapat soal produk mana yang lebih baik mereka pilih untuk dibeli.
Ah, mengingat hal itu saja sudah membuat Athalia tersenyum. Sambil menelusuri lorong berisi deterjen dan sabun lainnya, Athalia bersenandung kecil. Sesekali ia berhenti di depan sebuah rak untuk mengambil barang yang ada di daftar belanjanya.
Untuk kali ini, Athalia harus belanja sendiri karena Asa sedang ada meeting sampai menjelang malam. Sedangkan besok keluarga Asa akan datang ke rumah untuk berkunjung di akhir pekan. Kalau biasanya Athalia dan suaminya yang akan pergi ke ke
Asa memandang buket bunga yang ada di sampingnya secara sekilas, karena ia masih mengemudi. Senyum di wajahnya tidak kunjung luntur. Sepulangnya dari kantor, Asa menyempatkan diri untuk mampir ke florist yang tidak jauh dari kantornya.Ide untuk membelikan bunga ini datang begitu saja, saat mengingat bahwa hari ini lagi-lagi ia pulang malam. Dalam sebulan terakhir, Asa lumayan sering lembur dan membuat Athalia akhirnya menyetir sendiri supaya tidak menunggu Asa menjemputnya di kantor saat hari sudah malam atau mengharuskannya naik kendaraan umum.Jabatan barunya membuat pekerjaan Asa benar-benar padat dan belakangan ini selalu ada meeting di sore hari, hingga akhirnya ia sering pulang terlambat.Untunglah suasana hati Athalia secara keseluruhan sudah membaik meski beberapa minggu sebelumnya, sempat drop karena test
“Gimana Bali? Kepakai nggak bikini yang Mama beliin?”Athalia tertawa dan tersipu malu saat Padma menanyakan hal tersebut padanya. “Bali ya seperti biasa, Ma, selalu menyenangkan,” jawabnya. “Dan kepakai sih, walaupun kayaknya Asa agak susah ya buat nahan diri nggak nutupin aku pakai handuk.”Padma tergelak begitu mendengar penjelasan Athalia, sedangkan Athalia juga ikut tertawa sambil tetap mengupas buah mangga di tangannya.“Dulu dia suka ngeledekin papanya yang kelakuannya juga 11:12 tuh, protektif walaupun kita pakai bikini cuma di pantai,” jelas Padma. “Sekarang malah dia jadi nggak jauh beda sama papanya.”Sosok yang dibicarakan Padma dan Athalia barusan tiba-tiba muncul di teras belakang kediaman Tanaka. Lelaki itu sepertinya tidak mendengar apa yang dibicarakan ibu dan istrinya tersebut, makanya ia masih tersenyum seperti biasa dan langsung duduk di sebelah Athalia dengan santainya.“Pada ngomongin apa sih? Kayaknya seru banget,” kata Asa dengan enteng.“Ngomongin kamu.” Athal
Asa: Aku lagi mau makan malam sama orang kantor yang ikut ke Palembang ini.Asa: Kamu lembur hari ini?Athalia: Nggak kok, ini udah mau jalan pulang.Athalia: Mau mampir ke minimarket dulu, kemarin lupa beli kamper.Asa: Ke minimarket di perumahan aja biar nggak jauh dari rumah, Sayang.Athalia: Iya, nanti aku kabarin begitu sampai di rumah ya.Asa: Take care and I love you.Athalia selalu menghitung hari yang ia habiskan tanpa Asa di sisinya, setiap kali mereka harus berjauhan.Dua hari yang lalu Asa sudah berangkat ke Palembang. Athalia ikut mengantar Asa ke bandara, meski itu artinya ia harus bersiap ke kantor sejak dini hari. Mereka tidak banyak bicara, tapi baik Asa dan Athalia sama-sama tidak melepaskan dekapan mereka sampai Asa harus meninggalkannya.Seharusnya besok Asa sudah pulang ke Jakarta dengan penerbangan yang dijadwalkan pukul setengah dua belas siang. Maka dari itu hari ini Athalia berpikir untuk pulang ke rumahnya sendiri sepulang kerja. Padma pun mengiakan dan berpe
Asa mengernyit bingung saat telepon dengan Athalia tiba-tiba terputus. Ia menatap ponselnya dengan gamang, lalu mencoba kembali menghubungi istrinya, tapi tidak kunjung diangkat.“Hmmm.” Asa bergumam tanpa sadar. “Kok aneh?”“Kenapa, Pak?” tanya asisten Asa yang ikut di perjalanan dinas ini dan sekarang sedang duduk di sebelahnya, di acara makan malam dengan orang-orang yang beberapa hari ini bekerja dengannya di Palembang.“Besok pesawat kita siang ya?” Asa memilih untuk tidak langsung menjawab pertanyaan sang asisten dan menanyakan hal lain.“Iya, Pak. Apa Bapak mau reschedule ke pagi hari?”“Kalau pesawat malam ini nggak ada ya?” Tiba-tiba Asa merasa ingin pulang saja, rasanya cukup aneh me
Kepala Athalia berdenyut—menyakitkan sekali rasanya. Ketika rasa sakit itu semakin tidak tertahankan, Athalia berusaha untuk membuka kedua matanya dan kegelapanlah yang menyambutnya.Ugh, di mana ini? batinnya yang mulai sadar bahwa ia tidak mengenal tempat ini.Mata Athalia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri supaya bisa melihat ke sekitarnya. Kamar ini gelap, tapi masih ada sedikit cahaya dari ventilasi yang menjadi satu-satunya sumber penerangan untuk Athalia.Tangan Athalia diikat ke belakang, jadi ia hanya bisa meraba-raba permukaan tempatnya duduk saat ini dan mendapati bahwa ia sepertinya duduk di atas ranjang.Ini jelas bukan kamarnya. Bau apak yang tercium dari seluruh penjuru ruangan jelas menunjukkan kalau tempat ini sudah lama tidak dihuni. Hanya keberadaan ranjang ya
“Kalian nggak harus ikut aku sebenernya.”Badai Tanaka dan Teguh Sastradiredja sama-sama menoleh begitu mendengar kalimat tersebut. Asa akhirnya bicara setelah sekian lama terdiam—lebih tepatnya sejak mendapati pesan berisi foto istrinya yang disekap, dari orang yang sudah ia duga.Marcell.Setelah menerima pesan itu, orang-orang pilihan ayahnya yang dapat dipercaya dan dapat bekerja dengan cepat, langsung melacak Marcell. Mereka juga menemukan mobil Athalia yang dibawa Marcell ke daerah Cikini. Mini Cooper istrinya itu diparkir begitu saja di salah satu jalan yang cukup sepi dan tidak ada CCTV di sekitarnya.Beruntung ada mobil yang diparkir tak jauh dari sana dan sudah memiliki dash camera, yang kameranya menyorot ke arah mobil Athalia. Pemilik mobil itu mau memberikan rekaman kam
Apakah setelah ini ia tidak akan bertemu dengan Asa?Tapi aku belum ngomong apa-apa sama dia? Apa dia akan sedih kalau aku tinggal? Karena berpikir bahwa ia akan meninggalkan lelaki itu saja sudah membuat Athalia sedih. Apakah tidak ada lagi kesempatan untuknya?“Sayang, bangun ya. Jangan tinggalin aku….”Athalia mengernyit. Siapa yang bicara seperti itu? Ia mencari ke berbagai arah, tapi tidak menemukan siapa pun. Lalu dapat dirasakannya sentuhan di keningnya, pelan dan sangat lembut. Dari bagaimana tangan itu bergerak, Athalia tahu bahwa yang baru saja menyentuh keningnya adalah Asa.Asa!“Atha—sebentar, aku panggil dokter dulu.”Aku belum meningga
“Apa nggak bisa pulang hari ini aja, Ma?” Athalia meremas pelan selimut yang ada di pangkuannya. “Kan aku udah nggak apa-apa….”“Asa mau kamu lebih diawasin dokter, Tha, sampai dia bener-bener yakin kalau kamu udah lebih baik dan cukup sehat untuk di rumah aja.”Athalia mengerucutkan bibirnya tanpa sadar. “Aku takut ngerepotin semua orang kalau lebih lama di sini,” ungkap Athalia sejujurnya.Teguh langsung membantah. “Ngerepotin siapa sih, Tha? Nggak ada yang ngerasa direpotin lho di sini.”“Papa kan harusnya nggak di sini,” tukas Athalia. “Papa harusnya di rumah lho, istirahat. Jangan sampai gara-gara terlalu sibuk ngerawat aku, Papa jadi lupa jaga kesehatan Papa sendiri.”Bukannya
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel