Setelah Rajendra dan ayahnya meninggalkan rumah, Pretty, ibu tiri Alona, segera datang menghampiri Alona yang sedang terbaring dengan hati yang hancur. Rasa sakit dan kecewa yang dialaminya terasa begitu dalam.
"Bangun kamu! Bangun!" teriak Pretty dengan nada marah. Alona yang sedang terbaring kembali terkejut dan kaget, langsung duduk dengan wajah pucat."Kenapa kamu tidak cerita kalau Rajendra seperti itu? Pantas saja kau selalu mau dipertemukan dengan dia. Rupanya dia tampan, tidak seperti perkiraanku. Kau mau menipuku, hah?" ujar Pretty sambil melotot."Maaf, Nyonya, bukan begitu maksud saya. Kalau pun saya cerita, apakah Nyonya akan percaya?" jawab Alona dengan suara lirih, menahan tangis."Halah, alasan!" sahut Pretty dengan tangan di pinggang, mencibir tak percaya. Wajah Alona semakin memerah, merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh ibu tirinya."Bangun kamu! Jangan tidur di tempat anakku, bawa semua barang barang rongsok mu!" teriak Pretty dengan wajah memerah padam karena emosi. Alona terbangun dari tidurnya, merasa bingung dan ketakutan. Ia berusaha mengumpulkan tenaga untuk bangkit dan mengambil semua barang miliknya yang tersebar di lantai.Dengan perasaan terhina dan sedih, Alona menuruti perintah ibu tirinya itu. Ia membawa semua barang-barangnya kembali ke kamarnya yang sempit dan gelap. Alona merasa serba salah, bingung harus berbuat apa dan bagaimana menghadapi keadaan ini.Sementara itu, saat Tiara sudah kembali ke rumah, Ia lantas menghampiri Tiara, anak kandungnya, untuk memberitahukan semua kebenaran tentang Rajendra. "Tiara, dengar ibu baik-baik. Ternyata Rajendra itu bukan seperti yang kita kira selama ini. Alona telah membohongi kita semua," ungkap Pretty penuh emosi.“Maksud ibu bagaimana bu?” Tiara masih belum mengerti.“Ibu Mengira bahwa Rajendra adalah lelaki tua yang jadul dan tertinggal karena terakhir ibu lihat seperti itu. Namun, setelah bertemu langsung, ternyata Rajendra malah berpenampilan muda, modern, dan tampan.” Pretty berusaha meyakinkan anaknya.Mendengar hal itu, Tiara merasa tidak terima dan marah. Ia merasa telah ditipu oleh Alona yang selama ini dianggapnya sebagai adik. Amarahnya semakin memuncak, dan ia pun ikut serta bersama ibunya untuk membuli Alona.Malam itu, Alona terbaring di kamarnya dengan tubuh lemas dan hati yang hancur. Ia menangis pilu, merasa tak berdaya menghadapi kekejaman ibu dan kakak tirinya, apalagi sikap Rajendra yang juga sama saja. Hidupnya semakin terpuruk, tanpa ada harapan dan kebahagiaan yang tersisa.Tiba-tiba, pintu rumah Alona didobrak dengan keras oleh Tiara, kakak tirinya, dan Pretty, ibu tirinya. Keduanya memasuki rumah dengan wajah marah."Alona, apa maksudmu menipu kami seperti ini? Kau ingin menguasai Rajendra, hah? Ingin menguasai hartanya sendiri? Bisa bisanya lelaki tampan kau bilang jelek dan ketinggalan zaman!" amuk Tiara dengan suara keras.Pretty, yang berdiri di belakang Tiara, ikut mendelik dengan penuh kebencian.Alona merasa kaget dan bingung, "Ada apalagi ini?" pekiknya dalam hati."Jawab! Kenapa kau diam saja saat mengetahui Rajendra tidak seperti yang ibu bilang?" Tiara menarik rambut Alona dengan kasar.Alona kini menangis dan merintih kesakitan. Ia tak bisa membela diri, terjepit antara kebencian kedua wanita tersebut. Wajahnya memerah karena rasa sakit dan air matanya semakin deras mengalir.Alona membungkuk di hadapan Tiara dan ibunya, menundukkan kepala. "Maafkan aku, Tiara. Aku tidak bermaksud menyakitimu," kata Alona dengan suara lirih. Dia bisa merasakan sakit di kepala akibat rambutnya yang ditarik kuat oleh Tiara.Tiara masih belum puas, "Bohong! Kamu sengaja mencari-cari masalah denganku!" teriaknya, emosinya memuncak. Wajah Tiara memerah karena marah.Namun, Alona tetap memilih untuk tidak membela diri. Dia hanya ingin situasi ini segera berakhir dan kembali ke kehidupannya yang normal. Akhirnya, Tiara melepaskan pegangannya. Bersama ibunya, mereka kembali ke kamar, meninggalkan Alona yang masih menangis.***Esok harinya, Alona berangkat ke sekolah dengan mata sembab karena menangis semalaman. Ketika tiba di sekolah, Sarah, sahabatnya, melihat kondisi Alona dan tidak terkejut. Ini bukan kali pertama Alona menghadapi situasi seperti ini."Tenang saja, Alona. Semuanya akan baik-baik saja, aku tahu kamu kuat, kamu hebat" kata Sarah sambil mengusap punggung sahabatnya, mencoba memberi semangat.Mereka akhirnya memasuki kelas karena jam pelajaran sudah tiba.Saat jam istirahat, Alona duduk di kantin sambil menatap piring kosong di hadapannya. Tiba-tiba, dia melihat Rajendra melintas di kejauhan. Hati Alona berdebar kencang, namun dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaannya."Sarah, apakah guru baru yang kamu maksud itu Rajendra yang melintas tadi disana?" tanya Alona sambil menunjuk ke arah pria tersebut."Iya, itu dia gurunya. Lusa kita ada pelajaran dia," jawab Sarah sambil mengunyah makanannya. Ia lalu menceritakan tentang ketegangan yang terjadi di kelas saat Rajendra mengajar.Alona terkejut mendengar cerita itu, lalu berkata, "Sarah, apa kamu tahu? Rajendra guru bahasa Inggris kita itu adalah Rajendra yang dijodohkan dengan ku."Mendengar hal itu, Sarah terkejut. Ia berhenti makan dan menatap Alona dengan mata terbelalak. "Kamu serius?" tanya Sarah tak percaya.Alona mengangguk dan menjelaskan bagaimana ia baru saja menemuinya malam kemarin. Wajah Alona tampak cemas dan bingung.“Kenapa dunia ini begitu sempit Alona” kata Sarah menatap Alona penuh simpati.***Hari yang paling ditakuti Alona akhirnya tiba, hari ini adalah jadwal Rajendra mengajar di kelasnya. Ketakutan dan kecemasan mulai menyelimuti hati gadis itu. Alona mendekati sahabatnya, Sarah, dan berbisik, "Sarah, aku mau pulang, aku bolos kelas ini. Tolong bantu aku ya! Aku nggak mungkin ketemu dia sekarang," ucap Alona dengan wajah cemas.Sarah menatap Alona dengan pandangan penuh simpati dan setuju membantu temannya tersebut. "Baiklah, aku akan mencarikan alasan untukmu. Tenang saja," ujar Sarah. Dengan berat hati, Alona pun meninggalkan kelas dan pulang ke rumahnya.Sementara itu, Rajendra yang telah tiba di kelas mulai mengabsen. Ketika nama Alona disebut, tak ada jawaban sama sekali. Ini sudah kali kedua Alona tidak hadir dalam kelas yang diajar oleh Rajendra.“Kemana lagi ini Alona?” Tanya Rajendra“Alona ijin pulang cepat Sir, tak enak badan katanya” balas Sarah melindungi sahabatnya itu.“Sakit lagi?” Rajendra merasa heran. Walaupun ia merasa sedikit tersinggung, namun kali ini Rajendra memutuskan untuk tidak menghiraukannya.Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa di sekolah. Alona dan Sarah selalu mencari-cari cara untuk membuat alasan agar Alona bisa absen dari kelas Rajendra. Namun, di pertemuan kelas ketiga, keempat, dan kelima, semuanya masih berjalan aman. Alona berhasil menghindari pertemuan dengan Rajendra tanpa mencurigakan.Namun, di pertemuan kelas berikutnya, Rajendra mulai merasakan ada yang tidak beres. Ia menyadari bahwa Alona tidak pernah hadir di kelasnya setiap kali ia mengajar. Kening Rajendra berkerut, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya.Merasa ingin mencari tahu lebih lanjut, Rajendra mulai menanyakan keberadaan Alona kepada guru-guru lain di sekolah. Ia mengumpulkan informasi tentang bagaimana prestasi Alona di kelas mereka dan bagaimana sikapnya. Para guru memberikan respon yang positif tentang Alona, bahkan beberapa di antaranya menyebutkan bahwa Alona merupakan siswa yang cerdas dan berprestasi.Rasa ingin tahunya semakin memuncak, Rajendra tak ingin berdiam diri. Ia bertekad untuk mencari tahu alasan di balik ketidakhadiran Alona di kelasnya. Apakah ada masalah yang sedang dihadapi oleh Alona? Atau mungkin ada sesuatu yang Rajendra lakukan sehingga membuat Alona merasa tidak nyaman untuk hadir di kelasnya?Pada akhirnya, Rajendra memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh. Ia berencana untuk menemui Alona secara langsung dan berbicara dengannya untuk mencari tahu alasan di balik ketidakhadiran Alona.**Siang itu, matahari bersinar terik di atas atap sekolah. Alona dan sahabatnya, Sarah, duduk berdampingan di perpustakaan, membahas tugas yang diberikan Guru Bahasa. Mereka tergelak bersama, menikmati waktu bersama.Rajendra, yang sejak lama penasaran dengan sosok Alona yang tak pernah masuk kelasnya, hari ini memutuskan untuk menemui Alona. Setelah mendapat informasi keberadaan Alona dari temannya, Rajendra segera menghampiri perpustakaan dengan langkah mantap.Perpustakaan itu terasa begitu tenang dan hening, di mana suara langkah kaki Rajendra terdengar jelas di lantai kayu yang dilapisi karpet tebal. Rajendra berjalan dengan perlahan, mencari tahu di mana Alona berada, saat dia melihat ujung rambut coklat terang yang menarik perhatiannya dari balik rak buku di salah satu sudut perpustakaan. Dia mengikuti jejak itu, dan akhirnya menemukan Alona yang tengah asyik tertawa dengan Sarah sahabatnya.Namun, saat ia melihat Alona, Rajendra terbelalak kaget. Wajah Alona yang ia lihat adalah wajah Tiara, gadis yang selama ini dijodohkan dengannya oleh keluarga. Rajendra merasa bingung, terkejut, dan marah sekaligus. Emosi bercampur aduk di dalam dadanya."Tiara?" pekik Rajendra kaget, suaranya melanggar kesunyian perpustakaan. Semua mata tertuju padanya, termasuk mata Alona dan Sarah yang terkejut oleh suara keras Rajendra. Alona menatap Rajendra dengan terbelalak.Rajendra berjalan keluar dari perpustakaan dengan langkah cepat dan penuh amarah, tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari bibirnya. Ia terus melangkah menuju ruang guru, mengambil kunci motor yang tersimpan di dalam tasnya, dan segera menaiki moge miliknya untuk pulang.Sementara itu, Sarah dan Alona terbelalak, tidak menyangka kejadian tersebut bakal terjadi. Alona segera berlari mengejar Rajendra, berusaha untuk menjelaskan situasinya sebelum semuanya semakin buruk. Namun langkah Rajendra terlalu cepat, membuat Alona tak mampu mengejarnya.Sarah yang menyadari kepanikan Alona, ikut berlari mengikuti sahabatnya itu. "Bagaimana ini, Sarah? Bisa mati aku," ujar Alona dengan nafas terengah-engah.Mereka berdua terus berlari, namun Rajendra sudah terlanjur menghilang dari pandangan. Hari itu menjadi hari terburuk bagi Alona, merasa hatinya hancur karena kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Rajendra.***Alona merasa gelisah sepanjang perjalanan pulang dari sekolah. Hatinya berdebar keras, ia tahu pasti bahwa ia akan mendapatkan dampratan keras dari ibu tirinya, Pretty, terkait dengan keberadaan Rajendra di sekolahnya. Semakin dekat dengan rumah, semakin berat langkah kaki Alona.Sesampainya di rumah, belum sempat Alona melangkah masuk, Pretty sudah berdiri di depan pintu dengan wajah memerah. Tiba-tiba, Pretty menjambak rambut Alona dengan kasar."Dasar anak sialan, sudah jadi beban nyusahin pula, apa yang kamu lakukan pada Rajendra hah!" teriak Pretty dengan marahnya.Alona yang terkejut dan merasa kesakitan langsung menangis. Air mata mengalir deras di pipinya, namun Pretty tak merasa iba sedikit pun."Jawab! Jangan hanya bisa menangis. Kenapa kau tak bilang jika Rajendra menjadi gurumu di sekolah?" desak Pretty sambil menahan jambakan di rambut Alona.Alona mencoba menahan sakit dan menjawab dengan suara lirih, "Aku... aku tidak tahu, Bu. Aku baru tahu hari ini saat Rajendra masuk ke kelas."Pretty menatap tajam ke arah Alona, mencari kebohongan di balik kata-katanya. Namun, ia hanya melihat rasa takut dan kesakitan yang memenuhi wajah Alona. Dengan geram, Pretty melepaskan jambakan itu dan mengusir Alona ke kamarnya."Dasar anak tak berguna!" umpat Pretty sebelum menutup pintu rumah dengan keras, “Rajendra marah padaku, bagaimana jika dia membatalkan perjodohan ini anak sialan!” Pekik Pretty lagi.Alona merasakan sakit yang luar biasa saat rambutnya dijambak oleh Pretty, ibu tirinya yang kejam. Wajahnya memerah karena malu dan marah, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Pretty terus menghujat Alona dengan kata-kata yang menusuk hati, karena Rajendra telah marah dan ia khawatir perjodohan mereka akan dibatalkan."Dengar, Alona! Kamu harus pergi ke rumah Rajendra dan meminta maaf kepadanya. Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang penting dia mau memaafkanmu!" ucap Pretty dengan nada tinggi, seolah tak ada belas kasihan di hatinya.Alona merasa ketakutan, namun dia tidak punya pilihan lain. Pretty mendorong Alona keluar rumah dengan kasar, membuat gadis itu jatuh terduduk di luar. Ibu tiri itu menutup pintu dengan keras, sambil berteriak, "Aku tidak akan membuka pintu ini sampai Rajendra mengurungkan niatnya untuk membatalkan perjodohan!"Air mata Alona mengalir deras di pipinya. Tubuhnya gemetar karena ketakutan dan hatinya merasa terluka. Namun, dengan berat hati, dia berdiri dan melangkah menuju rumah Rajendra, berharap bisa menyelesaikan masalah ini dan mendapatkan ampunan dari pria yang akan menjadi suaminya.Suara mesin motor bergegas masuk ke halaman rumah, membuat heboh seisi rumah. Rajendra menuruni motor miliknya dengan kasar, wajahnya merah padam karena emosi. Mendengar keributan itu, Nakula, ayahnya, segera keluar dari rumah dengan ekspresi bingung dan heran."Apa yang terjadi, Jendra?" tanya Nakula, mencoba menenangkan anaknya yang tampak marah."Apa Ayah juga bersekongkol untuk menipuku, menukar identitas Alona dan Tiara?" Rajendra menuding ayahnya dengan nada mencurigakan."Apa maksudmu, Jendra? Ayah tak mengerti," Nakula terkejut dan bingung dengan tuduhan anaknya.Rajendra pun menjelaskan sambil mengamuk bahwa ia merasa tertipu oleh Alona yang berpura-pura menjadi Tiara. Ia menceritakan bahwa Alona adalah muridnya di sekolah, bukan seorang mahasiswi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan emosi dan kekecewaan.Nakula ikut terbelalak, tidak menyangka bahwa ada kesalahpahaman seperti itu. Wajahnya tampak pucat, merasakan betapa sakit
Sejak kejadian perdebatan di kamar itu, Rajendra terus berfikir mengenai perjodohannya dengan Alona. Mereka memang sering bertemu di sekolah, namun hubungan mereka kini terasa lebih asing dan tidak ada kehangatan, seolah-olah mereka hanyalah guru dan murid biasa.Rajendra memang sempat mengurungkan niatnya untuk membatalkan perjodohan tersebut, namun setelah adu argumen dengan Alona saat itu, hatinya menjadi ragu dan bimbang. Bahkan saat mengajar di kelas Alona, Rajendra tak lagi melirik wanita itu dengan tatapan yang biasa.Sarah sahabat baik alona yang kini mengetahui seluruh kisah perjodohan mereka, mencoba menegur dan menanyakan perasaan Alona. "Alona, kamu yakin dia tetap mau menjalankan perjodohan itu?" tanya Sarah dengan rasa penasaran dan kekhawatiran.Alona menatap kosong ke arah Rajendra yang sedang mengajar di depan kelas. Wajahnya tampak muram dan penuh pertanyaan. "Aku tidak tahu, Sarah. Aku juga bingung dengan sikapnya sekarang. Tapi yang pasti, aku tidak akan menyerah b
Pagi hari itu, matahari bersinar terang menyapa Alona dan Rajendra. Meskipun mereka berada di bawah atap yang sama, namun kenyataannya mereka tidak bangun bersama. Di rumah barunya, Alona telah sibuk sejak pagi menyelesaikan pekerjaan rumah. Ia bahkan memasak sarapan pagi untuk dirinya dan Rajendra, walaupun dalam hati Alona tidak menyukai pernikahan yang dijalaninya.Namun, setidaknya ia tahu apa kewajiban seorang istri. Sebelum berangkat ke sekolah, Alona memastikan segala sesuatu sudah rapi. Sarapan pagi pun telah tersaji dengan apik di meja makan. Alona bergerak cepat, ia tidak ingin Rajendra turun dari kamar sebelum ia berangkat ke sekolah.Setelah selsai sarapan, Alona mengambil tas sekolahnya dan berlari ke pintu keluar. Dalam hatinya berharap jangan sampai Rajendra menyaksikan ia berangkat sekolah.Alona terbirit-birit di jalan, mencari angkutan umum yang bisa mengantarnya ke sekolah. Pagi itu, terasa berat baginya untuk mengendalikan perasaan dan menyembunyikan kenyataan bah
Alona pun kini masuk ke kamarnya. Dengan perasaan yang entah bagaimana rasanya, ia membuka tas yang berisi coklat dan buket bunga yang diberikan oleh Daniel, sang kapten basket di sekolahnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika seorang Daniel yang populer itu ternyata mengaguminya.Alona memang dikenal sebagai siswi yang baik dan cantik di sekolahnya. Dibalik wajah cantiknya yang menawan, Alona juga memiliki kaki jenjang dan rambut panjang lurus yang selalu terawat. Selain itu, sifat manis dan kepintarannya membuatnya semakin disukai oleh banyak orang. Tidak heran jika seorang kapten basket yang gagah dan tampan seperti Daniel jatuh hati kepadanya.Ketika berjalan di koridor sekolah, Alona selalu mencuri perhatian. Banyak siswa yang terpesona dengan kecantikannya, namun Alona selalu menjaga sikap sopan dan ramah kepada siapapun. Hal ini membuat banyak orang semakin mengagumi kepribadian Alona yang rendah hati.Daniel sendiri adalah sosok yang sempurna di mata banyak siswi. Selain memi
Alona berjalan dengan langkah ringan di lorong kelas, tiba-tiba Daniel muncul di depannya dan menarik lengan Alona dengan cepat hingga bersandar ke tembok. Dengan sigap, Daniel mengunci Alona dengan kedua tangannya yang kuat, membiarkan gadis itu tak bisa bergerak.“Daniel.. apa apaan ini Niel!” Alona terbelalak hebat."Maaf Alona, tapi aku tidak bisa sabar menunggu jawaban dari kamu," kata Daniel dengan tatapan yang serius. "Selama ini aku perhatikan kamu terus menghindar dariku. Bagaimana jawaban atas pernyataan cinta yang kuberikan kepadamu?" Daniel sedikit menekan tubuh Alona dengan lengan yang mengunci.Alona terkejut dengan sikap Daniel yang tiba-tiba berubah begitu agresif. Hatinya berdebar kencang, namun ia tahu bahwa ia tak bisa menerima cinta Daniel. Pasalnya, Alona tengah menjalin hubungan rahasia dengan gurunya, Rajendra, yang juga sudah menikah.Dalam kebingungan, Alona mencoba menenangkan diri dan mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan Daniel. "Daniel, aku min
Alona tengah asyik bersantai di kamar tidurnya, ditemani semangkuk cookies yang baru saja ia buat. Ia terbaring di atas tempat tidur, menikmati kehangatan sinar matahari yang menembus jendela. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar. Rajendra, sang suami, menerobos masuk dengan wajah panik, membuat Alona terbelalak kaget."A-apa yang terjadi, Jendra?" tanya Alona dengan suara gemetar, sementara tangan kanannya masih memegang sepotong cookie."Kita harus segera pergi ke kondangan kerabat Ayah, hari ini!" Rajendra menjawab dengan nafas terengah-engah."Sekarang?" Alona menatap suaminya dengan mata membulat."Iya, aku baru ingat. Cepat bersiap, kita harus segera berangkat!" Rajendra kembali keluar dari kamar dengan terburu-buru.Alona menghela napas panjang, kesal dengan cara suaminya masuk ke kamarnya tanpa permisi. "Iya, aku tahu ini rumahnya, tapi apa tak bisa mengetuk pintu?" gumamnya sambil meletakkan mangkuk cookies di atas meja dan beranjak bangun dari tempat tidur.Dengan lan
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, suara mesin mengisi keheningan di dalam kabin. Alona dan Rajendra duduk di dalam mobil menuju rumah mereka, saling terdiam tanpa saling bicara. Rajendra menggenggam kemudi dengan erat, rasa kesal terpancar di wajahnya karena kehadiran Daniel tadi di pesta. Sementara itu, di sisi lain hatinya merasa canggung karena ia bertemu dengan Sita, mantannya.Di sisi lain, Alona duduk di kursi sebelahnya dengan tatapan kosong memandang jalan di depan mereka. Sesekali ia menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh suasana hati Rajendra.Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di rumah. Alona dengan cepat melangkah keluar dari mobil dan hendak segera masuk ke dalam rumah, berharap bisa segera mengakhiri kecanggungan ini. Namun, saat ia hendak melangkah, Rajendra menghentikannya dengan menarik tangannya."Kenapa Daniel bisa ada di pesta?" tanya Rajendra dengan nada menekan, rasa kesal dan kecewa masih terasa dalam suaranya."Mana aku tahu
Di sebuah kafe yang tenang di sore hari, Sita dan Rajendra duduk berdua di sudut yang nyaman. Sita yang memulai pembicaraan, mengungkapkan niatnya untuk bertemu Rajendra dan berbicara tentang masa lalu mereka. Dia datang dengan hati penuh penyesalan karena dulu pernah meninggalkan dan menyakiti hati Rajendra."Sita minta maaf, Jendra," ucap Sita dengan mata berkaca-kaca. "Sita menyadari kesalahan yang pernah Sita buat. Sita ingin kita bisa kembali menjalani asmara seperti dulu."Rajendra menatap Sita dengan pandangan yang tidak bisa dibaca, hatinya berkecamuk antara ingin menerima kembali Sita atau menolaknya. Dalam hati, ia ingin menguji Sita lebih dulu untuk mengetahui sejauh mana keseriusan dan ketulusan Sita kali ini."Sita, aku sudah menikah," ungkap Rajendra dengan suara yang tegas namun lembut. "Aku tidak bisa kembali bersama kamu seperti dulu. Aku harus menjaga komitmen pada istriku."Sita menunduk, air mata jatuh membasahi pipinya yang merah. Dia merasa terhina dan kecewa, ta
Setelah beberapa sesi terapi, psikiater menyarankan agar Alona melakukan perjalanan untuk penyembuhan diri.Rajendra mengambil keputusan untuk membawa Alona berlibur ke Hawaii, tempat yang selama ini menjadi impian Alona.. Ia berharap suasana tropis, pantai indah, dan udara segar di sana dapat membantu Alona pulih dari traumanya. Dengan penuh semangat, Rajendra mulai mengurus semua akomodasi yang dibutuhkan, mulai dari tiket pesawat, hotel, hingga jadwal kegiatan yang akan mereka lakukan selama di sana.Ketika Rajendra memberitahukan rencana ini kepada Alona, ia merasa lega karena Alona tidak menolak ide tersebut. Meskipun masih terlihat lesu, Alona setuju untuk pergi bersama Rajendra ke Hawaii.Hari keberangkatan pun tiba, Rajendra dan Alona terbang menuju Hawaii dengan penuh harapan. Mereka tiba di hotel yang sudah Rajendra pesan sebelumnya dan disambut dengan hangat oleh staf hotel. “Bagaimana Alona? Kamu suka kan?” Tanya Rajendra saat membuka godrin yang menutupi kamarnya yang me
Setelah selesai merapikan tenda yang telah mereka gunakan untuk berkemah, Jendra bergegas meninggalkan lokasi kemah bersama Alona, sang istri. Sepanjang perjalanan, Jendra tak henti-hentinya memeluk Alona, meyakinkan sang istri bahwa dia akan selalu ada untuk melindungi dan mencintainya. "Kamu tenang ya, Sayang. Aku di sini, akan terus melindungi kamu," ucap Jendra dengan penuh tulus dan kehangatan.Mendengar kata-kata itu, Alona merasa hari itu begitu mencerahkan hatinya. Hatinya yang semula keras dan sulit menerima kebaikan orang lain, kini mulai luluh oleh ketulusan cinta Jendra. Alona tersadar bahwa Jendra sungguh mencintainya, lebih dari siapapun yang pernah ada dalam hidup mereka.Dibanding Saloka, yang sudah dikenal Jendra selama puluhan tahun, Jendra justru memilih untuk percaya pada Alona. Ia merasa beruntung memiliki suami yang setia dan tulus seperti Jendra.Perlahan, Alona menoleh pada Jendra, matanya berkaca-kaca seiring senyuman tulus yang terukir di wajahnya. "Terima k
Alona berada di dalam sebuah bangunan khusus toilet umum laki-laki, wajahnya tampak pucat pasi ketakutan. Tiba-tiba, Saloka muncul dari balik salah satu pintu toilet dengan senyum yang jahil dan sinis."Kamu mau apa, Saloka?" tanya Alona dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya."Sudahlah, Alona, aku tahu Rajendra tidak mencintaimu. Cinta dia habis di Sitha, kau dinikahi aku yakin belum pernah disentuh bukan?" ucap Saloka dengan nada picik, sambil melangkah mendekati Alona.Alona terdiam, hatinya semakin khawatir dan ketakutan. Tiba-tiba, Saloka mengunci pintu toilet, membuat Alona merasa terjebak."Buka pintunya!" pekik Alona, hampir menangis."Tidak, aku tidak mau, lagipula ini toilet khusus lelaki, kamu yang salah berada disini," balas Saloka dengan nada datar, sambil tersenyum jahat."Buka! Atau aku teriak!" ancam Alona, mengumpulkan keberanian yang masih tersisa."Teriak saja, jika kau mau mati," ejek Saloka, mengejek ketakutan Alona.Alona merasa buntu, matanya
Malam itu, di tengah hutan pinus yang rimbun, Alona, Rajendra, dan teman-teman mereka berkumpul di sekitar api unggun yang menyala terang. Udara dingin menusuk tulang, dan angin kencang yang meniup dedaunan membuat suasana semakin akrab dan hangat. Di sekitar api unggun, mereka berbagi tugas dalam menyiapkan hidangan malam itu. Beberapa di antara mereka sibuk memasak, mengolah daging untuk barbekyu, dan mengatur piring serta alat makan. Alona dan beberapa teman wanitanya sedang bersemangat membuat minuman untuk menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.Sementara itu, Rajendra dan teman-teman lelaki lainnya bertanggung jawab atas api unggun yang menerangi kegelapan malam. Mereka mengatur kayu bakar dan memastikan nyala api tetap hidup untuk menjaga kehangatan di tengah dinginnya udara. Api unggun yang menyala semakin menambah keakraban suasana malam itu.Meskipun sibuk dengan urusan masing-masing, Rajendra tidak lupa untuk sesekali melirik istrinya, Alona, dari kejauhan. Dia mempe
Mentari pagi yang hangat mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, mengusik tidur Alona dan Rajendra yang masih terlelap di atas sofa. Semalam, mereka berdua begitu larut dalam perbincangan tentang skema acara yang akan dihadiri, hingga akhirnya memutuskan untuk menonton film komedi bersama. Tanpa terasa, keduanya terlelap dan bermimpi indah."Rajendra, bangun, kita kesiangan!" seru Alona dengan panik, menyadari waktu yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Rajendra yang terkejut bangun, mendengus dan meregangkan tangannya dengan santai. "Jam berapa ini?" tanyanya pada Alona."Jam delapan," jawab Alona cepat, lalu berdiri hendak melangkah pergi. Namun, tanpa disadari, Rajendra menarik tangan Alona hingga membuatnya kembali terjatuh ke atas tubuh rajendra. "Aduh!" pekik Alona, merasakan rasa kaget yang luar biasa."Maaf Alona, mungkin ini lancang," ucap Rajendra dengan wajah yang tampak bersalah. Alona menatapnya dengan ekspresi bingung, mencoba memahami maksud dari tindak
Setiap hari, Rajendra semakin menunjukkan rasa cintanya pada Alona. Ia selalu berusaha menjaga dan memenuhi kebutuhan Alona sebagai suaminya. Mulai dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, hingga menemani Alona berbelanja keperluan rumah tangga.Rajendra juga sudah tak pernah lagi pergi clubbing seperti dulu. Ia hanya keluar untuk urusan bisnisnya saja, kemudian segera kembali ke rumah dan menghabiskan waktu bersama Alona.Namun, meskipun Rajendra berusaha keras menunjukkan rasa cintanya, Alona belum juga merespon perasaan tersebut. Ia masih belum bisa menerima keberadaan Rajendra sepenuhnya dalam hidupnya. Wajah Alona yang selalu datar dan dingin membuat Rajendra merasa khawatir.Suatu malam, saat makan malam bersama, Rajendra mencoba membuka percakapan dengan Alona. "Alona, aku tahu mungkin aku belum sempurna sebagai suami, tapi aku berusaha untuk lebih baik. Apakah kau bisa melihat usahaku?" tanya Rajendra dengan lembut.Alona menatap matanya, lalu menundukkan pandangannya. "Aku
"Selamat ulang tahun ya, Om! Jendra doakan semakin tua semakin jaya!" ucap Jendra sambil tertawa lepas, menggenggam tangan Ayah Maria yang merupakan paman dari Jendra sendiri. Ayah Maria, dengan senyum lebar di wajahnya, merasa senang melihat kehadiran Jendra di pesta ulang tahunnya."Terima kasih, Jendra. Sudah mau datang ke ulang tahunku, padahal biasanya kamu nggak pernah mau datang. Kayaknya setelah menikah, beda ya vibe-nya," bisik Ayah Maria dengan senyum jenaka, menyindir Jendra yang kini sudah berumah tangga.Di samping Jendra, Alona berusaha menampilkan senyuman sumringah, meskipun hatinya masih bercampur aduk dengan sikap Jendra yang begitu berlaku manis padanya. Alona merasa tidak nyaman dengan cara Jendra bercanda dengan Ayah Maria, tetapi ia tidak ingin merusak suasana pesta ulang tahun yang sedang berlangsung.Mata Alona mencuri pandang ke arah Jendra, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya itu. Jendra, seolah menyadari perasaan Alona, menggenggam tanga
Daniel menggeleng sinis, menyaksikan Rajendra yang dengan sigap menahan Alona yang hampir terjatuh. Wajah Daniel penuh dengan kebencian dan pengejekan."Tak sia-sia aku mengakui bahwa Alona adalah istriku, setidaknya ia terbebas dari manusia kasar seperti kamu," ucap Rajendra dengan tegas, melindungi Alona dari tatapan dan niat jahat Daniel.Mendengar ucapan Rajendra, Daniel tersentak, rasa sakit hati dan kehilangan tergambar jelas di wajahnya. Alona yang sedang menangis, kini digenggam erat tangannya oleh Rajendra. Dia membawa Alona menjauh dari pemandangan yang menyedihkan itu.Mereka kini berada di dalam mobil yang terparkir di parkiran kampus, berusaha mencari ketenangan setelah kejadian tersebut. Alona terus menangis, isakannya terdengar memilukan. Rajendra menunggu dengan sabar, berharap gadis itu segera tenang dan bisa berbicara kepadanya.Alona menundukkan kepalanya, menangis tersedu-sedu, dan mencoba menenangkan diri. Rajendra, dengan tangan yang lembut, mengusap kepala Alona
Alona melangkah gontai di koridor kampusnya, pikirannya penuh dengan ucapan Jendra yang membuat hatinya gelisah. "Aku mau kita sebagai pasangan suami istri yang seharusnya," gumamnya, menirukan ucapan Jendra dengan nada sinis. "Enteng sekali dia berbicara seperti itu, setelah merenggut keperawananku dan menghancurkan hubunganku dengan Daniel," gerutu Alona kesal.Sesampainya di fakultas Daniel, matanya menyapu tiap sudut ruangan dengan tajam mencari keberadaan Daniel. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran pria yang pernah begitu dekat dengannya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya kepada salah satu teman Daniel yang sedang berada di sana."Sudah dua hari dia tidak datang ke kampus," jawab temannya dengan serius. "Ada apa, Alona? Kamu terlihat sedih."Alona menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang hendak jatuh. "Tidak apa-apa," ucapnya seadanya, berusaha tersenyum. "Aku hanya ingin bicara sebentar dengan dia."Dalam hati, Alona merasa semakin hancur. Apakah Daniel