“Kau masih terlalu gampang dalam menilai arti sebuah kebahagiaan, Bar,” ucap Tora dengan pandangan tajamnya. Bara menyeringai pelan. “Oh ya? Katakan padaku apa yang Kakak dapatkan setelah menikahi kak Tita? Apa sikapnya yang posesif itu ‘kah?” “Apa maksud kalian?” Tuan William memandang kedua putranya itu secara bergantian. “Sudahlah, Pa. Tidak ada gunanya berbicara dengan Bara sekarang,” ucap Tora berusaha menghentikan perdebatan mereka. Tuan William mendesah pelan. Dia mengangguk saat sang putra sulung mengajaknya meninggalkan ruang kerja Bara. “Jangan berbicara sepatah kata pun, Vid. Kau sudah melihat bagaimana papa sangat membanggakan putranya itu ‘kan?” lirih Bara. David hanya diam dan kembali mengatupkan mulutnya yang hampir menganga. Sang asisten itu perlahan memundurkan langkahnya karena tak jadi mengucapkan sesuatu. Selang beberapa saat Ami mengetuk pintu ruangan dan berjalan menuju meja
Pembicaraan ringan yang penuh tawa itu terhenti saat Rena mendengar suara pekikan dari seorang anak panti yang ada di belakang mereka. “Bu, kami sudah selesai olah raganya. Apa boleh sekalian mandi?” tanya bocah lelaki berumur 11 tahun yang sudah berada di hadapan Rena. “Tentu. Keringkan dulu keringat kalian ya.” “Oke, Bu.” Setelah melihat kepergian anak itu, Rena mengerutkan sedikit dahinya karena memandang ekspresi Tora yang tak biasa. “Pantesan kayak bau asem. Eh, rupanya hmmm,” cibir Tora sembari mengenduskan indera penciumannya ke arah Rena. Gadi itu terkikik menahan malu karena ucapan barusan benar adanya. “Oh ya. Kakak belum bilang loh alasan datang kemari,” gumam Rena seakan sedang menuntut jawaban atas ucapannya. “Mandi dulu gih, enggak minat ngomong sama cewek cantik yang baunya kecut,” kilah Tora ada benarnya. Rena beranjak dari duduknya sembari mengerucutkan bibir. Masih diikuti oleh Tora yang berada
Pembicaraan dengan Tora sejak dua hari yang lalu masih terus tergiang di telinga Rena. Seharusnya memang gadis itu tidak perlu terkejut dengan sikap Bara yang memang berbuat sesuka hatinya sejak sebelas tahun yang lalu. Namun sekarang sepertinya sang GM tampan telah benar-benar sulit dikendalikan. Hal yang paling membuat Rena semakin merasa bersalah karena Tora mengatakan bahwa di hari mereka putus sangat berdekatan dengan meninggalnya mama mereka. Oh, bukankah Rena sudah tahu atau memang sudah lupa? Bahkan Bara dengan cepat mengambil keputusan untuk pindah kuliah ke London dan baru berani kembali ke tanah air dalam beberapa bulan ini. Sayang sekali niat seorang Adibara Erlangga tak semulus yang dibayangkan. Masa lalu yang dikubur dalam malah menguap begitu saja saat berjumpa dengan Rena lagi. ‘Kita sama-sama sedang terluka. Maaf karena aku enggak tahu harus bagaimana lagi. Rasanya mencoba kabur darimu sangatlah sul
Rena menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Melihat kelakuan gadis di sampingnya, Jason pun berhenti melangkah. Kedua matanya menatap lekat Rena yang masih tidak dapat mengerti maksud ucapan barusan. Jason berdecak pelan lalu menjiwil hidung Rena hingga membuat gadis itu sukses mengerucutkan bibirnya. “Nggak usah basa-basi deh, to the point aja,” kesal Rena. Pria itu berdehem sejenak. “Bara itu sama manipulatifnya kayak mister William si tua bangka itu. So kamu lebih baik hati-hati. Setahu aku cuma dia yang tahu kalau kamu anak kandung papi. See?” “Terus apa hubungannya sama aku, Jason. Aku enggak ngelakuin apa-apa bahkan,” ucap Rena semakin tak mengerti. Kali ini justru Jason yang bergantian salah tingkah. Bibirnya tak sabar ingin mengungkapkan rahasia kelam yang membuat Raksana Group dan sang pemilik kedua hotel menjadi tak akur. Sayangnya ini bukan waktu yang baik karena jam kerja yang tinggi membuat Jason ha
“Iya, Pa. Dia pernah menjadi asistennya Bara, namun sudah keluar,” ucap Tora berusaha meredam emosi sang papa. Bu Risa yang menyadari ada suasana lain di sekitarnya memilih untuk pamit sejenak. “Saya tinggal sebentar ya, Pak. Sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan saya.” “Iya, Bu. Maaf ya,” kata Tora sambil mengangguk pelan. Sang pemilik panti itu segera bangun dari duduknya dan mengusap pundak Rena sesaat. Bahkan dirinya turut menyunggingkan senyuman meskipun belum mengerti apa yang hendak dibahas keluarga Erlangga nantinya. Suara deheman yang disengaja membuat Rena kembali menatap sang empu dari Rose Hotel dan Erlangga Hotel di hadapannya. Selang beberapa detik suara tepuk tangan dari pria itu menggema ke seisi ruangan. Bahkan kedua putra dan seorang menantunya pun tersentak kaget. “Penerus Raksana Group juga selicik ini,” gumam Tuan William sembari menyapu pelan dagunya. “Maksud Anda??” tanya Rena berusaha mengontrol nada
Bara berdesis pelan sembari membebaskan lengannya dari seorang Sandra. Meskipun sudah diperingatkan beberapa kali, gadis itu tak kehilangan akal untuk mencoba berbagai cara agar tetap berada di dekat sang GM tampan. “Lebih baik kita mendekatkan diri daripada terus kucing-kucingan seperti ini,” bujuk Sandra yang kini sudah berhasil duduk di samping Bara. Pria itu mendesah pelan sembari menggelengkan kepala. Tidakkah sang papa berpikir ulang bagaimana nasibnya jika menikahi wanita yang tak jauh berbeda dengan Tita yang begitu menyebalkan itu? Hah, mungkin memang keduanya adalah tipe idaman menantu Tuan William. Manja, posesif, manipulatif dan tentu saja money oriented layaknya kalangan pebisnis setaraf mereka. Begitulah yang ada di pikiran Bara sekarang. Padahal alamarhumah sang Mama sangat jauh dari ciri-ciri tadi. “Hai, Kak Tita,” sapa Sandra saat menyadari kakak ipar Bara yang mendekati mereka. Jangan katakan bagaimana pandangan san
“Bu Rena, apa Anda di dalam?” Tak ada suara sahutan selain bunyi derit pintu yang mulai terdengar. Rena mengulum senyumnya lalu mempersilakan sang pemilik panti masuk ke kamarnya. “Ibu kenapa?” tanya Rena saat melihat raut wajah sendu perempuan di hadapannya. Bu Risa menggeleng pelan. Dia membelai lembut surai hitam nan panjang milik Rena. “Ibu enggak usah khawatir, aku enggak pa-pa. Meskipun udah enggak kerja di sini lagi, aku masih boleh berkunjung ‘kan?” tanya Rena sembari mengerlingkan matanya. Bu Risa mengangguk pelan. “Pasti dong. Ibu minta maaf ya karena enggak bisa cegah kepergian kamu. Tuan William ngancam kalau kamu enggak keluar dari sini dia bakalan—“ “Udah, Bu. Anak-anak di panti lebih membutuhkan tempat tinggal. Aku enggak keberatan dengan cara mereka,” ucap Rena memotong pembicaraan keduanya. Pemilik panti itu melipat bibirnya ke dalam. Dia tak memiliki pilihan lain selain memecat Rena dari pantinya. “Kami bakalan
“Kenapa?” Rena menggeleng pelan. “Aku mau pulang ke rumah.” Mendengar jawaban gadis di belakangnya, Jason langsung tertawa. “Tentu saja. Ke perumahan mungil itu ‘kan?” “Kau mengejekku? Itu hasil dari kerja kerasku sendiri,” ketus Rena melayangkan protesnya saat Jason meledek rumahnya. “Okay. Memangnya kau kira aku akan mengajakmu ke mana? Kau takkan sudi tinggal di rumah papi kalau tidak dengan keinginanmu sendiri ‘kan?” ungkap Jason ada benarnya. Rena masih bungkam dan menanti ucapan selanjutnya dari pria itu. “Calm down. Aku hanya ingin mengantarmu. Jangan keras kepala, Serena Queen Adhisty,” tambah Jason lagi. Rena tak ada pilihan selain menurut pada asisten almarhum sang papi. Apalagi memang tak ada pengurus panti yang bisa mengantarkannya hingga ke tempat tujuan atau setidaknya ke terminal perbatasan. “Kau bisa lanjutkan perjalananmu. Aku akan di sini menunggu penumpang lain yang akan bergabung,” putus Rena saat melihat sebuah kendaraan ya