Pernahkah kamu merasa kalau waktu ternyata bisa berhenti dan membiarkanmu ada di dalam satu fase waktu tertentu, dengan dimensi yang juga seakan berhenti bergerak?
Athalia pikir hal itu adalah hal yang mustahil. Kini, ia mulai memikirkan ulang pemikirannya tersebut karena bersama dengan Asa di kamarnya saat ini, membuat Athalia merasa kalau waktu tengah berhenti.
Waktu tengah berhenti dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil jeda sejenak.
“Kamu nggak pegel?”
“Nggak.” Athalia menjawab tanpa menoleh, hanya tangannya yang lanjut mengusap puncak kepala Asa,
Di bawah sentuhannya, rambut Asa terasa halus dan sangat lembut, bak rambut bayi yang membuatnya gemas ingin menyentuhnya lagi dan lagi.
“Kamu pasti akan bilang bosen Papa tanyain ini.”Asa tertawa, bahkan sebelum Badai Tanaka menyuarakan pertanyaannya. Ia tahu apa yang sekiranya akan ditanyakan sang ayah.“Athalia mana, Pa?” tanya Asa sebelum Badai bertanya padanya.Dengan perut yang mulai bergemuruh karena lapar, Asa yang baru tiba di ruang makan segera duduk di kursi yang biasa ia duduki dan mulai mengisi piringnya.Sepertinya sang mama menyadari kalau Asa pasti akan bangun kesiangan dan langsung kelaparan, makanya sisa sarapan tadi pagi masih disediakan di meja makan, walaupun saat ini jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang.“Ada di halaman belakang, lagi diajarin mamamu merajut sama Ilana dan Meisie juga,&rdqu
“Mamamu sukanya bunga apa?”“Aku nggak tahu.”“Oke.” Athalia tak ambil pusing atas jawaban Asa. Wajar jika Asa tak tahu apa bunga kesukaan ibu kandungnya karena dari apa yang Athalia dengar, Asa tak menghabiskan banyak waktu dengan perempuan tersebut.“Kita beli yang ada aja ya,” usul Athalia lagi.“Boleh, biasanya aku juga begitu.” Asa mengangguk setuju. “Beli yang kelihatan cantik aja di antara semua bunga.”Athalia menggandeng tangan Asa dengan lebih erat saat mereka berjalan dari mobil yang telah terparkir, ke toko bunga yang tak jauh dari gerbang TPU.Siang ini, ia dan Asa pergi ke makam Anastasya. Sepanjang perjalanan, Asa bercerita kalau ia hanya bisa ke maka
Athalia mengetuk ujung sepatunya ke lantai pelataran lobi dengan gelisah. Hujan masih turun dengan derasnya. Tempiasnya yang disebabkan angin yang agak menderu mulai membasahi setengah lantai pelataran tersebut.Walau begitu, Athalia memilih untuk tetap bertahan di tempatnya. Sebentar lagi seharusnya mobil GoCar yang ia pesan akan memasuki kawasan gedung kantornya, jadi ia bisa segera sampai di kosan dan menghangatkan diri, sembari menunggu Asa tiba untuk makan malam.“Mbak, pesen GoCar ya? Platnya yang belakangnya EVJ bukan?”Pertanyaan satpam yang berjaga di pelataran lobi itu segera Athalia sambut dengan anggukan. Jika di jam pulang kerja begini, satpam tersebut memang akan memastikan kalau mobil yang masuk benar-benar ditunggu oleh penghuni gedung tersebut.Karena ada mobil yang sering keluar-
“Mau nitip salam buat Athalia nggak, Bang?”Senyum jahil di wajah Ksatria–teman ayah Asa yang sudah ia anggap seperti omnya sendiri, mau tak mau menular pada ayahnya dan bahkan Asa.Siang ini ia diajak makan siang bersama dengan ayahnya dan Ksatria. Sambil makan siang, mereka ingin membicarakan prospek bisnis Red House ke depannya yang saat ini mulai diambil alih oleh Asa dan anak-anak sahabat ayahnya yang lain.“Nggak usah, Om,” elak Asa setelahnya. “Om kan sibuk.”“Alah, mampir ke lab sebentar masih bisalah.”Badai mendengus mendengar bagaimana Ksatria menampik penolakan Asa. “Bilang aja kamu butuh bahan keisengan baru, makanya ngorbanin Asa.”Ksatria tertawa dan tak me
“Jadi sama cowok yang kemarin gimana? Nggak jadi juga?”Ilana terkikik begitu mendengar pertanyaan Athalia. Minggu lalu ia mengenalkan seorang lelaki pada Athalia, yang notabenenya memang sudah ia anggap seperti kakak perempuannya sendiri. Makanya selain Asa dan Ilana yang tahu sepak terjangnya selama ini, sekarang bertambahlah Athalia.“Nggak, Mbak,” jawab Ilana sambil tetap mengemudikan mobilnya dengan lihai.“Kenapa? Kayaknya dia orang baik.”“Yah, baik sih, tapi aku sama dia nggak ada sparks-nya gitu lho, Mbak,” jawab Ilana lagi, kali ini jemarinya mengetuk stir dengan irama yang statis. “Kesannya kayak mengada-ada sih, tapi emang itu yang aku rasain. Aku sama dia nggak ada percikan-percikan yang bikin aku mau ngehabisin waktu lama-lama dan berharap hari nggak cepet habis gitu. Mbak Atha pasti ngerti kan maksudku?”Di samping Ilana, Athalia mengangguk. Kurang lebih apa yang ia rasakan dengan Asa memang seperti apa yang dideskripsikan Ilana barusan.“Mbak Atha pengen mampir beli se
“Kamu mau temenin Mama nggak, Tha?”“Temenin ke mana, Ma?”Sejak sebulan yang lalu, Padma Hardjaja bersikukuh untuk dipanggil Mama oleh Athalia. Tidak hanya Padma, Badai pun ikut-ikutan. Saat Athalia beberapa kali keceplosan masih memanggil Om dan Tante, Asa hanya tertawa dan tidak membantu Athalia yang mendapat delikan dari orangtuanya.“Nggak apa-apa, pelan-pelan emang harus kamu biasain. Kamu kan emang udah dianggep anak sendiri sama papa dan mamaku,” kata Asa saat Athalia berkali-kali keceplosan, masih belum terbiasa dan mulai bingung sendiri apa yang harus ia lakukan.“Jengukin Khansa.”“Eh?” Athalia tidak menyangka kalau itulah yang dimaksud Padma. “Khansa sakit, Ma?”“Nggak, dia baru melahirkan.” Padma menaruh buah persik yang sudah ia kupas ke dalam piring dan menyodorkannya kepada Athalia. “Denger-denger sih, kemarin udah pulang ke rumah. Mama belum sempet jenguk pas dia di rumah sakit.”Di Sabtu pagi ini, Athalia sudah berada di kediaman Tanaka karena sudah berjanji untuk be
“Kenapa Mbak bisa kasih alamatku ke Papa?”“Aku kasihan sama Papa.”Athalia memutar kedua bola matanya, alasan Aline sudah ia duga, tapi tetap saja malas mendengar alasan tersebut diucapkan oleh kakaknya.“Aku serius, Tha.” Aline sendiri tahu kalau alasannya tak dipercayai sama sekali oleh Athalia. Ia menaruh sendok dan garpunya, menandakan kalau obrolan mereka setelah ini akan lebih serius.“Kamu nggak suka sama Papa setelah dia ninggalin kita gitu aja… aku juga kok,” terang Aline. “I hate him, karena dia ninggalin kita meskipun yang salah cuma Mama. Aku benci sama dia bertahun-tahun, Tha. Tapi aku juga nggak bisa bohong, aku kangen Papa.“Aku kangen Papa yang suka ngajak kita drive thru
Asa tahu ini berlebihan, tapi dirinya tidak bisa mencegah untuk tidak mengamati penampilannya di cermin.Entah untuk yang keberapa kalinya.“Anak Mama udah ganteng kok.”“Bang, cerminnya bisa pecah kalau kamu nggak berhenti ngaca secepatnya—duh, Hon….”Asa meringis dengan minder dan berbalik, mendapati orangtuanya sedang mengamatinya dengan geli. Sepertinya sang mama baru saja menyikut pinggang ayahnya, makanya kini ayahnya tengah menaduh pelan sambil mengusap pinggangnya.“Mau ke mana sih, Bang?” Padma menghampiri Asa dan ikut berdiri di sampingnya, kemudian menghadap ke cermin untuk mengamati refleksi mereka berdua. “Udah ganteng gini kok masih kelihatan nggak pede sih?”
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel