Diluar sana, cuaca sedang tidak bersahabat. Langit yang biasanya dipenuhi awan awan putih, kini penuh dengan warna kelabu.Sama halnya dengan hati Rajendra yang sedang sendu.
Lelaki itu kini sedang berbaring menatap langit melalui jendela kamarnya. Wajahnya sangat muram, pikirannya berat. Ia tak bisa menolak perjodohan yang sudah ditetapkan.“Kenapa perempuan itu mau ya dijodohkan denganku? Padahal kalau dilihat lihat usianya masih sangat muda. Ia juga baru masuk Universitas. Apa dia tidak punya cita cita?”“Padahal ia masih memiliki masa depan yang panjang. heran aku dengan anak muda jaman sekarang. Hanya karena urusan harta ia rela meninggalkan masa depan dan pendidikan.”Rajendra terus bergelut dengan pikirannya sendiri.”“Tapi kalau kuingat ingat perempuan itu seperti sedang menangis. Apa yang ia pikirkan mengenai aku ya?” Rajendra mulai penasaran. “Apa mungkin ia juga menolak perjodohan?”Tak berhenti disitu, rasa penasaran mulai tumbuh dari sisi Rajendra. Apalagi dengan gagasan maria yang menggambarkan seperti apa buruknya sang calon istri.“Ayah, aku mau kembali bertemu dengan Tiara!”“Apa ayah bilang, okay! Ayah akan atur pertemuan kedua!” Nakula penuh semangat. ***“Alona pakai baju apa kau nanti?” Pretty dengan wajah masam datang menghampiri.“Sepertinya pakai baju ini saja bu.” tunjuk Alona pada sebuah dress yang sudah usang, dress bekas, peninggalan sang bunda.“Apa apaan kamu? Tidak! Jangan pernah kau pakai kain busuk itu! Dress jelek begitu mau di pakai, ada gila gilanya kau ini. Pakai dress milik Tiara!” bentak Pretty kasar.Alona diam tidak melawan, ia manggut manggut saja agar segera cepat selesai.Bagi Alona melawan hanya percuma, tidak akan ada reaksi positif untuknya. Justru Cacian dan hinaan akan semakin banyak ia terima.Pretty kembali setelah membawa dress milik Tiara. Dress berukuran mini yang tentu jauh lebih menarik dan kekinian.“Ibu apa ini tidak terlalu pendek?” Tanya Alona saat memakai dress tersebut“Jangan banyak cakap! Sudah pakai saja! Masih untung dikasih pinjam”Ingin sekali Alona menjawab tidak nyaman, tapi lagi lagi bantahan itu juga akan percuma. Tidak ada kata selain mengiyakan apa yang diperintah oleh sang Ibu tiri.**Diantar Pretty, Alona kini melangkah memasuki restoran bernuansa Eropa. Ia melangkah cepat menuju ruangan Yang sudah dijanjikan oleh Rajendra.“Aduh deg degan nih aku! Dia enggak bakal memakan aku kan?” Gumam Alona menguatkan dirinya sendiri.Alona kini berdiri tegak di balik pintu privat room yang telah Rajendra pesan.Alona merapikan anak rambut yang menghalangi pandangnya. Ia juga menarik mini dress yang ia kenakan. Alona merasa kurang nyaman , tidak PD, ia tidak menjadi dirinya sendiri.Alona menarik nafas dalam dalam, lalu ia hembuskan dengan cepat. Ia lakukan berkali kali, sebelum akhirnya pintu itu ia buka.Sreeeeeet…. Bilah penghalang telah terbuka.Lelaki tampan mengenakan jas berwarna hitam sedang duduk bersila di dalam sana. Pandangannya menunduk, ia sedang fokus pada layar ponsel di hadapannya. Rambutnya tersisir rapi, terlihat dari kejauhan ujung hidung yang begitu mancung. Aroma tubuhnya sangat wangi dan segar. Wangi khas Woody Musk masuk menusuk rongga hidung.“Permisi, maaf saya terlambat” Ucap Alona yang kini sedang menyamar menjadi Tiara.“Duduk!” Jawab Jendra dinginAlona bingung, bagaimana ia harus mengatur posisinya untuk duduk. Pakaian yang ia kenakan sungguh tidak membuatnya nyaman.“Ada masalah?”Dua manik hitam itu menatap tajam pada Alona.“Ti-tidak!”Alona langsung memposisikan duduknya seperti wanita korea yang mengenakan hanbok.“Kamu mau pesan apa Tiara?” Ucap Rajendra begitu dingin.Alona diam, ia tak menjawab. Ia lupa siapa identitas yang sedang ia tunjukan sekarang. “Tiara!”“A-e i-iya, bagaimana?”“Kamu mau pesan apa?” Nada bicara Jendra sedikit meninggi“Apa saja kak, saya ikut saja” Alona gugup, jangankan memilih, diam saja ia tak nyaman. Rajendra tidak bertanya lagi. Ia kini fokus memilih menu yang tersedia pada menu hidangan.Dag . . Dig . . Dug . . Begitu kira kira detak jantung Alona berdegup.Ini adalah kali pertama Alona berkencan dengan seorang lelaki. Apalagi dengan lelaki yang katanya akan menjadi calon suami.Keduanya saling mengunci mulut. Tidak ada suara dari keduanya. Rajendra sIbuk dengan ponsel miliknya, membuat Alona semakin mati kutu.Alona bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin Alona membuka obrolan pertama. Apalagi melihat raut wajah Rajendra yang begitu masam.“Aku harus bagaimana ini Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?” Batin Alona berteriak.Diam diam ternyata Rajendra juga memperhatikan Alona. Ia terus memperhatikan gerak dan gerik Alona.“Kalau tidak nyaman kenapa harus memakai pakaian seperti itu?” Ucap Rajendra mengagetkan Alona.Deg!Pertanyaan yang mematikan. Di tengah keheningan tiba tiba Rajendra mengucapkan yang tidak Terduga.“A . . A anu, ini . .” Alona Bingung apa yang harus ia jawab. Tidak mungkin berkata jujur kepada lelaki yang baru ia kenal.Selamat! sang waiters datang di waktu yang tepat. Waiters itu memecah ketegangan, ia membawa beberapa hidangan yang telah dipesan. Waiters itu dengan penuh keramahan menyajikan setiap hidangan.Kruk..kruk..kruuk .. Mati sudah! Perut Alona menyanyi, rasa laparnya tak tertahan lagi.Fokus Jendra buyar, saat menyadari bunyi yang ia kenali. Ia angkat wajahnya dan menyorot pada Alona.“Mati aku! Kenapa harus bunyi sih” teriak Alona dalam batin. Ia merasa sangat malu. “Bagaimana jika ia mengadu pada Ibu?” tambahnya lagi.“Makan!” Ucap Jendra dingin. Lalu ia mengambil hidangannya sendiri. Ia bersikap seolah tak ada yang terjadi.Alona yang sudah mendapat perintah langsung melakukan hal yang sama, dengan cepat ia mengambil nasi, namun….“Ingat Alona, kamu ini Tiara” Akalnya mengingatkan. Alona kembali bersikap santai dan santun. Sebisa mungkin ia tidak terlihat seperti sedang kelaparan.Keduanya kini sedang menyantap hidangan bersama. Tidak ada suara, tidak ada cerita kecuali bunyi benturan sendok pada piring yang sedang disantap.Alona terus menundukan wajahnya. Sementara Jendra, diam diam memperhatikan Alona.“Apa yang dikatakan Maria itu keliru? Sejauh ini tidak ada yang aneh dari anak ini. Cara ia makan pun cukup dimaklumi.” Bisik Jendra dalam hatinya sendiri.Makan malam telah usai, kini mereka sedang menunggu dessert yang belum datang.“Kamu tahu siapa saya?”Alona mengangguk “Tuan Jendra”“Aku Rajendra, tidak pakai Tuan. Siapa nama lengkapmu?”“Saya Al. Tiara Lyra” hampir saja Alona salah menjawab“Kamu tahu kalau kita ini dijodohkan?”Alona kembali mengangguk.“Kenapa mau?”Alona bingung menjawab, ia tak menyangka jika obrolannya akan seberat ini. Ini bukan seperti perjodohan, tetapi ini seperti duduk di kursi panas persidangan.Keringat mulai bercucuran, telapak tangan Alona kini basah.“Tiara.. kamu dengarkan saya berbicara?! Saya bertanya, kenapa kamu mau dijodohkan?”Deg!“Sa..Saya hanya ikut perintah Ibu saja tuan”“Jangan panggil saya tuan! Saya bukan tuanmu! Panggil aku Jendra! Mengerti tidak?!”Alona semakin bingung, tak mungkin ia memanggil nama kepada seseorang yang usianya terpaut jauh dari dirinya.“Kenapa kamu mau menuruti perintah Ibumu?” Pertanyaan Jendra semakin membombardir.“Karena menurut Ibu ini yang terbaik, saya yakin pilihan Ibu tidak salah.”“Hh . . Sudah kuduga, Ibu dan anak sama saja!” jawab Rajendra sinis.Mendengar ucapan Rajendra, Alona jadi murka. Wajah yang tadinya menunduk kini balik menatap Rajendra.Ingin sekali Alona mencakar wajah Rajendra yang seolah merendahkan dirinya. Namun sesaat ia ingat, saat ini dirinya sedang menjadi sosok Tiara.“Dengar! Aku berada disini bukan berarti aku setuju dengan perjodohan yang dIbuat oleh ayahmu dan orangtua ku! Ini hanya sekedar formalitas saja! Aku tidak mau dijodohkan dengan siapapun, termasuk dengan dirimu Tiara!!” Papar Rajendra mengejutkan.“Dan aku tak habis pikir, kenapa kamu memiliki pemikiran kolot? Usiamu masih muda. Kenapa kau setuju dijodohkan?”Mendengar ucapan Rajendra aliran darah Alona seakan mendidih.“Kamu pikir aku juga mau hah? Enak saja! Aku juga tidak mau!” Jawab Alona dalam hatinya. Aslinya, dia hanya mengangguk angguk saja.“Bilang sama Ibumu! Aku setuju menikahimu! Tapi tidak sekarang!” Lagi lagi Jendra membuat Alona jantungan“Menikah? Menikah dengan orang ini?” Batin Alona memekik.“Saya juga tidak ingin menikah cepat, saya masih mengemban bangku pendidikan” jawab Alona singkat, ia tak kuasa lagi menahan gejolak batinnya yang terus meradang.Rajendra tersentak dengan ucapan lona, “Baguslah kalau begitu! Jadi kita tak perlu terburu buru. Aku sih berharap semua ini bisa dibatalkan!”Suasana kembali hening, tidak ada argumen dari keduanya.“Sebelum pulang, dimana kampusmu?”“Kampus?” Batin Alona kembali memekik“A anu di…universitas xxx” Alona asal menjawab.“Okay! Itu saja, jangan kepedean! aku bertanya untuk jaga jaga saja, khawatir orang tuaku akan banyak bertanya tentang mu. Silahkan pulang!” Pungkas Jendra sebelum akhirnya meninggalkan Alona.“Mati aku ! Gimana kalau Tuan Jendra datang ke Universitas XXX? Padahal aku kan masih SMA. Bagaimana ini?” Alona tak bisa tidur, malam ini kepalanya bekerja cukup berat. “Menikah? Tidak..tidak..tidak! Aku ini masih sekolah!” “Jika terjadi pernikahan, maka akan terjadi pembuahan. Yang artinya.. nggak! Aku masih sangat muda untuk menjadi seorang Ibu.“Arghhhhh…” Alona gelingsatan tak mau diam. Padahal besok ia harus masuk sekolah. Jam di dinding sudah menunjukan pukul dua malam.“Kenapa Ibu tidak menyuruh kak Tiara saja? Padahal Tuan Jendra tidak terlihat tua, ia sangat tampan, ya meskipun versi oppa oppa. Kenapa harus aku?” Alona masih tak habis pikir dengan apa yang telah menimpanya.“Bagaimana jadinya kalau aku menikah? Lalu bagaimana dengan pendidikanku? Cita citaku menjadi dokter?” Alona menarik nafas panjang.**Bukan hanya Alona yang mengalami kesulitan tidur, di kejauhan sana, rupanya Rajendra juga mengalami hal yang sama. Ia masih belum terima dengan keputusan sang Ayah yang
Sadewa Aryana School, sekolah swasta yang dibangun di atas lahan luas dengan segala fasilitas mumpuni. Sekolah milik seseorang yang berasal dari keluarga Atmadja Bersaudara.Sekolah ini sudah berdiri sejak tahun sembilan puluhan dikelola oleh Seluruh keluarga secara turun Temurun.Memiliki bangunan bergaya Eropa, sekola ini memiliki seribu siswa dan siswi yang berasal dari keluarga tak biasa.Tak heran para muridnya berasal dari kalangan anak anak pengusaha, Artis, bahkan Para Pejabat Negara bersekolah di sana.Termasuk salah satunya Alona, yang kini sedang duduk dibangku kelas sembilan.“Alona…kamu tahu tidak?” Sambil berlari Sarah menghampiri.“Apa sih Sarah, pagi pagi udah heboh aja!” Balas Alona yang baru saja tiba dan duduk di kursi miliknya.“Guru bahasa Inggris kita diganti!”“Diganti gimana maksudnya?”“Diganti sama guru baru. Katanya sih gurunya dari Amerika, ya ampun kok bisa ya!”“Hah massa?” Alona masih tidak percaya ia malah asik melahap sarapan yang ia bawa dari rumah.“ B
Sore itu, Alona menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Rajendra yang berbunyi, "Malam ini kita bertemu! Ayahku memintaku untuk menemuimu!" Alona merasa gugup, namun tidak ada alasan menolak.Sementara itu, Alona berada di kamar milik bundanya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Alona duduk di lantai, menunggu ibu tirinya memilih pakaian yang akan dikenakannya nanti malam."Alona, kamu mau-maunya ya dijodohkan sama bapak tua, haha. Untung saja aku gak mau. By the way, makasih ya sudah menyelamatkan masa depanku, haha," ujar Tiara, kakak tirinya, sambil terkekeh di atas sofa besar. Dia menikmati jajanan kesukaannya tanpa peduli perasaan Alona.Alona menahan amarahnya, matanya berkaca-kaca. Dia merasa diperlakukan tidak adil, namun tak bisa berbuat apa-apa. Hatinya berkecamuk, antara ingin menolak perjodohan tersebut dan rasa takut akan masa depannya.Tiara melihat kegugupan Alona dan melanjutkan ejekannya, "Wah, kayaknya Alona sudah tak sabar ya mau ketemu calon suaminya yang tua-
Begitu bel masuk berbunyi, Rajendra berjalan masuk ke kelas dengan langkah pasti dan percaya diri. Wajah tampannya terlihat sangat serius, matanya yang tajam menatap para murid yang sedang duduk di bangku mereka. "Selamat pagi, murid-murid," ucap Rajendra dengan suara yang tegas dan jelas."Saya Rajendra, guru bahasa Inggris kalian menggantikan Miss X yang sudah tidak mengajar. Saya ingin selama saya mengajar tidak ada keributan apapun. Hanya saya yang berbicara. Kalian bisa bertanya pada waktu yang sudah saya sediakan," kata Rajendra saat pertama kali berdiri di depan kelas 9.Murid-murid saling berbisik, penasaran dengan sosok guru baru mereka. Beberapa dari mereka tampak senang, sementara yang lain mungkin masih ragu. Rajendra melanjutkan, "Hari ini siapa yang tidak masuk?""Alona, Pak," jawab ketua kelas dengan suara agak ragu."Kemana dia?" tanya Rajendra, mencatat absensi di buku kehadiran."Katanya sakit, Pak," jawab ketua kelas, masih dengan suara ragu."Sakit apa memang? Sepa
Setelah Rajendra dan ayahnya meninggalkan rumah, Pretty, ibu tiri Alona, segera datang menghampiri Alona yang sedang terbaring dengan hati yang hancur. Rasa sakit dan kecewa yang dialaminya terasa begitu dalam."Bangun kamu! Bangun!" teriak Pretty dengan nada marah. Alona yang sedang terbaring kembali terkejut dan kaget, langsung duduk dengan wajah pucat."Kenapa kamu tidak cerita kalau Rajendra seperti itu? Pantas saja kau selalu mau dipertemukan dengan dia. Rupanya dia tampan, tidak seperti perkiraanku. Kau mau menipuku, hah?" ujar Pretty sambil melotot."Maaf, Nyonya, bukan begitu maksud saya. Kalau pun saya cerita, apakah Nyonya akan percaya?" jawab Alona dengan suara lirih, menahan tangis."Halah, alasan!" sahut Pretty dengan tangan di pinggang, mencibir tak percaya. Wajah Alona semakin memerah, merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh ibu tirinya."Bangun kamu! Jangan tidur di tempat anakku, bawa semua barang barang rongsok mu!" teriak Pretty dengan wajah memerah padam karena
Suara mesin motor bergegas masuk ke halaman rumah, membuat heboh seisi rumah. Rajendra menuruni motor miliknya dengan kasar, wajahnya merah padam karena emosi. Mendengar keributan itu, Nakula, ayahnya, segera keluar dari rumah dengan ekspresi bingung dan heran."Apa yang terjadi, Jendra?" tanya Nakula, mencoba menenangkan anaknya yang tampak marah."Apa Ayah juga bersekongkol untuk menipuku, menukar identitas Alona dan Tiara?" Rajendra menuding ayahnya dengan nada mencurigakan."Apa maksudmu, Jendra? Ayah tak mengerti," Nakula terkejut dan bingung dengan tuduhan anaknya.Rajendra pun menjelaskan sambil mengamuk bahwa ia merasa tertipu oleh Alona yang berpura-pura menjadi Tiara. Ia menceritakan bahwa Alona adalah muridnya di sekolah, bukan seorang mahasiswi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan emosi dan kekecewaan.Nakula ikut terbelalak, tidak menyangka bahwa ada kesalahpahaman seperti itu. Wajahnya tampak pucat, merasakan betapa sakit
Sejak kejadian perdebatan di kamar itu, Rajendra terus berfikir mengenai perjodohannya dengan Alona. Mereka memang sering bertemu di sekolah, namun hubungan mereka kini terasa lebih asing dan tidak ada kehangatan, seolah-olah mereka hanyalah guru dan murid biasa.Rajendra memang sempat mengurungkan niatnya untuk membatalkan perjodohan tersebut, namun setelah adu argumen dengan Alona saat itu, hatinya menjadi ragu dan bimbang. Bahkan saat mengajar di kelas Alona, Rajendra tak lagi melirik wanita itu dengan tatapan yang biasa.Sarah sahabat baik alona yang kini mengetahui seluruh kisah perjodohan mereka, mencoba menegur dan menanyakan perasaan Alona. "Alona, kamu yakin dia tetap mau menjalankan perjodohan itu?" tanya Sarah dengan rasa penasaran dan kekhawatiran.Alona menatap kosong ke arah Rajendra yang sedang mengajar di depan kelas. Wajahnya tampak muram dan penuh pertanyaan. "Aku tidak tahu, Sarah. Aku juga bingung dengan sikapnya sekarang. Tapi yang pasti, aku tidak akan menyerah b
Pagi hari itu, matahari bersinar terang menyapa Alona dan Rajendra. Meskipun mereka berada di bawah atap yang sama, namun kenyataannya mereka tidak bangun bersama. Di rumah barunya, Alona telah sibuk sejak pagi menyelesaikan pekerjaan rumah. Ia bahkan memasak sarapan pagi untuk dirinya dan Rajendra, walaupun dalam hati Alona tidak menyukai pernikahan yang dijalaninya.Namun, setidaknya ia tahu apa kewajiban seorang istri. Sebelum berangkat ke sekolah, Alona memastikan segala sesuatu sudah rapi. Sarapan pagi pun telah tersaji dengan apik di meja makan. Alona bergerak cepat, ia tidak ingin Rajendra turun dari kamar sebelum ia berangkat ke sekolah.Setelah selsai sarapan, Alona mengambil tas sekolahnya dan berlari ke pintu keluar. Dalam hatinya berharap jangan sampai Rajendra menyaksikan ia berangkat sekolah.Alona terbirit-birit di jalan, mencari angkutan umum yang bisa mengantarnya ke sekolah. Pagi itu, terasa berat baginya untuk mengendalikan perasaan dan menyembunyikan kenyataan bah
Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku
"Selamat ulang tahun ya, Om! Jendra doakan semakin tua semakin jaya!" ucap Jendra sambil tertawa lepas, menggenggam tangan Ayah Maria yang merupakan paman dari Jendra sendiri. Ayah Maria, dengan senyum lebar di wajahnya, merasa senang melihat kehadiran Jendra di pesta ulang tahunnya."Terima kasih, Jendra. Sudah mau datang ke ulang tahunku, padahal biasanya kamu nggak pernah mau datang. Kayaknya setelah menikah, beda ya vibe-nya," bisik Ayah Maria dengan senyum jenaka, menyindir Jendra yang kini sudah berumah tangga.Di samping Jendra, Alona berusaha menampilkan senyuman sumringah, meskipun hatinya masih bercampur aduk dengan sikap Jendra yang begitu berlaku manis padanya. Alona merasa tidak nyaman dengan cara Jendra bercanda dengan Ayah Maria, tetapi ia tidak ingin merusak suasana pesta ulang tahun yang sedang berlangsung.Mata Alona mencuri pandang ke arah Jendra, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya itu. Jendra, seolah menyadari perasaan Alona, menggenggam tanga
Daniel menggeleng sinis, menyaksikan Rajendra yang dengan sigap menahan Alona yang hampir terjatuh. Wajah Daniel penuh dengan kebencian dan pengejekan."Tak sia-sia aku mengakui bahwa Alona adalah istriku, setidaknya ia terbebas dari manusia kasar seperti kamu," ucap Rajendra dengan tegas, melindungi Alona dari tatapan dan niat jahat Daniel.Mendengar ucapan Rajendra, Daniel tersentak, rasa sakit hati dan kehilangan tergambar jelas di wajahnya. Alona yang sedang menangis, kini digenggam erat tangannya oleh Rajendra. Dia membawa Alona menjauh dari pemandangan yang menyedihkan itu.Mereka kini berada di dalam mobil yang terparkir di parkiran kampus, berusaha mencari ketenangan setelah kejadian tersebut. Alona terus menangis, isakannya terdengar memilukan. Rajendra menunggu dengan sabar, berharap gadis itu segera tenang dan bisa berbicara kepadanya.Alona menundukkan kepalanya, menangis tersedu-sedu, dan mencoba menenangkan diri. Rajendra, dengan tangan yang lembut, mengusap kepala Alona
Alona melangkah gontai di koridor kampusnya, pikirannya penuh dengan ucapan Jendra yang membuat hatinya gelisah. "Aku mau kita sebagai pasangan suami istri yang seharusnya," gumamnya, menirukan ucapan Jendra dengan nada sinis. "Enteng sekali dia berbicara seperti itu, setelah merenggut keperawananku dan menghancurkan hubunganku dengan Daniel," gerutu Alona kesal.Sesampainya di fakultas Daniel, matanya menyapu tiap sudut ruangan dengan tajam mencari keberadaan Daniel. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran pria yang pernah begitu dekat dengannya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya kepada salah satu teman Daniel yang sedang berada di sana."Sudah dua hari dia tidak datang ke kampus," jawab temannya dengan serius. "Ada apa, Alona? Kamu terlihat sedih."Alona menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh. "Tidak apa-apa," ucapnya seadanya, berusaha tersenyum. "Aku hanya ingin bicara sebentar dengan dia."Dalam hati, Alona merasa semakin hancur. Apakah Daniel