“Kenapa Mbak bisa kasih alamatku ke Papa?”“Aku kasihan sama Papa.”Athalia memutar kedua bola matanya, alasan Aline sudah ia duga, tapi tetap saja malas mendengar alasan tersebut diucapkan oleh kakaknya.“Aku serius, Tha.” Aline sendiri tahu kalau alasannya tak dipercayai sama sekali oleh Athalia. Ia menaruh sendok dan garpunya, menandakan kalau obrolan mereka setelah ini akan lebih serius.“Kamu nggak suka sama Papa setelah dia ninggalin kita gitu aja… aku juga kok,” terang Aline. “I hate him, karena dia ninggalin kita meskipun yang salah cuma Mama. Aku benci sama dia bertahun-tahun, Tha. Tapi aku juga nggak bisa bohong, aku kangen Papa.“Aku kangen Papa yang suka ngajak kita drive thru
Asa tahu ini berlebihan, tapi dirinya tidak bisa mencegah untuk tidak mengamati penampilannya di cermin.Entah untuk yang keberapa kalinya.“Anak Mama udah ganteng kok.”“Bang, cerminnya bisa pecah kalau kamu nggak berhenti ngaca secepatnya—duh, Hon….”Asa meringis dengan minder dan berbalik, mendapati orangtuanya sedang mengamatinya dengan geli. Sepertinya sang mama baru saja menyikut pinggang ayahnya, makanya kini ayahnya tengah menaduh pelan sambil mengusap pinggangnya.“Mau ke mana sih, Bang?” Padma menghampiri Asa dan ikut berdiri di sampingnya, kemudian menghadap ke cermin untuk mengamati refleksi mereka berdua. “Udah ganteng gini kok masih kelihatan nggak pede sih?”
“Kamu udah lama ngeracik parfum begitu?”“Lumayan lama, sejak lulus kuliah.” Entah kenapa, masih sulit rasanya bagi Athalia untuk menatap sang ayah secara langsung ketika bicara dengannya.Sudah hampir satu jam berlalu sejak mereka akhirnya duduk di satu meja. Selama itu, lebih banyak Teguh yang memulai pembicaraan dengan beragam topik.Athalia hanya mampu menjawab singkat, meski jauh di dalam lubuk hatinya, ia mulai tergerak untuk bicara lebih banyak dengan sang ayah. Tetapi, setiap ia mencoba untuk melakukan hal itu, lidahnya terasa kelu karena kenangannya tumbuh tanpa kehadiran Teguh menerjang dirinya begitu saja.Kenangan tentang malam-malam yang ia habiskan sendirian di kamar kosnya sejak SMA, membuat Athalia jadi enggan untuk bicara lagi dengan Teguh. Rasanya seperti baru kemarin
“Balonnya udah cukup belum?”“Udah, Mbak. Kayaknya udah semua deh.”“Oke.” Athalia menghela napas lega dan menggoyangkan pelan keranjang berisi peralatan dan pernak-pernik yang mereka butuhkan. “Yuk, bayar semua. Habis ini kita cari makan, gimana?”“Ayo, ayo!” Ilana yang sudah kelaparan sejak tadi pun segera mengangguk antusias.Athalia tertawa tertawa saja begitu melihatnya. Ilana dan Meisie memang sudah menjelma menjadi perempuan dewasa yang menawan, tapi kelakuan mereka saat sedang bersamanya masih seperti anak kecil yang menggemaskan.Ketiganya pun bergegas pergi ke kasir, kemudian mengantre untuk membayar barang yang mereka beli. Hari ini Athalia sengaja pergi bertiga dengan Ilana dan Meisie untuk membeli bar
Asa tak tahu apa orang lain juga merasakan hal yang sama dengannya atau tidak, tapi ia bisa tahu jika seseorang sedang memandanginya. Apalagi jika yang menatapnya adalah Padma Hardjaja–mamanya sendiri.“Apa pun yang mau Mama omongin, mending Mama omongin sekarang,” kata Asa masih sambil menata pakaiannya ke dalam koper. “Daripada Mama nggak bisa tidur karena terus kepikiran.”Asa yakin mamanya tengah tersenyum geli karena apa yang baru saja ia katakan. Terdengar derap langkah yang mendekat padanya dan Padma pun duduk di kursi kerjanya.“Kok Abang tahu Mama mau ngomong sama Abang?”“Abang kan udah hidup sama Mama hampir seumur hidup Abang.” Bibir Asa mencetak senyum saat mengatakannya. “Masa iya Abang nggak bisa tahu gimana Mama melototin pun
“Truth!”“Ah, nggak seru!” Ilana dan Meisie kompak menyoraki Asa yang memilih mengatakan Truth dibanding melakukan Dare, saat botol di tengah-tengah mereka menunjuk ke arahnya.Badai dan Padma yang ikut bermain dengan ketiga anak mereka pun hanya bisa tertawa melihat kericuhan tiga bersaudara itu.“Abang males, nanti kalau pilih Dare pasti disuruh yang aneh-aneh.” Asa menyahut dengan lugas. “Ayo, tanya satu pertanyaan biar Abang jawab dan setelah ini kita bisa puter botolnya lagi.”“Ah, Abang payah,” ledek Ilana lagi. Si anak tengah keluarga Tanaka itu melirik Meisie dan Meisie secara otomatis tersenyum sambil menaikturunkan kedua alisnya. “Aku yang tanya ya.”&ldquo
Athalia terpaku pada lesung pipi yang muncul saat Asa tersenyum dan dengan iseng, telunjuknya menyentuh lesung pipi tersebut. Refleks, Asa tertawa dan membiarkan saja Athalia melakukan apa pun terhadap wajahnya.“Kamu senyum terus dari tadi,” komentar Athalia. “Gigimu nggak kerasa kering emangnya?”“Sedikit,” aku Asa yang memancing tawa Athalia. “Tapi aku emang seseneng itu lihat kamu di sini. Jadi nggak apa-apa.”“Baru sehari nggak ketemu,” canda Athalia.“Sehari?” Asa mengernyit seolah tengah berpikir keras. “Kok rasanya kayak setahun?”“Makin hari kamu makin jago ya gombalnya.”Keduanya tertawa dan Asa sengaja merangkul pinggang Athalia de
Kamu mau nggak jadi temen hidupku di sisa usia kita? Senyum terkembang dengan sempurna di wajah Athalia saat lagi-lagi, kalimat itu terulang di benaknya. Kalau ingatan adalah kaset, pasti kaset kejadian semalam sudah kusut saking seringnya Athalia putar.Semalam Asa melamarnya.Athalia sampai mencubit pipinya berkali-kali ketika ia akhirnya diantar Asa ke kamarnya sendiri untuk tidur semalam. Di depan Asa, Athalia memang tak sanggup berkata-kata karena terlalu terkejut, bahagia, juga… sedikit takut. Tetapi, ketika tadi ia terbangun dan menyadari kalau kotak cincin pemberian Asa ada di samping bantalnya, Athalia sadar kalau lamaran itu nyata dan bukan hanya mimpi.“Kok udah bangun, Tha?”“Mama?” Athalia terperanjat kaget, sementara P