Begitu bel masuk berbunyi, Rajendra berjalan masuk ke kelas dengan langkah pasti dan percaya diri. Wajah tampannya terlihat sangat serius, matanya yang tajam menatap para murid yang sedang duduk di bangku mereka. "Selamat pagi, murid-murid," ucap Rajendra dengan suara yang tegas dan jelas.
"Saya Rajendra, guru bahasa Inggris kalian menggantikan Miss X yang sudah tidak mengajar. Saya ingin selama saya mengajar tidak ada keributan apapun. Hanya saya yang berbicara. Kalian bisa bertanya pada waktu yang sudah saya sediakan," kata Rajendra saat pertama kali berdiri di depan kelas 9.Murid-murid saling berbisik, penasaran dengan sosok guru baru mereka. Beberapa dari mereka tampak senang, sementara yang lain mungkin masih ragu. Rajendra melanjutkan, "Hari ini siapa yang tidak masuk?""Alona, Pak," jawab ketua kelas dengan suara agak ragu."Kemana dia?" tanya Rajendra, mencatat absensi di buku kehadiran."Katanya sakit, Pak," jawab ketua kelas, masih dengan suara ragu."Sakit apa memang? Separah itu sampai gak bisa masuk kelas?" ujar Rajendra dengan nada sinis, membuat murid-murid di kelas saling berpandangan. Mereka tidak mengerti mengapa guru baru mereka tiba-tiba menunjukkan sikap sinis seperti itu.Rajendra kemudian mengambil spidol dan menuliskan materi pelajaran di papan tulis. Sebelum memulai, ia menatap kembali murid-muridnya dan berkata, "Siapapun yang membuat kekacauan dalam pelajaran saya, saya pastikan tidak akan mendapatkan nilai selama satu semester," katanya tegas.Suasana kelas yang biasanya ramai kini hening, hanya suara Rajendra saja yang terdengar memberikan materi. Anak-anak murid menjadi tegang, seakan mereka bisa merasakan watak Rajendra yang tegas dan disiplin ini. Walaupun gurunya tampan, mereka tidak berani untuk bercanda atau mengobrol dengan teman sebangku.Rajendra berjalan ke samping kelas sambil menjelaskan materi, tangannya menggenggam buku teks dengan erat. Para murid mengikuti arah pandangannya, takut jika mereka terlihat tidak serius. Sesekali Rajendra menanyakan pertanyaan kepada beberapa murid, dan mereka berusaha menjawab dengan sebaik mungkin agar tidak mengecewakan gurunya.Di sudut kelas, seorang murid bernama Sarah mencoba menahan rasa kantuknya. Ia menopangkan dagunya dengan tangan, berusaha agar mata tidak terpejam. Namun, Rajendra seakan bisa merasakan ketidakseriusan Sarah. Dengan cepat, ia mendekati meja Sarah dan menatapnya tajam. "Sarah, apakah kamu mengerti materi yang saya ajarkan?" tanya Rajendra dengan suara yang menakutkan.Sarah terkejut dan langsung menjawab, "Ya, Pak. Saya mengerti." Rajendra mengangguk, lalu kembali ke tempatnya semula. Sarah menghela napas lega, berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih fokus dalam pelajaran Rajendra..Saat itu, tak ada satupun murid yang berani untuk tidak serius dalam kelas Rajendra. Suasana kelas menjadi lebih kondusif, dan semua murid terlihat lebih fokus dalam mengikuti materi yang diajarkan.***Alona duduk di tempat tidurnya, terkejut mendengar nama Rajendra yang disebutkan Sarah melalui telepon. Wajahnya pucat, mata membelalak, dan jantung berdetak kencang."Alona kamu beruntung sekali, tidak masuk kelas hari ini, ternyata guru baru itu killer. Namanya Rajendra," ujar Sarah dengan nada terkejut. "Hampir saja aku dikeluarkan dari kelas gara-gara aku mengantuk," tambahnya.Alona berusaha menenangkan diri dan mengabaikan perasaan cemas yang mulai muncul. "Apa sekiller itu?" tanyanya berusaha bersikap biasa."Beuh, kamu gak percaya, beruntung kamu Alona. By the way, gimana kondisimu? Sudah lebih baik?" tanya Sarah dengan perasaan khawatir.Alona menghela napas, mencoba untuk mengendalikan emosinya yang mulai naik. "Aku sudah lebih baik, Sarah. Terima kasih selalu perhatian padaku, hanya kamu yang selalu begini," jawab Alona dengan suara yang bergetar sedikit.“Ya lah, biarpun aku menyebalkan, aku adalah manusia yang sangat sayang padamu Alona” kata Sarah dengan nada serius.“Ah bisa aja kamu ini” Alona terkekeh. Mereka sedikit berbincang sebelum akhirnya mengakhiri percakapan.Setelah menutup telepon, Alona terdiam sejenak. Pikirannya terus menerawang ke sosok Rajendra yang ada dalam benaknya, apakah benar itu orang yang sama? Apakah benar dia menjadi guru di sekolahnya, atau Rajendra yang berbeda? Alona merasa ketakutan yang luar biasa, namun dia tahu dia harus tetap kuat dan mencari tahu.Alona merasa tidak enak badan saat bangun tidur di pagi hari. Malam sebelumnya, Rajendra membawanya ngebut dengan motornya, sehingga tubuhnya kini terasa lemas dan sakit-sakitan. Alona memutuskan untuk tidak masuk sekolah hari ini dan beristirahat di rumah.Sore harinya, Pretty, ibu tirinya, dengan terburu-buru memanggil Alona. "Cepat bangun! Pindah ke kamar Tiara! Hari ini Rajendra akan datang menjengukmu!" ucap Pretty dengan nada ketus.“Tuan Jendra akan datang menjenguk Nyonya?” Alona terbelalak tidak percaya.“Jangan banyak tanya! Cepat pindah!” Pretty kembali membentak.Pretty dan Alona segera sibuk mengatur posisi agar Alona berada di kamar Tiara, menyusun drama untuk menyambut calon suami Alona yang akan datang menjenguk.Mereka mengangkat semua foto Alona ke kamar Tiara, menggantungkan tirai baru, dan menata bantal-bantal agar tampak seperti kamar Tiara. Alona merasa jantungnya berdebar kencang, takut akan reaksi Rajendra saat mengetahui bahwa ia berada di kamar bukan miliknya.“Ingat bersikap manis! Ini salahmu, mengapa kau ada acara sakit segala. Dia datang kan ke rumah ini! Dasar anak menyebalkan!” Dengus kesal Pretty sambil memicingkan mata.Rajendra dan Nakula, ayahnya tiba, Alona bersembunyi di balik tirai dengan nafas yang terengah-engah. Ia berharap Rajendra tidak mengetahui kebohongan yang disiapkan oleh ibu tirinya dan dirinya.“Aduh, kenapa ada acara menjenguk segala sih” gumam Alona sambil berusaha mengintip dari tirai.**Nakula sedang duduk di ruang tamu rumah Pretty. Mereka menunggu Rajendra yang masih berada di luar. "Maaf ya bu, kami jadi merepotkan," ucap Nakula kepada Pretty dengan sopan."Tidak sama sekali, Pak. Justru kami sangat senang jika Bapak dan Nak Jendra berkenan datang ke rumah kami," balas Pretty dengan senyum ramah, meskipun dalam hati merasa sedikit gugup.Sementara itu, Rajendra yang masih di luar, sebenarnya merasa malas jika harus berkunjung ke tempat calon istrinya. Tapi tidak ada pilihan selain menuruti permintaan sang Ayah.Pria itu mengenakan pakaian yang gagah dan cocok di tubuhnya, menunjukkan postur atletis yang dimilikinya. Terlihat tampan Rajendra dibuatnya.Di dalam rumah, Nakula dan Pretty mengobrol ringan untuk mengisi keheningan. Mereka membahas hal-hal sepele yang tidak terlalu penting, namun cukup untuk menjaga suasana tetap nyaman.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Rajendra melangkah masuk dengan percaya diri. Penampilannya yang menawan membuat Pretty tercengang, hingga ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Rajendra."Ini Rajendra, Pak?" tanya Pretty dengan kagum, sambil terus menatap pria tersebut. Ia merasa seperti sedang melihat pangeran tampan yang keluar dari cerita dongeng.Rajendra tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa bangga yang mulai memenuhi dadanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Pretty, namun matanya yang berbinar seolah mengatakan, "Ya, aku Rajendra yang kau kenal."Pretty tidak pernah menyangka jika sosok Rajendra yang ada di pikirannya berbeda dengan Rajendra yang sedang ia lihat di depan matanya. Dalam anggapan Pretty, Rajendra adalah pria buangan yang hidupnya tertinggal, namun kenyataannya Rajendra adalah lelaki tampan dan gagah yang tak terlihat menginjak usia senja.Sosok Rajendra yang dulu ia ketahui tidak menarik perhatian Pretty kini tampil berbeda, bahkan membuatnya merasa syok seolah tidak percaya. Sejatinya, Pretty menyesal karena tidak menjodohkannya dengan putri kandungnya, Tiara. Namun, kini ia terjebak dalam drama yang sengaja ia buat sendiri, di mana ia telah menukar identitas Tiara dan Alona.“Salam kenal tante, saya Rajendra anak Ayah Nakula.” Jendra mengenalkan diri dengan sopan dan ramah.“Silahkan duduk nak! Alo, eh maksud saya Tiara ada di dalam kamar sedang beristirahat.Rajendra duduk di sofa yang telah disediakan, matanya menyapu seluruh isi ruang dari rumah Alona yang ia kenal bernama Tiara.Setelah beberapa saat, Rajendra meminta izin untuk menemui Alona.Pretty mempersilahkan Rajendra untuk memasuki kamar putrinya itu.Ketika Rajendra masuk ke kamar, Alona berusaha menahan rasa sakit dan ketakutan yang mulai memenuhi dadanya.“Aduh bagaimana ini? Ia akan segera kesini” gumam Alona dengan wajah gelisah.Begitu memasuki kamar Tiara, Rajendra tidak langsung menyapa Alona yang sedang duduk disisi tempat tidur. Dengan ekspresi datar, ia malah mengambil foto dan mulai melihat foto itu. Alona menelan ludah, hatinya berdegup kencang, khawatir jika Rajendra menyadari bahwa ini bukan kamar miliknya. Foto itu foto Tiara kecil dengan Pretty ibunya.Mata Rajendra menyapu seisi ruangan, seolah mencari sesuatu yang janggal. Alona merasa semakin tidak nyaman dan cemas. Akhirnya, Rajendra menoleh dan melontarkan pertanyaan dengan nada jutek, "Kamu sakit apa, Tiara?""Hanya tidak enak badan biasa saja," sahut Alona berusaha menjawab sependek mungkin, berharap Rajendra tidak mencurigainya.Rajendra menghela napas, "Kenapa? Gara-gara naik motor begitu saja kamu sakit, Huh, lemah!" ujarnya sambil membuang muka, mengejek Alona.Dalam hati, Alona ingin sekali meraup wajah Rajendra yang selalu tampil bengis dan jutek itu. Namun, sekali lagi ia tak bisa. Ia hanya bisa menundukkan pandangannya dan menahan rasa jengkel serta ketakutan yang semakin memuncak di dalam dada."Jangan terlalu pede, aku bukan tertarik atau simpati kepadamu apalagi perhatian, bukan. Aku hanya menuruti keinginan ayahku saja!" ujar Rendra dengan nada dingin, tangan terlipat di dada dan ekspresi wajah yang tidak ramah. Alona yang sedang menjelma jadi Tiara hanya diam dan menunduk, rasa sakit di hatinya terasa semakin dalam."Cepat sembuh! Minum obat jangan sampai ada hari berikutnya aku kembali menjengukmu! Aku tak mau!" lanjut Rajendra saat melihat obat di samping Alona. Alona mengangguk saja, tak mampu mengeluarkan suara meski hatinya berteriak ingin membantah. Air mata yang menahan perih terasa ingin meleleh, namun dia berusaha menahannya.Tidak kurang dari 30 menit mereka berada di dalam kamar berdua. Namun tidak saling bicara. Keduanya saling diam saja, suasana menjadi tegang dan hampa. Alona memainkan jemarinya, gelisah, sementara Rajendra terus menatap keluar jendela, tak ingin menoleh sedikitpun ke arah Alona.Setiap detik yang berlalu terasa seperti abadi bagi Alona, ingin rasanya dia berteriak dan meluapkan semua rasa sakitnya. Namun dia hanya bisa diam dan menunduk, berharap waktu segera berlalu dan Rendra segera pergi meninggalkan kamarnya.Setelah Rajendra dan ayahnya meninggalkan rumah, Pretty, ibu tiri Alona, segera datang menghampiri Alona yang sedang terbaring dengan hati yang hancur. Rasa sakit dan kecewa yang dialaminya terasa begitu dalam."Bangun kamu! Bangun!" teriak Pretty dengan nada marah. Alona yang sedang terbaring kembali terkejut dan kaget, langsung duduk dengan wajah pucat."Kenapa kamu tidak cerita kalau Rajendra seperti itu? Pantas saja kau selalu mau dipertemukan dengan dia. Rupanya dia tampan, tidak seperti perkiraanku. Kau mau menipuku, hah?" ujar Pretty sambil melotot."Maaf, Nyonya, bukan begitu maksud saya. Kalau pun saya cerita, apakah Nyonya akan percaya?" jawab Alona dengan suara lirih, menahan tangis."Halah, alasan!" sahut Pretty dengan tangan di pinggang, mencibir tak percaya. Wajah Alona semakin memerah, merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh ibu tirinya."Bangun kamu! Jangan tidur di tempat anakku, bawa semua barang barang rongsok mu!" teriak Pretty dengan wajah memerah padam karena
Suara mesin motor bergegas masuk ke halaman rumah, membuat heboh seisi rumah. Rajendra menuruni motor miliknya dengan kasar, wajahnya merah padam karena emosi. Mendengar keributan itu, Nakula, ayahnya, segera keluar dari rumah dengan ekspresi bingung dan heran."Apa yang terjadi, Jendra?" tanya Nakula, mencoba menenangkan anaknya yang tampak marah."Apa Ayah juga bersekongkol untuk menipuku, menukar identitas Alona dan Tiara?" Rajendra menuding ayahnya dengan nada mencurigakan."Apa maksudmu, Jendra? Ayah tak mengerti," Nakula terkejut dan bingung dengan tuduhan anaknya.Rajendra pun menjelaskan sambil mengamuk bahwa ia merasa tertipu oleh Alona yang berpura-pura menjadi Tiara. Ia menceritakan bahwa Alona adalah muridnya di sekolah, bukan seorang mahasiswi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan emosi dan kekecewaan.Nakula ikut terbelalak, tidak menyangka bahwa ada kesalahpahaman seperti itu. Wajahnya tampak pucat, merasakan betapa sakit
Sejak kejadian perdebatan di kamar itu, Rajendra terus berfikir mengenai perjodohannya dengan Alona. Mereka memang sering bertemu di sekolah, namun hubungan mereka kini terasa lebih asing dan tidak ada kehangatan, seolah-olah mereka hanyalah guru dan murid biasa.Rajendra memang sempat mengurungkan niatnya untuk membatalkan perjodohan tersebut, namun setelah adu argumen dengan Alona saat itu, hatinya menjadi ragu dan bimbang. Bahkan saat mengajar di kelas Alona, Rajendra tak lagi melirik wanita itu dengan tatapan yang biasa.Sarah sahabat baik alona yang kini mengetahui seluruh kisah perjodohan mereka, mencoba menegur dan menanyakan perasaan Alona. "Alona, kamu yakin dia tetap mau menjalankan perjodohan itu?" tanya Sarah dengan rasa penasaran dan kekhawatiran.Alona menatap kosong ke arah Rajendra yang sedang mengajar di depan kelas. Wajahnya tampak muram dan penuh pertanyaan. "Aku tidak tahu, Sarah. Aku juga bingung dengan sikapnya sekarang. Tapi yang pasti, aku tidak akan menyerah b
Pagi hari itu, matahari bersinar terang menyapa Alona dan Rajendra. Meskipun mereka berada di bawah atap yang sama, namun kenyataannya mereka tidak bangun bersama. Di rumah barunya, Alona telah sibuk sejak pagi menyelesaikan pekerjaan rumah. Ia bahkan memasak sarapan pagi untuk dirinya dan Rajendra, walaupun dalam hati Alona tidak menyukai pernikahan yang dijalaninya.Namun, setidaknya ia tahu apa kewajiban seorang istri. Sebelum berangkat ke sekolah, Alona memastikan segala sesuatu sudah rapi. Sarapan pagi pun telah tersaji dengan apik di meja makan. Alona bergerak cepat, ia tidak ingin Rajendra turun dari kamar sebelum ia berangkat ke sekolah.Setelah selsai sarapan, Alona mengambil tas sekolahnya dan berlari ke pintu keluar. Dalam hatinya berharap jangan sampai Rajendra menyaksikan ia berangkat sekolah.Alona terbirit-birit di jalan, mencari angkutan umum yang bisa mengantarnya ke sekolah. Pagi itu, terasa berat baginya untuk mengendalikan perasaan dan menyembunyikan kenyataan bah
Alona pun kini masuk ke kamarnya. Dengan perasaan yang entah bagaimana rasanya, ia membuka tas yang berisi coklat dan buket bunga yang diberikan oleh Daniel, sang kapten basket di sekolahnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika seorang Daniel yang populer itu ternyata mengaguminya.Alona memang dikenal sebagai siswi yang baik dan cantik di sekolahnya. Dibalik wajah cantiknya yang menawan, Alona juga memiliki kaki jenjang dan rambut panjang lurus yang selalu terawat. Selain itu, sifat manis dan kepintarannya membuatnya semakin disukai oleh banyak orang. Tidak heran jika seorang kapten basket yang gagah dan tampan seperti Daniel jatuh hati kepadanya.Ketika berjalan di koridor sekolah, Alona selalu mencuri perhatian. Banyak siswa yang terpesona dengan kecantikannya, namun Alona selalu menjaga sikap sopan dan ramah kepada siapapun. Hal ini membuat banyak orang semakin mengagumi kepribadian Alona yang rendah hati.Daniel sendiri adalah sosok yang sempurna di mata banyak siswi. Selain memi
Alona berjalan dengan langkah ringan di lorong kelas, tiba-tiba Daniel muncul di depannya dan menarik lengan Alona dengan cepat hingga bersandar ke tembok. Dengan sigap, Daniel mengunci Alona dengan kedua tangannya yang kuat, membiarkan gadis itu tak bisa bergerak.“Daniel.. apa apaan ini Niel!” Alona terbelalak hebat."Maaf Alona, tapi aku tidak bisa sabar menunggu jawaban dari kamu," kata Daniel dengan tatapan yang serius. "Selama ini aku perhatikan kamu terus menghindar dariku. Bagaimana jawaban atas pernyataan cinta yang kuberikan kepadamu?" Daniel sedikit menekan tubuh Alona dengan lengan yang mengunci.Alona terkejut dengan sikap Daniel yang tiba-tiba berubah begitu agresif. Hatinya berdebar kencang, namun ia tahu bahwa ia tak bisa menerima cinta Daniel. Pasalnya, Alona tengah menjalin hubungan rahasia dengan gurunya, Rajendra, yang juga sudah menikah.Dalam kebingungan, Alona mencoba menenangkan diri dan mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan Daniel. "Daniel, aku min
Alona tengah asyik bersantai di kamar tidurnya, ditemani semangkuk cookies yang baru saja ia buat. Ia terbaring di atas tempat tidur, menikmati kehangatan sinar matahari yang menembus jendela. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar. Rajendra, sang suami, menerobos masuk dengan wajah panik, membuat Alona terbelalak kaget."A-apa yang terjadi, Jendra?" tanya Alona dengan suara gemetar, sementara tangan kanannya masih memegang sepotong cookie."Kita harus segera pergi ke kondangan kerabat Ayah, hari ini!" Rajendra menjawab dengan nafas terengah-engah."Sekarang?" Alona menatap suaminya dengan mata membulat."Iya, aku baru ingat. Cepat bersiap, kita harus segera berangkat!" Rajendra kembali keluar dari kamar dengan terburu-buru.Alona menghela napas panjang, kesal dengan cara suaminya masuk ke kamarnya tanpa permisi. "Iya, aku tahu ini rumahnya, tapi apa tak bisa mengetuk pintu?" gumamnya sambil meletakkan mangkuk cookies di atas meja dan beranjak bangun dari tempat tidur.Dengan lan
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, suara mesin mengisi keheningan di dalam kabin. Alona dan Rajendra duduk di dalam mobil menuju rumah mereka, saling terdiam tanpa saling bicara. Rajendra menggenggam kemudi dengan erat, rasa kesal terpancar di wajahnya karena kehadiran Daniel tadi di pesta. Sementara itu, di sisi lain hatinya merasa canggung karena ia bertemu dengan Sita, mantannya.Di sisi lain, Alona duduk di kursi sebelahnya dengan tatapan kosong memandang jalan di depan mereka. Sesekali ia menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh suasana hati Rajendra.Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di rumah. Alona dengan cepat melangkah keluar dari mobil dan hendak segera masuk ke dalam rumah, berharap bisa segera mengakhiri kecanggungan ini. Namun, saat ia hendak melangkah, Rajendra menghentikannya dengan menarik tangannya."Kenapa Daniel bisa ada di pesta?" tanya Rajendra dengan nada menekan, rasa kesal dan kecewa masih terasa dalam suaranya."Mana aku tahu
Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku
"Selamat ulang tahun ya, Om! Jendra doakan semakin tua semakin jaya!" ucap Jendra sambil tertawa lepas, menggenggam tangan Ayah Maria yang merupakan paman dari Jendra sendiri. Ayah Maria, dengan senyum lebar di wajahnya, merasa senang melihat kehadiran Jendra di pesta ulang tahunnya."Terima kasih, Jendra. Sudah mau datang ke ulang tahunku, padahal biasanya kamu nggak pernah mau datang. Kayaknya setelah menikah, beda ya vibe-nya," bisik Ayah Maria dengan senyum jenaka, menyindir Jendra yang kini sudah berumah tangga.Di samping Jendra, Alona berusaha menampilkan senyuman sumringah, meskipun hatinya masih bercampur aduk dengan sikap Jendra yang begitu berlaku manis padanya. Alona merasa tidak nyaman dengan cara Jendra bercanda dengan Ayah Maria, tetapi ia tidak ingin merusak suasana pesta ulang tahun yang sedang berlangsung.Mata Alona mencuri pandang ke arah Jendra, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya itu. Jendra, seolah menyadari perasaan Alona, menggenggam tanga
Daniel menggeleng sinis, menyaksikan Rajendra yang dengan sigap menahan Alona yang hampir terjatuh. Wajah Daniel penuh dengan kebencian dan pengejekan."Tak sia-sia aku mengakui bahwa Alona adalah istriku, setidaknya ia terbebas dari manusia kasar seperti kamu," ucap Rajendra dengan tegas, melindungi Alona dari tatapan dan niat jahat Daniel.Mendengar ucapan Rajendra, Daniel tersentak, rasa sakit hati dan kehilangan tergambar jelas di wajahnya. Alona yang sedang menangis, kini digenggam erat tangannya oleh Rajendra. Dia membawa Alona menjauh dari pemandangan yang menyedihkan itu.Mereka kini berada di dalam mobil yang terparkir di parkiran kampus, berusaha mencari ketenangan setelah kejadian tersebut. Alona terus menangis, isakannya terdengar memilukan. Rajendra menunggu dengan sabar, berharap gadis itu segera tenang dan bisa berbicara kepadanya.Alona menundukkan kepalanya, menangis tersedu-sedu, dan mencoba menenangkan diri. Rajendra, dengan tangan yang lembut, mengusap kepala Alona
Alona melangkah gontai di koridor kampusnya, pikirannya penuh dengan ucapan Jendra yang membuat hatinya gelisah. "Aku mau kita sebagai pasangan suami istri yang seharusnya," gumamnya, menirukan ucapan Jendra dengan nada sinis. "Enteng sekali dia berbicara seperti itu, setelah merenggut keperawananku dan menghancurkan hubunganku dengan Daniel," gerutu Alona kesal.Sesampainya di fakultas Daniel, matanya menyapu tiap sudut ruangan dengan tajam mencari keberadaan Daniel. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran pria yang pernah begitu dekat dengannya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya kepada salah satu teman Daniel yang sedang berada di sana."Sudah dua hari dia tidak datang ke kampus," jawab temannya dengan serius. "Ada apa, Alona? Kamu terlihat sedih."Alona menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh. "Tidak apa-apa," ucapnya seadanya, berusaha tersenyum. "Aku hanya ingin bicara sebentar dengan dia."Dalam hati, Alona merasa semakin hancur. Apakah Daniel